Home / Horor / Terjebak Gairah Siluman / 4. Maut dari Hutan Larangan

Share

4. Maut dari Hutan Larangan

Author: Lincooln
last update Last Updated: 2025-10-13 18:32:24

Pusaran waktu yang menginjak dua puluh lima tahun meniupkan bisikan aneh ke dalam jiwa Wulan.

Setiap kali ia dan ibunya menyusuri jalan setapak sepulang dari kebun, sebuah panggilan tanpa suara menggema dari arah hutan larangan.

Panggilan itu seperti senandung lirih, menarik-narik kesadarannya, mengundangnya masuk ke dalam kungkungan bayang-bayang pepohonan rapat.

Awalnya ia menepisnya sebagai angan-angan kosong, kelelahan setelah seharian membanting tulang di bawah matahari. Tetapi bisikan itu menolak pergi, justru semakin menguat setiap senja merayap turun.

Di kolam pancuran langganannya, tempat ia biasa memamerkan tubuhnya pada tatapan-tatapan lapar dari seberang sungai, sebuah sensasi baru yang mengerikan mulai menjalar.

Ia masih merasakan mata-mata para lelaki desa yang bersembunyi di balik rumpun bambu, tetapi kini ada tatapan lain yang ikut bergabung.

Jauh di belakang mereka, dari kedalaman hutan larangan yang gelap, beberapa pasang mata baru mengawasinya.

Tatapan itu kelam, hampa, dan memancarkan aura dingin yang membuat dadanya sesak. Tidak seperti tatapan para lelaki yang penuh nafsu duniawi, tatapan ini terasa menguliti tubuh dan jiwanya.

Setiap sore, saat matahari semakin tergelincir ke ufuk barat, mata-mata kelam itu terasa merayap mendekat.

Sehari sebelumnya mereka mengintip dari balik pohon beringin raksasa di kejauhan, hari ini mereka seolah telah berpindah ke pohon randu alas yang lebih dekat ke tepi sungai.

Rasa takut yang menusuk bercampur dengan gairah aneh yang lebih pekat dari biasanya. Napasnya memburu, puncak dadanya menegang bukan hanya karena dinginnya air, tetapi juga karena teror yang menggairahkan itu.

Ia hampir larut, tubuhnya mulai lunglai di dalam air, matanya setengah terpejam.

"Wulan! Nduk, ayo mentas!"

Teriakan Ningsih yang sarat kekhawatiran menyentaknya kembali ke dunia nyata. Ibunya berdiri di tepi sungai, wajah tuanya pias pasi, tangannya melambai-lambai panik.

"Cepat naik! Sudah mau malam!"

Wulan tergagap, segera meraih kain jariknya dan melilitkannya ke tubuh dengan tergesa. Ia bergegas naik ke darat, tetesan air dari tubuhnya membasahi tanah kering.

Ningsih langsung menyambar lengannya, menariknya menjauh dari bibir sungai.

"Kamu kenapa, to, Nduk? Melamun saja dari tadi. Mbok panggil-panggil tidak dengar."

Ningsih memeluknya erat, tubuh ringkih itu bergetar hebat. Air mata mulai membasahi pipinya yang keriput. "Jangan sekali-kali melamun di sini. Hutan itu angker, Nduk. Bahaya."

Wulan hanya bisa diam dalam pelukan ibunya, jantungnya masih berdebar kencang. Ia ingin menceritakan tentang tatapan-tatapan aneh itu, tetapi lidahnya terasa kelu.

Dalam hati Ningsih, ketakutan yang lebih dalam mencengkeram. Ia teringat buntalan kain penuh darah yang ia temukan bertahun-tahun lalu di tepi hutan itu.

Firasat buruk membisikinya bahwa bahaya yang dulu membuang Wulan kini telah kembali untuk menjemputnya.

"Kita harus ke tempat Mbah Broto," putus Ningsih setelah melepaskan pelukannya, suaranya tegas bercampur cemas.

"Untuk apa, Mbok?"

"Kamu ini kesambet. Harus diobati sebelum terlambat." Ningsih menarik tangan Wulan, setengah menyeretnya menyusuri jalan setapak menuju gubuk sang dukun di kaki Gunung Halimun.

