"Gaes, sepertinya aku nggak bisa ikut rundingan kalian, deh. Teman kostku butuh bantuan," lirih Ivy kala menatap ponselnya. Di mana baru saja pesan singkat dia terima.
"Yah! Padahal gue pengen lo jadi saksi, Ivy. Siapa, sih? Nggak tahu waktu banget!" keluh Divya yang tidak mengizinkan sahabat karibnya pergi.
"Bukan nggak tahu waktu, tapi emang ini udah jam aku balik, kan? Udah nggak perlu saksi, lagian nggak mungkin Abang ganteng berkhianat, kok," ucap Ivy.
Tak!
"Auh! Div! Kenapa, sih jadi galak banget."
"Sorry, lo kalau ngomong suka nggak ada filter!"
"Oke, aku balik dah. Baek-baek klean berdua! Awas kalau sampai ada drama kejar-kejaran lagi," ancam Ivy. Melayangkan tatapan serius pada Divya.
Akan tetapi, gadis bermata cokelat itu hanya menimpalinya dengan sorot mata yang tidak kalah galak.
Sepeninggalan Ivy, Ghazi dan Divya mulai berbicara serius. Pria itu sudah mendapatkan satu lembar kertas dari salah satu penjual makanan di sana. Robekan tepat bagian tengah akan jadi saksi kesepakatan antara sang bodyguard dan Nona muda.
"Oke! Mulai dari gue! Ladies first, always!" ucap Divya.
Ghazi mempersilakan dengan gerakan tangannya. Ia hanya menurut dan berharap kesepakatan ini tidak akan memberatkan dirinya.
Divya merobek menjadi dua bagian kertas putih bersih tersebut. Membuat kerangka kasar untuk sebuah perjanjian sakral antara mereka.
"Pertama, gue mau lo nggak terlalu ngatur waktu gue."
"Kedua—"
"Contoh!" sela Ghazi. Dia harus memperjelas masalah waktu diatas.
"Ya— mudah saja, seperti jam gue pula—"
"Tidak bisa!"
Divya melotot garang pada Ghazi. Baru memulainya saja sudah tidak ada kecocokan antara mereka.
"Tidak bisa gimana?! Gue baru mulai, Ghaz! Lo nggak—" Ghazi mengangkat tangannya. Menghentikan ucapan serta emosi Divya.
Gadis itu Mendengus kasar. Lagi-lagi tangannya terkepal untuk menahan diri agar tidak memberontak. Kesepakatan dibuat agar mereka bisa saling percaya dan tidak selalu bertengkar.
"Oke!" ucapnya seraya mengembuskan napas perlahan. "Lanjutkan!" perintah Divya kemudian.
"Waktumu sudah terjadwal dalam kontrakku dengan Tuan Hendery. Tidak bisa diganggu gugat, Divya."
"Lantas apa sekarang? Waktu adalah hal paling penting buat, gue! Gila aja gue nurut gitu aja! Ini idup gue, kenapa jadi ada dalam kontrak bodohmu!" marah Divya.
"Kontrakku ada untuk memperbaiki waktumu, Divya. Sementara kontrak kita terjalin untuk memudahkan segalanya antara kau dan aku," tandas Ghazi.
"Memudahkan! Gue kira ini untuk kemudahan gue sendiri! Nggak ada lo!"
"Berarti kesepakatan kita batal! Sebaiknya kita pulang." Ghazi menatap jarum jam pukul tujuh malam. Dua jam lagi mereka harus tiba di rumah.
"Oke-oke! Lo menang! Brengsek! Laki-laki gila!"
"Mau melanjutkan atau tetap mengumpat?" tanya Ghazi enteng.
"Lo yang buat! Tapi gue berhak menolak apa yang menurut gue nggak adil buat gue!"
Ghazi menggedikkan bahu, menggelengkan kepala pelan dan mulai mengambil alih pena.
Ghazi menulis poin demi poin yang ada dalam kepalanya. Memudahkan Divya juga Ghazi dalam beroperasi.
Pertama, Divya dilarang menolak semua pertanyaan yang diajukan oleh Ghazi jika menyangkut tentang keamanannya.
Kedua, Divya dilarang memberontak tindakan Ghazi selama hal itu untuk kepentingan Divya. Contoh, mengetahui masalah yang tengah dihadapi saat ini. Tidak jauh beda dari poin pertama.
Ketiga, setelah jam lima, Ghazi sudah seharusnya lepas tangan pada Divya dan diharuskan untuk wanita itu menurut. Jika membutuhkan bantuan harap berucap dengan sopan.
Ghazi mengulurkan kertas itu pada Divya. Membiarkan wanita berambut panjang itu membacanya dengan cermat. Bagi Ghazi kesepakatan itu tidak perlu panjang asalkan memudahkan pekerjaannya.
"Nggak! Poin pertama dan kedua tuh udah ranah pribadi gue, setan!"
"Lalu apa maumu? Ini untuk kemudahanku dan keamananmu, Divya. Bukankah tulisanku jelas dan mudah dibaca?"
Divya bungkam, memang dan hal itu tidaklah salah. Divya menyerah dan akhirnya mulai terlihat sedikit tenang.
"Tambahkan untuk poin empat! Lo harus mau gue suruh apa pun!" tukas Divya penuh sarat arti.
"Dalam hal?"
"Apa pun! Kuping lo budeg?! Gue bilang apa pun! Kalau gue minta lo nyebur ke kali, lo kudu mau!"
Ghazi menatap netra Divya. Gadis itu membalasnya tanpa mengelak. Seolah pria itu mencari jawaban atas rencana licik, Divya.
"Deal!" kata Ghazi kemudian.
"Lo yang kudu salin surat perjanjian itu dan besok gue bakal tanda tangan, hitam diatas putih!"
"Baik. Kita pulang, Tuan Hendery pasti sudah tiba di rumah."
Laki-laki itu, bangkit dan melipat kertas tersebut. Memasukkannya ke dalam saku bajunya dan mulai mendekati mobil.
Divya membuntuti di balik punggung besar Ghazi. Kini pria itu membuka pintu bagian belakang. Namun, Divya melipat kedua tangan di depan dada.
"Gue nggak mau duduk belakang! Inget itu!"
Kembali, Ghazi menggedikkan bahu dan mulai membuka pintu depan. Tanpa mau bertanya apa alasan Divya tidak ingin duduk di bangku belakang.
Ghazi mulai menjalankan mobilnya. Membelah jalanan petang itu. Menuju tempat tujuan terakhir.
Begitu tiba di rumah. Hendery dan Greta menyambutnya. Untuk kali pertama, Divya mendekati mereka berdua dan memberikan kecupan kasih sayang pada pipi orang tuanya.
"Tumben anak mama. Ghazi sepertinya berhasil membawa kembali putri Mama."
"Bukan dia! Dia nggak becus kerja! Udah, ah! Jadi bahas dia, sih! Nyebelin banget! Eneg, tahu tiap jam liat mukanya!" geram Divya.
"Ghazi, tuh baik, lho. Ya udah, ayo! Liam udah nungguin di ruang tengah!" Greta menggiring Divya menuju ruang tengah.
"What?! Siapa?! Mama bilang siapa?"
Divya terkejut bukan main. Baru saja dia bernapas lega, berdamai dengan keadaan di mana Ghazi tiba-tiba masuk dalam kehidupannya. Sekarang masalah sudah kian bertambah pelik.
"Iya, Div. Liam Madhava yang papa bilang kapan lalu itu. Dia pulang lebih cepat. Katanya udah nggak sabar ketemu sama kamu," jelas Hendery.
Divya mematung. Raganya tidak dapat beranjak, jiwanya seolah melayang-layang tidak tentu arah.
Sementara Ghazi yang baru saja masuk hanya dapat menatap mereka dan langsung merangsek menuju ke kamarnya. Melewati Hendery, tidak lupa ia memberikan salam hormat.
Saat melintas di ruang tengah, tentu saja Ghazi melihat sosok Liam. Namun, pria itu tidak mau tahu urusan apa pun pada hal yang bukan menjadi ranahnya.
"Divya, ayo! Malah bengong, sih," kata Greta. Wanita berusia lima puluh tahun itu menyeret tangan Divya dengan pelan tetapi penuh dengan tekanan.
Hingga langkah mereka tiba di ruang tengah. Liam yang semula sibuk dengan ikan dalam aquarium seketika menoleh kala mendapati beberapa derap langkah kaki terdengar.
"Hai! Kau pasti Divya, kan? Senang bisa melihatmu secepat ini," sapa Liam. Ia mengulurkan tangan pada Divya.
Kedua orang tua Divya tersenyum ramah. Dia senang akhirnya mereka bisa bertemu. Akan tetapi, tidak dengan Divya yang masih syok berat. Dia tidak mampu mencerna semua ucapan yang dilontarkan siapapun.
"Divya, kok dianggurin, sih?" Greta menarik tangan Divya guna membalas jabat tangan dari Liam.
Saat kesadarannya kembali, Divya lekas menarik tangannya dari genggaman Liam. Pria bermata sipit dan permukaan kulit yang mulus. Seakan tidak ada lubang pori di sana.
"Siapa lo? Lancang banget pegang-pegang!" bentak Divya.
"Divya! Kamu apa-apaan?!" tekan Hendery. Dia memeluk pinggang putrinya dan berbisik tepat di telinga anak gadisnya.
"Papa yang apa-apaan! Divya udah bilang nggak setuju sama ide bodoh papa!"
Plak!
Tamparan keras itu meluncur tiba-tiba. Pipi Divya mati rasa. Seketika gambaran lima jari menggores pipi Divya. Bahkan tanpa diminta air mata Divya jatuh.
Gadis dua puluh tahun itu kembali menegakkan pandang pada sang ayah.
"Divya nggak akan lupa sama apa yang udah papa lakuin sama, Div malam ini. Kalau Papa mau, papa nikahin sendiri laki-laki itu!"
Setelah mengatakan hal itu, Divya langsung meninggalkan ruang tengah. Menaiki tangga menuju kamarnya dengan berlari.
Selama ini, tidak pernah Hendery memukulnya seperti itu. Kini, pria itu juga dilanda penyesalan. Namun, Divya sudah membuat sang ayah malu.
"Maafkan Divya, Liam." Greta memecah ketegangan.
"Tidak masalah, Tan. Sebaiknya memang aku tidak datang secara mendadak. Ada waktu lain untukku mendekati Divya. Sekarang sebaiknya aku pulang. Om, tidak apa-apa. Jangan menyakiti Divya seperti itu. Tidak ada orang yang mau dijodohkan. Tapi, kurasa lambat laun, Divya akan menerimaku," tutur Liam, bijak.
"Maafkan, Divya, Liam." Kini Hendery pun meminta maaf.
"Tidak apa, Om. Liam pulang dulu. Selamat malam, terima kasih sudah menyambut Liam."
Setelah kepergian Liam, Hendery mencoba untuk menemui anaknya. Akan tetapi—
Sepasang sorot mata yang dulunya bersinar indah dan teduh terus menyorot televisi dengan layar besar di hadapannya. Tanpa dia sadari dari pelupuk kelopak mata tetesan air mata luruh membasahi pipi.Ini bukan tangis kesedihan, ini tangis haru yang dia rasakan setelah bertahun-tahun melewati hidup dalam kesedihan yang nyata. Air mata yang tidak berkesudahan."Mom, sudah dong. Masa tiap liat aku malah nangis. Lama-lama tuh tivi kujual juga," sungut Zie. Sekarang, wanita itu tumbuh menjadi gadis ayu dengan rambut hitam yang panjang. Sama seperti Divya yang selalu menyukai rambut panjang. Berkat kelebihan yang dia miliki saat ini, bukan hanya sang ibu yang mampu memandang dengan tatapan kagum pada Liorazie Fahar Aurora. Namun, seluruh pencinta film yang dia bintangi bisa menikmati wajah yang tidak membosankan itu."Kamu tahu ini tangis bahagia, Nak. Mama bangga sama kamu, mama tidak bisa berkata-kata setiap melihatmu di balik layar.""Semua yang terjadi, semua yang Zie miliki berkat Momm
Bocah perempuan kecil dengan rambut sebahu itu meraung sangat keras, hingga hidungnya memerah. Sama halnya seperti sang kakak, ia bisa tenang setelah didekap oleh ayahnya.“Kakak siapa? Besok kita beli yang baru okey,” bujuk Ghazi seraya berjalan keluar dari kamar, membiarkan istrinya mengatur emosi serta membetulkan pakaiannya.Setelah tiba di ruang tamu, ternyata bukan hanya Ghea yang menangis, si Zie pun tidak kalah kesalnya terhadap sang kakak yang selalu usil di setiap kesempatan.“Sky, bisa jelaskan?” Ghazi menatap anak keduanya. Jelas dialah pelaku utamanya. Tidak ada yang berani mengusik si kembar jika bukan bocah itu. “Aku hanya meminjam. Aku bersumpah hanya pinjam, Yah. Dia saja yang cengeng, kalian berdua sama-sama cengeng,” efeknya pada Ghea dan Zie. Bukannya merasa bersalah bocah enam tahun itu justru menjulurkan lidahnya. Hal itu kian membuat si kembar menangis dan membuat gaduh seantero rumah. “Sky! Please, minta maaf lalu kembali ke kamarmu!” hardik Divya yang
