Mbah Broto. Nama itu bergema di benak Wulan yang kalut. Dukun berperut buncit itu.
Pikiran Wulan melayang ke beberapa hari yang lalu. Tubuhnya menggigil karena masuk angin, dan Ningsih memanggil Mbah Broto untuk memijatnya. Lelaki tambun itu datang dengan aroma minyak kelapa dan kemenyan yang pekat.
"Buka sedikit kainmu, Nduk. Biar anginnya keluar," perintahnya dengan suara berat.
Wulan menurut ragu. Ia berbaring miring, menyingkap kainnya hingga memperlihatkan perutnya yang rata. Mata Mbah Broto yang kecil seolah membesar, menatap tajam pusarnya, lalu naik ke lekuk rusuknya di bawah payudaranya yang terbungkus kebaya.
Jemarinya yang besar dan berminyak mulai menekan titik-titik di punggungnya. Pijatannya kuat, terasa hingga ke tulang. Tapi kemudian, tangannya mulai berkelana.
Jari-jarinya meraba-raba area di bawah ketiaknya, terlalu dekat dengan sisi payudaranya. Telunjuknya menari-nari di sekitar pusarnya, seolah sedang mempermainkan sesuatu.
"Di sini banyak anginnya," gumamnya, tapi matanya tidak menatap titik yang ia pijat. Matanya terpaku pada wajah Wulan yang memerah.
Wulan merasa risih, tetapi di saat yang sama, sengatan aneh menjalar dari setiap sentuhan itu.
Perutnya terasa panas. Ada gairah yang menggelitik, membuatnya menggigit bibir bawahnya untuk menahan desahan yang entah mengapa ingin keluar.
Setelah selesai, saat Wulan merapikan kembali kainnya, ia melihat Mbah Broto menarik Ningsih ke sudut gubuk.
"Jaga anakmu baik-baik, Ningsih," bisik Broto dengan nada serius, tapi cukup keras untuk didengar Wulan.
"Dia sudah matang. Bulan purnama berikutnya, akan ada yang datang menjemputnya. Yang membawanya tidak akan bertanya baik-baik."
Ningsih hanya mengangguk pucat, wajahnya tegang.
Kini, peringatan itu menjadi kenyataan.
"LARI, WULAN! PANGGIL MBAH BROTO!" teriakan terakhir Ningsih menyentakkan Wulan kembali ke masa kini yang mengerikan.
Ibunya diseret semakin jauh ke dalam kegelapan pekat di bawah pohon beringin. Ini bukan permintaan. Ini adalah perintah terakhir, satu-satunya cara agar Wulan selamat.
Dengan kekuatan yang lahir dari keputusasaan, Wulan menarik kakinya sekuat tenaga. Lilitan akar itu merobek kulitnya, tapi ia tidak peduli.
Ia berhasil membebaskan satu kakinya, lalu kakinya yang lain. Ia bangkit, terhuyung-huyung, dan berlari.
Ia tidak menoleh ke belakang. Ia hanya berlari, menembus semak belukar, ranting-ranting mencabik wajah dan lengannya.
Rumah Mbah Broto. Di kaki Gunung Halimun. Jalan setapak yang ia lewati saat mengantar ibunya pulang tempo hari terbayang jelas di benaknya.
Ia berlari membabi buta ke arah itu. Air mata dan ingus membanjiri wajahnya.
"MBAH BROTO! TOLONG! MBAH!" teriaknya sekuat tenaga. Suaranya pecah, parau, mengoyak kesunyian malam. "IBUKU! TOLONG!"
Di pekarangan rumahnya yang terpencil, Mbah Broto sedang menyeruput kopi hitamnya. Ia tersentak saat mendengar teriakan putus asa yang terbawa angin. Ia kenal suara itu. Ia juga paham arti dari teriakan itu.
"Sialan! Mereka datang lebih cepat!" umpatnya.
Tanpa membuang waktu, ia melempar cangkir batok kelapanya ke tanah. Tubuhnya yang tambun bergerak dengan kecepatan yang mengejutkan.
Ia melompat dari bale-bale bambunya dan berlari menuruni lereng, menyongsong arah suara.
Ia menemukan Wulan di tengah jalan setapak, tersandung dan jatuh, lalu bangkit lagi dengan panik.
Pakaiannya compang-camping, tubuhnya penuh goresan.
"Mbah! Ibuku..." Wulan terisak, menunjuk ke arah hutan dengan tangan gemetar.
"Aku tahu!" Broto meraih lengan Wulan. "Ayo kembali! Cepat!"
Mereka berdua berlari kembali ke tepi hutan larangan. Jantung Wulan serasa mau meledak, antara lelah dan ketakutan yang mencekik.
Napas Broto memburu, wajahnya merah padam karena berlari.
Mereka tiba tepat pada waktunya untuk menyaksikan akhir dari segalanya.
Dari dalam kegelapan hutan, sebuah benda terlempar dengan keras, mendarat di tanah dengan bunyi gedebuk yang basah.
Itu adalah tubuh Ningsih. Tanpa kepala. Darah segar menyembur dari lehernya, membasahi tanah kering di sekitarnya.
Sebelum Wulan sempat memproses kengerian itu, benda lain menggelinding keluar dari kegelapan, berhenti tepat di dekat kakinya.
Kepala Ningsih. Matanya masih terbuka lebar, menatap kosong ke langit yang kini telah gelap total.
Mulutnya sedikit terbuka, seolah ingin meneriakkan nama putrinya untuk terakhir kali.
Waktu seolah berhenti. Wulan menatap kepala itu, lalu ke tubuh tanpa nyawa di sana. Dunia di sekelilingnya berputar. Suara di telinganya menghilang, digantikan oleh dengungan nyaring.
"Tidaaaaaakkk..."
Sebuah jeritan melengking keluar dari tenggorokannya. Matanya memutih, dan kegelapan menelannya sepenuhnya.
Tubuhnya yang lunglai ambruk, namun sebelum menyentuh tanah, sepasang lengan besar dan kokoh milik Broto menangkapnya.
"HAHAHA"Tiba-tiba tawa Broto meledak, serak dan berat, mengguncang tubuh tambunnya hingga dipan kayu yang mereka duduki berderit. Tawa itu terdengar seperti ejekan kasar pada kepasrahan Wulan yang baru saja terucap.Wulan tersentak, rasa terhina menyengat pipinya lebih panas dari air mata."Kau pikir aku lelaki tua bejat yang hanya menginginkan tubuhmu?" Broto menyeka sudut matanya yang berair karena tawa, tatapannya merendahkan."Kau pikir aku serendah itu?"Wulan menunduk, jemarinya meremas kain jariknya dengan gugup. Ia tidak tahu harus berpikir apa."Dengar," Broto mencondongkan tubuhnya, aroma kemenyan dari pakaiannya kembali menguar pekat. "Tubuhmu ini… terlalu berharga. Terlalu mubazir jika hanya digunakan untuk kenikmatan sesaat. Itu pemborosan."Ia menatap Wulan lekat-lekat, matanya yang kecil kini berkilat-kilat dengan kegairahan yang berbeda, bukan nafsu, melainkan ambisi."Menyerahkan tubuhmu bukan berarti kau akan melayaniku di atas ranjang ini. Bukan. Ini jauh lebih bes
Balas dendam. Kata-kata itu membekukan air mata Wulan seperti embun membeku di daun pagi. Sebuah tujuan yang menyala-nyala di dalam rongga dadanya, sebuah pelampiasan untuk amarah yang membara dan luka yang menganga lebar seperti bekas sayatan."Bagaimana caranya?" bisiknya, penuh harap dengan suara serak yang gemetar, seolah membawa desahan terakhir dari arwah sang ibu."Aku bisa membantumu," Broto tersenyum tipis, senyum serigala yang menyembunyikan taring di balik bibir tipisnya. Di dalam hatinya, ia bersorak penuh kemenangan karena Wulan menarik umpannya."Aku bisa membuatmu lebih kuat dari mereka. Aku bisa memberimu kekuatan untuk memburu mereka yang telah membantai ibumu di depan matamu.""Aku mau, Mbah." Wulan menatapnya dengan tekad yang baru terbentuk, keras seperti baja yang telah dipanaskan di perapian dendam. Wajahnya yang basah oleh air mata kini mengeras, seolah dipahat dari batu granit kebencian."Lakukan apa saja. Aku mau membalas mereka.""Bagus." Broto menepuk lututn
