Lunna Arberto adalah putri dari seorang miliarder di Italia, dengan kehidupan yang di permukaan tampak sempurna. Namun, di balik pesonanya, Lunna menyimpan rahasia besar: ia memiliki empat kepribadian yang saling bertolak belakang. Keberadaan Luna, Lucky, dan Lucy di dalam satu tubuh sering kali menimbulkan kekacauan dalam hidupnya. Masalah terbesar muncul ketika salah satu kepribadiannya, Luna, menyeret Lunna ke dalam sebuah misi berbahaya yang pada akhirnya membuat dirinya terlibat dengan Darren Smith, seorang CEO tampan dan dingin yang dulunya dikenal sebagai casanova. Dalam misi ini, Lunna tidak hanya harus menghadapi target yang sulit ditaklukkan, tetapi juga harus bersaing dengan kepribadiannya sendiri yang malah membuatkany terjebak dengan targetnya sendiri. Akankah Lunna akan berhasil menjalankan misinya? Temukan jawabannya dalam novel karya Kak Upe yang berjudul My Luna
Lihat lebih banyakRose menatap Luna dengan tatapan tajam, penuh dengan keraguan yang tersirat di matanya. Dia menghela napas sejenak sebelum melontarkan pertanyaan yang sudah lama mengganjal di pikirannya.
“Are you sure? Ini bukan misi sembarangan, Lun.” Peringatnya dengan nada serius.
Namun, Luna, seperti biasa, menjawab dengan sikap santainya. Ia menyilangkan kakinya di ujung sofa, seolah percakapan ini bukan hal besar baginya. “Kalau aku jawab tidak yakin, apa kau sendiri yang akan menjalankan misi ini, Rose?” balasnya sambil menyunggingkan senyuman sinis.
Rose hanya mengerlingkan matanya, sedikit kesal tetapi tak terlalu terkejut. Luna memang seringkali berbicara seenak jidatnya, belagu, dan itu! Terdengar seolah selalu meremehkan segalanya. Tapi Rose, sebagai teman baik sekaligus bos dalam bisnis rahasia ini, sudah terbiasa menghadapi karakter Luna yang lebih sering menyebalkan dari pada normalnya.
“Ck… kau ini sedang meragukan kemampuanku?” tukas Rose, menatap Luna dengan ujung matanya.
“Tidak! Aku tidak sedang meragukan kemampuanmu. Aku hanya bertanya saja. Secara kau sudah lama tidak turun misikan, Rose?” jawab Luna sambil berguling santai di sofa besar yang ada di markas mereka.
Rose mendesah. “Lun, aku tahu saat ini hanya kau satus-satunya orang yang paling tepat untuk menjalankan misi ini. Tapi permasalahannya entah mengapa feeling ku not good for this! Ini misi yang memakan waktu cukup lama, Lun! Aku merasa was-was! Aku khawatir dirimu yang lain bisa muncul kapan saja. Sampai saat ini kita masih belum tahu apa yang memicu kepribadian mu yang lain muncul? Kau paham maksudku kan, Lun? Siapa yang tahu kapan kau akan menjadi Lunna, Lucky, atau Lucy?” cecar Rose sambil melirik Luna dengan pandangan penuh arti.
Luna hanya tertawa kecil mendengar itu. Ia tahu, Rose tak sepenuhnya salah. Luna Arberto memang memiliki sesuatu yang tak biasa dalam dirinya—empat kepribadian berbeda yang hidup di tubuh yang sama.
Kepribadian pertama adalah Lunna Arberto, yang sering memegang kendali. Lunna adalah sosok yang dingin, pintar, dan percaya diri—perwujudan sempurna seorang nona muda dari keluarga kaya raya.
Lalu ada Luna, yang saat ini sedang berbicara dengan Rose. Berbeda dari Lunna, Luna cenderung ceroboh, sedikit bodoh, suka berbicara sembarangan, dan kadang terkesan belagu. Namun, di balik semua itu, Luna adalah sosok yang ramah jika seseorang sudah cukup mengenalnya. Yang lucu, meskipun dirinya adalah putri dari seorang miliarder, ia selalu merasa miskin.
Kemudian ada Lucky, seorang bocah lima tahun yang manja dan sering menyusahkan, meski terkadang menampilkan sisi polos yang menyenangkan. Dan yang terakhir adalah Lucy, seorang gadis berusia delapan belas tahun dengan jiwa bebas. Lucy suka berpakaian seksi dan memiliki pikiran yang liar, seringkali membuat yang lain kewalahan.
Rose menyerahkan sebuah amplop besar berisi data target mereka kali ini. Ia mengulurkan tangan, tapi tetap menahan amplop itu sebelum Luna berhasil meraihnya.
“Kau harus menjatuhkannya dengan cara apapun, Luna,” ujar Rose, serius. “Ingat! Kau tidak boleh sampai salah langkah. Karena kalau kau sampai salah langkah maka…”
“Ah, issht! Kau ini sebenarnya ingin aku menjalankan misi ini atau tidak sih?!” potong Luna dengan nada kesal. Ia langsung merebut amplop itu dengan gerakan kasar. “Lepasin, Rose!”
Tapi Rose masih belum mau melepaskan amplop itu. “Tapi, Lun…”
“Lepasin cepat! Misi ini memang dari awal untukku, kan? Kalau begitu, biar aku yang menyelesaikannya!” Luna mencicit dengan nada memaksa.
Akhirnya, dengan berat hati, Rose melepaskan amplop tersebut. Luna segera membukanya dengan penuh antusias.
“Nah, gitu dong!” serunya penuh semangat. Tapi sebelum membaca isinya, Luna teringat sesuatu. Matanya menyipit penuh selidik, lalu ia melontarkan pertanyaan yang to the point pada Rose.
“Wait! Kalau misi ini sangat penting, bayarannya pasti tinggi, kan?” tanyanya dengan mata yang berkilat penuh harapan. Sifat matre yang sudah melekat dalam dirinya tiba-tiba muncul, membuat Rose tak bisa menahan tawa kecil sambil menggelengkan kepala.
“Kau itu sudah kaya raya Luna?!! Kenapa uang tetap saja menjadi prioritas mu!” celetuk Rose sambil memijat pelan pelipisnya.
“Tell me.” Ujar Luna tidak sabaran.
Rose, partner sekaligus temannya yang sudah hafal luar dalam kepribadian Luna, hanya menghela napas panjang. "Heeemmm... tiga puluh kali lipat dari pembayaran yang biasa kita terima," jawabnya sambil mengusap tengkuk, berusaha tetap sabar menghadapi temannya yang selalu mencari untung dalam setiap misi yang dikerjakan.
Luna terkekeh puas. "Wow!!! Itu baru namanya misi," cicitnya. Lalu dengan semangat ia membuka amplop tersebut dan mengeluarkan beberapa foto. "Apa dia target kita?" tanyanya, menatap wajah seorang pria tampan di foto itu dengan satu alis terangkat.
"Yups! Namanya Darren Smith," jawab Rose, yang akhirnya menyerah duduk di sofa di depan Luna, mencoba mempersiapkan diri untuk serangkaian pertanyaan yang pasti akan menyusul dari miss banyak tanya di depannya.
Luna menunjuk foto lain. "and this woman? Pacarnya? Atau jangan-jangan Istrinya?" tanya Luna sejurus kemudian.
"Bukan! Itu tunangannya. Namanya Mona," Rose menjelaskan sambil berusaha tetap tenang.
"So, misi yang harus aku kerjakan... ?" Lunna langsung to the point, sambil terus memandangi foto Darren dengan seksama, seperti berusaha memahami apa yang membuat pria ini jadi target.
"Misi kita adalah membuat pria bernama Darren Smith ini hancur sehingga dia tidak bisa terpilih sebagai direktur berikutnya," terang Rose sambil melipat tangan di dada, menatap Lunna dengan sorot serius.
Mata Luna menyipit penuh rasa penasaran. "Calon direktur? Menarik. Jadi siapa yang membayar kita kali ini?" tanyanya lagi, tingkat keponya mulai naik.
Rose hanya mendengus. "Maaf, Luna. Aku tidak dapat memberitahu soal itu. Identitas orang yang menyewa jasa kita tidak bisa aku katakan padamu. Itu sudah peraturan. Aku rasa kau pasti tidak lupa, kan?" Nada tegas Rose jelas menyampaikan bahwa topik ini tidak untuk dinegosiasi.
Luna memanyunkan bibir, ekspresi kekanakannya keluar. "Perasaan waktu misi terakhir, kau membocorkan informasi siapa yang membayar kita. Kenapa kali ini tidak? Kau ini sungguh tidak percaya pada temanmu sendiri."
Rose memutar bola matanya. "Aku percaya padamu, Luna. Tapi tidak pada watak GILA di dalam tubuhmu! Bisa saja Lucky atau Lucy yang membocorkannya." Celetuk Rose.
