(21+) Zane melangkah pelan ke arah ranjang. Matanya tajam. “Bukankah aku sudah memperingati mu tadi agar kau melayaniku baik-baik? Tapi apa? Kau terlalu angkuh. Angkuh karena sudah tidur dengan Belvan. Apa kau pikir aku tidak sekuat Belvan di ranjang?" Ia berhenti satu meter dari Valerie. “Menolak aku dua kali, tapi begitu mudah tidur dengan Belvan?” “Tidur dengan tuan Belvan? Saya tidak pernah melakukan itu.”Valerie sampai melengos mendengar perkataan Zane. Bagaimana bisa Zane punya pikiran sepicik itu tentang dirinya. “Bohong,” sahut Zane dingin. “Kau hanya perlu melayaniku malam ini. Ambil uang yang ku beri, dan pergi jauh sebelum Belvan kembali dari Kanada. Valerie menegakkan dagunya."Tuan Zane... dengar kan aku baik-baik. Aku tidak menjual tubuhku. Tidak padamu! Tidak pada tuan Belvan! Dan tidak pada siapapun! Jadi koreksi semua isi kepala mu tentang aku! " Pekik Valerie, muak Zane semakin menghinamu. "Sungguh kau ingin memainkan permainan ini, Valerie? Haruskah aku mengecek sendiri dengan keperkasaan ku kau itu perawan atau tidak? ” Nada suaranya seperti silet. Dengan gerakan kasar, Zane membalikkan tubuhnya. Tangan besarnya menekan punggung Valerie, sementara yang lain meraba tali pengikat. "Kita akan buktikan." Bibirnya menyentuh telinga Valerie, setiap kata dihantarkan dengan getaran yang mengalir langsung ke pangkal pahanya. "Kau itu benar-benar suci atau cuma pura-pura." Kulit Valerie merinding. Bukan hanya dari ketakutan—tapi dari aliran listrik yang menyebar setiap kali nafas Zane menyentuh lehernya. Schlik! Blus belakangnya robek, kulit putihnya tersingkap perlahan seperti hadiah yang dibuka dengan penuh nafsu. "Ternyata..." Jari Zane menelusuri tulang punggungnya, mengikuti lekukannya seperti membaca peta dosa. "...kau menyimpan ini semua di balik kemeja ketatmu."
View MoreKilau lampu kristal menyilaukan mata, memantulkan bayangan tubuh-tubuh bergoyang liar di lantai dansa yang lengket oleh tumpahan alkohol dan keringat. Musik elektronik mengguncang tulang belakang, bass-nya berdenyut seperti detak jantung sekarat. Asap rokok Cuban dan aroma parfum mahal bercampur menjadi racun memabukkan yang memenuhi setiap sudut ruangan VIP.
Valerie menyesuaikan nampan perak di tangannya yang mulai lembab.
“Fokus. Jangan sampai ada yang jatuh lagi.”
Ingatannya masih segar akan gajinya bulan lalu yang menguap begitu saja karena satu botol Dom Pérignon pecah.
Di salah satu sudut ruangan VIP, Zane Hardata bersandar di sofa kulit ular hitam impor dari Italia, lengannya yang berotasi terbentang di sandaran sofa. Kaus putih Tom Ford-nya yang harganya setara setahun gaji pelayan di sana-terbuka sedikit, memperlihatkan Dada bidangnya yang menggoda.
Matanya - biru pucat seperti es di kutub utara - menyapu ruangan dengan pandangan bosan seorang dewa yang lelah dengan persembahan manusia.
"Bos, perlu aku panggilkan perempuan?" Anton, pengawal setianya selama sepuluh tahun, membungkuk rendah.
Zane memutar cincin platinum di jari kelingkingnya. "Mereka semua sama, Anton. Murahan dan tidak tahu diri. Selalu merengek minta lebih saat kutinggalkan." Ucapnya dengan nada bosan.
