Home / Horor / Terjebak Gairah Siluman / 2. Kembang Hutan

Share

2. Kembang Hutan

Author: Lincooln
last update Last Updated: 2025-10-13 18:11:11

Tahun-tahun berlalu seperti aliran sungai di belakang gubuk; kadang deras, kadang tenang, namun selalu bergerak maju.

Wulan tumbuh, merekah seperti kuncup bunga di pagi hari. Namun, kecantikannya yang mekar justru menjadi duri bagi dirinya sendiri.

Wajah ovalnya berhias rambut hitam bergelombang dan sepasang mata sayu di bawah alis yang rapi. Bibirnya yang semerah saga selalu terkatup rapat, menyimpan dunia yang tak seorang pun di desa itu bisa masuki.

Di bawah pohon nangka yang rindang, suara tawa anak-anak lain memecah udara siang yang panas. Mereka bermain gobak sodor di tanah lapang yang berdebu.

Wulan hanya berdiri di kejauhan, memeluk lututnya di atas akar pohon yang menonjol.

Ia ingin bergabung. Ia ingin merasakan telapak kakinya menari di atas garis kapur, merasakan adrenalin saat menghindari sentuhan lawan, dan tawa kemenangan saat berhasil menerobos benteng terakhir.

"Wulan, ayo main!" Suara salah satu anak laki-laki, Dodo, memanggilnya.

Wulan mengangkat kepalanya, matanya yang besar berbinar penuh harap. Ia berdiri, merapikan rok kainnya yang kusam.

"Jangan, Do! Nanti kita kalah!" sahut seorang anak perempuan berambut kepang dua, namanya Mimin. "Dia kan aneh."

Dodo mengerutkan kening. "Aneh bagaimana? Dia tidak melakukan apa-apa."

"Lihat saja matanya," bisik Mimin, cukup keras agar Wulan mendengarnya. "Seperti bukan mata manusia. Kata ibuku, dia itu anak lelembut yang dipungut dari Batu Wingit."

Anak-anak lain yang tadinya riuh mendadak terdiam. Semua mata kini tertuju pada Wulan. Tatapan mereka bukan lagi tatapan pada teman sebaya, melainkan pada sesuatu yang asing, sesuatu yang harus diwaspadai.

Wulan terpaku di tempatnya. Kata-kata Mimin menusuknya seperti sembilu.

Harapan di matanya padam, digantikan oleh kabut kelabu yang biasa ia kenakan sebagai perisai. Ia kembali duduk, memeluk lututnya lebih erat, seolah ingin membuat dirinya sekecil mungkin hingga tak terlihat.

Permainan kembali dimulai, tapi suasananya tak lagi sama. Tawa mereka terdengar canggung. Sesekali, mereka melirik ke arah Wulan, lalu berbisik-bisik di antara mereka.

Wulan tidak lagi mendengar ajakan. Ia hanya mendengar gemerisik daun nangka di atas kepalanya, suara yang jauh lebih ramah daripada suara manusia.

Ningsih melihat semuanya dari ambang pintu gubuknya. Hatinya perih.

Setiap kali ia melihat punggung kecil yang kesepian itu, ia merasa gagal. Ia telah memberikan semua cinta yang ia punya, tetapi ia tidak bisa memberikan dunia yang mau menerima Wulan.

Malamnya, saat bulan hanya menampakkan separuh wajahnya, Ningsih menyisir rambut Wulan yang hitam legam dan tebal. Jarinya yang kasar bergerak lembut di antara helai-helai halus itu.

"Kenapa mereka tidak mau main sama Wulan, Mbok?" Suara Wulan nyaris tak terdengar, teredam oleh kesunyian gubuk.

Tangan Ningsih berhenti sejenak. Ia menarik napas dalam-dalam, mencari kata-kata yang tepat.

"Mereka hanya belum mengenalmu dengan baik, Nduk."

"Mimin bilang Wulan anak lelembut."

Ningsih meletakkan sisir kayunya di atas dipan. Ia memutar tubuh Wulan agar menghadapnya, menangkup wajah mungil itu dengan kedua telapak tangannya.

"Dengarkan Mbok. Kau adalah anakku. Anak Ningsih. Titik. Jangan pernah dengarkan omongan orang lain."

"Tapi mata Wulan..."

"Matamu indah," potong Ningsih cepat.

"Seperti malam yang paling kelam, tempat bintang-bintang paling terang bersinar. Jangan biarkan kata-kata mereka meredupkan sinarmu."

Wulan menatap ke dalam mata ibunya, mencari kebenaran di sana. Ia melihat cinta yang tak bersyarat, penerimaan yang utuh.

Ia mengangguk pelan, lalu menyandarkan kepalanya di dada Ningsih yang kurus namun terasa begitu kokoh. Di pelukan itu, ia merasa aman. Tapi ia tahu, di luar gubuk ini, dunia tetaplah tempat yang menakutkan.

Seiring waktu, Wulan belajar membangun tembok di sekelilingnya. Ia menjadi pendiam, lebih banyak mengamati daripada berbicara.

Saat anak-anak lain berlarian di sawah, ia lebih memilih duduk di tepi sungai, menatap riak air yang tak pernah berhenti, atau melamun di bawah pohon randu, membiarkan pikirannya mengembara ke tempat-tempat yang hanya ia yang tahu.

Anehnya, meski jarang bergaul, ia adalah anak yang cerdas. Ia bisa menghafal tembang-tembang yang diajarkan Ningsih hanya dengan sekali dengar, dan ia bisa menghitung hasil panen singkong lebih cepat dari ibunya.

Namun, kecerdasan itu tertutupi oleh kecantikannya yang semakin menjadi-jadi dan gunjingan yang tak pernah mati. Di pancuran umum, tempat para wanita desa mencuci pakaian sambil bertukar kabar, nama Wulan sering kali menjadi topik utama.

"Lihat itu si Ningsih lewat," desis seorang wanita berperawakan tambun pada temannya. "Mau ke kebun sama anaknya, si kembang hutan."

"Hussh, jangan keras-keras," balas temannya, matanya melirik ke arah Wulan yang berjalan di belakang Ningsih, menunduk sambil membawa keranjang kecil.

"Tapi memang, ya. Semakin besar semakin jadi. Kulitnya itu, lho. Putihnya tidak wajar. Seperti tidak pernah kena matahari, padahal setiap hari ikut ke kebun."

Wanita tambun itu mendengus, tangannya terus mengucek pakaian di atas batu.

"Ya jelas tidak wajar, wong bukan anak manusia. Kau percaya dia anak orang dibuang? Omong kosong. Itu pasti anak penunggu hutan larangan. Ningsih itu sudah gila karena ditinggal mati suaminya, jadi apa saja dipungut."

"Kasihan juga, ya. Cantik-cantik begitu tapi tidak ada yang berani mendekat."

"Bukan tidak berani! Tapi ngeri! Siapa yang mau memperistri anak siluman? Bisa-bisa umurnya tidak panjang. Lagipula, lihat saja. Laki-laki di desa ini, dari yang bujang sampai yang sudah aki-aki, kalau melihat dia kan cuma berani dari jauh. Melotot seperti mau menelan, tapi diajak bicara saja gemetaran."

Wulan bisa merasakan tatapan-tatapan itu. Tatapan para wanita yang menusuknya dengan kedengkian dan rasa curiga.

Tatapan para pria yang melucutinya dengan nafsu yang tak terucapkan. Ia membencinya, tetapi ada bagian kecil dari dirinya, bagian yang gelap dan tidak ia pahami, yang justru merasa terusik oleh tatapan-tatapan lapar itu.

Ia berjalan lebih cepat, menyusul Ningsih yang pura-pura tidak mendengar apa pun.

"Mbok, kenapa kita tidak pindah saja dari sini?" tanya Wulan suatu sore, saat mereka beristirahat di gubuk kecil di tengah kebun.

Ningsih mengusap peluh di dahinya dengan punggung tangan. Ia menatap Wulan yang duduk di sampingnya, tatapannya menerawang jauh ke arah hutan di seberang ladang.

"Pindah ke mana, Nduk? Di sini tanah kelahiran Mbok. Di sini juga... makam bapakmu."

Wulan terdiam. Ia tahu betapa berartinya tempat itu bagi ibunya.

"Mereka tidak akan pernah berhenti bicara, Mbok."

"Biarkan saja mulut mereka berbisa," sahut Ningsih, suaranya tegas.

"Anjing menggonggong, kafilah berlalu. Selama kita tidak mengganggu mereka, biarkan saja mereka lelah sendiri."

"Tapi Wulan lelah mendengarnya."

Ningsih meraih tangan Wulan, menggenggamnya erat. Jemari lentik itu terasa dingin di tangannya yang hangat dan kapalan.

"Dunia di luar sana memang kejam, Nduk. Tapi selama kita punya satu sama lain, kita akan baik-baik saja."

Wulan membalas genggaman itu. Ia tahu ibunya benar. Hanya di sisi Ningsih ia bisa menjadi dirinya sendiri, tanpa tatapan menghakimi, tanpa bisikan-bisikan jahat.

Ia adalah dunianya, benteng terakhirnya. Namun, di dalam hatinya yang paling dalam, ia tahu benteng itu tidak akan bisa melindunginya selamanya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terjebak Gairah Siluman   7. Gairah terpendam

    "HAHAHA"Tiba-tiba tawa Broto meledak, serak dan berat, mengguncang tubuh tambunnya hingga dipan kayu yang mereka duduki berderit. Tawa itu terdengar seperti ejekan kasar pada kepasrahan Wulan yang baru saja terucap.Wulan tersentak, rasa terhina menyengat pipinya lebih panas dari air mata."Kau pikir aku lelaki tua bejat yang hanya menginginkan tubuhmu?" Broto menyeka sudut matanya yang berair karena tawa, tatapannya merendahkan."Kau pikir aku serendah itu?"Wulan menunduk, jemarinya meremas kain jariknya dengan gugup. Ia tidak tahu harus berpikir apa."Dengar," Broto mencondongkan tubuhnya, aroma kemenyan dari pakaiannya kembali menguar pekat. "Tubuhmu ini… terlalu berharga. Terlalu mubazir jika hanya digunakan untuk kenikmatan sesaat. Itu pemborosan."Ia menatap Wulan lekat-lekat, matanya yang kecil kini berkilat-kilat dengan kegairahan yang berbeda, bukan nafsu, melainkan ambisi."Menyerahkan tubuhmu bukan berarti kau akan melayaniku di atas ranjang ini. Bukan. Ini jauh lebih bes

  • Terjebak Gairah Siluman   6. Penyerahan diri

    Balas dendam. Kata-kata itu membekukan air mata Wulan seperti embun membeku di daun pagi. Sebuah tujuan yang menyala-nyala di dalam rongga dadanya, sebuah pelampiasan untuk amarah yang membara dan luka yang menganga lebar seperti bekas sayatan."Bagaimana caranya?" bisiknya, penuh harap dengan suara serak yang gemetar, seolah membawa desahan terakhir dari arwah sang ibu."Aku bisa membantumu," Broto tersenyum tipis, senyum serigala yang menyembunyikan taring di balik bibir tipisnya. Di dalam hatinya, ia bersorak penuh kemenangan karena Wulan menarik umpannya."Aku bisa membuatmu lebih kuat dari mereka. Aku bisa memberimu kekuatan untuk memburu mereka yang telah membantai ibumu di depan matamu.""Aku mau, Mbah." Wulan menatapnya dengan tekad yang baru terbentuk, keras seperti baja yang telah dipanaskan di perapian dendam. Wajahnya yang basah oleh air mata kini mengeras, seolah dipahat dari batu granit kebencian."Lakukan apa saja. Aku mau membalas mereka.""Bagus." Broto menepuk lututn

  • Terjebak Gairah Siluman   5. Menyulut dendam

    Aroma minyak sereh dan akar-akaran kering yang menusuk hidung adalah hal pertama yang menyambut kesadaran Wulan.Namun, itu bukan bau tanah dan embun pagi di gubuknya. Bukan pula aroma singkong rebus yang biasa disiapkan Ningsih.Wulan membuka mata perlahan. Pandangannya kabur, menangkap siluet langit-langit dari anyaman bambu yang menghitam oleh jelaga, berbeda dari atap rumbia di rumahnya.Ia berbaring di atas dipan kayu yang keras dan dingin."Di mana aku?" Pikirannya masih berlapis kabut tebal, berat dan lengket.Ia mencoba duduk, merasakan nyeri di sekujur tubuhnya, setiap goresan di lengan dan kakinya perih seperti baru terjadi.Lalu, sekelebat bayangan melintas di benaknya. Kegelapan hutan. Akar-akar yang melilit. Jeritan.Sebuah kepala.Mata yang terbelalak menatapnya dari tanah."Mbok…"Kata itu keluar dari bibirnya dalam bisikan serak, dan seketika itu juga, bendungan di dalam dirinya pecah.Kabut di kepalanya tersingkap oleh badai kengerian yang menyapu tanpa ampun.Ia dudu

  • Terjebak Gairah Siluman   4. Hutan Larangan 2

    Mbah Broto. Nama itu bergema di benak Wulan yang kalut. Dukun berperut buncit itu.Pikiran Wulan melayang ke beberapa hari yang lalu. Tubuhnya menggigil karena masuk angin, dan Ningsih memanggil Mbah Broto untuk memijatnya. Lelaki tambun itu datang dengan aroma minyak kelapa dan kemenyan yang pekat."Buka sedikit kainmu, Nduk. Biar anginnya keluar," perintahnya dengan suara berat.Wulan menurut ragu. Ia berbaring miring, menyingkap kainnya hingga memperlihatkan perutnya yang rata. Mata Mbah Broto yang kecil seolah membesar, menatap tajam pusarnya, lalu naik ke lekuk rusuknya di bawah payudaranya yang terbungkus kebaya.Jemarinya yang besar dan berminyak mulai menekan titik-titik di punggungnya. Pijatannya kuat, terasa hingga ke tulang. Tapi kemudian, tangannya mulai berkelana.Jari-jarinya meraba-raba area di bawah ketiaknya, terlalu dekat dengan sisi payudaranya. Telunjuknya menari-nari di sekitar pusarnya, seolah sedang mempermainkan sesuatu."Di sini banyak anginnya," gumamnya, tap

  • Terjebak Gairah Siluman   3. Hutan Larangan 1

    Dua puluh tahun adalah usia yang matang. Bagi pohon mangga, ia adalah waktu untuk berbuah paling lebat. Bagi Wulan, ia adalah puncak dari sebuah mahakarya alam yang tak tersentuh.Lekuk tubuhnya kini tak lagi sekadar janji, melainkan sebuah pernyataan. Pinggulnya membulat penuh, dadanya yang padat membusung menantang di balik kebaya tipisnya. Setiap langkahnya adalah tarian pinggul yang membuat para lelaki di desa menelan ludah dengan susah payah.Ia menjadi pemandangan yang menyiksa sekaligus memabukkan. Para pemuda yang dulu mengejeknya kini hanya berani menatap dari kejauhan warung kopi, bisik-bisik mereka terdengar seperti desis ular di semak-semak.Para lelaki beristri akan mencuri pandang saat ia melewati sawah, lalu buru-buru menunduk saat tatapan sayu Wulan balas menatap mereka.Bahkan para kakek yang giginya sudah tanggal pun akan berhenti mengunyah sirih, mata mereka yang keruh mengikuti siluet Wulan hingga hilang di tikungan jalan.Kecantikan itu menjadi tembok yang lebih t

  • Terjebak Gairah Siluman   2. Kembang Hutan

    Tahun-tahun berlalu seperti aliran sungai di belakang gubuk; kadang deras, kadang tenang, namun selalu bergerak maju.Wulan tumbuh, merekah seperti kuncup bunga di pagi hari. Namun, kecantikannya yang mekar justru menjadi duri bagi dirinya sendiri.Wajah ovalnya berhias rambut hitam bergelombang dan sepasang mata sayu di bawah alis yang rapi. Bibirnya yang semerah saga selalu terkatup rapat, menyimpan dunia yang tak seorang pun di desa itu bisa masuki.Di bawah pohon nangka yang rindang, suara tawa anak-anak lain memecah udara siang yang panas. Mereka bermain gobak sodor di tanah lapang yang berdebu.Wulan hanya berdiri di kejauhan, memeluk lututnya di atas akar pohon yang menonjol.Ia ingin bergabung. Ia ingin merasakan telapak kakinya menari di atas garis kapur, merasakan adrenalin saat menghindari sentuhan lawan, dan tawa kemenangan saat berhasil menerobos benteng terakhir."Wulan, ayo main!" Suara salah satu anak laki-laki, Dodo, memanggilnya.Wulan mengangkat kepalanya, matanya y

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status