Gubuk Mbah Broto berdiri menyendiri, dikelilingi pagar bambu dan kepulan asap dupa yang aromanya menusuk hidung.

Broto, dengan tubuh tambunnya yang hanya berbalut sarung setinggi dada, sedang duduk di bale-bale depan saat mereka tiba. Matanya yang sipit langsung tertuju pada Wulan.

Tatapannya menelusuri Wulan dari ujung rambut hingga ujung kaki, sebuah senyum tipis tersungging di bibirnya yang tebal. Anak kecil jelita yang dulu ia lihat kini telah menjadi perempuan ranum yang siap dipetik.

"Ada apa, Ningsih? Tumben sore-sore kemari." Suara Broto berat dan serak.

"Tolong anakku, Mbah." Ningsih mendorong Wulan sedikit ke depan. "Akhir-akhir ini dia sering melamun. Saya takut dia kena sawan dari hutan larangan."

Broto mengangguk pelan, matanya tak lepas dari Wulan. "Masuklah. Biar saya lihat."

Di dalam gubuk yang remang dan pengap, Broto menyuruh Wulan berbaring di atas dipan kayu. Wulan menurut dengan ragu, jantungnya berdebar tak karuan di bawah tatapan sang dukun.

"Tenang saja, Nduk. Pejamkan matamu."

Broto berdiri di samping dipan. Jemarinya yang gemuk dan berkuku kotor terulur. Ujung jari telunjuknya yang dingin menyentuh dagu Wulan, lalu menelusuri turun dengan perlahan.

Jari itu melewati leher jenjangnya, berhenti sejenak di lekukan di antara tulang selangka, lalu melanjutkan perjalanannya ke bawah, tepat di celah kedua payudaranya yang padat.

Wulan menahan napas, tubuhnya menegang. Jari itu terus merayap turun, melewati perutnya yang rata, lalu berhenti tepat di pusarnya, menekannya dengan lembut.

"Sshh..."

Sebuah desahan lirih lolos dari bibir Wulan. Tubuhnya menggelinjang tanpa ia sadari. Sensasi aneh menjalar dari pusarnya, panas dan menggelitik, membangkitkan gairah yang selama ini hanya ia rasakan di sungai.

Broto menarik tangannya, matanya menyipit penuh perhitungan. Ia melihat aura yang aneh menyelubungi Wulan.

Indah, menggoda, tetapi juga kosong. Sebuah wadah sempurna yang siap diisi oleh kekuatan besar. Ia menoleh ke arah Ningsih yang menunggu dengan cemas di ambang pintu.

"Ningsih, kemari. Biarkan dia istirahat sejenak." Broto memberi isyarat agar Ningsih mengikutinya keluar.

Di beranda depan, Broto menatap tajam ke arah Ningsih. "Anakmu tidak kesambet biasa."

"Lalu kenapa, Mbah?"

"Ada yang mengincarnya. Sesuatu dari hutan itu." Broto menghela napas berat. "Sesuatu yang besar menginginkannya sebagai wadah. Sejak dulu aku sudah curiga, sejak kau ceritakan asal-usulnya. Tapi aku tak menyangka potensinya sebesar ini."

Wajah Ningsih semakin pucat. "Lalu... apa yang harus saya lakukan, Mbah?"

"Jaga dia baik-baik. Jangan biarkan dia dekat-dekat hutan itu lagi, terutama saat sandekala. Bawa dia pulang sekarang. Hati-hati di jalan."

Ningsih mengangguk patuh. Kekhawatiran kini telah berubah menjadi teror yang nyata.

Ia membangunkan Wulan yang masih setengah linglung, lalu bergegas pamit pulang, menarik tangan anaknya seolah takut direnggut dari sisinya.

Langit sudah berubah warna menjadi ungu pekat saat mereka kembali menyusuri jalan setapak yang diapit hutan larangan.

Peringatan Broto masih terngiang-ngiang di telinga Ningsih. Ia mempercepat langkahnya, menggenggam tangan Wulan semakin erat.

Namun, tepat saat mereka melewati batu legam tempat Wulan pertama kali ditemukan, langkah Wulan tiba-tiba melambat.

Genggamannya melemah. Tatapannya menjadi kosong, terpaku pada kegelapan di antara pepohonan.

Bisikan itu kini bukan lagi senandung lirih, melainkan perintah yang tak bisa ia bantah.

"Wulan?" Ningsih menarik tangannya, tetapi Wulan tidak merespons.

"Nduk, ayo jalan! Jangan berhenti di sini!"

Wulan melepaskan genggaman ibunya. Dengan gerakan seperti boneka tali, ia berbalik dan melangkah masuk ke dalam hutan larangan, menembus barisan semak belukar pertama.

"Wulan! Jangan!" Ningsih menjerit panik. Ia berlari mengejar dan berhasil meraih lengan anaknya. "Sadarlah, Nduk! Kita harus pulang!"

Ia menarik sekuat tenaga, tetapi tubuh Wulan terasa berat seperti batu.

Tatapannya tetap kosong, kakinya terus melangkah, menyeret Ningsih yang terseok-seok mengikutinya semakin dalam ke jantung hutan yang gelap dan menyesakkan.

Langit di atas mereka nyaris tak terlihat, tertutup kanopi daun yang rapat.

Tiba-tiba, Wulan tersentak dan jatuh ke depan. Akar-akar sebesar lengan dari pohon beringin tua raksasa di hadapan mereka melilit pergelangan tangan dan kakinya, mencengkeramnya dengan kekuatan luar biasa.

Rasa sakit yang tajam akhirnya menyadarkan Wulan. Matanya yang semula kosong kini membelalak ngeri.

Ia melihat dirinya terjerat, tak bisa bergerak. Di sampingnya, ibunya berteriak-teriak histeris, menebas-nebas akar yang melilitnya dengan sabit kecil yang selalu ia bawa dari kebun.

"Lepaskan anakku! Jangan kau ambil dia!"

Tebasan sabit itu sia-sia. Akar-akar itu terlalu liat dan kuat. Sesaat kemudian, sebuah akar lain yang lebih besar melesat dari kegelapan seperti ular, melilit leher Ningsih dan menariknya ke atas.

"Ohokk Ohokk!"

Ningsih terbatuk, kakinya menendang-nendang udara, matanya melotot. Sabitnya jatuh ke tanah.

"Mbok!" Wulan menjerit, mencoba bangkit tetapi jeratan di tubuhnya semakin kencang.

Dengan sisa napas terakhirnya, Ningsih menatap Wulan. Wajahnya membiru.

"Mbah... Broto..." desisnya terbata-bata. "Minta... tolong... Mbah Broto... Lari, Nduk... lari!"

Akar-akar yang menjerat Wulan tiba-tiba mengendur, seolah sengaja melepaskannya. Tanpa berpikir dua kali, didorong oleh teror dan perintah terakhir ibunya, Wulan bangkit dan berlari.

Ia berlari membabi buta, tak peduli ranting yang mencakar wajah dan kakinya. Ia hanya punya satu tujuan: gubuk Mbah Broto.

Teriakan Wulan yang membelah keheningan malam terdengar bahkan sebelum ia mencapai kaki gunung.

"Mbah! Mbah Broto, tolong! Tolong ibuku!"

Broto yang sedang bersiap untuk ritual malamnya langsung berdiri tegak. Ia mengenali nada keputusasaan dalam jeritan itu. Sesuatu yang ia takutkan telah terjadi. Ia segera menyambar tombak pendek dari sudut gubuknya dan berlari keluar.

Tubuh tambunnya bergerak dengan kecepatan yang mengejutkan. Ia bertemu Wulan yang tersungkur kelelahan di tengah jalan. Tanpa banyak bicara, Broto membantunya berdiri.

"Di mana ibumu?" tanyanya cepat.

"Di... di dalam hutan... beringin tua..." jawab Wulan terengah-engah.

"Ayo!"

Mereka berdua berlari kembali, membelah malam menuju tepi hutan larangan. Deru napas Broto yang berat dan isak tangis Wulan menjadi satu-satunya musik pengiring langkah panik mereka.

Tepat saat mereka tiba di perbatasan hutan, di dekat batu legam itu, sebuah benda besar terlempar dengan keras dari kegelapan, mendarat dengan bunyi gedebuk basah di atas tanah.