Ia kemudian menenggak segelas whiskey, rasa pedasnya membakar tenggorokan, tapi tidak cukup untuk memuaskan dahaganya malam ini.
Lalu, dia melihat dia.
Seorang wanita dengan rambut hitam sebahu yang dikepang rapi, tubuh ramping dibalut seragam hitam ketat—seorang pelayan club.
Langkahnya gesit di antara kerumunan, nampan berisi minuman berkilauan di tangannya. Rambut cokelatnya yang dikepang longgar berayun di bahu, dan seragam hitam ketatnya menekuk lekuk tubuhnya yang ramping. Terlalu menggoda di mata Zane.
Bibirnya melengkung dalam senyum sinis.
Boleh juga.
Dari jauh, Zane terus memandanginya. Hingga wanita muda itu akhirnya mendekati mejanya.
“Dom Pérignon 2008, pesanan dari Tuan Jack untuk Tuan,” suaranya jernih, semakin menggugah sisi liar kelaki-lakian Zane.
Tanpa memberi peringatan, tangan besar Zane menyergap pergelangan Valerie, menariknya dengan paksa hingga tubuhnya terjatuh ke pangkuannya. Nampan dan gelas-gelas berjatuhan, pecah berantakan di lantai.
"Tuan—!" Valerie terkesiap, matanya membelalak.
Zane tertawa rendah, nafasnya menghangatkan kulit Valerie. "Duduk di sini. Aku butuh teman minum."
Valerie segera berusaha melepaskan diri, tangannya menekan dada Zane untuk menjauh. "Maaf, Tuan. Saya hanya mengantar minuman. Saya bukan—"
"Bukan apa?" Zane memotong, suaranya tiba-tiba dingin. "Kau pikir aku tidak tahu bahwa setiap barang di tempat ini ada harganya?"
Valerie menahan napas. Dia tidak boleh salah dalam bersikap. Dilihat dari ruangan tempat pria ini berada, sudah jelas dia adalah tamu VVIP di club ini—satu kesalahan, dan gajinya bisa lenyap lagi atau bahkan mungkin pekerjaannya yang akan lenyap.
" "Tuan, sepertinya Anda salah paham. Saya tidak—"
"Tidak? Tidak apa?" Zane menyeringai, jarinya mengaitkan rambut Valerie, menarik kepala itu mendekat. "Semua wanita di sini sama. Aku tahu ini hanya soal angka."
Rasanya lelah sekali Valerie mencoba menjelaskan bahwa dia bukanlah salah satu dari wanita yang ada di club ini- yang menawarkan tubuh mereka sebagai pelayanan extra. Dia pure hanya bekerja untuk mengantarkan minuman ke meja-meja saja. Hanya itu! Tidak lebih dan tidak kurang! Tapi si tuan kaya raya ini sangat bebal otaknya! Tidak mau menerima penjelasan apapun darinya!
"Ayo lah! Aku tahu semua wanita di sini sama. Ini hanya soal angka. Kau tinggal sebutkan saja berapa angka yang kau minta." Bisiknya membuat bulu kuduk Valerie merinding. Alarm bahayanya pun mulai menyala.
“Tuan, jika anda butuh wanita untuk menemani anda- saya akan panggilkan salah satu dari mereka. Anda duduk saja di sini.” Masih dengan sikap profesional, Valerie sebisanya menjelaskan pada Zane kalau dia bukanlah bagian dari mereka.
Zane mendesis, dia kesal. Tidak pernah ada yang berani menolaknya! Apalagi seorang pelayan klub malam.
Akhirnya Zane kehabisan kesabarannya untuk bermain-main dengan Valerie yang dikiranya sedang jual mahal kepadanya.
Dengan gerakan kasar, dia merogoh dompetnya dan melemparkan segepok uang ke arah wajah Valerie. Kertas-kertas itu menabrak wajah Valerie kasar lalu beterbangan, dan jatuh seperti hujan ke lantai.
