LOGINMatahari pagi menyelinap melalui jendela kotor gudang penyimpanan, menebar cahaya keemasan pada debu-debu yang beterbangan di udara. Valerie menghela napas panjang, jari-jarinya yang masih lelah memegang troli dorong penuh bahan kain.
"Andaikan aku tidak menamparnya..."
Pikiran itu terus mengusik. Tangannya yang kemarin menghantam pipi si pria brengsek itu terasa panas kembali. Bukan karena menyesal telah membela diri—tapi karena sekarang dia menganggur.
"Duh, kepalaku!"
Vanya, sahabatnya sejak SMA, langsung menoleh. Rambut pendeknya yang ikal berayun saat dia melompat dari tumpukan kardus.
"Masih memikirkan si brengsek malam kemarin?" Vanya menyeringai, menggigit donat di tangannya. "Kalau aku jadi kau, Vee, laki-laki brengsek itu tidak cuma aku tampar—aku tonjok, tendang, lalu gelindingkan dia keluar klub pake kakiku sendiri!"
Valerie tak bisa menahan tawa. Vanya selalu begitu—berapi-api, seperti kobaran yang tak pernah padam.
"Ah, kau ini..." Valerie menggeleng, tapi senyum kecil muncul. "Tapi setidaknya aku masih punya pekerjaan di sini."
Vanya tiba-tiba memeluknya erat dari belakang, membuat kacamata tebal Valerie melorot ke hidung.
"Semangat, Vee! Kita bisa lewatin ini!"
Valerie membetulkan kacamatanya, mencoba menyembunyikan mata berkaca-kaca. "Ayo ke gudang. Kalau terlambat, Pak Dika marah."
Vanya langsung melotot.
"Pak Dika?!" Suaranya melengking. "Sejak kapan kau memanggil pacarmu sendiri 'Pak'? Hfff! Sok profesional banget sih!"
Valerie tersipu. "Dia atasan kita di bagian produksi, Van. Harus profesional."
"Booooring!" Vanya mendorong trolinya dengan semangat berlebihan, hampir menabrak tumpukan kain. "Ayo, sebelum 'Pak Dika'-mu ngamuk karena kita molor!"
***
Valerie dan Vanya berjalan berdampingan menuju lift. Saat membelok di sudut koridor, Valerie tiba-tiba membeku. Jantungnya berhenti berdetak.
Di depan lift, berdiri sosok yang baru saja menghantui pikirannya.
Pria itu-
Pria yang semalam menatapnya dengan mata penuh amarah di klub malam, kini berdiri tegak dalam setelan jas hitam yang sempurna.
Jas Tom Ford itu membungkus tubuh atletisnya dengan sempurna, membuatnya terlihat seperti predator yang sedang beristirahat.
Rambut hitamnya tersisir rapi, tapi tatapan mata biru baja itu tetap sama menusuknya.
Dia tidak sendirian. Dua eksekutif dengan tablet di tangan berdiri di sampingnya, sementara satu lagi—bodyguard setianya—berdiri sigap di belakang.
Valerie buru-buru menunduk, bersembunyi di balik kacamata besarnya yang tebal. Tolong jangan kenali aku, doanya dalam hati.
Penampilannya sekarang sangat berbeda dari kemarin malam. Tak ada pakaian seksi pelayan klub. Tak ada rambut yang dikepang dua. Hanya ada seragam kerja sederhana, rambut yang diurai biasa, dan kacamata tebal yang sengaja dipakainya untuk menyembunyikan wajah.
"Ya Tuhan, apapun alasan dia datang ke sini, tolong jangan sampai dia mengenaliku!"
Dengan kepala masih tertunduk, Valerie berusaha masuk ke lift sambil mendorong trolinya. Tapi karena terlalu fokus menghindari tatapan Zane, trolinya nyaris menabrak Zane.
Anton dengan sigap menahan troli itu sebelum mengenai Zane.
Zane mengangkat alis, melirik sekilas ke arah Valerie. Selama tiga detik yang terasa seperti tiga abad, mata birunya menyapu tubuh Valerie dari atas ke bawah.
Lalu, dengan sikap acuh tak acuh, dia kembali fokus pada iPad di tangannya.
"Vee, kau gila?" bisik Vanya panik, menarik lengan Valerie. "Kau hampir menabrak Pak Presdir! Kau mau dipecat?"
Deg!
Pak Presdir?!
Valerie diam-diam mengangkat pandangannya sedikit. Ya Tuhan! Pria yang semalam dia tampar ternyata adalah Presiden Direktur perusahaan tempatnya bekerja?
"Ini mimpi buruk. Pasti. Aku pasti masih tertidur."
"Vee?" Vanya memanggil lagi, tapi Valerie terlalu sibuk berusaha tidak pingsan.
"VEEE!"
Valerie tersentak. "Ya?!"
"Ayo keluar! Kita sudah sampai!" Vanya menunjuk pintu lift yang terbuka lebar.
Valerie baru menyadari dia berdiri tepat di depan pintu lift, menghalangi jalan orang-orang di belakangnya. Dengan perasaan segan, dia segera mendorong trolinya keluar—terlalu cepat—hampir membuatnya tersandung.
"Hei! Tunggu!" teriak Vanya dari belakang, terpaksa ikut berlari mengejar Valerie.
Nafas Valerie turun naik sebab ia berjalan sangat cepat menyusuri koridor, jantungnya berdegup kencang.
"Dia tidak mengenaliku. Pasti tidak."
Di dalam lift yang pintunya mulai menutup, Zane mengangkat sudut bibirnya dalam senyum tipis.
"Tolong siapkan data semua karyawan bagian produksi," bisiknya pada asistennya tanpa mengalihkan pandangan dari sosok yang sedang berjalan tergesa-gesa itu. "Terutama... yang berkacamata tebal."
"Kau benar-benar tidak ada rasa kasihan, Zane!" seru Belvan dengan wajahnya yang biasanya anteng, namun kali ini terlihat sedikit terganggu. Mereka berdua berjalan menyusuri koridor bawah tanah yang sepi."Kemarin Dimitri kau potong kelingking kirinya karena menyerang Tama," lanjut Belvan, mengingatkan Zane akan tindakannya yang tanpa ampun. "Sekarang kau memotong kedua kelingking Johan." Belvan melirik ke arah Zane, menunggu penjelasan dari sahabatnya itu.Zane tidak langsung menjawab. Dia berhenti sejenak, menatap Belvan dengan serius. "Dimitri menyakiti adikku, jadi pantas dia kehilangan satu kelingkingnya," ujarnya dengan suara tenang namun penuh keyakinan. "Sedangkan Johan... dia hampir saja membahayakan nyawa istri dan anakku. Hanya memotong dua kelingkingnya itu sudah merupakan hukuman teringan yang kuberikan padanya, mengingat jasanya pada perusahaan kita."Matanya berbinar dengan kilatan protektif. "Tapi kau harus ingat, Belvan, tidak ada yang boleh bermain-main dengan nyawa
"Heem.. sudah ku duga," ujar Zane dengan suara yang dalam dan penuh nuansa mengancam, membuat setiap bulu roma berdiri. Suasana di ruang basement yang pengap itu semakin mencekam, dipenuhi oleh aroma ketakutan dan keputusasaan.Johan menelan ludahnya dengan susah payah, tenggorokannya terasa kering bagai pasir."Kalau begitu Johan, sebutkan pada ku, dari jari-jari ini, mana jari yang paling kau butuhkan untuk mendesain?" ujar Zane lagi, sambil dengan gerakan perlahan menyentuh setiap permukaan jari Johan menggunakan ujung pisau lipat Max. Sentuhan logam dingin itu membuat Johan menggigil tak terkendali."Semua, Tuan!! Semua! Aku membutuhkan semuanya!" jawab Johan yang sangat takut Zane akan memotong salah satu jarinya jika dia salah menjawab. Kepanikannya membuatnya menjawab dengan tergesa-gesa."Hahaha.. lihatlah sifat rakus mu itu, Johan," sarkas Zane, senyum tipis yang tidak menyentuh matanya terpancar di wajahnya. "Kau tetap saja menginginkan semuanya. Padahal dalam hidup ini, ter
