Home / Horor / Terjebak Gairah Siluman / 3. Keindahan di hulu sungai

Share

3. Keindahan di hulu sungai

Author: Lincooln
last update Last Updated: 2025-10-13 18:27:05

Hari-hari Wulan kini memiliki ritme yang berbeda. Pagi di kebun bersama Ningsih, menanam dan menyiangi, lalu sore hari menjadi miliknya seorang. Ia tidak lagi bergegas pulang.

Sebaliknya, ia sengaja berlama-lama di wilayah abu-abu antara desa dan hutan larangan. Tepi hutan menjadi panggungnya, dan sungai adalah cerminnya.

"Kau mau ke mana lagi, Nduk? Sudah mau petang." Suara Ningsih terdengar cemas dari ambang pintu gubuk, tangannya yang keriput memegang erat gagang sabit.

Wulan yang baru saja menaruh keranjang berisi singkong, menoleh. Senyum tipis terukir di bibirnya.

"Cari ikan sebentar, Mbok. Di hulu airnya sedang jernih."

"Jangan terlalu ke sana. Dekat sekali dengan Batu Wingit. Tidak baik."

"Sebentar saja, Mbok."

Ia lalu melangkah pergi tanpa menunggu jawaban.

Kain jariknya yang berwarna cokelat pudar ia lilitkan lebih rendah dari biasanya, sengaja membiarkan pusarnya yang mungil dan dalam menjadi pusat perhatian, terbuka begitu saja di atas ikatan kain.

Punggungnya yang tegak menjauh, meninggalkan Ningsih dengan helaan napas berat dan tatapan yang tak lepas dari siluet putrinya hingga ditelan rimbun pepohonan.

Wulan tidak langsung menuju sungai. Langkahnya membawanya ke sebuah pohon jambu air yang tumbuh miring di pinggir jalan setapak.

Ia tahu pohon ini. Buahnya tidak banyak, tetapi selalu ada beberapa yang matang, tergantung rendah, menggoda untuk dipetik. Ia juga tahu, dari titik ini, tatapan-tatapan itu mulai terasa.

Seperti sengatan halus di kulit. Awalnya satu, dari arah rumpun bambu yang biasa. Lalu dua, tiga, dari balik pohon nangka di seberang.

Ia tidak perlu menoleh untuk memastikan. Ia merasakannya, seperti ia merasakan hangat matahari di punggungnya. Kehadiran mereka menjadi bagian dari alam di sekelilingnya.

Ia mendekati pohon jambu itu. Dengan pura-pura acuh, ia menjulurkan tangan kanannya, mencoba menggapai buah merah yang paling ranum. Jarinya kurang sedikit lagi.

"Hhh… tinggi sekali."

Gumamannya lebih mirip desahan. Ia berjinjit, seluruh tubuhnya menegang.

Gerakan itu membuat perutnya yang rata dan putih tertarik ke atas, otot-otot halusnya menegang dengan indah.

Pusarnya seolah menjadi mata lain yang menantang para penontonnya. Kain jarik yang melilit pinggulnya tertarik kencang, menjiplak lekuk bokongnya yang padat.

Ia bisa mendengar suara napas yang tercekat dari persembunyian mereka. Suara ranting yang tak sengaja terinjak.

Kepuasan menjalari dirinya, hangat dan memabukkan. Ia meraih buah itu, memutarnya perlahan sebelum menariknya lepas dari tangkai.

Ia tidak langsung memakannya. Ia bersandar di batang pohon, membelakangi para pengintipnya. Ia menggigit buah itu dengan pelan.

Suara renyah daging buah yang pecah terdengar jelas di keheningan sore. Sari buah yang manis menetes dari sudut bibirnya, mengalir turun melewati dagunya, menuju leher jenjangnya.

Ia tidak menyekanya. Ia membiarkan tetesan itu menelusuri lekuk di antara tulang selangkanya, lalu hilang di balik kebaya tipisnya.

Setelah buah itu habis, ia melanjutkan perjalanannya. Bukan lagi menyusuri jalan setapak, melainkan memotong jalan melewati semak belukar, semakin dekat ke arah hulu sungai yang sepi.

Di sini, bebatuan lebih besar dan air lebih dingin. Sebuah batu ceper yang lebar dan halus terhampar di tepi air, sebagian terendam, sebagian lagi kering dihangatkan sisa mentari. Tempat favoritnya.

Tanpa ragu, ia menanggalkan kebayanya, melemparkannya begitu saja ke atas rumput kering. Kini ia hanya berbalut kain jarik yang diikat tinggi di dada.

Ia melangkah masuk ke dalam air, membiarkan dinginnya menjalar dari mata kaki, betis, hingga ke pangkal paha. Ia bergidik, tetapi bukan karena dingin.

Ia menelungkup di atas batu ceper itu, membiarkan setengah tubuhnya terendam air dan setengahnya lagi terpanggang matahari senja.

Kain jarik yang basah menempel erat di kulitnya, menjadi lapisan tipis transparan yang tak menyembunyikan apa-apa.

Bentuk punggungnya yang melengkung, pinggangnya yang ramping, hingga gundukan bokongnya yang kenyal dan basah, semuanya terpahat dengan jelas.

Air sungai yang mengalir membelai perut dan dadanya dari bawah, sementara mata-mata liar itu membelainya dari kejauhan. Kombinasi yang membuatnya pusing oleh kenikmatan.

Ia memejamkan mata, memiringkan kepalanya. Rambutnya yang hitam panjang terurai di dalam air, mengambang seperti sulur-sulur gelap.

Ia bisa merasakan tatapan itu sekarang lebih intens, lebih lapar. Mereka pasti sudah bergerak lebih dekat, merayap dari satu pohon ke pohon lain, mencari sudut pandang yang lebih baik.

"Apa yang kalian lihat?" bisiknya pada angin. "Apa kalian menyukainya?"

Ia menggeliat pelan di atas batu, seperti kucing malas yang berjemur.

Gerakannya membuat kain basah itu bergeser, sedikit menyingkap sisi payudaranya.

Ia tahu. Ia sengaja. Ia ingin tahu sejauh mana ia bisa memancing mereka. Seberapa jauh ia bisa menari di tepi jurang kewarasan mereka.

Puas berbaring, ia bangkit. Ia berdiri di tengah aliran air setinggi pinggang. Kali ini, ia menghadap langsung ke arah hutan, tempat ia yakin sebagian besar mata itu bersembunyi.

Dengan gerakan yang lambat dan teatrikal, ia membungkuk, menangkupkan kedua telapak tangan, dan menyiramkan air ke wajah dan lehernya. Air mengalir turun membasahi dadanya yang terikat kain, membuatnya semakin berat dan transparan.

Lalu, ia mengangkat kedua tangannya, menyisir rambutnya yang basah ke belakang. Gerakan itu mengangkat payudaranya, membuatnya tampak lebih penuh dan menantang.

Ia meregangkan tubuhnya, memutar pinggangnya ke kiri dan ke kanan, seolah sedang melemaskan otot yang kaku.

Padahal, setiap gerakannya telah diperhitungkan. Setiap putaran pinggul, setiap lengkungan punggung, adalah undangan tanpa suara.

Ia adalah misteri yang terpampang nyata. Tubuh telanjang dalam selubung kain basah, keindahan yang dipersembahkan untuk mata-mata tak bernama di balik kegelapan yang mulai merayap.

Ia tidak tahu siapa mereka, dan ia tidak peduli. Yang ia tahu hanyalah sensasi berkuasa saat puluhan pasang mata itu menelannya bulat-bulat, terperangkap dalam pesonanya, tak berdaya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terjebak Gairah Siluman   81. Pindah ke Jakarta

    Cahaya pagi yang pucat menyelinap masuk melalui celah-celah dinding bilik, menusuk kelopak mata Wulan yang masih terpejam. Ia terbangun bukan karena cahaya itu, melainkan karena rasa hampa yang dingin dan menusuk dari pusat tubuhnya.Sebuah kekosongan yang berdenyut, sisa dari ekstasi yang dipenggal paksa, kenikmatan brutal yang tertunda dari Batara Durja. Kondisi ini jauh lebih menyiksa daripada rasa sakit fisik mana pun. Tubuhnya terasa gatal dari dalam, sebuah kebutuhan yang tidak terpenuhi yang membuatnya gelisah.Ia bergerak perlahan di atas dipan bambu yang berderit. Tubuhnya telanjang, hanya udara pagi yang lembap yang menyelimutinya. Di sampingnya, sehelai kain jarik teronggok seperti kulit ular yang ditinggalkan.Wulan segera meraihnya, melilitkan kain itu dengan gerakan cepat dan rapat di sekeliling tubuhnya, seolah kain itu bisa mengisi kekosongan di dalam dirinya.Gubuk itu terasa sunyi. Suara Broto ti

  • Terjebak Gairah Siluman   80. Portal gaib

    Kepala Broto masih tertunduk dalam. Udara di sekelilingnya terasa berat, dipenuhi aura kekuatan gurunya yang kini tidak lagi membakar dengan nafsu, melainkan menekan dengan rasa ingin tahu yang dingin.Pertanyaan itu menggantung di antara mereka, lebih berat dari keheningan malam itu sendiri."Dia… wadah yang hamba temukan, Guru.""Aku tidak bertanya apa dia. Aku bertanya siapa dia." Suara Durja kembali menggema di benak Broto, tidak sabar."Tangisnya bukan tangis perempuan yang kehilangan kenikmatan. Itu tangis karena kehilangan sesuatu yang lebih dalam. Sesuatu yang membuatnya mampu menolakku. Tidak ada manusia biasa yang bisa melakukannya."Broto menarik napas pelan, mengumpulkan kata-kata untuk merangkai sebuah kisah yang bukan miliknya. "Namanya Wulan. Dia tidak lahir di desa. Dia ditemukan.""Ditemukan di mana?""Di Hutan Larangan, Guru. Di tepi lembah yang menjadi bat

  • Terjebak Gairah Siluman   79. Siapa perempuan ini?

