Maharani berdiri kaku, kedua tangannya mengepal di sisi tubuh. Darius berdiri tepat di hadapannya, menatapnya dengan sorot mata tajam yang seolah bisa menembus hingga ke dalam tulangnya. Udara di ruangan itu mendadak begitu berat, napasnya terasa sesak.
"Kenapa kamu diam? Jawab aku, Maharani! Apa yang kamu pikirkan sampai melakukan ini?" Suara Darius terdengar dalam dan menegangkan, membuat Maharani mendadak kehilangan kosakata.
“Aku … hanya ….” Maharani memejamkan matanya sejenak. Dia menelan ludah, berusaha menghindari tatapan menusuk itu.
“Hanya apa? Apa istriku mengancammu, hah? Katakan!” perintah Darius lagi tanpa memberi ampun.
Dia melirik ke arah Dania, berharap wanita itu membantunya keluar dari situasi ini. Namun, Dania hanya berdiri dengan tangan terlipat di dada, tampak sorot matanya penuh kepuasan. Maharani tidak menyangka seseorang yang dianggap sebagai rekan kerja, membiarkannya tenggelam sendirian seper
Pascaperistiwa menegangan hari itu, Maharani akhirnya mengaktifkan kembali ponselnya. Dia menyadari bahwa menghilang tidak ada gunanya karena pada kenyataannya semua tetap terbongkar.Hal pertama yang dia lakukan menghubungi Dewi.“Dewi … ini aku, Rani. Bisa kita bertemu di Kafe Rainbow?” pintanya, dengan suara pelan dan penuh keraguan. Dia sungguh berharap Dewi datang bertemu dengannya.Siangharinya, Maharani sudah menunggu cukup lama. Bahkan dia telah menghabiskan dua gelas jus di kafe yang sepi itu.Saat Maharani mulai pasrah dan yakin sahabatnya tidak akan datang, detik itu juga Dewi mendekat dengan tatapan nanar.“Rani?” panggil Dewi, suaranya lemah lembut.Seketika Maharani menggenggam gelas kosong erat, sementara Dewi langsung meraih tangan wanita itu dalam genggamannya. Keheningan pun menyelimuti mereka.Kedua duduk saling berhadapan. Tatapan Maharani dipenuhi kerinduan dan penyesalan, seolah ada
"Makanlah yang benar! Kasihan anak itu," kata Darius yang bicara tanpa menatap Maharani. Saat ini Maharani duduk di tempat tidur, tangannya gemetar saat menyendokkan nasi ke mulutnya. "Iya, Dok. Makasih sudah mau tinggal sebentar di sini." "Bukan masalah," sahut Darius masih sama. Darius ada di sana, menemaninya, dia duduk di kursi di dekat ranjang, tetapi tidak benar-benar memperhatikannya. Pria itu lebih sibuk dengan ponselnya, sesekali mengetik sesuatu dengan ekspresi datar. Baru saja Maharani menelan beberapa suap, dia terperangah dengan kehadiran Dania yang masuk kamar. Wanita itu mengawasi dengan tatapan tajam, seolah memastikan Maharani tidak melewatkan satu butir nasi pun. "Habiskan Ran! Badanmu itu sangat lemah, aku tidak mau anak itu kurang gizi!" ucap wanita itu tajam. "Iya, Dok. Aku pasti habiskan, kok." Mulut Maharani terus mengunyah, meskipun terasa perih. Suasana benar-benar mencekam. Maharani merasa seperti tahanan yang sedang diawasi sipir penjara. Tidak l
Belum juga Maharani menormalkan irama jantungnya, ketukan di pintu terdengar lagi, lebih kuat. Tubuhnya menegang, jemarinya mencengkeram ujung selimut, untuk melepas keresahan."Si—siapa?" tanyanya, dengan suara bergetar.Tidak ada jawaban. Hanya ketukan yang makin intens. Tangan Maharani makin berkeringat. Dengan langkah ragu dan berat, dia mendekat. Jantungnya berdetak kencang, beradu dengan suara ketukan.Akhirnya, dengan napas tercekat, dia membuka pintu.Mata Maharani melebar. Dua sosok berdiri di hadapannya. Salah satunya adalah pengasuh rumah ini, dan yang lainnya …."Kamu sudah besar, Maharani. Kenapa kekanakan? Bibi bilang kamu tidak makan malam," omel Darius terdengar dingin, bagaikan cambuk yang menghantam.Maharani menelan ludah. "Belum, Dok. Bukan tidak," ujarnya, berusaha mempertahankan keberanian, meskipun suaranya sedikit gemetar.Tanpa membalas, Darius melangkah masuk, membawa paper bag yang menguar
“Mon ange, kamu kenapa? Pusing? Di mana yang sakit?” tanya Denver bertubi-tubi. Tatapannya menelusuri wajah Dewi, mencari tanda-tanda ketidakberesan.Tanpa ragu, Denver meraih tangan istrinya, menekan pergelangan tangannya dengan jari untuk mengecek denyut nadi. Terasa sedikit meningkat, tetapi tak ada tanda bahaya.“Sayang … aku tidak apa-apa.” Dewi berusaha tersenyum, mencoba menenangkan suaminya yang kini menjadi pusat perhatian di café.“Bajumu basah, Wi. Kamu bisa kedinginan, sebaiknya cepat diganti.” Suara lain menyela. Kali ini bukan Denver, melainkan Darius. Sorot mata pria itu penuh kecemasan, memperhatikan Dewi dengan cara yang membuat udara di sekitar mereka menegang.Dewi menghela napas. Dirinya diperhatikan dua pria tampan, ini seharusnya membuat tersanjung, tetapi yang ada justru perasaan canggung menguasai dirinya. Ada ketakutan kecil di hati jika Denver salah paham.“Aku tidak sengaja menumpahkan air.” Kali ini Dewi menatap suaminya, lalu merangkul lengan kekar itu deng
*Baca setelah berbuka puasa*Di dalam ruangan dengan cahaya temaram, Dewi menggigit bibirnya, menahan desahan yang hampir lolos dari bibir. Jemari ramping wanita itu mencengkeram seprai, matanya setengah terpejam. Sesekali, tatapannya jatuh pada sang suami yang sedang memanjakannya tanpa ampun.“Sayang …” Suara Dewi bergetar di antara embusan napas yang berat. Sentuhan Denver membuatnya kehilangan kendali sedikit demi sedikit.Sejak mereka tiba di rumah, Denver tak membuang waktu. Pria itu hanya menyeringai puas saat mendapati Dirga sudah terlelap bersama guling bolanya, lalu tanpa ragu menyeret Dewi ke dalam kamar. Sekarang, di atas ranjang itu, dia benar-benar tak memberinya kesempatan untuk bernapas.“Kamu yang menginginkannya ‘kan?” Suara Denver terdengar parau, begitu rendah di telinganya.Tangan pria itu terus mengeksplorasi tubuh sang istri, menebarkan gelombang panas yang membuat Dewi sulit berpikir jernih.Saat tubuh Dewi bergeser sedikit, Denver segera menahan pinggulnya. Ger
Satu bulan telah berlalu."Papa! Papa di mana? Cepetan, Pa!"Suara cempreng itu menggema di sepanjang koridor rumah sakit. Dirga berlari dengan napas tersengal, keringat mengalir di pelipisnya. Tubuh kecilnya gemetar, matanya berkaca-kaca.Tanpa memedulikan pengasuh yang mengejarnya, bocah itu terus mencari sang papa.Denver yang tengah sibuk dengan dokumen segera bangkit begitu mendengar suara putranya. Dia berjalan cepat dan menunduk hingga sejajar dengan Dirga, tangannya terulur menenangkan bocah kecil itu."Tenang, Jagoan. Ada apa?" tanyanya lembut, kedua alisnya bertaut melihat kepanikan di wajah putranya.Dirga masih terengah-engah, tangannya menunjuk ke luar ruangan. "Itu … Mama .…"Jantung Denver berdetak lebih cepat. "Mama kenapa?"Dirga berusaha mengambil napas dalam, lalu berucap, "Mama belatem sama Tante bawel!"Denver seketika berdiri tegak. Matanya langsung menajam. Tanpa banyak bertanya, dia bergegas ke luar ruangan dengan langkah lebar. Dirga yang masih ketakutan digend
"Kamu gila, Darius! Kamu pengkhianat!" Dania mengamuk. Sepatu hak tinggi melayang ke arah Darius, diikuti tas, lalu benda-benda di atas meja rias berjatuhan satu per satu.Darius tetap diam, tetapi wajah tampannya tegang. Kata-kata Denver tadi masih terngiang di kepala membuatnya mantap membawa Dania pulang. Namun, begitu tiba di rumah, pertengkaran tidak terelakkan.Bahkan para pelayan tidak ada yang berani keluar dari persembunyian mereka."Aku tidak gila, Dania! Justru kamu yang harus bercermin! Apa kamu benar-benar bisa merawat bayi itu dengan baik?" Tatapan Darius mengeras, nada suaranya menggema di ruangan.Dania mendengkus, bertolak pinggang dengan kepala yang menggeleng-geleng."Aku yang akan menjadi ibunya. Bayi itu milikku, Darius! Milikku!" teriaknya histeris. Dania melangkah maju, mendorong Darius hingga membentur dinding.Darius menahan napas. Satu tangannya terangkat, bukan untuk membalas, melainkan mencoba menenangkan. Dengan sigap, dia menangkap Dania dan merangkulnya
Darius memijat pelipisnya yang mendadak berdenyut usai membaca pesan itu. Napas pria itu tertahan sesaat, lalu menjadi berat. Rahangnya mengeras, dan tangannya mengepal hingga buku jarinya memutih. Sesuatu dalam dirinya hampir mendidih, siap meledak."Dokter Darius?" Suara Maharani menyadarkan Darius dari pusaran pikirannya.Darius menoleh sekilas. Wanita itu berdiri dengan mangkuk soto yang masih mengepul di tangannya. Kening Maharani berkerut menatap pria yang kini diam saja dengan kebingungan.Tatapan lembut Maharani menyiratkan keingintahuan dan kekhawatiran yang enggan diungkapkan.Akan tetapi, tanpa sepatah kata pun, Darius berbalik dan melangkah pergi. Maharani refleks mengangkat tangan, ingin menahan, tetapi pergerakannya tertahan di udara.Bibir wanita itu sedikit terbuka, tetapi suaranya tak kunjung keluar. Hanya ada keheningan yang menyayat, diiringi suara pintu yang terbuka.“Dia pergi,” lirihnya.Maharani menghela napas panjang, matanya terarah ke mangkuk soto di tangan. U
Siang itu, butik kecil bernuansa pastel milik Diana tampak tenang. Tirai tipis bergoyang lembut tertiup angin dari jendela yang terbuka. Di sudut ruangan, Diana sedang memeriksa detail bordiran pada salah satu gaun yang akan digunakan untuk pemotretan pernikahan besok. Jemarinya bergerak perlahan, matanya fokus, dengan senyum yang tetap lembut. “Cantik banget, Diana .…” Suara wanita dari pintu membuat Diana menoleh. “Tante Rani!” seru Diana pelan, senyumnya makin mengembang. Dia segera bangkit dan memeluk teman mamanya itu. Maharani tertawa kecil, lalu menunjuk gaun di tangan Diana. “Kalau kamu yang pakai, pasti tambah sempurna. Sumpah, waktu lihat kamu di catwalk bulan lalu … Tante sampai mikir, ini manusia apa bidadari, sih?” Diana mengerucutkan bibirnya merahnya, lalu menepuk lengan Maharani dengan. “Berlebihan banget, Tante. Tapi makasih, ya. Aduh, jadi malu.” Mereka duduk di sofa mungil dekat jendela. Maharani membuka kotak kecil berisi bros handmade yang ingin dia titipkan
“Dokter, bolehkah kami berfoto bersama sebelum operasi?” Dashel menoleh dengan senyum khasnya. Wajahnya yang sebagian tertutup masker dan sorot mata yang tajam membuat beberapa perawat tak kuasa menyembunyikan rona merah di pipi mereka. “Boleh saja,” jawab pria itu santai sambil mengangkat dua jari ke arah kamera. “Asalkan jangan sampai pasiennya menunggu terlalu lama. Bisa-bisa dia memutuskan kabur.” Si paling usil dari keluarga Denver, kini telah menjelma menjadi salah satu dokter bedah muda yang paling diidolakan di rumah sakit. Setelah menyelesaikan pendidikan spesialis di Johns Hopkins University, sebuah institusi kedokteran bergengsi, Dashel—yang akrab disapa Dash—kembali ke Indonesia membawa pulang segudang prestasi serta rasa percaya diri yang tak terbendung. Akan tetapi, sesungguhnya transformasi Dash bukan hanya terlihat dari gelar dan jas putih yang kini melekat di tubuh atletisnya. Di ruang operasi, dia menjadi sosok yang sangat berbeda dari kesehariannya. Dash sela
Pukul tujuh pagi, lantai tertinggi gedung J&B Pharmacy sudah dipenuhi staf yang pucat pasi. Mereka berlarian, merapikan berkas, menyusun slide, mengecek statistik berkali-kali. Hal ini karena ada yang menakutkan, Akashan Draven Bradley mulai menjadi presdir. "Dia sudah di ruang rapat?" bisik salah satu staf. "Sudah. Dari jam enam empat puluh," jawab yang lain pelan, seakan menyebut nama Draven terlalu keras bisa bikin dicoret dari daftar gaji. Di ruang rapat, suasana membeku. Draven duduk di ujung meja panjang, mengenakan jas hitam pekat, dasinya lurus, rambutnya klimis tak bergerak. Tatapannya setajam pisau bedah. “Proyeksi penjualan kalian di kuartal ini ... menyedihkan,” kata Draven sambil menatap grafik. Salah satu kepala divisi mencoba menjelaskan, “Kami mengalami hambatan distribusi karena banjir—” “Jadi kamu biarkan masyarakat tidak dapat obat hanya karena hujan?” Suaranya datar dan dingin. “Kamu kerja untuk perusahaan farmasi. Kalau distribusimu kalah sama cuaca, se
"Jangan pernah bilang menjadi dokter itu mudah." Kalimat itu terngiang di kepala Dirga sejak pagi buta. Entah mengapa, hari ini dia mengenakan jas putih dan berdiri di depan rumah sakit milik ayahnya—bukan sebagai anak pemilik, melainkan sebagai dokter baru. Ya, entah mimpi apa yang menghampirinya semalam. Dirga, si paling anti bau rumah sakit, kini resmi bertugas sebagai residen di Poli Anak. “Dokter Dirga, pasien pertama sudah menunggu di dalam,” ujar seorang perawat sambil tersenyum manis. Dirga mengangguk, mencoba tampak tegar. Namun, tangannya gemetar saat membuka pintu ruang periksa. Di sanalah bencana pertama dimulai. “Aku tidak mau disuntik!!” jerit seorang bocah lima tahun sambil melempar botol minum ke arah wajah Dirga. “Tenang … Dokter tidak gigit, sungguh.” Seketika boneka putih mendarat keras tepat di antara alisnya. Hari pertama, tiga pasien anak menangis, satu muntah di pangkuannya, dan satu lagi kabur lewat jendela kecil. Sesampainya di rumah, Dirga duduk lema
12 Tahun Kemudian"Berisik banget sih! Bisa nggak sekali aja nggak nangis?" teriak Draven dari ambang pintu kamarnya.Anak laki-laki berusia 13 tahun itu mengacak-acak rambutnya sendiri, kesal. Dia mendelik ke arah Diana—adik perempuannya—yang lagi sesenggukan di tengah lorong lantai dua.Diana, dengan mata berkaca-kaca, mendongak marah. "Bukan bantu aku, malah ngomel! Huh!" serunya sambil mengusap kasar air mata."Bantu apa? Kamu tuh cengeng!" balas Draven sengit.“Dash ambil cokelatku lagi, padahal sisa sedikit tahu!” lontar Diana dengan bibir merah mudanya.Sebelum pertengkaran makin memanas, suara pintu kamar terbuka terdengar dari sisi lainnya. Seketika Diana berlari ke arah sumber suara, meninggalkan Draven yang masih berwajah masam.Diana berdiri tepat di depan seorang remaja laki-laki yang baru saja keluar dari kamar. Rapi dengan kemeja putih dan celana panjang hitam.“Kak Dirga,” rajuk Diana, sambil menerjang ke pelukan kakaknya.Dirga telah tumbuh menjadi pemuda tampan berus
Satu Tahun Kemudian--Birmingham, InggrisUdara musim semi yang sejuk menyapa kota Birmingham saat mobil yang dikemudikan Darius melaju pelan memasuki area Rumah Sakit JB. Di sebelahnya, Maharani menatap keluar jendela dengan kening berkerut."Kenapa ke rumah sakit?" tanyanya heran, sambil merapikan pakaiannya.Darius hanya tersenyum tipis, tidak menjawab.Maharani makin bingung. "Kita mau sakit? Atau mau jenguk seseorang?"Darius menggeleng pelan, tetap dengan ekspresi datarnya yang membuat Maharani makin penasaran."Darius ... ada apa sebenarnya?" tanya Maharani lagi, sedikit merajuk."Ikut saja dulu," sahut Darius tenang, sambil menggandeng tangan istrinya.Mereka berjalan melewati koridor rumah sakit yang bersih dan wangi. Sesekali Maharani melirik ke kanan dan kiri, mencoba mencari petunjuk apa yang sebenarnya terjadi. Akhirnya mereka tiba di sebuah poli, dan seorang dokter bule menyambut dengan ramah."Good afternoon, Mr. and Mrs. Darmawan," sapa dokter itu.Maharani yang masih t
"Waaa! Waaah!" Dirga panik bukan main saat mendengar tangisan nyaring menggema dari boks bayi di ruang keluarga. Dia buru-buru mengintip ke sumber suara yang mengganggu acara televisi kesukaannya. "Dash jangan nangis dong ... Kamu ‘kan udah minum susu tadi," bujuk Dirga sambil mengelus pipi sang adik dengan tangan kecilnya. Belum sempat Dashel tenang, tangisan lain menyusul. Dirga nyaris melompat kaget. "Aduh, Di ... jangan ikut-ikutan, ya," keluhnya. Sambil setengah berjongkok, Dirga mengambil botol susu yang tadi diletakkan pengasuh di meja dekat boks, mencoba menyerahkannya pada Diana. Dirga menoleh dengan wajah bingung, kedua tangannya sudah sibuk masing-masing memegang satu botol susu. Dia mencoba menyeimbangkan keduanya sambil terus berbicara setengah memohon, setengah bingung, "Diam, ya, ssst ... sebental lagi Mama pulang, kok ... Sabal." Dirga bagai seorang kapten kapal kecil mencoba menenangkan tiga anak buahnya yang memberontak bersamaan. Ya, memang Draven agak lebih t
Dua bulan setelah kelahiran tiga malaikat kecil mereka, kediaman Denver dan Dewi berubah menjadi kehebohan yang tiada henti. Meskipun sudah ada empat pengasuh yang disiapkan, untuk Dirga, Draven, Dashel, dan Diana—tetap saja pagi ini kacau balau. Di sudut kamar, Dewi tengah sibuk memompa ASI sembari menyusui Diana. Tubuhnya agak membungkuk, dengan rambut disanggul seadanya, dan wajah cantik itu terlihat sedikit pucat. Sementara itu, Dirga mondar-mandir dari kamar ke kamar, keningnya berkerut karena kesal. "Aduh, di mana, ya, kaus kaki dino?" rengeknya, suara kecil itu sungguh nyaring memenuhi seluruh rumah. Pengasuh sudah menawarkan beberapa pasang kaus kaki yang lain, tetapi Dirga menggeleng keras. "Dirga, ini kaus kakinya sudah dicuci bersih. Pakai saja ini, ya?" bujuk pengasuhnya lembut. "Bukan itu!" Dirga berteriak kecil, lalu berlari ke kamar Dewi. Sayang, yang dicarinya tidak ada. Dengan langkah kecil yang mantap, dia menuju kamar bayi dan menemukan Dewi sedang menyusu
Pukul delapan pagi, suasana ruang presidential suite sudah jauh berbeda dari kemarin. Aroma antiseptik khas rumah sakit masih tercium, tetapi kini bercampur dengan tawa kecil dan desah lega yang menghangatkan udara di sekitar.Di ranjang besar berseprei putih bersih itu, Dewi duduk sembari bersandar lemah. Ya, tubuhnya masih tampak pucat, tetapi mata sipit itu berbinar lembut. Di pelukannya, Dirga sedang berbaring, melepas rindu katanya. Satu tangan mungil itu menggenggam erat piyama rumah sakit Dewi, tidak mau terpisah lagi.“Aku sayang Mama,” bisik anak itu.Dengan jemarinya, Dewi membelai rambut putra pertamanya. Dia menunduk dan mencium kening mungil itu beberapa kali, tentu penuh rasa rindu yang menyesak dada.“Mama juga sayang banget sama Kakak Dirga,” balas Dewi, diikuti senyum merekah.Sedangkan Denver berdiri di sis ranjang. Dia memeriksa kondisi Dewi. Tangan pria itu sesekali menyentuh pergelangan tangan istrinya, mengecek denyut nadi yang masih terasa lemah, tetapi stabil.