Brukk

Itu adalah tubuh Ningsih. Tanpa kepala.

Sesaat kemudian, benda lain menggelinding keluar dari semak-semak, berhenti tepat di kaki Wulan. Kepala Ningsih. Matanya masih terbuka lebar, memantulkan cahaya bulan yang pucat, ekspresinya membeku dalam teror abadi.

Wulan menatap pemandangan itu. Otaknya menolak untuk memproses. Kemudian, sebuah teriakan yang bukan lagi milik manusia keluar dari tenggorokannya.

"MBOOOKKK!!!"

Teriakan yang merobek langit malam, penuh kengerian dan kehilangan. Matanya memutih, dan tubuhnya yang lunglai jatuh ke belakang.

Sebelum kepalanya membentur tanah, sepasang lengan besar dan kokoh milik Broto menangkapnya. Ia memeluk tubuh Wulan yang pingsan, matanya menatap tajam ke dalam kegelapan hutan dengan ekspresi yang sulit diartikan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terjebak Gairah Siluman   81. Pindah ke Jakarta

    Cahaya pagi yang pucat menyelinap masuk melalui celah-celah dinding bilik, menusuk kelopak mata Wulan yang masih terpejam. Ia terbangun bukan karena cahaya itu, melainkan karena rasa hampa yang dingin dan menusuk dari pusat tubuhnya.Sebuah kekosongan yang berdenyut, sisa dari ekstasi yang dipenggal paksa, kenikmatan brutal yang tertunda dari Batara Durja. Kondisi ini jauh lebih menyiksa daripada rasa sakit fisik mana pun. Tubuhnya terasa gatal dari dalam, sebuah kebutuhan yang tidak terpenuhi yang membuatnya gelisah.Ia bergerak perlahan di atas dipan bambu yang berderit. Tubuhnya telanjang, hanya udara pagi yang lembap yang menyelimutinya. Di sampingnya, sehelai kain jarik teronggok seperti kulit ular yang ditinggalkan.Wulan segera meraihnya, melilitkan kain itu dengan gerakan cepat dan rapat di sekeliling tubuhnya, seolah kain itu bisa mengisi kekosongan di dalam dirinya.Gubuk itu terasa sunyi. Suara Broto ti

  • Terjebak Gairah Siluman   80. Portal gaib

    Kepala Broto masih tertunduk dalam. Udara di sekelilingnya terasa berat, dipenuhi aura kekuatan gurunya yang kini tidak lagi membakar dengan nafsu, melainkan menekan dengan rasa ingin tahu yang dingin.Pertanyaan itu menggantung di antara mereka, lebih berat dari keheningan malam itu sendiri."Dia… wadah yang hamba temukan, Guru.""Aku tidak bertanya apa dia. Aku bertanya siapa dia." Suara Durja kembali menggema di benak Broto, tidak sabar."Tangisnya bukan tangis perempuan yang kehilangan kenikmatan. Itu tangis karena kehilangan sesuatu yang lebih dalam. Sesuatu yang membuatnya mampu menolakku. Tidak ada manusia biasa yang bisa melakukannya."Broto menarik napas pelan, mengumpulkan kata-kata untuk merangkai sebuah kisah yang bukan miliknya. "Namanya Wulan. Dia tidak lahir di desa. Dia ditemukan.""Ditemukan di mana?""Di Hutan Larangan, Guru. Di tepi lembah yang menjadi bat

  • Terjebak Gairah Siluman   79. Siapa perempuan ini?

    Kekehan rendah yang bergetar di dada Durja adalah gempa kecil yang meruntuhkan sisa pertahanan Wulan.Ciuman itu berakhir dengan kasar, meninggalkan bibir Wulan bengkak dan perih, namun seluruh tubuhnya menjerit menginginkan lebih.Durja melepaskan cengkeramannya, hanya untuk mengangkat tubuh telanjang Wulan dengan mudah seolah ia tak berbobot.Dengan beberapa langkah, ia membanting tubuh Wulan ke atas batu pipih yang dingin di tepi sungai.Brakk"Emhh.."Punggung Wulan menghantam permukaan batu yang keras, membuatnya mengerang pelan. Namun rasa sakit itu segera lenyap, ditelan oleh gelombang gairah yang membakar.Sosok raksasa itu kini menjulang di atasnya, sebuah bayangan hitam mengerikan berlatar piringan purnama. Mata kuningnya yang menyala menatapnya dengan nafsu purba yang tak tertahankan.Tanpa basa-basi, Durja menekan tubuhnya, dan Wulan merasakan ujung kejantanannya yang luar biasa besar menekan pintu masuk liangnya yang telah basah oleh gairah dan ketakutan.Broto menyaksika