"Apa itu cukup untuk membayar mu tidur bersamaku?" Lontarnya sombong.
Valeri sampai tersentak kaget saat lembaran uang dolar itu menghantam wajahnya.
Tentu saja dia merasa terhina! Malah sangat terhina!
Tapi lagi-lagi demi pekerjaannya di tempat ini, Valerie menekan dalam-dalam amarahnya.” Come on, Valerie! Dia bukan satu-satunya orang gila di tempat ini!” tukasnya dalam hati.
Valerie melepaskan pelan pegangan Zane, dan mulai memungut uang itu satu per satu.
Zane meringis miris melihatnya. Dalam pikirannya, dia tahu bahwa tidak ada wanita yang tahan bila melihat uang sebanyak itu. Termasuk wanita yang baru saja jual mahal padanya.
Tapi sayangnya perkiraan Zane keliru. Karena apa? Karena usai Valerie memungut uang yang berjatuhan ke lantai, dia malah mengembalikan semua uang itu pada Zane.
"Ini uang anda, tuan. Maaf, saya tidak menjual diri di sini." Ucapnya singkat, padat dan semakin membakar harga diri Zane.
“Berani sekali dia!!” Desis Zane terbakar amarah. Tidak pernah ada dalam sejarah hidup Seorang Zane Hardata, dia diperlakukan seperti ini. Dan Valerielah adalah satu-satunya wanita yang melakukan itu.
“Kau cukup mahal untuk sebuah barang murahan!!” Zane berdiri dengan gerakan mengancam, wajahnya gelap. Dia tidak terbiasa ditolak.
“Tapi tidak apa-apa! Aku suka yang menantang sepertimu! Membuatku semakin bergairah.” suaranya mendesis, langkahnya mendekat seperti harimau yang mengincar mangsa.
Dengan gerakan cepat, dia mengeluarkan black card dari dompetnya—kartu hitam legendaris yang hanya dimiliki segelintir orang di dunia.
"Kalau uang cash tidak cukup, bagaimana dengan ini?"
Sebelum Valerie bereaksi, Zane menyelipkan kartu itu ke celah dadanya, tepat di balik seragam ketatnya. Sentuhannya sengaja kasar, merendahkan.
"Cukup untuk membelimu dan seluruh klub ini. Sekarang buka pakaianmu." bisiknya, mata birunya penuh penghinaan.
Valerie membeku. Darahnya mendidih. Tanpa pikir panjang, tangannya melayang—
Plak!
Tamparannya menggema di seluruh ruangan VIP.
Para bodyguard Zane langsung bergerak, tapi dia mengangkat tangan—isyarat untuk berhenti.
Wajah Zane sedikit miring akibat pukulan itu, tapi dia malah tersenyum.
"Berani sekali kau," bisiknya, jarinya mengusap bibir yang mulai memerah.
Tapi sebelum Valerie bisa berkata apa-apa, manajer klub sudah bergegas menghampiri.
"VALERIE! APA YANG KAU LAKUKAN?!" teriaknya, wajahnya pucat.
"Dia yang memulai—"
"Diam!" Manajer memotong, lalu membungkuk rendah ke arah Zane. "Maafkan kami, Tuan Hardata. Pelayan ini baru, dia tidak tahu aturan."
Zane tidak menjawab. Dia hanya menatap Valerie dengan pandangan dingin yang lebih menyakitkan daripada marah.
"Pecat dia," ucapnya singkat, lalu berbalik pergi.
Tidak ada ampun.
Manajer langsung menarik lengan Valerie. "Kau berakhir malam ini. Keluar!"
Valerie menggigit bibir, rasa malu dan kemarahan membara di dadanya.
Tapi sebelum dia pergi, Zane berhenti di pintu, tanpa menoleh.
"Kalau kau butuh pekerjaan... kartuku masih ada di bajumu."
“Aku tidak butuh kartu mu bahkan dirimu!” Valerie merobek kartu nama Zane dan melemparnya ke wajah Zane persis seperti Zane melemparkan uang ke wajah Valerie.
Kini Zane sudah tepat di depan kamar villa nomor 20. Zane menyeringai membayangkan hukuman yang telah dia rencanakan untuk diberikan pada Valerie.“Kau akan sangat menyesali perbuatanmu tadi, Valerie!” Cicit Zane dalam hati, lalu mengetuk pintu kamar villa nomor 20.“Tookk...”“Tookkk...”Suara ketukan Zane dari luar pintu kamar villa nomor 20. Sedang di dalam kamar nomor 20...“Tama... sepertinya ada yang mengetuk pintu kamar kita. Coba kau periksa!” perintah Belvan pada Tama.“Huftt! Siapa sih! Malam-malam gini ketukin pintu kamar orang!!” gerutu Tama yang memang sudah sangat malas untuk berdiri. Posisinya saat ini sudah posisi yang paling enak, yakni sambil tiarap dengan wajah yang tepat berada di dinding yang telah dia lobangi tadi.“Cepetan! Jangan banyak protes!!” Gerutu Belvan yang juga dalam posisi yang sama dengan Tama.“Issh!” sungut bocah itu kesal tapi tetap terpaksa berdiri.Tama bangkit dan berjalan tidak bersemangat ke arah pintu. Tak lupa mulutnya terus saja mengomel.
Zane yang cukup babak belur setelah berkelahi dengan Elka tadi pun merogoh saku nya untuk mengambil ponselnya.Zane berhenti di salah satu tiang lampu di atas jalan kayu di atas laut itu.Dibukanya satu persatu pesan yang dikirimkan oleh Jai dan Max tadi.Diperhatikannya setiap foto Valerie yang ada di pesan masuk.“Lihat lah.. dia bisa tersenyum semanis itu pada Frendi! Padahal dia tidak tahu seperti apa pria bernama Frendi Deduso itu sebenarnya.” Gerutu Zane yang entah mengapa sangat kesal melihat Valerie tersenyum untuk pria lain.Lalu Zane melihat lagi foto Valerie yang lain, yang sedang tertawa bersama Tama. Mereka terlihat sangat senang berada di pesta ini dan sangat menikmati pesta ini.“Cih!! Bahkan dengan Tama pun dia bisa tertawa lepas seperti ini!” Hati Zane semakin terasa panas.Padahal, pada saat yang bersamaan, waktu itu Zane bahkan hampir ciuman dengan Natasya. Tapi aneh bin ajaibnya Zane men-skip ingatan itu dan hanya memandang Valerie lah yang telah mencuranginya. Sun
"BraaakK...!!!" Natasya menghempaskan kuat pintu kamar vila, membuat Sonya yang ada di dalam kamar itu terkejut."Astaga! Apa itu!!" seru Sonya, bangkit dan bergegas ke pintu."Natasya?! Kau kenapa???!" tanya Sonya panik melihat wajah Natasya yang sudah petak."Damn!! Damn!!!!" maki Natasya sambil melempar tasnya sembarangan.Sonya mendekati sahabatnya itu lalu memegang kedua pundak Natasya. "Natasya! Apa yang terjadi! Mengapa kau pulang dan marah-marah begini!!!" sebut Sonya."Aku sangat kesal, Sonya! Rencanaku gagal karena kemunculan wanita itu!" teriak Natasya bagaikan orang gila."Kau tenang dulu, Natasya! Kalau kau teriak-teriak seperti ini maka aku tidak akan paham dengan apa yang kau ucapkan!!"Sonya pun mengambilkan segelas air untuk sahabatnya. "Minumlah dulu!!" ujar Sonya sambil menyodorkan segelas air.Natasya menepis gelas tersebut hingga gelas itu pecah di atas lantai."PraaaakK....""Kau ini kenapa, Natasya! Kau sudah gila!!" bentak Sonya tanpa sengaja.Sonya mengurut-ur
Satu jam sebelumnya..."Apa kau sedang menungguku, Zane?" ujar Elka dengan santainya saat dia melihat Zane ada di depan kamarnya."Menjauhlah dari Valerie," seru Zane tanpa basa-basi sembari berjalan mendekat ke arah Elka yang baru saja tiba."Atas dasar apa kau memintaku untuk menjauh dari Valerie? Apa karena dia berstatus istrimu?" ujar Elka dengan wajah sengaknya, yang saat ini berdiri tepat di depan Zane."Bugh!!!" Sebuah tinju mendarat di wajah Elka, membuat Elka terpental ke belakang."Kalau kau sudah tahu Valerie adalah istriku, kenapa kau masih berani menyentuh tangannya, bajingan!!" teriak Zane sambil melayangkan satu tinju lagi ke wajah Elka."Bugh!!"Elka kembali terpental usai terkena tinju Zane."Kau bahkan berani memegang pipinya!!!""Bugh!!!" Zane melayangkan satu kali tinjunya lagi ke wajah Elka."Cukup sekali kau merebut wanitaku, Elka!! Aku tidak akan membiarkanmu merebut wanitaku sekali lagi!!" aum Zane sambil memegangi kerah baju Elka.Elka menyeringai setelah mend
Zane terus menendang pasir-pasir yang ada di hadapannya, seakan-akan amarahnya bisa hilang kalau dia melakukan hal itu.“Bodoh!! Bodoh!!!!” umpatnya sejurus kemudian sambil terus berjalan menyisir tepian pantai.“Kenapa tidak langsung kau tarik saja Valerie tadi, Zane!!!!!” rutuk Zane pada dirinya sendiri.“Mengapa kau malah diam!!!! Dan tidak melakukan apa pun tadi! Bodoh!!! Kau bodoh, Zane Hardata!!!” Zane terus memaki kebodohan dirinya.“Arrrgghhh!!!!!!!!” teriak Zane sekuat-kuatnya.Di saat emosi Zane sedang puncak-puncaknya, sebuah pesan kembali masuk ke ponselnya.Pesan dari siapa lagi kalau bukan dari Jai dan Max yang masih setia bertugas sebagai paparazi di tengah lautan.Zane menarik napas dalam-dalam sebelum membuka pesan gambar yang dikirimkan oleh kedua bodyguard-nya itu. Zane yakin ini pastilah foto Valerie dan si Elka itu yang dikirim oleh Jai dan Max.“Braak...” Ponsel itu dibanting Zane ke atas pasir yang ada di depannya.“Beraninya dia memegang tangan Valerie! Lalu dia
Setelah berjalan agak jauh dari Zane, Valerie melepaskan pegangan tangan Elka.“Hmm... terima kasih. Aku bahkan belum sempat mengucapkannya dengan baik tadi padamu, Elka,” ujar Valerie pelan sambil merapatkan bagian depan jas Tama yang dipakainya.“Kalau begitu, kau juga harus mengucapkan terima kasih kepada bosmu, Zane. Sebab tadi dia juga ikut menghajar Frendi,” Elka melihat ke arah Valerie yang sedang berjalan di sampingnya. “Zane sungguh bos yang perhatian, ya?” pancing Elka.Sebenarnya Elka tidak percaya begitu saja dengan kata-kata Valerie tadi. Sebagai rival Zane, Elka sangat mengenali karakter seorang Zane Hardata. Laki-laki yang dikenal lugas dan tegas dalam bertindak itu sangat kecil kemungkinannya akan bertindak konyol dengan membuat sebuah lelucon seperti tadi.Elka merasa ada yang Valerie sembunyikan darinya.“Perhatian?” Ingin rasanya Valerie tertawa terbahak-bahak mendengar kata ‘perhatian’ yang meluncur dari mulut Elka. “Apakah setiap kata makian yang keluar dari mulu
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments