Share

Enam

Tuan El begitu kesal menghadapi Bella yang sangat keras kepala. Bagaimana bisa ia bisa tertarik dengan wanita yang sepeti ini pikirnya. Bella masih menantang dengan netra hampir keluar. Begitu kesal dan entah bisa berbuat apa, Tuan El menarik leher Bella hingga bertatapan langsung, tapi ia kembali melepaskannya.

Bella kembali berontak lalu menjauh di pojok pintu mobil dengan menatap jalanan. Air mata kembali deras mengalir. Melihat hal itu, Tuan El kembali mengacak-acak rambutnya. Dia benci melihat wanita menangis.

“Apa tidak bisa kamu jangan selalu menggunakan air mata saat seperti ini, hah?”

“Hanya itu yang bisa aku lakukan sebagai tahanan Tuan. Berontak pun, Tuan akan melakukan hal tak seronok. Rasanya, aku jijik saat Tuan menyentuhku!”

Tatapan penuh kebencian begitu terlihat di sorot mata Bella saat menatap Tuan El. Bibir tipis itu bergetar saat mulai bicara. Benar katanya, tidak ada hal yang bisa dilakukannya selain menangisi takdirnya sebagai boneka pria kasar di sampingnya.

Tuan El kembali fokus membelah jalan. Ibu kota yang sedang padat merayap membuatnya sesekali berdecih kesal. Sesekali ia melirik ke arah Bella yang menatap lurus jalanan tanpa ekspresi.

Tuan El tahu jika Bella sedang emosi. Pria itu memilih diam menunggu amarah perempuan itu reda. Lalu fokus menyetir lagi.

Akhirnya mereka sampai, Bu Siti menyongsong keduanya. Namun, Bella langsung menuju kamarnya tanpa menyapa wanita tua itu.

Bu Siti paham melihat sikap Bella. Sudah pasti ada yang terjadi di antara keduanya. Apalagi sang tuan yang langsung menyalakan putung rokok.

***

Keesokannya, Tuan El kesal karena Ferdinan—ayahnya terus saja menghubunginya. Ia pun memutuskan untuk pulang ke rumah sang ayah dan bertanya apa yang mereka inginkan.

Pria berambut putih itu sudah menunggunya dengan wajah tak bisa di artikan. Tongkat yang di bawanya membuat Ferdinan terlihat sangat garang.

“Akhirnya kau datang juga.” Tongkat itu biasa di gunakannya untuk memukul anaknya yang bandel. Melihat tangan sang ayah yang sudah mengangkat tongkatnya pun Tuan El segera menghindar.

“Aku bukan anak kecil, tidak usah di pukul menggunakan tongkat,” ujarnya kesal.

Ferdinan pun langsung membuka topik pembicaraan. Ia ingin Elvaro cepat memiliki anak. Ia ingin Elvaro memiliki keturunan agar bisa meneruskan perusahaan mereka.

“Ceraikan saja istri seperti itu. Hanya memikirkan karir tanpa peduli dengan masa depan nanti. Apa dia enggak berpikir jika menikah dengan keluarga kita harus memiliki keturunan untuk meneruskan silsilah keluarga, hah?” Ferdinan sangat emosi.

Elvaro hanya memijit pelipisnya, kepalanya belum hilang sakit akibat ulah Bella dan kini ia harus menghadapi sang ayah yang begitu emosional jika membahas keturunan.

“Tidak usaha cemas. Santai saja, sebentar lagi juga akan memiliki cucu. Lagi pula, banyak cucu Papa dari adik-adikku.”

“Tapi, mereka anak perempuan. Aku hanya ingin jatuhkan perusahaan pada anakmu, apalagi jika dia anak laki-laki.”

Elvaro memijit lehernya, sudah meminta keturunan juga meminta laki-laki pula. Belum tentu dia akan memiliki anak laki-laki setelah ini. Rasanya ia ingin berteriak kencang dan memaki seseorang.

“Kata adikmu, kau masih menjalankan bisnis ilegal?” tanya Ferdinan.

“Jangan ikut campur, Pa. Ini urusanku.”