Suara tangisan seorang gadis kecil terdengar sangat kencang sejak kaki kecilnya melewati pintu utama rumah. Ia meraung dan berderai air mata guna mencari keberadaan sang ayah. Tangisannya tidak akan berhenti sebelum satu ritual bersama laki-laki pertama dalam hidupnya itu merengkuh tubuh kecilnya. "Hei, ada apa, Sayang?" tanya Ghazi lembut. Ia berjongkok dan mengulurkan tangannya pada balita itu. Usianya baru empat tahun, ia telah menikmati taman bermainnya sekarang. "Huh— kumat lagi, dah," keluh Divya di belakang tubuh si gadis kecil itu. "Diam, mommy! Kamu membuat aku semakin sesak," sergahnya. "Hem— ada apa ini?" Kembali tangisannya memekikkan telinga. Divya mengerutkan keningnya untuk menghalau dengung di telinganya. "Daddy, you can dance with me?" "Oh— ss— sure, Baby." Ghazi membopong tubuh anaknya. Ya— anak keduanya yang kerap dipanggil baby, itu. Gadis kecil manja yang selalu berhasil merebut hati Ghazi dari keduanya kakaknya. Pria dewasa itu melangkah ke kiri dan ka
Setelah pemakaman Hendery usai, Ghazi dan Divya harus kembali ke rumah sakit. Di tengah acara pemakaman, gadis itu kembali pingsan. Beban berat yang dia tanggung mengguncang pikirannya. Hubungan Divya dengan sang ayah memanglah tidak baik di awal. Namun, ditinggal untuk selamanya tetaplah hal yang sangat menyesakkan. "Aku minta maaf, Ghaz. Aku tahu ini salahku," sesal Ivy. Dia benar-benar merasa bersalah atas segalanya. Jika tidak sibuk mengurus anaknya, Divya akan memiliki banyak waktu untuk Hendery. Bahkan di detik-detik terakhirnya, Divya bisa berada di sisi sang ayah. Akan tetapi, setelah memilih kesibukan bersama dengan kedua anak Ivy, hal itu membuatnya jauh dan mengharuskan diri menjauh dari rumah sakit. Divya tidak ingin kedua anak asuhnya terpapar penyakit dari orang-orang di sana. "Bukan salahmu. Perlu kamu tahu, selama ini ternyata Divya hamil. Sudah menginjak usia empat bulan, Iv. Bisa kamu bayangkan bagaimana lelah dan lemasnya dia?" "Apa?! Kamu serius?" Seraut wajah
Ditengah kondisi, Divya yang masih sangat rapuh, gadis itu duduk di bangku mobil dengan gusar. Tidak sabar ingin bertemu dengan sang ayah. “Lebih cepat, Big. Aku takut Papa kenapa-kenapa,” cemasnya. “Ini udah cepat, Bee.” Tangan Divya terus meremas jarinya sendiri. Pandangannya kesana kemari. Wanita itu benar-benar khawatir atas mimpi yang baru saja dia dapatkan. Ia juga lupa tentang Wynne dan juga Rayyan. Begitu tiba di rumah sakit, Divya berlarian di koridor untuk menuju ke ruangan sang ayah. Jantungnya kian berdegup dengan cepat. Bahkan ia tak acuh dengan kondisinya sendiri. Banyak yang dikorbankan oleh wanita itu, sangat banyak, secara fisik, Divya sudah sangat jauh berbeda dari dulu. Ia kehilangan kebiasaannya berdandan, kehilangan kebahagiaan yang dia upayakan setiap harinya. Waktunya terus ia habiskan dengan Wynne dan Rayyan. Dia benar-benar membunuh waktu agar melupakan kesialan nasibnya. “Pelan-pelan, Bee,” pinta Ghazi yang membuntuti langkah istrinya. Meskipun, D
Rengekan gadis kecil dalam gendongan Divya membuat kepalanya kian pening. Tubuhnya juga dipenuhi dengan keringat dingin dan juga dalam kondisi lemas, membuatnya seolah hampir tumbang. Namun, bocah kecil itu masih juga tidak mau terlelap. Biasanya, ketika berada dalam dekapan Divya, ia akan cepat tertidur. Hari ini sangat berbeda, dia rewel dan tidak mau berhenti diayun dalam gendongan Divya. Alhasil Divya harus menahan rasa meriang yang sudah menyerangnya sejak pagi tadi."Tenanglah, girl. Jangan rewel, please," lirih Divya. Berharap anak asuhnya mampu memahami kondisinya. Akan tetapi, bayi berusia satu tahun bisa apa? Dia akan terus menangis jika tidak menemukan kenyamanan yang diinginkan. Jarum sudah menunjukkan pukul tiga sore. Jam pulang Rayyan sudah tiba. Divya semakin kebingungan. Biasanya dia cekatan menjemput anak pertama Ivy itu. Kali ini, dia benar-benar butuh bantuan."Aku pu— Bee!" Belum usai Ghazi menyapa sang istri yang sudah dia nikahi selama dua belas tahun lalu itu