  • Terjebak Gairah Siluman   78. Sosok penakluk

    Akhirnya malam ritual pun tiba. Purnama menggantung sempurna di langit yang jernih, menumpahkan cahayanya ke atas hutan Halimun, mengubah daun-daun basah menjadi permata dan aliran sungai menjadi untaian perak cair.Di tepi sungai itu, di atas sebuah batu pipih yang dingin oleh embun malam, Wulan duduk bersila. Ia adalah persembahan yang hidup.Kain jarik yang membalutnya hanya menutupi separuh tubuhnya, dari dada hingga ke atas lutut. Simpul tunggal yang mengikat kain itu terselip di antara belahan dadanya. Dalam posisi bersila, pahanya yang putih mulus tersingkap, berkilauan diterpa cahaya bulan. Rambut hitamnya yang panjang bergelombang tergerai bebas, jatuh seperti tirai kelam di punggungnya yang putih mulus."Sudah siap?" suara Broto memecah keheningan dari balik punggungnya. Pria itu berdiri beberapa langkah di belakang, bersandar pada sebatang pohon besar, lengannya bersedekap."Saya siap, Mbah."

  • Terjebak Gairah Siluman   77. Batara Durja

    Jalan setapak yang mereka lalui terasa semakin sempit saat malam merayap turun, menelan sisa-sisa warna lembayung di ufuk barat.Keheningan pasca-badai di rumah Jaya masih membayangi langkah mereka, sebuah keheningan yang sarat akan pengkhianatan dan hati yang hancur.Wulan berjalan di belakang Broto, bayangan tuannya itu tampak besar dan menjulang dalam kegelapan yang mulai pekat.Akar-akar pohon yang menonjol dari tanah menjadi jebakan tak terlihat, membuatnya beberapa kali nyaris tersandung.Broto berhenti. Ia merogoh saku celananya, lalu sebuah benda persegi panjang berwarna hitam legam ada di tangannya.Dengan satu sentuhan ibu jari, benda itu menyala, memancarkan seberkas cahaya putih yang tajam dan dingin, membelah kegelapan di depan mereka.Cahaya itu menyorot jalan tanah yang basah, menampakkan setiap kerikil dan daun kering dengan jelas.Wulan tertegun. Matanya terpaku pada sumber cahaya itu. Benda aneh yang ada di genggaman Broto.Di desanya dulu, ia pernah sekali melihat s

  • Terjebak Gairah Siluman   76. Cinta buta (end case 1)

    Helaan napas panjang dan bergetar itu memecah keheningan ruang tamu yang beku. Rani mengangkat kepalanya yang tertunduk, untuk pertama kalinya sejak Wulan keluar dari kamar Surya.Wajahnya yang dulu selalu terlihat anggun dan terawat kini pucat dan lumat oleh air mata yang telah mengering, menyisakan jejak-jejak keputusasaan.Matanya yang bengkak menatap kosong ke lantai kayu, tidak berani bertemu pandang dengan siapa pun."Aku… aku mengenalnya sebelum aku mengenalmu, Kangmas."Suara Rani serak, nyaris tak terdengar. Kata-kata itu ditujukan untuk Jaya, sebilah pisau pertama yang ia hunjamkan ke jantung lelaki yang duduk membatu di seberangnya."Irwan… kami tumbuh di desa yang sama. Jauh sebelum aku datang ke sini."Jaya tidak bereaksi. Wajahnya seperti topeng pualam yang retak, matanya menatap lurus ke depan, melihat sesuatu yang tidak ada di sana."Lalu kenapa kau mau menikah denganku?" Suara Jaya datar, kosong, tanpa emosi. Sebuah pertanyaan dari reruntuhan hati.Tawa kecil yang get

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status