Untuk menghindari perjodohan yang dicetuskan oleh ayahnya. Divya terpaksa membuat perjanjian dengan sang bodyguard—Ghazi. Akan tetapi, rencananya itu justru membuat Divya terjebak dalam gairah bodyguard tampan itu dan mereka pun terlibat skandal terlarang. Rencana Divya pun berhasil. Namun, siapa sangka ayahnya menyuruh Divya dan Gzahi untuk menikah. Agar skandal mereka tidak menjadi aib keluarga. Sejak mereka terikat dengan pernikahan semua berjalan normal. Akan tetapi, sejak malam panas terjadi di antara mereka. Divya justru mengetahui rahasia yang selama ini Ghazi sembunyikan. Sang bodyguard berubah menjadi lelaki yang tak pernah terbayangkan sebelumnya oleh Divya. Lantas mampukan Divya menguak sisi lain Ghazi itu atau ia akan terus terjerat oleh gairah sang bodyguard untuk selamanya?
Lihat lebih banyakGaun mini dengan warna merah menyala yang membentuk seluruh lekukan tubuh penggunanya menjadi pusat perhatian malam ini. gadis itu mengangkat tangan tinggi-tinggi. Menggelengkan kepala mengikuti irama dentuman di lantai dansa. Musik disko memekakkan telinga, suara teriakan karena terhibur memenuhi ruangan.
Kepulan asap rokok, aroma minuman keras menyeruak menjadi hal yang wajar di sana. laki-laki dan wanita berbaur menjadi satu. Malam adalah waktu bagi mereka. Malam adalah pesta untuk mereka.“Hu! Mainkan sampai pagi!” teriaknya, tidak peduli jika seseorang menganggapnya gila.Beberapa pengunjung lainnya pun membenarkan dan menyetujuinya. Mereka benar-benar berpesta. Terkadang hingga pagi menjelang. Semakin malam akan semakin ramai. Semakin malam semakin asyik.“Kamu sendirian, cantik?”Tubuh gadis bergaun merah itu sudah berada dalam rengkuhan tangan seorang pria dengan cambang tipis di rahangnya. Ia mendekatkan wajahnya hendak meraih bibir gadis yang berhasil ada dalam pelukannya saat ini. Gadis dua puluh tahun itu mendorong wajah pria yang selalu menganggunya setiap hari.Senyum setan laki-laki itu jelas menyiratkan bahwa dia berharap besar pada wanita yang dia dekap sekarang.“Tidak akan pernah. Gue selalu datang dengan dia.”Ia harus setengah berteriak agar suaranya terdengar. Tangannya menunjuk ke arah sang sahabat yang duduk memantau dirinya. Sebotol air putih ditangan menemaninya.“Jangan pernah bermimpi untuk dekatin gue. Malam ini atau bahkan malam-malam lainnya,” racaunya, seraya mendorong bahu laki-laki itu menjauh darinya.“Kamu yakin? Bagaimana jika setelah pertemuan ini kamu yang akan datang mengejarku?”Ia mengacungkan jari tengahnya pada laki-laki itu. “Bangunlah! Lu tidur terlalu lama Brother. Bahkan dalam mimpi pun lu nggak akan pernah bisa tidur dengan gue.”Terkesan sombong, tetapi begitulah, Divya. Menyombongkan diri pada orang angkuh sah-sah saja bukan? Selagi dia tidak mengganggu orang lain, maka ia juga tidak ingin diganggu.Pria bercambang dengan rambut keriting itu menjauh dan tersenyum aneh. Tidak mau menerima kekalahan. Akan tetapi, juga tidak mau mengambil risiko dikeramaian seperti ini. Matanya beralih pada teman yang berdiri tidak jauh darinya. Anggukan kepala dari rekannya itu mampu membuat kekecewaan atas penolakan yang baru saja dia terima seakan menguar begitu saja.Gadis berambut panjang itu meninggalkan lantai dansa. Ia butuh istirahat, duduk dan minum sedikit air untuk menarik sedikit kesadarannya. Kendati, dia tahu betul bahwa tindakannya pergi ke tempat ini salah. Hanya saja, ia tidak ingin melakukan kesalahan yang lebih buruk lagi.“Dia datang lagi?”Seorang teman yang masih tampak waras dan sama sekali tidak terpengaruh minuman beralkohol itu membantu sahabatnya menuangkan segelas air putih dingin. Kemudian menyodorkannya ke Divya. Gadis itu menerimanya dengan senang hati.“Setiap hari. Gue heran apakah dia nggak bosen? Nggak ada perempuan lain selain gue-gitu?” jawabnya penuh selidik, setelah meneguk habis air putih itu. Meletakkan gelas dengan asal.“Lain kali makanya jangan pakai baju terbuka gini. Dada udah kek mo tumpah tahu, nggak?” seru temannya.“Iya, bawel. Lu emang ibu suri terbaik. Jangan sampe lu ikutan minum. Kagak ada yang nyetir mobil,” kikihnya.Sudah layaknya orang gila. Matanya setengah terpejam, tetapi ia berusaha untuk membukanya lebar-lebar kelopak mata itu. Ia tidak ingin melewatkan malam ini begitu saja. Bahkan jika diminta untuk memilih antara tidur dan mabuk, ia akan dengan gampang menjawab mabuk lebih mengesankan.“Nggak mungkin aku mau. Minuman pait apa enaknya? Enak juga air kelapa,” jawabnya asal.“Tapi, Ivy. Sesekali, emang lu kudu cobain ini. Lu nggak stress apa tiap hari disuguhin tugas. Tiap hari belajar mulu?”“Stress, tapi aku lebih stress liat kamu mabok tapi ngerepotin aku. Yang bener ajalah, seenggaknya kamu bisa jalan sendiri sampe parkiran.”Bukan sekali dua kali Ivy menyeret tubuh sahabatnya keluar dari kelab. Mengantarkan Divya ke rumahnya. Sudah seperti tukang taksi langganan. Sayangnya, ia tidak digaji.“Div, kita balik aja, yuk!”Ivy mencoba membujuk Divya, dengan harapan wanita itu mau mengiyakan ajakan itu. sayangnya itu belum pernah terjadi.“Masih jam dua juga. Santai aja kali, kagak ada yang nyariin lu kan?”Ivy menggeleng pelan. Dia hanya perantau, tidak ada sanak keluarga yang dekat dengannya. Divya adalah satu-satunya teman yang dia miliki.Semakin malam, Divya makin tidak terkendali. Ia sudah tidak mampu membawa tubuhnya sendiri. Ia membantu Divya untuk bangun. Gadis itu sudah tidak mampu untuk berucap, ia hanya menurut saja saat tubuhnya dibawa ke mana pun. Bahkan jika hal buruk menimpanya, wanita bertubuh seksi itu tidak akan tahu dan tidak akan menyadarinya.**Tepat pukul setengah empat dini hari, Ivy sudah berada di depan pintu rumah rekannya. Ia menekan bel rumah mewah nun besar itu. menantikan beberapa menit kemudian muncullah sosok yang tidak pernah, Ivy duga.“Kamu lagi! Bener-bener kamu, ya! Bawa pengaruh buruk buat anak saya!” hardiknya.Laki-laki berusia lima puluh lima tahun dengan rambut yang seluruhnya hampir memutih itu menerima tubuh anaknya.“Jangan dekati anak saya lagi! Jika masih kamu lakukan aku akan laporkan kamu ke polisi!” ancamnya, dengan raut wajah yang serius.Ivy terdiam, bahkan seharusnya dia yang menjauh dari Divya. Wanita itulah yang mengenalkan ia dengan dunia malam.“Tunggu, Om!” cegah, Ivy.“Apa lagi?! Tidak puas kamu rusak anakku huh?!” sarkasnya. Matanya melotot seolah hendak keluar.“Kunci mobilnya di saya,” jawab Ivy. Ia tersenyum kikuk.Ivy menggaruk kepalanya, merasa aneh dengan pernyataan itu, kemudian memutuskan untuk meninggalkan rumah temannya.Begitu tiba di dalam rumah, Hendery mengempaskan tubuh Divya di sofa begitu saja. Gadis dua puluh tahun itu merintih kesakitan.“Divya! Kamu sudah dewasa, sebentar lagi kamu lulus dan tidak mungkin hidupmu hanya seperti ini saja setiap hari!”“Euhm?” leguh, Divya. Tidak ada sejarahnya orang mabuk di ajak bicara.“Lebih baik kamu menikah muda ketimbang terjerumus dalam dunia malam seperti ini!”Divya membisu, dia sudah tidak sadarkan diri. Buaian alkohol menyelamatnya dirinya dari omelan sang ayah.Sayangnya itu tidak berlangsung selamanya. Pagi ini, begitu wanita itu terbangun. Masih dengan wajah bantalnya dan rasa malas yang merenggut semangat paginya. Hendery sudah menunggunya di ambang pintu kamarnya.Tubuh yang semula hanya terkulai lemah di sofa. Semalam telah dipindahkan oleh Hendery ke kamarnya. Semarah apa pun dirinya, tetap saja dia menyayangi Divya.“Pagi, Pah. Kenapa di sana?” sapa Divya saat matanya sudah bisa dengan normal menatap keberadaan sang kepala rumah tangga.“Sampai kapan mau seperti ini, Divya?!” suara yang tidak ada lembut-lembutnya di telinga, Divya.“Divya hanya menikmati masa muda, Div, Pah. Emang salah?” Ia menarik kakinya dan membiarkannya terjuntai menyentuh lantai.“Papa sudah tua, kamu harapan keluarga satu-satunya. Papa sudah mengambil keputusan.”Dahi Divya mengerut, ia menggapai tengkuknya yang terasa pegal seraya mencermati ucapan Hendery.“Keputusan apa, Pah?” Dengan santai dia bertanya. Divya hafal betul ancaman pria itu adalah mengurangi uang bulanannya. Kalau tidak mengambil salah satu fasilitas Divya.“Kamu papa jodohkan dengan anak teman, papa. Sekaligus—”“Apa?! Jan becanda, deh, Pah. Sejak kapan, Papa ngedukung Divya nikah muda?” seru Divya. Masih menganggap bahwa keputusan yang di ambil oleh Hendery hanya sebuah gertakan semata.“Sejak kamu mulai bergaul dengan wanita keriting itu! hidupmu sudah tidak terkendali.”“Bukan dia, tapi Div yang justru—”Ucapan Divya langsung di hentikan oleh Hendery. Pria itu tidak menyukai perdebatan panjang.“Satu lagi. Kamu akan terus diawasi oleh pengawal pilihan, Papa!”Telak! Divya tidak bisa lagi membantah karena laki-laki itu seudah meninggalkan ruangan Divya.“Ck!”Divya hanya mampu berdecak kesal. Besar harapannya bahwa ini hanya sebuah ancaman seperti hari-hari sebelumnya.Sepasang sorot mata yang dulunya bersinar indah dan teduh terus menyorot televisi dengan layar besar di hadapannya. Tanpa dia sadari dari pelupuk kelopak mata tetesan air mata luruh membasahi pipi.Ini bukan tangis kesedihan, ini tangis haru yang dia rasakan setelah bertahun-tahun melewati hidup dalam kesedihan yang nyata. Air mata yang tidak berkesudahan."Mom, sudah dong. Masa tiap liat aku malah nangis. Lama-lama tuh tivi kujual juga," sungut Zie. Sekarang, wanita itu tumbuh menjadi gadis ayu dengan rambut hitam yang panjang. Sama seperti Divya yang selalu menyukai rambut panjang. Berkat kelebihan yang dia miliki saat ini, bukan hanya sang ibu yang mampu memandang dengan tatapan kagum pada Liorazie Fahar Aurora. Namun, seluruh pencinta film yang dia bintangi bisa menikmati wajah yang tidak membosankan itu."Kamu tahu ini tangis bahagia, Nak. Mama bangga sama kamu, mama tidak bisa berkata-kata setiap melihatmu di balik layar.""Semua yang terjadi, semua yang Zie miliki berkat Momm
Bocah perempuan kecil dengan rambut sebahu itu meraung sangat keras, hingga hidungnya memerah. Sama halnya seperti sang kakak, ia bisa tenang setelah didekap oleh ayahnya.“Kakak siapa? Besok kita beli yang baru okey,” bujuk Ghazi seraya berjalan keluar dari kamar, membiarkan istrinya mengatur emosi serta membetulkan pakaiannya.Setelah tiba di ruang tamu, ternyata bukan hanya Ghea yang menangis, si Zie pun tidak kalah kesalnya terhadap sang kakak yang selalu usil di setiap kesempatan.“Sky, bisa jelaskan?” Ghazi menatap anak keduanya. Jelas dialah pelaku utamanya. Tidak ada yang berani mengusik si kembar jika bukan bocah itu. “Aku hanya meminjam. Aku bersumpah hanya pinjam, Yah. Dia saja yang cengeng, kalian berdua sama-sama cengeng,” efeknya pada Ghea dan Zie. Bukannya merasa bersalah bocah enam tahun itu justru menjulurkan lidahnya. Hal itu kian membuat si kembar menangis dan membuat gaduh seantero rumah. “Sky! Please, minta maaf lalu kembali ke kamarmu!” hardik Divya yang
Suara tangisan seorang gadis kecil terdengar sangat kencang sejak kaki kecilnya melewati pintu utama rumah. Ia meraung dan berderai air mata guna mencari keberadaan sang ayah. Tangisannya tidak akan berhenti sebelum satu ritual bersama laki-laki pertama dalam hidupnya itu merengkuh tubuh kecilnya. "Hei, ada apa, Sayang?" tanya Ghazi lembut. Ia berjongkok dan mengulurkan tangannya pada balita itu. Usianya baru empat tahun, ia telah menikmati taman bermainnya sekarang. "Huh— kumat lagi, dah," keluh Divya di belakang tubuh si gadis kecil itu. "Diam, mommy! Kamu membuat aku semakin sesak," sergahnya. "Hem— ada apa ini?" Kembali tangisannya memekikkan telinga. Divya mengerutkan keningnya untuk menghalau dengung di telinganya. "Daddy, you can dance with me?" "Oh— ss— sure, Baby." Ghazi membopong tubuh anaknya. Ya— anak keduanya yang kerap dipanggil baby, itu. Gadis kecil manja yang selalu berhasil merebut hati Ghazi dari keduanya kakaknya. Pria dewasa itu melangkah ke kiri dan ka
Setelah pemakaman Hendery usai, Ghazi dan Divya harus kembali ke rumah sakit. Di tengah acara pemakaman, gadis itu kembali pingsan. Beban berat yang dia tanggung mengguncang pikirannya. Hubungan Divya dengan sang ayah memanglah tidak baik di awal. Namun, ditinggal untuk selamanya tetaplah hal yang sangat menyesakkan. "Aku minta maaf, Ghaz. Aku tahu ini salahku," sesal Ivy. Dia benar-benar merasa bersalah atas segalanya. Jika tidak sibuk mengurus anaknya, Divya akan memiliki banyak waktu untuk Hendery. Bahkan di detik-detik terakhirnya, Divya bisa berada di sisi sang ayah. Akan tetapi, setelah memilih kesibukan bersama dengan kedua anak Ivy, hal itu membuatnya jauh dan mengharuskan diri menjauh dari rumah sakit. Divya tidak ingin kedua anak asuhnya terpapar penyakit dari orang-orang di sana. "Bukan salahmu. Perlu kamu tahu, selama ini ternyata Divya hamil. Sudah menginjak usia empat bulan, Iv. Bisa kamu bayangkan bagaimana lelah dan lemasnya dia?" "Apa?! Kamu serius?" Seraut wajah
Ditengah kondisi, Divya yang masih sangat rapuh, gadis itu duduk di bangku mobil dengan gusar. Tidak sabar ingin bertemu dengan sang ayah. “Lebih cepat, Big. Aku takut Papa kenapa-kenapa,” cemasnya. “Ini udah cepat, Bee.” Tangan Divya terus meremas jarinya sendiri. Pandangannya kesana kemari. Wanita itu benar-benar khawatir atas mimpi yang baru saja dia dapatkan. Ia juga lupa tentang Wynne dan juga Rayyan. Begitu tiba di rumah sakit, Divya berlarian di koridor untuk menuju ke ruangan sang ayah. Jantungnya kian berdegup dengan cepat. Bahkan ia tak acuh dengan kondisinya sendiri. Banyak yang dikorbankan oleh wanita itu, sangat banyak, secara fisik, Divya sudah sangat jauh berbeda dari dulu. Ia kehilangan kebiasaannya berdandan, kehilangan kebahagiaan yang dia upayakan setiap harinya. Waktunya terus ia habiskan dengan Wynne dan Rayyan. Dia benar-benar membunuh waktu agar melupakan kesialan nasibnya. “Pelan-pelan, Bee,” pinta Ghazi yang membuntuti langkah istrinya. Meskipun, D
Rengekan gadis kecil dalam gendongan Divya membuat kepalanya kian pening. Tubuhnya juga dipenuhi dengan keringat dingin dan juga dalam kondisi lemas, membuatnya seolah hampir tumbang. Namun, bocah kecil itu masih juga tidak mau terlelap. Biasanya, ketika berada dalam dekapan Divya, ia akan cepat tertidur. Hari ini sangat berbeda, dia rewel dan tidak mau berhenti diayun dalam gendongan Divya. Alhasil Divya harus menahan rasa meriang yang sudah menyerangnya sejak pagi tadi."Tenanglah, girl. Jangan rewel, please," lirih Divya. Berharap anak asuhnya mampu memahami kondisinya. Akan tetapi, bayi berusia satu tahun bisa apa? Dia akan terus menangis jika tidak menemukan kenyamanan yang diinginkan. Jarum sudah menunjukkan pukul tiga sore. Jam pulang Rayyan sudah tiba. Divya semakin kebingungan. Biasanya dia cekatan menjemput anak pertama Ivy itu. Kali ini, dia benar-benar butuh bantuan."Aku pu— Bee!" Belum usai Ghazi menyapa sang istri yang sudah dia nikahi selama dua belas tahun lalu itu
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen