Dewi terbangun dengan mata yang masih berat. Tangannya refleks meraba sisi ranjang yang terasa kosong dan dingin. Dahinya berkerut. 'Pergi ke mana dia?' batinnya.Mata sipitnya mengerjap, berusaha menyesuaikan diri dengan cahaya pagi yang mulai masuk dari celah tirai. Suara detak jam terasa lebih nyaring dalam keheningan. Seingatnya, semalam Denver masih bersamanya, membaca buku di sampingnya setelah mereka gagal melanjutkan sesi bercinta yang kedua. Bahkan, dia sempat memindahkan Dirga ke ranjang utama agar tidur lebih nyaman.Akan tetapi, kini, sosok suaminya tidak ada.Dewi segera meraih ponselnya, matanya mencari pesan dari Denver. Mungkin saja pria itu ada kegiatan mendesak. Namun, belum sempat dia mengecek layar, pintu kamar terbuka.Denver muncul dengan nampan kecil di tangannya, aroma sup krim ayam yang mengepul memenuhi ruangan. Senyum hangat pria itu langsung menghapus kecemasan di hati Dewi.“Sarapan untukmu, Sayang.”Dewi tersenyum melihat perhatian suaminya, tetapi ekspr
Darius menatap layar ponselnya dengan rahang mengatup, menekan rem mobil dengan kasar di depan area sepi. Titik merah di layar masih bergerak, tetapi dia sudah tahu pasti ke mana tujuannya. "Dia pikir bisa lolos dariku begitu saja?" gumamnya dengan suara serak tertahan amarah. Begitu mobilnya berhenti di tempat tujuan, Darius keluar dengan langkah panjang. Mata hitamnya menyapu area sekitar, memastikan keberadaan seseorang yang dia cari. Udara dingin malam ini menusuk kulit, tapi bukan itu yang membuat bulu kuduknya berdiri—melainkan sosok di balik batang pohon besar, menatap ke arah rumah keluarga Bradley dengan sorot mata penuh obsesi. "Heh, sedang apa di sini?" tegurnya dingin. Dania tersentak, tubuhnya langsung kaku. Perlahan, dia berbalik, dan seketika wajahnya berubah tegang. "Kamu … Darius?" Suara Dania bergetar, tetapi detik berikutnya, dia menyeringai. "Mau apa kamu di sini?" "Seharusnya aku yang bertanya," desis Darius. Dengan cepat, tangannya mencengkeram pergel
“Om Danis? Kenapa ke sini?” tanya Darius sambil melangkah mendekati sosok yang kini tersenyum dan menatapnya dengan sendu.“Om rindu sama kamu. Ditunggu di apartemen, kamu tidak pulang, ya, sudah Om ke sini. Bagaimana kabarmu?” tanya Danis dengan penuh perhatian.Tangan Darius terbuka lebar, dia langsung menghambur ke dalam pelukan pamannya yang sudah dianggapnya sebagai ayah kandung. Dekapan ini terasa begitu nyaman, seakan melepas lelah atas beban berat yang selama ini dipikulnya.Akan tetapi, dia juga cemas jika keputusan besarnya ini membuat Dani marah padanya.“Om bangga sama kamu, dan terima kasih, Darius. Demi Dewi, kamu ....” Danis tidak bisa melanjutkan. Suaranya tercekat membayangkan betapa berat hari-hari yang harus dijalani Darius ke depannya.“Tolong jangan sedih, Om. Bukankah aku sudah janji mau melindungi Dewi? Ya, ini caraku. Doakan saja aku dan Dania bahagia.” Darius meraih tangan Danis, lalu mengecupnya penuh hormat.Danis menghela napas panjang, mata hitamnya berkab
"Ada yang bisa dibantu?" tanya Dewi dengan ragu, langkahnya tanpa sadar mundur selangkah. Tatapannya bergantian mengamati dua wanita di hadapannya. Salah satu dari mereka tersenyum penuh arti, sementara yang lainnya lebih ramah dan tenang. "Selamat pagi, Nyonya Bradley," sapa mereka bersamaan. Dewi mengerutkan kening. "K-kalian siapa?" "Kami pengawal yang diperintahkan Dokter Denver untuk menjaga Nyonya," jawab wanita pertama dengan nada sopan tetapi tegas. "Saya Tina, dan ini partner saya, Siska. Kami akan menemani Nyonya selama di luar rumah." Dewi melongo. Sesaat, dia menoleh ke arah parkiran, berharap menemukan Audi hitam milik Denver, tetapi mobil itu sudah tidak ada. Wanita itu menelan ludah, netra hitamnya menyapu sekitar kampus, memastikan bahwa tidak ada yang terlalu lama memperhatikannya. Namun, tetap saja, kehadiran dua wanita berpakaian formal itu terasa mencolok. Tanpa membuang waktu, dia merogoh ponselnya dan menekan kontak suaminya. "Ya, Mon ange, ada apa, hmm?" S
[Mon ange, hari ini aku sibuk, pulang terlambat lagi.] Dewi menatap layar ponsel, ibu jarinya menggantung di atas keyboard. Dia ragu untuk membalas. Napas wanita itu panjang, seperti menelan kekecewaan yang sudah berulang kali datang. Sudah hampir dua minggu seperti ini. Bahkan Denver mengurungkan niat menjadi dosen di kampus ini. Dia menoleh ke arah parkiran kampus yang mulai sepi. Rasa lelah mulai merayap ke tubuhnya, tetapi bukan hanya karena aktivitas seharian, melainkan karena kerinduan yang perlahan berubah menjadi sejumput kesedihan. [Oke, aku pulang dulu, ya, Dokterku Sayang.] Pesan balasan Dewi terkirim pada Denver, dan tak lama ponselnya kembali bergetar. [Maaf, ingkar lagi jemput kamu di kampus. Aku sudah telepon Pak Agus untuk jemput.] Dewi menghela napas. Setidaknya, sekalipun Denver sibuk menghabiskan hampir 24 jam waktunya di rumah sakit, pria itu masih memedulikannya. [Siap, Dok.] Dewi mengunci layar ponsel. Saat sedang menunggu, seperti biasa, Darius
"Ya ampun, Denver!" seru Dewi panik. Dia melangkah masuk ke dalam ruangan dengan napas sedikit tertahan. Mata sipitnya membulat saat melihat sosok suaminya tergeletak di atas karpet dengan kaki masih berada di atas sofa. Jantungnya mencelos. Dengan cepat, Dewi berlutut, tangannya menyentuh pipi pria itu yang terasa sedikit dingin. Sejenak pikirannya dipenuhi berbagai kemungkinan buruk. Apa Denver pingsan? Apa dia kelelahan sampai jatuh sakit? Napas wanita itu tercekat dan paniknya makin parah, tetapi Denver terkekeh kecil. Mata pria itu mengerjap, lalu menatap Dewi dengan seringai khasnya. "Ah, enaknya punya istri perawat," godanya serak. Dewi memukul bahunya gemas. "Ish, tidak lucu, Dokter! Aku benar-benar khawatir!" Pagi ini dia sengaja datang sebelum kuliah, ingin memastikan Denver baik-baik saja setelah semalaman
Dewi duduk di salah satu rumah makan sederhana, jemari rampingnya mengetuk meja dengan gelisah. Sudah satu jam berlalu, tetapi orang yang dia tunggu belum bersedia menghampiri. Di layar ponselnya, pop-up pesan terus bermunculan.[Sayang, maaf. Bukan maksudku tidak mau bantu.][Dewi, jangan marah! Kamu salah paham!][Mon ange? Kamu ingat, kunci dari permasalahan adalah komunikasi?]Dewi menatap pesan-pesan itu tanpa keinginan untuk membalas. Napas wanita itu agak berat, mebuat dadanya terasa sesak. Kenapa semua orang tidak mau membantu? Kenapa mereka seolah menghindari permintaannya?Tepat saat pikirannya tambah kacau, seorang wanita berjalan ke arahnya."Rani ... aku—""Dewi, maaf. Aku tidak bisa bantu. Restoranku ini lagi bermasalah," sela Maharani dengan ekspresi menyesal dan atapannya penuh rasa iba.Dewi seketika terdiam. Senyum maniss yang sempat muncul perlahan memudar."Oh, baik," ujarnya, mencoba terdengar santai. "Nanti aku datang lagi. Umm ... boleh aku pesan makanan? Dibungk
