Dua puluh tahun adalah usia yang matang. Bagi pohon mangga, ia adalah waktu untuk berbuah paling lebat. Bagi Wulan, ia adalah puncak dari sebuah mahakarya alam yang tak tersentuh.
Lekuk tubuhnya kini tak lagi sekadar janji, melainkan sebuah pernyataan. Pinggulnya membulat penuh, dadanya yang padat membusung menantang di balik kebaya tipisnya. Setiap langkahnya adalah tarian pinggul yang membuat para lelaki di desa menelan ludah dengan susah payah.
Ia menjadi pemandangan yang menyiksa sekaligus memabukkan. Para pemuda yang dulu mengejeknya kini hanya berani menatap dari kejauhan warung kopi, bisik-bisik mereka terdengar seperti desis ular di semak-semak.
Para lelaki beristri akan mencuri pandang saat ia melewati sawah, lalu buru-buru menunduk saat tatapan sayu Wulan balas menatap mereka.
Bahkan para kakek yang giginya sudah tanggal pun akan berhenti mengunyah sirih, mata mereka yang keruh mengikuti siluet Wulan hingga hilang di tikungan jalan.
Kecantikan itu menjadi tembok yang lebih tinggi, lebih tebal dari sebelumnya. Ia dikagumi dalam diam, diinginkan dalam rahasia, namun tetap dikucilkan dalam terang.
Wulan merasakan semua tatapan itu. Tatapan lapar yang seolah ingin merobek kain jariknya. Anehnya, alih-alih merasa terhina atau takut, ada sesuatu yang bergejolak di dalam dirinya.
Sensasi geli yang aneh, panas yang menjalar dari perut bagian bawahnya, membuat napasnya sesak untuk sesaat. Ia membencinya, namun tubuhnya berkhianat, merespons dengan cara yang tidak ia mengerti.
Sementara Wulan merekah, Ningsih justru melayu. Kulitnya semakin keriput, punggungnya kian membungkuk, dan napasnya sering tersengal saat berjalan pulang dari kebun.
Sore itu, seperti ribuan sore lainnya, mereka berjalan beriringan di jalan setapak yang diapit ladang singkong dan batas hutan larangan. Matahari mulai condong ke barat, memanjangkan bayangan mereka di atas tanah kering.
"Mbok, apa tidak sebaiknya kita istirahat sebentar?" Wulan menghentikan langkahnya, melihat ibunya yang terengah-engah.
Ningsih menggeleng pelan, seulas senyum tipis terukir di bibirnya yang pucat. "Sebentar lagi sampai, Nduk. Mbok masih kuat."
Wulan menatap wajah tua itu, wajah yang selalu memberinya kekuatan. Namun hari ini, ia melihat kerapuhan yang tak bisa lagi disembunyikan.
Saat itulah ia mendengarnya. Bukan dengan telinga, melainkan dengan sesuatu yang lebih dalam.
Sebuah panggilan tanpa suara, sebuah tarikan yang berasal dari jantung hutan larangan di sisi kanannya.
Dengungan lembut itu merayap masuk ke dalam benaknya, membius kesadarannya.
Tatapan Wulan menjadi kosong, terpaku pada deretan pepohonan yang gelap dan rapat. Kakinya bergerak sendiri, melangkah keluar dari jalan setapak, menapaki rerumputan liar menuju ke dalam hutan.
"Wulan! Mau ke mana, Nduk?" Suara Ningsih terdengar cemas, seperti datang dari kejauhan. "Jalan ke desa lewat sini!"
Wulan tidak mendengar. Dengungan itu semakin kuat, menariknya semakin dalam ke arah hutan larangan.
"Wulan! Jangan masuk ke sana! Itu hutan larangan!" Ningsih panik. Ia menjatuhkan keranjang berisi ubi dan sabitnya, berlari tertatih-tatih mengejar Wulan.
Napasnya memburu, dadanya terasa sesak. Ia berhasil meraih pergelangan tangan Wulan. "Nduk, sadar! Ayo kita pulang!"
Tangan Wulan terasa dingin dan kaku. Ia terus berjalan, menyeret Ningsih yang berusaha menahannya dengan sisa-sisa tenaganya.
Langit berubah warna dengan cepat, dari oranye menjadi ungu pekat. Kegelapan merayap turun dari puncak-puncak pohon, menelan mereka.
"Ya Gusti, sadarlah, Nak! Wulan!" Ningsih menangis, ketakutan mencengkeram hatinya.
Tiba-tiba, dari tanah yang lembap, akar-akar sebesar lengan orang dewasa melesat keluar. Akar-akar hitam itu bergerak seperti ular hidup, melilit pergelangan kaki dan tangan Wulan dengan kekuatan luar biasa.
Wulan terkesiap, tubuhnya terhempas ke tanah.
Benturan itu seolah menyetrum kesadarannya kembali. Kabut di matanya sirna, digantikan oleh kengerian saat ia melihat sulur-sulur akar yang membelitnya, merayap naik ke pahanya.
Dengungan di kepalanya berhenti, digantikan oleh suara gemerisik ribuan daun dari pohon beringin raksasa yang menjulang di atas mereka, pohon yang cabangnya seperti tangan-tangan monster yang siap menerkam.
"Mbok!" Wulan menjerit, berusaha melepaskan diri, tapi lilitan itu terlalu kuat.
"Tahan, Nduk! Tahan!"
Ningsih, tanpa ragu, memungut sabitnya yang tadi terjatuh. Dengan panik, ia membacok akar-akar yang menjerat putrinya. Satu putus, dua putus. Tapi akar-akar lain muncul lebih banyak, lebih cepat.
Sesaat kemudian, sebuah akar yang lebih besar dan berduri melesat dari kegelapan, melingkar di leher Ningsih yang kurus.
"Akh!"
Ningsih tercekik. Sabitnya terlepas dari genggaman. Tubuhnya terangkat dari tanah, terseret mundur ke arah beringin tua yang menjulang di tengah hutan larangan.
"MBOK!" Wulan berteriak histeris. Ia meronta, menarik-narik belitan di tubuhnya dengan putus asa. "Jangan! Lepaskan ibuku!"
Mata Ningsih melotot, wajahnya membiru karena kekurangan udara. Dengan sisa napas yang ia punya, ia menatap Wulan. Tatapannya tajam, penuh perintah.
"PERGI! CARI... MBAH BROTO!" suaranya serak, nyaris tak terdengar.
"HAHAHA"Tiba-tiba tawa Broto meledak, serak dan berat, mengguncang tubuh tambunnya hingga dipan kayu yang mereka duduki berderit. Tawa itu terdengar seperti ejekan kasar pada kepasrahan Wulan yang baru saja terucap.Wulan tersentak, rasa terhina menyengat pipinya lebih panas dari air mata."Kau pikir aku lelaki tua bejat yang hanya menginginkan tubuhmu?" Broto menyeka sudut matanya yang berair karena tawa, tatapannya merendahkan."Kau pikir aku serendah itu?"Wulan menunduk, jemarinya meremas kain jariknya dengan gugup. Ia tidak tahu harus berpikir apa."Dengar," Broto mencondongkan tubuhnya, aroma kemenyan dari pakaiannya kembali menguar pekat. "Tubuhmu ini… terlalu berharga. Terlalu mubazir jika hanya digunakan untuk kenikmatan sesaat. Itu pemborosan."Ia menatap Wulan lekat-lekat, matanya yang kecil kini berkilat-kilat dengan kegairahan yang berbeda, bukan nafsu, melainkan ambisi."Menyerahkan tubuhmu bukan berarti kau akan melayaniku di atas ranjang ini. Bukan. Ini jauh lebih bes
Balas dendam. Kata-kata itu membekukan air mata Wulan seperti embun membeku di daun pagi. Sebuah tujuan yang menyala-nyala di dalam rongga dadanya, sebuah pelampiasan untuk amarah yang membara dan luka yang menganga lebar seperti bekas sayatan."Bagaimana caranya?" bisiknya, penuh harap dengan suara serak yang gemetar, seolah membawa desahan terakhir dari arwah sang ibu."Aku bisa membantumu," Broto tersenyum tipis, senyum serigala yang menyembunyikan taring di balik bibir tipisnya. Di dalam hatinya, ia bersorak penuh kemenangan karena Wulan menarik umpannya."Aku bisa membuatmu lebih kuat dari mereka. Aku bisa memberimu kekuatan untuk memburu mereka yang telah membantai ibumu di depan matamu.""Aku mau, Mbah." Wulan menatapnya dengan tekad yang baru terbentuk, keras seperti baja yang telah dipanaskan di perapian dendam. Wajahnya yang basah oleh air mata kini mengeras, seolah dipahat dari batu granit kebencian."Lakukan apa saja. Aku mau membalas mereka.""Bagus." Broto menepuk lututn
Aroma minyak sereh dan akar-akaran kering yang menusuk hidung adalah hal pertama yang menyambut kesadaran Wulan.Namun, itu bukan bau tanah dan embun pagi di gubuknya. Bukan pula aroma singkong rebus yang biasa disiapkan Ningsih.Wulan membuka mata perlahan. Pandangannya kabur, menangkap siluet langit-langit dari anyaman bambu yang menghitam oleh jelaga, berbeda dari atap rumbia di rumahnya.Ia berbaring di atas dipan kayu yang keras dan dingin."Di mana aku?" Pikirannya masih berlapis kabut tebal, berat dan lengket.Ia mencoba duduk, merasakan nyeri di sekujur tubuhnya, setiap goresan di lengan dan kakinya perih seperti baru terjadi.Lalu, sekelebat bayangan melintas di benaknya. Kegelapan hutan. Akar-akar yang melilit. Jeritan.Sebuah kepala.Mata yang terbelalak menatapnya dari tanah."Mbok…"Kata itu keluar dari bibirnya dalam bisikan serak, dan seketika itu juga, bendungan di dalam dirinya pecah.Kabut di kepalanya tersingkap oleh badai kengerian yang menyapu tanpa ampun.Ia dudu
Mbah Broto. Nama itu bergema di benak Wulan yang kalut. Dukun berperut buncit itu.Pikiran Wulan melayang ke beberapa hari yang lalu. Tubuhnya menggigil karena masuk angin, dan Ningsih memanggil Mbah Broto untuk memijatnya. Lelaki tambun itu datang dengan aroma minyak kelapa dan kemenyan yang pekat."Buka sedikit kainmu, Nduk. Biar anginnya keluar," perintahnya dengan suara berat.Wulan menurut ragu. Ia berbaring miring, menyingkap kainnya hingga memperlihatkan perutnya yang rata. Mata Mbah Broto yang kecil seolah membesar, menatap tajam pusarnya, lalu naik ke lekuk rusuknya di bawah payudaranya yang terbungkus kebaya.Jemarinya yang besar dan berminyak mulai menekan titik-titik di punggungnya. Pijatannya kuat, terasa hingga ke tulang. Tapi kemudian, tangannya mulai berkelana.Jari-jarinya meraba-raba area di bawah ketiaknya, terlalu dekat dengan sisi payudaranya. Telunjuknya menari-nari di sekitar pusarnya, seolah sedang mempermainkan sesuatu."Di sini banyak anginnya," gumamnya, tap
Dua puluh tahun adalah usia yang matang. Bagi pohon mangga, ia adalah waktu untuk berbuah paling lebat. Bagi Wulan, ia adalah puncak dari sebuah mahakarya alam yang tak tersentuh.Lekuk tubuhnya kini tak lagi sekadar janji, melainkan sebuah pernyataan. Pinggulnya membulat penuh, dadanya yang padat membusung menantang di balik kebaya tipisnya. Setiap langkahnya adalah tarian pinggul yang membuat para lelaki di desa menelan ludah dengan susah payah.Ia menjadi pemandangan yang menyiksa sekaligus memabukkan. Para pemuda yang dulu mengejeknya kini hanya berani menatap dari kejauhan warung kopi, bisik-bisik mereka terdengar seperti desis ular di semak-semak.Para lelaki beristri akan mencuri pandang saat ia melewati sawah, lalu buru-buru menunduk saat tatapan sayu Wulan balas menatap mereka.Bahkan para kakek yang giginya sudah tanggal pun akan berhenti mengunyah sirih, mata mereka yang keruh mengikuti siluet Wulan hingga hilang di tikungan jalan.Kecantikan itu menjadi tembok yang lebih t
Tahun-tahun berlalu seperti aliran sungai di belakang gubuk; kadang deras, kadang tenang, namun selalu bergerak maju.Wulan tumbuh, merekah seperti kuncup bunga di pagi hari. Namun, kecantikannya yang mekar justru menjadi duri bagi dirinya sendiri.Wajah ovalnya berhias rambut hitam bergelombang dan sepasang mata sayu di bawah alis yang rapi. Bibirnya yang semerah saga selalu terkatup rapat, menyimpan dunia yang tak seorang pun di desa itu bisa masuki.Di bawah pohon nangka yang rindang, suara tawa anak-anak lain memecah udara siang yang panas. Mereka bermain gobak sodor di tanah lapang yang berdebu.Wulan hanya berdiri di kejauhan, memeluk lututnya di atas akar pohon yang menonjol.Ia ingin bergabung. Ia ingin merasakan telapak kakinya menari di atas garis kapur, merasakan adrenalin saat menghindari sentuhan lawan, dan tawa kemenangan saat berhasil menerobos benteng terakhir."Wulan, ayo main!" Suara salah satu anak laki-laki, Dodo, memanggilnya.Wulan mengangkat kepalanya, matanya y