Pria itu tak menggubris ucapan sang ayah. Dia memilih untuk ke luar dan pulang ke rumahnya. Ada beberapa barang yang harus dia ambil. Apalagi sejumlah berkas yang masih tertinggal di rumah istrinya.

Tidak memakan waktu banyak, Elvaro sudah sampai di rumahnya. Kebetulan masih tampak mobil Melani yang bertengger di garasi. Pria itu gegas masuk lalu mengambil beberapa barang miliknya.

“Apa kamu datang dan kembali pergi?” tanya Melani yang baru saja ke laut dari kamar mandi.

“Aku tidak bisa lama, lagi pula jika aku terlalu lama ini di sini pun akan membuat kita seharian bertengkar.”

“Tapi itu kamu yang selalu memancing. Bukan aku,” ujarnya.

Melanie kesal saat Elvaro datang, pria itu hanya mengambil barang atau baju lalu pergi lagi. Ia pun menarik tangan sang suami agar tak pergi lagi.

“El, tetap di sini.”

“Untuk apa? Biasanya kamu selalu tak pernah di rumah bukan? Bahkan jadwal syuting saja padat, belum lagi saat kamu harus road show ke luar kota.”

Melani menarik napas, apa yang di katakan sang suami semuanya benar. Namun, hari ini dirinya sedang tak ada pekerjaan atau syuting.

Melani bermanja pada Elvaro, tapi pria itu menepisnya. Percuma mereka bercinta jika tak menghasilkan anak. Pria itu kecewa dengan sang istri yang mementingkan bentuk tubuh dari pada keturunan yang akan menemani mereka tua.

“El, kenapa kamu terus menghindar dari aku?” tanya Melani kesal.

“Harusnya kamu tanya sama diri kamu, bagaimana selama ini kamu mengurus aku. Aku ingin memiliki anak, apa kamu tidak paham?” Elvaro menaikkan suaranya lebih tinggi. Netranya menatap tajam sang istri yang sudah sekalian lama tak mau memberikannya anak.

Semakin kesal dirinya, Elvaro menarik kopernya lalu melangkah ke luar kamar. Melanie mengejarnya hingga ke halaman. Akan tetapi, Elvaro tak menggubrisnya. Malah masuk mobil tanpa memedulikan dirinya.

“El!”

Teriakannya pun percuma karena sang suami sudah ke luar dari rumah. Mobilnya pun sudah tak terlihat, hanya suara kencang yang masih menggema. Melani mengusap wajah kasar. Apa yang akan di lakukannya saat ini pun masih membalutnya berpikir.

“Ada apa dengan kalian?” Melanie terkesiap saat melihat sang ibu yang sudah berada di belakangnya.

Marta sudah memperhatikan beberapa hari anaknya yang sering murung. Ia pun bertanya masalah yang membuat suaminya menjauh.

“Sepele, hanya karena anak saya.”

“Hah, kamu bilang itu sepele? Istri macam apa kamu jika dalam usia pernikahan cukup lama belum juga memiliki keturunan kamu anggap hal sepele?” Marta berdecih kesal. Apa lagi sikap sang anak bisa membuat dirinya kehilangan uang belanja sebulan.

“Ma, aku hanya ingin dia bersabar. Aku sedang kontak dengan brand pelangsing badan, mana bisa aku hamil.”

“Loh, kamu ini lupa kalau suami kamu sudah banyak uang, untuk apa bekerja?”

Benar kata sang ibu, untuk apa bekerja jika suaminya saja mampu membelikannya alat make up mahal. Namun, cita-citanya menjadi terkenal sudah mendarah daging. Mana bisa ia melepaskan begitu saja.

Seusai komitmen jika Elvaro menikahinya, ia masih bebas untuk menjalani aktivitas sebagai model dan bintang iklan. Namun, tak ada perjanjian jika menunda kehamilan. Sayangnya, hal itu kini yang menjadi perdebatan rumah tangga mereka.

“Apa kau menunggu rumah tanggamu hancur baru sadar kalau anak itu adalah penting?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status