"Apa kau tahu, bagian tubuh apa dari seorang desainer yang paling berharga?" tanya Zane pada Johan dengan suara rendah dan mendalam, sambil dengan gerakan perlahan merentangkan jari-jari tangan kiri Johan yang sudah terkunci erat. Mata pisau lipat yang dipegangnya berkilat sinar redup lampu basement, menari-nari di antara jemari Johan yang gemetar."Tuaan Zane.... ak-ak-aku mohon maaafkan aku," ucap Johan terbata-bata, air mata mengalir deras tanpa bisa dibendungnya lagi. Rasa takut yang begitu mendalam membuat seluruh tubuhnya menggigil tak terkendali."Ssssstts.... Diam lah dan jangan menangis!!" hardik Zane, masih dalam mode yang membuat siapa pun yang melihatnya bergidik ngeri. Sorot matanya tajam bagai elang yang sedang mengincar mangsanya, penuh dengan intensitas yang mencekam.Belvan, yang berdiri agak jauh, tahu betul ini bukan waktunya untuk ikut campur. Jiwa gelap Zane yang selama ini berhasil dikendalikannya kini sedang keluar dengan bebas. Jai dan Max hanya bisa saling ber
Zane mencium kening Valerie dan mengelus lembut rambut sang istri dengan penuh kasih sayang. "Kau istirahat saja di sini dulu ya, Sayang. Aku masih ada urusan di bawah," ujarnya dengan suara lembut namun tegas.Valerie membuka matanya yang setengah terpejam. "Kau akan kembali ke ballroom?" tanyanya, mengingat bahwa acara di ballroom pasti masih berlangsung dan hanya Belvan yang menanganinya sendirian.Zane hanya tersenyum tipis, sebuah ekspresi yang sudah cukup membuat Valerie memahami bahwa urusannya lebih dari sekadar acara di ballroom. "Obat dari dokter Rini sudah aku siapkan di meja. Tapi kau harus habiskan dulu makanan itu," perintahnya sambil menunjuk ke arah nampan berisi hidangan hangat yang ditempatkan bersamaan dengan obat yang sudah dia pisahkan khusus untuk Valerie."Sampaikan maafku pada Belvan. Karena diriku, dia harus menangani acara sendirian," kata Valerie dengan wajah bersalah."Belvan tidak akan marah, apalagi kalau dia tahu kau sedang mengandung saat ini, Sayang,"
Tama mempercepat langkahnya, berusaha mengejar Anne yang sudah lebih dulu berjalan menuju lift. Dia melihat pintu lift hampir tertutup."Hei... tunggu!" serunya, tangannya melesat maju untuk mencegah pintu itu menutup sempurna.Anne mengerlingkan matanya, sedikit kesal tapi akhirnya membiarkan Tama masuk. Buat apa melarangnya? pikirnya dalam hati dengan sedikit jengkel. Lagipula, ini hotel milik orang tuanya. Dia bisa pergi ke mana saja dia mau."Kau mau ke mana? Apa kau akan kembali ke ballroom?" tanya Tama, mencoba memulai percakapan.Anne sama sekali tidak menjawab. Dia membiarkan pertanyaan itu menggantung di udara, dianggapnya tidak penting untuk ditanggapi.Tama yang awalnya berniat mengantar Anne ke kamarnya, kini merasa sedikit kecewa. Karena Anne mengabaikannya, dia memutuskan untuk kembali ke kamarnya sendiri. Saat tangannya akan menekan tombol lantai kamarnya, Anne sudah lebih dulu menekan sebuah nomor. Mata Tama membelalak sedikit ketika melihat angka yang ditekan Anne ada
"Zaneeeeeee!!!" jerit Valerie yang membuat Zane langsung ngacir keluar kamar mandi dengan cepat, seperti anak kecil yang ketahuan berbuat nakal.Zane keluar dari kamar mandi sambil masih terkekeh-kekeh, wajahnya bersinar dengan keceriaan. Namun, tawa itu segera terhenti ketika dia menyadari bahwa tiga pasang mata—Tama, Anne, dan dokter Rini—sedang menatapnya dengan ekspresi campuran antara heran dan geli. Suasana kamar yang tadinya tegang mendadak berubah menjadi sedikit canggung."Heem..." Zane pura-pura berdehem, mencoba menyembunyikan rasa malunya sambil mengusap belakang lehernya. Merasa tidak perlu memberikan penjelasan apa pun kepada ketiga orang itu, dia memilih untuk berjalan dengan santai ke arah sofa di ruang tamu suite dan duduk dengan elegan, meski jantungnya masih berdebar-debar karena kejadian tadi.Lima menit kemudian, bunyi "Cekleeek..." terdengar dari arah kamar mandi. Pintunya terbuka, dan Valerie muncul dengan wajah yang sulit dibaca. Di tangannya, tergenggam sebuah