Pagi ini, Dewi sengaja bangun lebih awal. Tangannya cekatan mengiris bawang dan jahe di dapur, disertai aroma kaldu ayam kampung mulai memenuhi ruangan. Namun, sesekali dia melirik ke arah pintu, memastikan tidak ada yang melihatnya dengan tatapan aneh."Nyonya, jangan. Ini tugas kami," ujar salah satu pelayan, suaranya terdengar canggung.Dewi tersenyum lembut, meskipun hatinya sedikit berdebar. "Tidak apa. Sesekali aku ingin masak untuk suamiku."Chef yang biasa datang dari hotel keluarga Bradley pun menatapnya dengan ragu, tetapi tidak berkata apa-apa.Dewi tahu, ini adalah tantangan. Selama ini, rumah besar ini tidak pernah mengenal menantu yang masuk dapur kecuali Fredella—istri pamannya Denver."Semoga mereka suka," gumam Dewi pelan sambil menuangkan nasi tim ayam kampung ke dalam mangkuk.Ini bukan sekadar masakan, ini cara Dewi menunjukkan bahwa dirinya benar-benar bagian dari keluarga ini. Selain itu ada maksud terselubung untuk Denver. Apalagi prilakunya kemarin sangat kasar
Siang itu, butik kecil bernuansa pastel milik Diana tampak tenang. Tirai tipis bergoyang lembut tertiup angin dari jendela yang terbuka. Di sudut ruangan, Diana sedang memeriksa detail bordiran pada salah satu gaun yang akan digunakan untuk pemotretan pernikahan besok. Jemarinya bergerak perlahan, matanya fokus, dengan senyum yang tetap lembut.“Cantik banget, Diana .…” Suara wanita dari pintu membuat Diana menoleh.“Tante Rani!” seru Diana pelan, senyumnya makin mengembang. Dia segera bangkit dan memeluk teman mamanya itu.Maharani tertawa kecil, lalu menunjuk gaun di tangan Diana. “Kalau kamu yang pakai, pasti tambah sempurna. Sumpah, waktu lihat kamu di catwalk bulan lalu … Tante sampai mikir, ini manusia apa bidadari, sih?”Diana mengerucutkan bibirnya merahnya, lalu menepuk lengan Maharani dengan. “Berlebihan banget, Tante. Tapi makasih, ya. Aduh, jadi malu.”Mereka duduk di sofa mungil dekat jendela. Maharani membuka kotak kecil berisi bros handmade yang ingin dia titipkan di b
“Dokter, bolehkah kami berfoto bersama sebelum operasi?”Dashel menoleh dengan senyum khasnya. Wajahnya yang sebagian tertutup masker dan sorot mata yang tajam membuat beberapa perawat tak kuasa menyembunyikan rona merah di pipi mereka.“Boleh saja,” jawab pria itu santai sambil mengangkat dua jari ke arah kamera. “Asalkan jangan sampai pasiennya menunggu terlalu lama. Bisa-bisa dia memutuskan kabur.”Si paling usil dari keluarga Denver, kini telah menjelma menjadi salah satu dokter bedah muda yang paling diidolakan di rumah sakit. Setelah menyelesaikan pendidikan spesialis di Johns Hopkins University, sebuah institusi kedokteran bergengsi, Dashel—yang akrab disapa Dash—kembali ke Indonesia membawa pulang segudang prestasi serta rasa percaya diri yang tak terbendung.Akan tetapi, sesungguhnya transformasi Dash bukan hanya terlihat dari gelar dan jas putih yang kini melekat di tubuh atletisnya. Di ruang operasi, dia menjadi sosok yang sangat berbeda dari kesehariannya. Dash selalu se
Pukul tujuh pagi, lantai tertinggi gedung J&B Pharmacy sudah dipenuhi staf yang pucat pasi. Mereka berlarian, merapikan berkas, menyusun slide, mengecek statistik berkali-kali. Hal ini karena ada yang menakutkan, Akashan Draven Bradley mulai menjadi presdir. "Dia sudah di ruang rapat?" bisik salah satu staf. "Sudah. Dari jam enam empat puluh," jawab yang lain pelan, seakan menyebut nama Draven terlalu keras bisa bikin dicoret dari daftar gaji. Di ruang rapat, suasana membeku. Draven duduk di ujung meja panjang, mengenakan jas hitam pekat, dasinya lurus, rambutnya klimis tak bergerak. Tatapannya setajam pisau bedah. “Proyeksi penjualan kalian di kuartal ini ... menyedihkan,” kata Draven sambil menatap grafik. Salah satu kepala divisi mencoba menjelaskan, “Kami mengalami hambatan distribusi karena banjir—” “Jadi kamu biarkan masyarakat tidak dapat obat hanya karena hujan?” Suaranya datar dan dingin. “Kamu kerja untuk perusahaan farmasi. Kalau distribusimu kalah sama cuaca, sebaikn
"Jangan pernah bilang menjadi dokter itu mudah."Kalimat itu terngiang di kepala Dirga sejak pagi buta. Entah mengapa, hari ini dia mengenakan jas putih dan berdiri di depan rumah sakit milik ayahnya—bukan sebagai anak pemilik, melainkan sebagai dokter baru.Ya, entah mimpi apa yang menghampirinya semalam. Dirga, si paling anti bau rumah sakit, kini resmi bertugas sebagai residen di Poli Anak.“Dokter Dirga, pasien pertama sudah menunggu di dalam,” ujar seorang perawat sambil tersenyum manis.Dirga mengangguk, mencoba tampak tegar. Namun, tangannya gemetar saat membuka pintu ruang periksa.Di sanalah bencana pertama dimulai.“Aku tidak mau disuntik!!” jerit seorang bocah lima tahun sambil melempar botol minum ke arah wajah Dirga.“Tenang … Dokter tidak gigit, sungguh.”Seketika boneka putih mendarat keras tepat di antara alisnya.Hari pertama, tiga pasien anak menangis, satu muntah di pangkuannya, dan satu lagi kabur lewat jendela kecil.Sesampainya di rumah, Dirga duduk lemas di meja
12 Tahun Kemudian"Berisik banget sih! Bisa nggak sekali aja nggak nangis?" teriak Draven dari ambang pintu kamarnya.Anak laki-laki berusia 13 tahun itu mengacak-acak rambutnya sendiri, kesal. Dia mendelik ke arah Diana—adik perempuannya—yang lagi sesenggukan di tengah lorong lantai dua.Diana, dengan mata berkaca-kaca, mendongak marah. "Bukan bantu aku, malah ngomel! Huh!" serunya sambil mengusap kasar air mata."Bantu apa? Kamu tuh cengeng!" balas Draven sengit.“Dash ambil cokelatku lagi, padahal sisa sedikit tahu!” lontar Diana dengan bibir merah mudanya.Sebelum pertengkaran makin memanas, suara pintu kamar terbuka terdengar dari sisi lainnya. Seketika Diana berlari ke arah sumber suara, meninggalkan Draven yang masih berwajah masam.Diana berdiri tepat di depan seorang remaja laki-laki yang baru saja keluar dari kamar. Rapi dengan kemeja putih dan celana panjang hitam.“Kak Dirga,” rajuk Diana, sambil menerjang ke pelukan kakaknya.Dirga telah tumbuh menjadi pemuda tampan berus
Satu Tahun Kemudian--Birmingham, InggrisUdara musim semi yang sejuk menyapa kota Birmingham saat mobil yang dikemudikan Darius melaju pelan memasuki area Rumah Sakit JB. Di sebelahnya, Maharani menatap keluar jendela dengan kening berkerut."Kenapa ke rumah sakit?" tanyanya heran, sambil merapikan pakaiannya.Darius hanya tersenyum tipis, tidak menjawab.Maharani makin bingung. "Kita mau sakit? Atau mau jenguk seseorang?"Darius menggeleng pelan, tetap dengan ekspresi datarnya yang membuat Maharani makin penasaran."Darius ... ada apa sebenarnya?" tanya Maharani lagi, sedikit merajuk."Ikut saja dulu," sahut Darius tenang, sambil menggandeng tangan istrinya.Mereka berjalan melewati koridor rumah sakit yang bersih dan wangi. Sesekali Maharani melirik ke kanan dan kiri, mencoba mencari petunjuk apa yang sebenarnya terjadi. Akhirnya mereka tiba di sebuah poli, dan seorang dokter bule menyambut dengan ramah."Good afternoon, Mr. and Mrs. Darmawan," sapa dokter itu.Maharani yang masih t
"Waaa! Waaah!" Dirga panik bukan main saat mendengar tangisan nyaring menggema dari boks bayi di ruang keluarga. Dia buru-buru mengintip ke sumber suara yang mengganggu acara televisi kesukaannya. "Dash jangan nangis dong ... Kamu ‘kan udah minum susu tadi," bujuk Dirga sambil mengelus pipi sang adik dengan tangan kecilnya. Belum sempat Dashel tenang, tangisan lain menyusul. Dirga nyaris melompat kaget. "Aduh, Di ... jangan ikut-ikutan, ya," keluhnya. Sambil setengah berjongkok, Dirga mengambil botol susu yang tadi diletakkan pengasuh di meja dekat boks, mencoba menyerahkannya pada Diana. Dirga menoleh dengan wajah bingung, kedua tangannya sudah sibuk masing-masing memegang satu botol susu. Dia mencoba menyeimbangkan keduanya sambil terus berbicara setengah memohon, setengah bingung, "Diam, ya, ssst ... sebental lagi Mama pulang, kok ... Sabal." Dirga bagai seorang kapten kapal kecil mencoba menenangkan tiga anak buahnya yang memberontak bersamaan. Ya, memang Draven agak lebih t
Dua bulan setelah kelahiran tiga malaikat kecil mereka, kediaman Denver dan Dewi berubah menjadi kehebohan yang tiada henti. Meskipun sudah ada empat pengasuh yang disiapkan, untuk Dirga, Draven, Dashel, dan Diana—tetap saja pagi ini kacau balau. Di sudut kamar, Dewi tengah sibuk memompa ASI sembari menyusui Diana. Tubuhnya agak membungkuk, dengan rambut disanggul seadanya, dan wajah cantik itu terlihat sedikit pucat. Sementara itu, Dirga mondar-mandir dari kamar ke kamar, keningnya berkerut karena kesal. "Aduh, di mana, ya, kaus kaki dino?" rengeknya, suara kecil itu sungguh nyaring memenuhi seluruh rumah. Pengasuh sudah menawarkan beberapa pasang kaus kaki yang lain, tetapi Dirga menggeleng keras. "Dirga, ini kaus kakinya sudah dicuci bersih. Pakai saja ini, ya?" bujuk pengasuhnya lembut. "Bukan itu!" Dirga berteriak kecil, lalu berlari ke kamar Dewi. Sayang, yang dicarinya tidak ada. Dengan langkah kecil yang mantap, dia menuju kamar bayi dan menemukan Dewi sedang menyusu
Pukul delapan pagi, suasana ruang presidential suite sudah jauh berbeda dari kemarin. Aroma antiseptik khas rumah sakit masih tercium, tetapi kini bercampur dengan tawa kecil dan desah lega yang menghangatkan udara di sekitar.Di ranjang besar berseprei putih bersih itu, Dewi duduk sembari bersandar lemah. Ya, tubuhnya masih tampak pucat, tetapi mata sipit itu berbinar lembut. Di pelukannya, Dirga sedang berbaring, melepas rindu katanya. Satu tangan mungil itu menggenggam erat piyama rumah sakit Dewi, tidak mau terpisah lagi.“Aku sayang Mama,” bisik anak itu.Dengan jemarinya, Dewi membelai rambut putra pertamanya. Dia menunduk dan mencium kening mungil itu beberapa kali, tentu penuh rasa rindu yang menyesak dada.“Mama juga sayang banget sama Kakak Dirga,” balas Dewi, diikuti senyum merekah.Sedangkan Denver berdiri di sis ranjang. Dia memeriksa kondisi Dewi. Tangan pria itu sesekali menyentuh pergelangan tangan istrinya, mengecek denyut nadi yang masih terasa lemah, tetapi stabil.