"Isssh! Dasar pelit!" seru Luna, tak puas dengan jawaban itu. Tapi ekspresinya segera berubah saat pandangannya kembali ke foto Darren. "Padahal kalau dilihat-lihat, pria ini punya mata hazel yang indah. Tapi wanita ini?" Ia menunjuk Mona di foto lain. "Dari matanya terlihat seperti wanita culas."
Rose hanya menghela napas panjang. "Pintar sekali kau menilai orang, Luna Arberto! Lalu apa penilaianmu tentang matamu sendiri? Apakah mata itu indah atau apa?" tanyanya, separuh kesal, separuh mengolok.
Luna terkikik, menjawab dengan santai, "Kalau mataku? Sudah pasti masuk kategori mata duitan. Mata yang selalu berubah hijau saat angka di rekeningku bertambah."
Rose hanya bisa menggeleng. Bicara dengan Luna memang menguji kesabaran, tapi masih jauh lebih baik dibandingkan harus berurusan dengan tiga kepribadian lainnya yang lebih rumit dan jauh lebih sulit dihadapi.
"Baiklah," kata Luna akhirnya. "Misi ini aku terima. Dan kau tenang saja. Akan aku pastikan Darren Smith gagal jadi direktur, dan juga rusak hubungan Darren dan Mona." Ia berdiri, dengan angkuh berjalan ke arah pintu.
"Jangan lupa, seperti biasa, kirimkan 50% pembayaran di awal paling lambat dua jam dari sekarang," tambah Luna sebelum membuka pintu. "Anggap saja misi ini sudah selesai." Dengan gaya percaya diri yang khas, Luna menghilang di balik pintu, meninggalkan Rose yang hanya bisa mendesah panjang.
"Malam ini aku sengaja mengumpulkan semua anggota keluarga Smith untuk mengumumkan sebuah berita gembira. Pernikahan Giovani dan Luna akan dipercepat. Aku tidak ingin menunggu lama untuk hal baik ini. Apalagi setelah penyerangan waktu itu. Aku sungguh tersadarkan jika aku bisa mati kapan saja. Dan aku tidak ingin mati sebelum melihat Giovani menikah." Terang Diana Smith pada semua anggota keluarga yang bisa hadir malam itu.Darren yang tidak dapat menyembunyikan air wajah kekesalannya, hanya dapat memalingkan wajah."Nek, apa tidak sebaiknya pernikahan ku dan Darren juga dipercepat?" Sela Mona di tengah kehiningan yang tercipta saat."Aku tidak masalah jika memang kau dan Darren siap untuk itu." jawab Diana- tak seperti biasanya. Biasanya dia selalu mencari alasan ini dan itu bila Mona telah membuka pembicaraan mengenai pernikahan dengan Darren. Namun kali ini izin itu keluar begitu saja."Darren, sayang! Kau dengar apa yang nenek katakan? Dia mengizinkan kita untuk mempercepat pernik
"Ini uangnya." Wanita misterius itu melemparkan tas yang berisi penuh dengan uang ke hadapan Rose. Rose mengambil tas tersebut dengan perasaan enggan. Tapi bila dia tidak mengambil tas yang berisi uang tersebut maka taruhannya adalah nyawanya."Aku tidak mau tahu Rose. Kau harus bisa mengetahui apa rencana yang akan dilakukan oleh Luna. Aku yakin dia pasti sedang memikirkan cara untuk menggagalkan pernikahannya dan Giovani." Sambung wanita misterius tersebut pada Rose."Aku akan mencari tahu rencana Luna, nyonya." jawab Rose, lalu memalingkan wajahnya. Dia sungguh merasa tercela karena telah mengkhianati Luna."Kau tidak perlu menampil ekspresi seperti itu di depanku Rose. Bukankah ini bukan pertama kalinya kau menghianati rekanmu? Kau masih ingat apa yang terjadi pada ayah Darren, bukan? Dia juga adalah rekanmu. Tapi demi uang kau mengkhianatinya. Jadi apa bedanya dengan kali ini? Jadi jangan pasang wajah sedih, dan bersalahmu di depan ku. Aku tidak suka itu." Tukas wanita misterius i
"Apa kau sudah tahu, pernikahan Pamanmu dan wanita itu dipercepat?" celoteh Mona saat berduaan dengan Darren di balkon kamar Darren. Darren yang kaget reflek menoleh pada Mona. Ketidakhadiran Luna di rumah sakit saja sudah membuat hati Darren derita tak terkatakan. Kini datang pula kabar mengejutkan yang membuatnya rasa akan jatuh koma sekali lagi. "Dari mana kau mendapatkan info ini? Kau jangan bicara sembarangan, Mona. Pernikahan bukanlah sebuah hal kecil yang bisa diputuskan dalam waktu singkat. Apalagi paman dan Luna baru saja saling mengenal. Mereka butuh waktu untuk bisa saling menerima dan jatuh cinta." Ucap Darren kemudian mengalihkan pandangannya pada hamparan bunga yang terbentang luas di bawah sana. Darren tidak kuasa menahan rasa sesak yang mencekik dirinya dari dalam saat membayangkan Luna dan Giovani menikah. Dia tidak yakin dia siap untuk menerima kenyataan itu.Ya!! Memang Darren salah! Dia salah karena ingin bermain-main dengan calon istri pamannya. Tapi semua itu Da
Tidak banyak yang terjadi malam itu. Giovani dan Lunna hanya mengobrol santai sambil terus mengamati perkembangan Darren.Sehari...Dua hari ...Tiga hari pun berlalu. Darren yang telah sadar pada hari kedua perawatannya di rumah sakit akhirnya diizinkan pulang.Saat itu, Darren sempat merasa heran karena tidak melihat Luna barang sehari pun sejak ia terjaga. Ingin rasanya ia bertanya kepada Giovani tentang keberadaan gadis itu. Apakah Luna memang tidak datang sama sekali untuk melihat keadaannya? Namun, tentu saja Darren tidak bisa menanyakan hal tersebut. Atas dasar apa ia harus menanyakan Luna pada Giovani pula?? Bukankah kalau ada orang yang harus dia tanya, itu adalah Mona?***Satu jam setelah Giovani dan Darren tiba di mansion keluarga Smith, mereka disambut oleh Diana Smith dan Mona yang sudah menunggu di depan pintu. Namun, sekali lagi, Darren tidak melihat Luna. Di mana gadis itu? Pertanyaan itu terus berputar di kepalanya.Karena masih belum diperbolehkan dokter untuk banyak
Ruangan itu terasa begitu sunyi, hanya menyisakan dua orang di dalamnya—Giovani dan Lunna.Keheningan yang menggantung di udara membuat Lunna merasa tak nyaman. Ia sadar, tak ada orang lain di sana selain dirinya dan pria itu."Kalau kupikir-pikir, selama ini kita bahkan belum pernah bicara berdua saja, kan, Luna?" suara Giovani memecah kesunyian.Pria itu yang tadinya berdiri di dekat pintu perlahan melangkah mendekat ke arah Lunna yang duduk di sofa. Tatapannya penuh makna, seolah ingin mengungkapkan sesuatu yang lebih dari sekadar percakapan biasa."Maafkan aku," lanjut Giovani, suaranya terdengar tulus. "Pekerjaan di kantor sedang sangat banyak. Ditambah lagi, ada beberapa janji yang sudah terlanjur terjadwal dan tidak bisa aku batalkan. Semua itu membuatku tak punya cukup waktu untuk dihabiskan bersamamu. Padahal, seharusnya kita berdua lebih sering bersama. Tapi lihatlah, karena diriku, kau jadi merasa kesepian."Giovani akhirnya duduk di samping Lunna, namun bukannya menjaga jar
Bunyi monitor kecil berdenging pelan di dalam ruangan, menciptakan ritme monoton yang bercampur dengan suara tarikan napas lemah dari ventilator. Darren terbaring diam di ranjang rumah sakit, wajahnya pucat, tubuhnya nyaris tak bergerak selain naik-turun halus di bawah pengaruh alat bantu napas. Delapan jam operasi telah berlalu sejak peluru yang hampir menyentuh jantungnya dikeluarkan. Namun, kesadarannya masih belum kembali.Mona berdiri di samping Giovani, matanya menatap Darren yang terbaring tak berdaya di balik dinding kaca ICU. Suaranya berbisik ketika akhirnya ia bertanya, "Apa Darren akan sadar?"Giovani tidak mengalihkan tatapannya dari Darren. Rahangnya mengeras, matanya tajam seakan berusaha menembus tabir ketidakpastian yang menyelimuti sahabatnya. "Dia harus sadar," jawabnya lirih, tetapi penuh keyakinan.Mona melirik Giovani dari sudut matanya, mengamati ekspresi pria itu dengan hati-hati. Ia menarik napas dalam dan menghembuskannya perlahan, berusaha menekan kekesalan y
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen