Lidah senja menjilat pucuk-pucuk pohon jati, mewarnai langit dengan palet jingga dan nila. Ningsih menepuk pelan gundukan tanah merah di hadapannya, jemarinya yang kapalan mengusap nisan kayu yang mulai lapuk.
Seribu hari. Genap seribu hari ia mengunjungi pusara suaminya, membawa serta aroma tanah basah dari kebun dan sepi yang membusuk di dalam dada.
Angin petang berdesir, membawa harum kembang kenanga dari pekarangan warga, tetapi bagi Ningsih, hanya bau tanah kuburan yang melekat di ujung hidungnya.
"Sudah seribu hari, Kangmas," bisiknya pada angin, suaranya serak ditelan gemerisik daun kering. "Apa kau baik-baik saja di sana? Aku di sini... sendiri."
Ia menarik napas panjang, udara dingin menusuk paru-parunya.
Sepi bukan lagi sekadar kata. Ia adalah selimut yang membungkusnya setiap malam, hantu yang duduk menemaninya di meja makan, dan beban yang menekan pundaknya saat ia mencangkul di kebun.
Ningsih merapikan kain jariknya, lalu bangkit dengan lutut yang terasa ngilu. Jalan setapak yang biasa ia lalui tampak lebih gelap dari biasanya, seolah hutan larangan di sisinya telah merayap maju, mencuri sisa-sisa cahaya.
Baru beberapa langkah meninggalkan area pemakaman, sebuah suara mengoyak keheningan.
"Ooeeeeekkk.."
Tangisan bayi. Melengking, tajam, dan penuh keputusasaan.
Ningsih berhenti. Jantungnya berdebar kencang, menabuh rusuknya seperti genderang perang.
Ia menajamkan pendengaran, memutar kepalanya ke segala arah. Suara itu datang dari arah batu besar legam yang menjadi patok batas antara jalan setapak dan hutan larangan.
Batu Wingit, begitu orang desa menyebutnya. Tempat yang selalu ia lewati, tetapi tak pernah sekalipun ia hiraukan. Siang tadi, saat ia berangkat ke kebun, tempat itu sunyi senyap.
"Siapa di sana?" Suaranya bergetar, lebih lemah dari yang ia harapkan.
Hanya gema tangis yang menjawab, semakin kencang dan menyayat hati. Rasa takut yang semula mencengkeramnya perlahan terkikis oleh naluri aneh.
Ia melangkah ragu, kakinya yang terbiasa menapaki tanah gembur kini terasa berat di atas kerikil. Semakin dekat, tangisan itu semakin memekakkan telinga.
Di balik punggung batu yang dingin, tergeletak buntalan kain putih. Bukan putih bersih, melainkan putih yang ternoda oleh bercak-bercak darah yang mulai menghitam.
Dari dalam buntalan itulah suara tangis berasal. Ningsih berjongkok, tangannya yang gemetar terulur untuk menyingkap kain itu.
Tangisan itu berhenti seketika saat jemari Ningsih menyentuh kulit mungil di dalamnya. Hening yang tiba-tiba terasa lebih mencekam daripada hiruk pikuk barusan.
Di hadapannya, sepasang mata kecil menatapnya tanpa berkedip. Wajah bayi perempuan yang luar biasa cantik, bahkan di tengah remang senja dan noda darah yang mengotorinya.
"Ya Gusti... Anak siapa ini?" Ningsih mengangkat buntalan itu dengan hati-hati. Bayi itu diam dalam dekapannya, seolah menemukan tempat paling aman di dunia.
Ia berdiri, matanya menyapu sekeliling. Pohon-pohon rimbun di tepi hutan larangan tampak seperti raksasa-raksasa hitam yang mengawasinya. Jalan setapak menuju desa sepi tak berpenghuni.
"Woooiii! Ada orang di sini?" teriaknya sekuat tenaga. "Ini anak siapa?"
Gema suaranya dipantulkan kembali oleh dinding hutan, seolah-olah mengejek usahanya. Ia bahkan memberanikan diri berteriak ke arah hutan yang gelap, tempat yang selalu ia hindari bahkan di siang hari bolong.
Tidak ada jawaban. Hanya kesunyian dan tatapan sepasang mata bayi di pelukannya.
Langit menggelap dengan cepat. Warna nila telah sepenuhnya menelan sisa jingga. Meninggalkan bayi ini di sini sama saja dengan menyerahkannya pada binatang buas atau pada apa pun yang bersemayam di dalam hutan larangan.
Ningsih menatap wajah mungil itu lagi. Wajah damai yang seolah tidak peduli pada dunia yang baru saja membuangnya. Ada iba yang menjalari hatinya, perasaan hangat yang sudah lama tidak ia rasakan.
"Aku tidak bisa meninggalkanmu, Nduk," gumamnya, lebih pada dirinya sendiri. "Ayo ikut Mbok pulang."
Dengan langkah mantap, ia memeluk buntalan itu erat-erat dan bergegas menyusuri jalan setapak menuju gubuknya, meninggalkan kuburan, batu legam, dan hutan larangan di belakang punggungnya.
Di dalam gubuk bambu yang hanya diterangi satu lampu teplok, Ningsih bekerja dengan cekatan. Air hangat di dalam baskom tembaga ia gunakan untuk membersihkan tubuh mungil itu dengan hati-hati.
Noda-noda darah yang lengket perlahan luntur, menampakkan kulit yang putih bersih, nyaris pucat seperti porselen. Ia membuang kain pembungkus yang berbau anyir itu ke tungku, membiarkan api melahapnya hingga menjadi abu.
Sebagai gantinya, ia mengambil kain jarik terbaik miliknya, kain batik dengan motif parang yang lembut, lalu membungkus tubuh bayi itu dengan hangat.
Setelah bersih dan hangat, bayi itu ia letakkan di atas dipan bambu miliknya.
Perlahan, sepasang kelopak mata itu terbuka. Matanya lebar dan indah, hitam pekat seperti malam tanpa bintang.
Cahaya bulan purnama yang bulat sempurna menyelinap masuk dari celah jendela, memantulkan sinarnya yang pucat di kedua bola mata itu.
Ningsih terpesona. Ia belum pernah melihat bayi secantik ini.
Kulitnya mulus tanpa cela, bulu matanya lentik alami, dan rambutnya hitam legam, tebal untuk ukuran bayi yang baru lahir.
Ia duduk di tepi dipan, mengamati setiap detail dari makhluk kecil di hadapannya.
"Kamu cantik sekali, Nduk," bisiknya lembut. Jemarinya mengelus pipi gembil itu.
Sebuah senyum tipis, entah disadari atau tidak, terukir di bibir mungil sang bayi. Malam itu, untuk pertama kalinya dalam seribu hari, Ningsih tidak merasakan kekosongan.
Lubang menganga di jiwanya yang ditinggalkan oleh kematian suaminya, perlahan mulai terisi. Bukan terisi oleh kenangan, tetapi oleh sesuatu yang baru. Sesuatu yang hidup.
Kasih sayang yang tumpah ruah, yang selama ini tidak tahu harus ia alirkan ke mana, kini menemukan muaranya.
Ia menoleh ke arah jendela, menatap bulan purnama yang menggantung agung di langit. Cahayanya seolah ikut menyambut kedatangan si bayi, merestui kehadirannya di gubuk sederhana itu.
"Karena kau datang bersama bulan, aku akan memanggilmu Wulan." Ningsih tersenyum, senyum tulus yang pertama kali menghiasi wajahnya setelah sekian lama. "Wulanku."
"HAHAHA"Tiba-tiba tawa Broto meledak, serak dan berat, mengguncang tubuh tambunnya hingga dipan kayu yang mereka duduki berderit. Tawa itu terdengar seperti ejekan kasar pada kepasrahan Wulan yang baru saja terucap.Wulan tersentak, rasa terhina menyengat pipinya lebih panas dari air mata."Kau pikir aku lelaki tua bejat yang hanya menginginkan tubuhmu?" Broto menyeka sudut matanya yang berair karena tawa, tatapannya merendahkan."Kau pikir aku serendah itu?"Wulan menunduk, jemarinya meremas kain jariknya dengan gugup. Ia tidak tahu harus berpikir apa."Dengar," Broto mencondongkan tubuhnya, aroma kemenyan dari pakaiannya kembali menguar pekat. "Tubuhmu ini… terlalu berharga. Terlalu mubazir jika hanya digunakan untuk kenikmatan sesaat. Itu pemborosan."Ia menatap Wulan lekat-lekat, matanya yang kecil kini berkilat-kilat dengan kegairahan yang berbeda, bukan nafsu, melainkan ambisi."Menyerahkan tubuhmu bukan berarti kau akan melayaniku di atas ranjang ini. Bukan. Ini jauh lebih bes
Balas dendam. Kata-kata itu membekukan air mata Wulan seperti embun membeku di daun pagi. Sebuah tujuan yang menyala-nyala di dalam rongga dadanya, sebuah pelampiasan untuk amarah yang membara dan luka yang menganga lebar seperti bekas sayatan."Bagaimana caranya?" bisiknya, penuh harap dengan suara serak yang gemetar, seolah membawa desahan terakhir dari arwah sang ibu."Aku bisa membantumu," Broto tersenyum tipis, senyum serigala yang menyembunyikan taring di balik bibir tipisnya. Di dalam hatinya, ia bersorak penuh kemenangan karena Wulan menarik umpannya."Aku bisa membuatmu lebih kuat dari mereka. Aku bisa memberimu kekuatan untuk memburu mereka yang telah membantai ibumu di depan matamu.""Aku mau, Mbah." Wulan menatapnya dengan tekad yang baru terbentuk, keras seperti baja yang telah dipanaskan di perapian dendam. Wajahnya yang basah oleh air mata kini mengeras, seolah dipahat dari batu granit kebencian."Lakukan apa saja. Aku mau membalas mereka.""Bagus." Broto menepuk lututn
Aroma minyak sereh dan akar-akaran kering yang menusuk hidung adalah hal pertama yang menyambut kesadaran Wulan.Namun, itu bukan bau tanah dan embun pagi di gubuknya. Bukan pula aroma singkong rebus yang biasa disiapkan Ningsih.Wulan membuka mata perlahan. Pandangannya kabur, menangkap siluet langit-langit dari anyaman bambu yang menghitam oleh jelaga, berbeda dari atap rumbia di rumahnya.Ia berbaring di atas dipan kayu yang keras dan dingin."Di mana aku?" Pikirannya masih berlapis kabut tebal, berat dan lengket.Ia mencoba duduk, merasakan nyeri di sekujur tubuhnya, setiap goresan di lengan dan kakinya perih seperti baru terjadi.Lalu, sekelebat bayangan melintas di benaknya. Kegelapan hutan. Akar-akar yang melilit. Jeritan.Sebuah kepala.Mata yang terbelalak menatapnya dari tanah."Mbok…"Kata itu keluar dari bibirnya dalam bisikan serak, dan seketika itu juga, bendungan di dalam dirinya pecah.Kabut di kepalanya tersingkap oleh badai kengerian yang menyapu tanpa ampun.Ia dudu
Mbah Broto. Nama itu bergema di benak Wulan yang kalut. Dukun berperut buncit itu.Pikiran Wulan melayang ke beberapa hari yang lalu. Tubuhnya menggigil karena masuk angin, dan Ningsih memanggil Mbah Broto untuk memijatnya. Lelaki tambun itu datang dengan aroma minyak kelapa dan kemenyan yang pekat."Buka sedikit kainmu, Nduk. Biar anginnya keluar," perintahnya dengan suara berat.Wulan menurut ragu. Ia berbaring miring, menyingkap kainnya hingga memperlihatkan perutnya yang rata. Mata Mbah Broto yang kecil seolah membesar, menatap tajam pusarnya, lalu naik ke lekuk rusuknya di bawah payudaranya yang terbungkus kebaya.Jemarinya yang besar dan berminyak mulai menekan titik-titik di punggungnya. Pijatannya kuat, terasa hingga ke tulang. Tapi kemudian, tangannya mulai berkelana.Jari-jarinya meraba-raba area di bawah ketiaknya, terlalu dekat dengan sisi payudaranya. Telunjuknya menari-nari di sekitar pusarnya, seolah sedang mempermainkan sesuatu."Di sini banyak anginnya," gumamnya, tap
Dua puluh tahun adalah usia yang matang. Bagi pohon mangga, ia adalah waktu untuk berbuah paling lebat. Bagi Wulan, ia adalah puncak dari sebuah mahakarya alam yang tak tersentuh.Lekuk tubuhnya kini tak lagi sekadar janji, melainkan sebuah pernyataan. Pinggulnya membulat penuh, dadanya yang padat membusung menantang di balik kebaya tipisnya. Setiap langkahnya adalah tarian pinggul yang membuat para lelaki di desa menelan ludah dengan susah payah.Ia menjadi pemandangan yang menyiksa sekaligus memabukkan. Para pemuda yang dulu mengejeknya kini hanya berani menatap dari kejauhan warung kopi, bisik-bisik mereka terdengar seperti desis ular di semak-semak.Para lelaki beristri akan mencuri pandang saat ia melewati sawah, lalu buru-buru menunduk saat tatapan sayu Wulan balas menatap mereka.Bahkan para kakek yang giginya sudah tanggal pun akan berhenti mengunyah sirih, mata mereka yang keruh mengikuti siluet Wulan hingga hilang di tikungan jalan.Kecantikan itu menjadi tembok yang lebih t
Tahun-tahun berlalu seperti aliran sungai di belakang gubuk; kadang deras, kadang tenang, namun selalu bergerak maju.Wulan tumbuh, merekah seperti kuncup bunga di pagi hari. Namun, kecantikannya yang mekar justru menjadi duri bagi dirinya sendiri.Wajah ovalnya berhias rambut hitam bergelombang dan sepasang mata sayu di bawah alis yang rapi. Bibirnya yang semerah saga selalu terkatup rapat, menyimpan dunia yang tak seorang pun di desa itu bisa masuki.Di bawah pohon nangka yang rindang, suara tawa anak-anak lain memecah udara siang yang panas. Mereka bermain gobak sodor di tanah lapang yang berdebu.Wulan hanya berdiri di kejauhan, memeluk lututnya di atas akar pohon yang menonjol.Ia ingin bergabung. Ia ingin merasakan telapak kakinya menari di atas garis kapur, merasakan adrenalin saat menghindari sentuhan lawan, dan tawa kemenangan saat berhasil menerobos benteng terakhir."Wulan, ayo main!" Suara salah satu anak laki-laki, Dodo, memanggilnya.Wulan mengangkat kepalanya, matanya y