LOGINTahun-tahun berlalu secepat aliran sungai di belakang gubuk. Wulan, bayi yang ditemukan di antara anyir darah dan keheningan hutan larangan, kini telah mekar menjadi seorang gadis.
Kecantikannya bukan lagi bisik-bisik di antara para tetangga, melainkan sebuah kenyataan yang menyilaukan mata setiap kali ia melintas di jalanan desa.
Kulitnya yang putih pucat seperti kelopak melati yang belum tersentuh embun pagi, berkilau di bawah terik matahari, kontras dengan kulit sawo matang para gadis desa lainnya.
Sepasang matanya yang besar dan berwarna kelam dihiasi bulu mata lentik yang melengkung sempurna, dinaungi alis lurus yang membuat tatapannya selalu tampak sendu, seolah menyimpan duka yang tak terucap.
Bibir tipisnya yang selalu basah berwarna merah delima, seakan baru saja menyantap buah ranum, membingkai deretan gigi yang putih dan rapi.
Ningsih tak pernah memberinya bedak dingin atau lulur rempah seperti yang dilakukan ibu-ibu lain pada anak gadis mereka. Makanan mereka hanyalah hasil kebun dan tangkapan sungai. Namun, tubuh Wulan tumbuh dengan subur.
Kain jarik kusam yang membalutnya tak mampu menyembunyikan dadanya yang padat membusung, pinggangnya yang ramping, dan bokongnya yang sintal berisi, bergoyang pelan mengikuti irama langkahnya.
Suatu sore, saat mereka berdua duduk di beranda gubuk, menyortir ubi hasil panen, Wulan menghentikan gerakannya. Ia menatap ketiaknya yang terangkat, lalu memandang Ningsih dengan tatapan bingung.
"Mbok."
"Ya, Nduk?" Ningsih menjawab tanpa mengalihkan pandangannya dari tumpukan ubi di pangkuannya.
"Kenapa aku tidak seperti Rumi dan Sri?"
Ningsih menoleh, alisnya berkerut. "Tidak seperti bagaimana?"
"Mereka bilang, kalau sudah besar, bulu-bulu akan tumbuh di sini," Wulan menunjuk ketiaknya, "dan di bawah sana. Tapi aku tidak punya. Kulitku licin saja. Apa aku sakit, Mbok?"
Jantung Ningsih seakan berhenti berdetak sesaat. Ia menelan ludah, tenggorokannya terasa kering.
Pertanyaan yang selama ini ia pendam dalam-dalam, ketakutan yang ia kubur di bawah kasih sayangnya, kini diucapkan dengan polos oleh Wulan sendiri.
Ia menatap putrinya, meneliti setiap jengkal kulit mulus yang terpapar. Benar. Tak ada sehelai pun rambut halus yang mengganggu kemurnian kulit itu.
Ningsih meraih tangan Wulan, menggenggamnya erat. "Kamu tidak sakit, Nduk. Kamu... istimewa."
Suaranya bergetar, dan ia segera membuang muka, kembali sibuk dengan ubi-ubinya, menyembunyikan keraguan yang membayangi wajah tuanya.
Sejak hari itu, setiap kali memandang Wulan, Ningsih tak hanya melihat seorang anak, tetapi juga sebuah teka-teki yang menakutkan.
Di desa, keistimewaan Wulan menjadi tembok yang memisahkannya dari dunia. Saat kecil, anak-anak lain menjauhinya, mengejeknya 'anak kunti' karena kulitnya yang terlalu pucat. Namun, ejekan itu berubah bentuk saat dia dewasa.
Para gadis kini melemparkan tatapan iri yang tajam, berbisik-bisik di belakang punggungnya setiap kali ia lewat.
Sementara para lelaki, dari yang bujang hingga yang sudah beranak-cucu, menatapnya dengan pandangan lapar yang tak bisa disembunyikan.
Wulan menjadi penyendiri, dunianya hanya sebatas gubuk, kebun, dan aliran sungai.
Sungai adalah satu-satunya tempat ia merasa bebas. Setiap sore, saat matahari mulai condong ke barat, ia akan turun ke pancuran.
Para gadis lain yang sedang mandi atau mencuci akan bergeser menjauh begitu melihat kedatangannya, menciptakan ruang kosong di sekeliling Wulan, membuatnya mencolok sendirian di tengah riuh rendah tawa dan celoteh mereka.
Awalnya, ia merasa risih. Tatapan-tatapan sembunyi dari balik semak-semak dan rumpun bambu di seberang sungai membuatnya takut.
Ia bisa merasakan puluhan mata lelaki menusuk punggungnya, menelanjangi setiap lekuk tubuhnya yang hanya terbalut kemben basah. Jantungnya berdebar kencang, napasnya memburu.
Namun, di antara rasa takut itu, tumbuh sesuatu yang lain. Sesuatu yang hangat dan menggelitik, menjalar dari perut bagian bawahnya ke seluruh tubuh. Sebuah gairah aneh yang belum pernah ia kenal.
Ia menoleh perlahan ke arah semak yang bergoyang. Ia tahu ada beberapa pemuda di sana. Ia bisa mendengar napas mereka yang tertahan.
Alih-alih bergegas menutupi diri, Wulan justru membiarkan kembennya sedikit melorot, memperlihatkan puncak dadanya yang bulat.
Ia membungkuk, sengaja membiarkan air membasahi punggungnya, menjiplak bentuk bokongnya yang padat di balik kain jarik yang basah.
Desahan tertahan terdengar dari seberang sungai, dan sensasi geli itu kembali menjalari tubuhnya. Ia menikmatinya.
"Wulan, kau mandi cepat sekali hari ini?" Suara Rumi terdengar ketus dari kejauhan.
Wulan hanya tersenyum tipis tanpa menjawab. Ia tak peduli.
"Awas nanti kesambet penunggu sungai kalau mandi sendirian di sana," timpal Sri, disusul tawa cekikikan gadis-gadis lain.
Wulan mengabaikan mereka. Ia justru berjalan lebih jauh ke arah hulu, ke bagian sungai yang lebih sepi, di mana aliran air lebih deras dan bebatuan lebih besar, terlindung oleh rimbunnya pepohonan.
Tempat ini lebih dekat dengan tepi hutan larangan. Tak ada gadis lain yang berani mandi di sini. Tapi Wulan tahu, para pengintipnya akan mengikutinya.
Di sana, di kolam kecil yang terbentuk oleh cekungan batu, ia berhenti. Suasana sepi, hanya terdengar suara gemericik air dan desau angin.
Ia menoleh ke sekeliling, merasakan tatapan-tatapan itu semakin intens, semakin dekat. Bibirnya menyunggingkan senyum misterius.
Perlahan, ia melonggarkan ikatan kain jarik di dadanya. Kain basah itu meluncur turun dengan mulus, menyingkap sepenuhnya tubuh polosnya yang berkilauan ditimpa sisa cahaya matahari.
Kulitnya yang putih memantulkan warna keemasan, kontras dengan rambut hitamnya yang basah dan menempel di punggung.
Ia melangkah masuk ke dalam air yang dingin, membiarkan aliran sungai memeluk tubuhnya. Rasa dingin itu membuatnya sedikit menggigil, membuat puncak dadanya yang berwarna merah muda menegang.
Ia berenang perlahan, gerakannya anggun seperti ikan. Lalu, ia berhenti di tengah kolam, membelakangi semak-semak tempat para lelaki bersembunyi.
Ia mengangkat kedua tangannya ke atas, meregangkan tubuhnya dengan malas. Otot punggungnya menegang, menonjolkan lekukan pinggangnya yang ramping.
Ia memiringkan kepalanya, membiarkan rambutnya yang panjang tergerai di air. Gerakan itu membuat bokongnya yang bulat dan kencang terangkat sedikit dari permukaan air, memperlihatkan belahan di antara kedua daging padat itu.
Kemudian, ia membalikkan badan, menghadap langsung ke arah persembunyian mereka.
Ia tak lagi peduli. Rasa malu telah menguap, digantikan oleh kekuasaan aneh yang ia rasakan saat ini.
Ia sengaja mengapung telentang, membiarkan air menopang tubuhnya. Dadanya yang montok menyembul dari permukaan air, bergoyang lembut seirama riak sungai.
Pangkal pahanya yang bersih tanpa sehelai rambut pun, dengan kelopak merah yang merekah di tengahnya, terpapar jelas di bawah permukaan air yang jernih.
Dari balik rumpun bambu, beberapa pasang mata terpaku. Napas mereka berat dan terengah-engah. Tangan mereka tanpa sadar meremas apa pun yang bisa dipegang—akar, tanah, bahkan sarung mereka sendiri.
Mereka adalah para pemuda desa, para suami orang, bahkan beberapa lelaki tua. Di hadapan pemandangan ini, mereka semua menjadi budak nafsu yang sama.
Wulan tersenyum. Ia tahu mereka ada di sana, menelannya dengan mata mereka. Dan ia membiarkannya.
Ia memberikan mereka pertunjukan. Ia menjadi bunga terlarang yang mekar di tepi hutan, keindahan liar yang bisa dinikmati dari kejauhan, tetapi tak pernah bisa disentuh. Ia adalah kembang hutan mereka.
Cahaya pagi yang pucat menyelinap masuk melalui celah-celah dinding bilik, menusuk kelopak mata Wulan yang masih terpejam. Ia terbangun bukan karena cahaya itu, melainkan karena rasa hampa yang dingin dan menusuk dari pusat tubuhnya.Sebuah kekosongan yang berdenyut, sisa dari ekstasi yang dipenggal paksa, kenikmatan brutal yang tertunda dari Batara Durja. Kondisi ini jauh lebih menyiksa daripada rasa sakit fisik mana pun. Tubuhnya terasa gatal dari dalam, sebuah kebutuhan yang tidak terpenuhi yang membuatnya gelisah.Ia bergerak perlahan di atas dipan bambu yang berderit. Tubuhnya telanjang, hanya udara pagi yang lembap yang menyelimutinya. Di sampingnya, sehelai kain jarik teronggok seperti kulit ular yang ditinggalkan.Wulan segera meraihnya, melilitkan kain itu dengan gerakan cepat dan rapat di sekeliling tubuhnya, seolah kain itu bisa mengisi kekosongan di dalam dirinya.Gubuk itu terasa sunyi. Suara Broto ti
Kepala Broto masih tertunduk dalam. Udara di sekelilingnya terasa berat, dipenuhi aura kekuatan gurunya yang kini tidak lagi membakar dengan nafsu, melainkan menekan dengan rasa ingin tahu yang dingin.Pertanyaan itu menggantung di antara mereka, lebih berat dari keheningan malam itu sendiri."Dia… wadah yang hamba temukan, Guru.""Aku tidak bertanya apa dia. Aku bertanya siapa dia." Suara Durja kembali menggema di benak Broto, tidak sabar."Tangisnya bukan tangis perempuan yang kehilangan kenikmatan. Itu tangis karena kehilangan sesuatu yang lebih dalam. Sesuatu yang membuatnya mampu menolakku. Tidak ada manusia biasa yang bisa melakukannya."Broto menarik napas pelan, mengumpulkan kata-kata untuk merangkai sebuah kisah yang bukan miliknya. "Namanya Wulan. Dia tidak lahir di desa. Dia ditemukan.""Ditemukan di mana?""Di Hutan Larangan, Guru. Di tepi lembah yang menjadi bat
Kekehan rendah yang bergetar di dada Durja adalah gempa kecil yang meruntuhkan sisa pertahanan Wulan.Ciuman itu berakhir dengan kasar, meninggalkan bibir Wulan bengkak dan perih, namun seluruh tubuhnya menjerit menginginkan lebih.Durja melepaskan cengkeramannya, hanya untuk mengangkat tubuh telanjang Wulan dengan mudah seolah ia tak berbobot.Dengan beberapa langkah, ia membanting tubuh Wulan ke atas batu pipih yang dingin di tepi sungai.Brakk"Emhh.."Punggung Wulan menghantam permukaan batu yang keras, membuatnya mengerang pelan. Namun rasa sakit itu segera lenyap, ditelan oleh gelombang gairah yang membakar.Sosok raksasa itu kini menjulang di atasnya, sebuah bayangan hitam mengerikan berlatar piringan purnama. Mata kuningnya yang menyala menatapnya dengan nafsu purba yang tak tertahankan.Tanpa basa-basi, Durja menekan tubuhnya, dan Wulan merasakan ujung kejantanannya yang luar biasa besar menekan pintu masuk liangnya yang telah basah oleh gairah dan ketakutan.Broto menyaksika
Akhirnya malam ritual pun tiba. Purnama menggantung sempurna di langit yang jernih, menumpahkan cahayanya ke atas hutan Halimun, mengubah daun-daun basah menjadi permata dan aliran sungai menjadi untaian perak cair.Di tepi sungai itu, di atas sebuah batu pipih yang dingin oleh embun malam, Wulan duduk bersila. Ia adalah persembahan yang hidup.Kain jarik yang membalutnya hanya menutupi separuh tubuhnya, dari dada hingga ke atas lutut. Simpul tunggal yang mengikat kain itu terselip di antara belahan dadanya. Dalam posisi bersila, pahanya yang putih mulus tersingkap, berkilauan diterpa cahaya bulan. Rambut hitamnya yang panjang bergelombang tergerai bebas, jatuh seperti tirai kelam di punggungnya yang putih mulus."Sudah siap?" suara Broto memecah keheningan dari balik punggungnya. Pria itu berdiri beberapa langkah di belakang, bersandar pada sebatang pohon besar, lengannya bersedekap."Saya siap, Mbah."
Jalan setapak yang mereka lalui terasa semakin sempit saat malam merayap turun, menelan sisa-sisa warna lembayung di ufuk barat.Keheningan pasca-badai di rumah Jaya masih membayangi langkah mereka, sebuah keheningan yang sarat akan pengkhianatan dan hati yang hancur.Wulan berjalan di belakang Broto, bayangan tuannya itu tampak besar dan menjulang dalam kegelapan yang mulai pekat.Akar-akar pohon yang menonjol dari tanah menjadi jebakan tak terlihat, membuatnya beberapa kali nyaris tersandung.Broto berhenti. Ia merogoh saku celananya, lalu sebuah benda persegi panjang berwarna hitam legam ada di tangannya.Dengan satu sentuhan ibu jari, benda itu menyala, memancarkan seberkas cahaya putih yang tajam dan dingin, membelah kegelapan di depan mereka.Cahaya itu menyorot jalan tanah yang basah, menampakkan setiap kerikil dan daun kering dengan jelas.Wulan tertegun. Matanya terpaku pada sumber cahaya itu. Benda aneh yang ada di genggaman Broto.Di desanya dulu, ia pernah sekali melihat s
Helaan napas panjang dan bergetar itu memecah keheningan ruang tamu yang beku. Rani mengangkat kepalanya yang tertunduk, untuk pertama kalinya sejak Wulan keluar dari kamar Surya.Wajahnya yang dulu selalu terlihat anggun dan terawat kini pucat dan lumat oleh air mata yang telah mengering, menyisakan jejak-jejak keputusasaan.Matanya yang bengkak menatap kosong ke lantai kayu, tidak berani bertemu pandang dengan siapa pun."Aku… aku mengenalnya sebelum aku mengenalmu, Kangmas."Suara Rani serak, nyaris tak terdengar. Kata-kata itu ditujukan untuk Jaya, sebilah pisau pertama yang ia hunjamkan ke jantung lelaki yang duduk membatu di seberangnya."Irwan… kami tumbuh di desa yang sama. Jauh sebelum aku datang ke sini."Jaya tidak bereaksi. Wajahnya seperti topeng pualam yang retak, matanya menatap lurus ke depan, melihat sesuatu yang tidak ada di sana."Lalu kenapa kau mau menikah denganku?" Suara Jaya datar, kosong, tanpa emosi. Sebuah pertanyaan dari reruntuhan hati.Tawa kecil yang get