    Kekehan rendah yang bergetar di dada Durja adalah gempa kecil yang meruntuhkan sisa pertahanan Wulan.Ciuman itu berakhir dengan kasar, meninggalkan bibir Wulan bengkak dan perih, namun seluruh tubuhnya menjerit menginginkan lebih.Durja melepaskan cengkeramannya, hanya untuk mengangkat tubuh telanjang Wulan dengan mudah seolah ia tak berbobot.Dengan beberapa langkah, ia membanting tubuh Wulan ke atas batu pipih yang dingin di tepi sungai.Brakk"Emhh.."Punggung Wulan menghantam permukaan batu yang keras, membuatnya mengerang pelan. Namun rasa sakit itu segera lenyap, ditelan oleh gelombang gairah yang membakar.Sosok raksasa itu kini menjulang di atasnya, sebuah bayangan hitam mengerikan berlatar piringan purnama. Mata kuningnya yang menyala menatapnya dengan nafsu purba yang tak tertahankan.Tanpa basa-basi, Durja menekan tubuhnya, dan Wulan merasakan ujung kejantanannya yang luar biasa besar menekan pintu masuk liangnya yang telah basah oleh gairah dan ketakutan.Broto menyaksika

  • Terjebak Gairah Siluman   78. Sosok penakluk

    Akhirnya malam ritual pun tiba. Purnama menggantung sempurna di langit yang jernih, menumpahkan cahayanya ke atas hutan Halimun, mengubah daun-daun basah menjadi permata dan aliran sungai menjadi untaian perak cair.Di tepi sungai itu, di atas sebuah batu pipih yang dingin oleh embun malam, Wulan duduk bersila. Ia adalah persembahan yang hidup.Kain jarik yang membalutnya hanya menutupi separuh tubuhnya, dari dada hingga ke atas lutut. Simpul tunggal yang mengikat kain itu terselip di antara belahan dadanya. Dalam posisi bersila, pahanya yang putih mulus tersingkap, berkilauan diterpa cahaya bulan. Rambut hitamnya yang panjang bergelombang tergerai bebas, jatuh seperti tirai kelam di punggungnya yang putih mulus."Sudah siap?" suara Broto memecah keheningan dari balik punggungnya. Pria itu berdiri beberapa langkah di belakang, bersandar pada sebatang pohon besar, lengannya bersedekap."Saya siap, Mbah."

  • Terjebak Gairah Siluman   77. Batara Durja

    Jalan setapak yang mereka lalui terasa semakin sempit saat malam merayap turun, menelan sisa-sisa warna lembayung di ufuk barat.Keheningan pasca-badai di rumah Jaya masih membayangi langkah mereka, sebuah keheningan yang sarat akan pengkhianatan dan hati yang hancur.Wulan berjalan di belakang Broto, bayangan tuannya itu tampak besar dan menjulang dalam kegelapan yang mulai pekat.Akar-akar pohon yang menonjol dari tanah menjadi jebakan tak terlihat, membuatnya beberapa kali nyaris tersandung.Broto berhenti. Ia merogoh saku celananya, lalu sebuah benda persegi panjang berwarna hitam legam ada di tangannya.Dengan satu sentuhan ibu jari, benda itu menyala, memancarkan seberkas cahaya putih yang tajam dan dingin, membelah kegelapan di depan mereka.Cahaya itu menyorot jalan tanah yang basah, menampakkan setiap kerikil dan daun kering dengan jelas.Wulan tertegun. Matanya terpaku pada sumber cahaya itu. Benda aneh yang ada di genggaman Broto.Di desanya dulu, ia pernah sekali melihat s

  • Terjebak Gairah Siluman   76. Cinta buta (end case 1)

    Helaan napas panjang dan bergetar itu memecah keheningan ruang tamu yang beku. Rani mengangkat kepalanya yang tertunduk, untuk pertama kalinya sejak Wulan keluar dari kamar Surya.Wajahnya yang dulu selalu terlihat anggun dan terawat kini pucat dan lumat oleh air mata yang telah mengering, menyisakan jejak-jejak keputusasaan.Matanya yang bengkak menatap kosong ke lantai kayu, tidak berani bertemu pandang dengan siapa pun."Aku… aku mengenalnya sebelum aku mengenalmu, Kangmas."Suara Rani serak, nyaris tak terdengar. Kata-kata itu ditujukan untuk Jaya, sebilah pisau pertama yang ia hunjamkan ke jantung lelaki yang duduk membatu di seberangnya."Irwan… kami tumbuh di desa yang sama. Jauh sebelum aku datang ke sini."Jaya tidak bereaksi. Wajahnya seperti topeng pualam yang retak, matanya menatap lurus ke depan, melihat sesuatu yang tidak ada di sana."Lalu kenapa kau mau menikah denganku?" Suara Jaya datar, kosong, tanpa emosi. Sebuah pertanyaan dari reruntuhan hati.Tawa kecil yang get

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status