Aroma minyak sereh dan akar-akaran kering yang menusuk hidung adalah hal pertama yang menyambut kesadaran Wulan.Namun, itu bukan bau tanah dan embun pagi di gubuknya. Bukan pula aroma singkong rebus yang biasa disiapkan Ningsih.Wulan membuka mata perlahan. Pandangannya kabur, menangkap siluet langit-langit dari anyaman bambu yang menghitam oleh jelaga, berbeda dari atap rumbia di rumahnya.Ia berbaring di atas dipan kayu yang keras dan dingin."Di mana aku?" Pikirannya masih berlapis kabut tebal, berat dan lengket.Ia mencoba duduk, merasakan nyeri di sekujur tubuhnya, setiap goresan di lengan dan kakinya perih seperti baru terjadi.Lalu, sekelebat bayangan melintas di benaknya. Kegelapan hutan. Akar-akar yang melilit. Jeritan.Sebuah kepala.Mata yang terbelalak menatapnya dari tanah."Mbok…"Kata itu keluar dari bibirnya dalam bisikan serak, dan seketika itu juga, bendungan di dalam dirinya pecah.Kabut di kepalanya tersingkap oleh badai kengerian yang menyapu tanpa ampun.Ia dudu
Mbah Broto. Nama itu bergema di benak Wulan yang kalut. Dukun berperut buncit itu.Pikiran Wulan melayang ke beberapa hari yang lalu. Tubuhnya menggigil karena masuk angin, dan Ningsih memanggil Mbah Broto untuk memijatnya. Lelaki tambun itu datang dengan aroma minyak kelapa dan kemenyan yang pekat."Buka sedikit kainmu, Nduk. Biar anginnya keluar," perintahnya dengan suara berat.Wulan menurut ragu. Ia berbaring miring, menyingkap kainnya hingga memperlihatkan perutnya yang rata. Mata Mbah Broto yang kecil seolah membesar, menatap tajam pusarnya, lalu naik ke lekuk rusuknya di bawah payudaranya yang terbungkus kebaya.Jemarinya yang besar dan berminyak mulai menekan titik-titik di punggungnya. Pijatannya kuat, terasa hingga ke tulang. Tapi kemudian, tangannya mulai berkelana.Jari-jarinya meraba-raba area di bawah ketiaknya, terlalu dekat dengan sisi payudaranya. Telunjuknya menari-nari di sekitar pusarnya, seolah sedang mempermainkan sesuatu."Di sini banyak anginnya," gumamnya, tap
Dua puluh tahun adalah usia yang matang. Bagi pohon mangga, ia adalah waktu untuk berbuah paling lebat. Bagi Wulan, ia adalah puncak dari sebuah mahakarya alam yang tak tersentuh.Lekuk tubuhnya kini tak lagi sekadar janji, melainkan sebuah pernyataan. Pinggulnya membulat penuh, dadanya yang padat membusung menantang di balik kebaya tipisnya. Setiap langkahnya adalah tarian pinggul yang membuat para lelaki di desa menelan ludah dengan susah payah.Ia menjadi pemandangan yang menyiksa sekaligus memabukkan. Para pemuda yang dulu mengejeknya kini hanya berani menatap dari kejauhan warung kopi, bisik-bisik mereka terdengar seperti desis ular di semak-semak.Para lelaki beristri akan mencuri pandang saat ia melewati sawah, lalu buru-buru menunduk saat tatapan sayu Wulan balas menatap mereka.Bahkan para kakek yang giginya sudah tanggal pun akan berhenti mengunyah sirih, mata mereka yang keruh mengikuti siluet Wulan hingga hilang di tikungan jalan.Kecantikan itu menjadi tembok yang lebih t
Tahun-tahun berlalu seperti aliran sungai di belakang gubuk; kadang deras, kadang tenang, namun selalu bergerak maju.Wulan tumbuh, merekah seperti kuncup bunga di pagi hari. Namun, kecantikannya yang mekar justru menjadi duri bagi dirinya sendiri.Wajah ovalnya berhias rambut hitam bergelombang dan sepasang mata sayu di bawah alis yang rapi. Bibirnya yang semerah saga selalu terkatup rapat, menyimpan dunia yang tak seorang pun di desa itu bisa masuki.Di bawah pohon nangka yang rindang, suara tawa anak-anak lain memecah udara siang yang panas. Mereka bermain gobak sodor di tanah lapang yang berdebu.Wulan hanya berdiri di kejauhan, memeluk lututnya di atas akar pohon yang menonjol.Ia ingin bergabung. Ia ingin merasakan telapak kakinya menari di atas garis kapur, merasakan adrenalin saat menghindari sentuhan lawan, dan tawa kemenangan saat berhasil menerobos benteng terakhir."Wulan, ayo main!" Suara salah satu anak laki-laki, Dodo, memanggilnya.Wulan mengangkat kepalanya, matanya y