Share

Bab 7 : Jangan Ragu!

Author: NACL
last update Last Updated: 2024-12-04 15:36:47

“Siapa dia? Kenapa ngikutin kamu, Sayang?” tanya wanita itu.

Denver melirik sejenak ke belakang. Tentunya tatapan serta ekspresi pria itu berubah dingin, membuat Dewi merinding di sekujur tubuhnya. Dokter Denver berbeda!

“Dia perawat di sini,” jawab Denver. Pria itu kemudian maju mendekati sang istri. Dia meninggalkan Dewi berdiri sendirian di tengah lobi.

“Oh, aku pikir wanita sekali pakai yang kamu bayar,” ejek Carissa dengan tatapan sengit tertuju kepada Dewi. “Bukan masalah, sih. Aku ngerti, kok, kebutuhan pria. Apalagi aku sibuk, pasti kamu butuh pelampiasan,” katanya seakan memaklumi, tetapi intonasi itu sarat akan peringatan keras.

Seketika degup jantung Dewi menjadi lebih cepat. Dadanya juga sakit mendengar kalimat hinaan itu. Namun … bukannya benar begitu? Jika dia langsung hamil setelah disentuh satu kali oleh Denver, bukankah perjanjian mereka akan berakhir pascamelahirkan?

“Jaga mulutmu, Carissa!” tegas Denver, sebab mereka menjadi pusat perhatian beberapa pasien serta staf rumah sakit lainnya.

“Umm … baiklah, tapi kenapa dia masih diem di situ?” tanya Carissa. Kemudian wanita menggerakkan kepala dan memerintah, “Heh, kamu cepat pergi!”

Dewi tahu diri, lagi pula dia enggan berdebat dengan istri sah Dokter itu. Kemudian dia melanjutkan langkah, dan tidak lupa tersenyum kepada Denver serta Carissa.

“Permisi, Dokter, Bu,” pamit Dewi. Dia bergegas ke luar gedung.

Sepasang iris cokelat karamel memandang ke arah mana kaki Dewi melangkah. Dokter tampan itu mengeratkan rahang ketika melihat sanggadis berboncengan dengan tukang ojek.

“Segitunya banget kamu perhatiin dia,” cibir bibir yang tersembunyi di balik masker.

Seketika perhatian Denver tertuju kepada Carissa.

“Kita ngobrol di mobil saja!” titah pria itu, lalu menggenggam tangan istrinya menuju basement.

Keduanya duduk berdampingan di dalam mobil.

Denver kembali bertanya, “Ada perlu apa? Kamu mau minta uang lagi?”

“Oh, aku Cuma mau kasih tahu, nanti malam ke Singapura. Ada syuting iklan,” jawab Carissa sambil memperhatikan kuku cantiknya.

Denver mendengkus. “Pergi lagi? Kamu baru pulang minggu lalu, Carissa!”

“Terlanjur kontrak.” Carissa menoleh dan tersenyum manis kepada Denver. Dengan suara mendayu manja, wanita itu berujar, “Sayang kalau batal, penalty-nya besar. Sudah, ya, aku berangkat lagi ke agensi. Bye Baby.”

Sebagai salam perpisahan, wanita itu mencondongkan tubuh dan mengecup pipi Denver.

Sementara itu di sisi lain, pikiran Dewi menerawang jauh sepanjang perjalanan menuju apartemen. Pertama kalinya ia berinteraksi dengan … wanita yang kelak dipanggil ‘Ibu’ oleh bayinya.

Tiba-tiba Dewi tidak rela jika satu tahun ke depan, bayinya dibesarkan oleh wanita itu. Gadis itu mendekap erat tasnya, dia meragu. Hanya saja sekelebat ingatan tentang sang ayah serta adik-adiknya melawan kebimbangan dalam dada.

“Jangan ragu, Dewi. Anakmu pasti bahagia, dia tidak mungkin kekurangan apa pun di masa depan,” gumam gadis itu di balik punggung tukang ojek.

Ojek yang ditumpangi Dewi memasuki kawasan apartemen mewah. Dia langsung membayar ongkos dan bergegas masuk. Ketika sedang menunggu pintu lift terbuka, gawai gadis itu berdenting. Dia memeriksanya dan mendapati satu pesan masuk.

[Sudah sampai apartemen?]

Awalnya Dewi enggan membalas pesan itu karena tidak mau menjadi pengganggu. Hanya saja, dia teringat akan ucapan Denver sore tadi. Tidak apa bukan kalau dia bertanya kepada Dokter tampan?

[Sudah. Dokter mau datang ke apartemen?]

Pesan singkat terkirim, tidak lama kemudian balasan diterima oleh Dewi.

[Istirahatlah, jangan lupa minum vitaminnya.]

Dewi bergeming menatap pesan terakhir. Tampaknya dia harus bersabar, karena semesta seakan tidak merestui perjanjian mereka.

Beberapa saat berlalu dia telah masuk ke dalam unit apartemen. Seperti biasa kedatangannya disambut bak seorang Nyonya. Dewi pun mengganti baju, lalu mengistirahatkan badan di dalam kamar. Malam harinya, dia makan ditemani dua pelayan. Namun pikirannya selalu tertuju kepada Denver. Pria itu benar-benar tidak datang.

Dewi mengembus napas dengan pasrah, lantas merapikan peralatan makan kotor bekasnya. Tiba-tiba saja pintu utama terbuka. Gadis itu menoleh dan tersentak. Hampir saja dia menjatuhkan mangkok sup.

“S--selamat malam Dokter,” sambut Dewi gugup.

“Hu’um malam. Kamu sudah makan?” tanya pria itu lemah lembut, lalu mengikis jarak mendekati Dewi.

“Su--dah. Kalau Dokter?” tanya Dewi tergagap.

Bukannya menjawab, justru Denver memperhatikan penampilan Dewi dari atas ke bawah. Gadis itu menggunakan celana pendek di atas lutut serta kaos putih ketat tanpa lengan yang mencetak lekuk tubuhnya dengan sempurna.

Dengan suara menggoda Denver bertanya, “Kamu ingat rencana kita malam ini?”

“I--ya ingat. Kalau begitu aku mandi dulu.” Dewi tersenyum sungkan lantas berlari menuju kamarnya.

Gadis itu menggosok tubuh berulang kali menggunakan busa sabun. Setelahnya ke luar dari kamar mandi hanya beralaskan handuk merah muda.

Tiba-tiba saja Dewi tersentak melihat pemandangan di depan mata. Dia mereguk saliva, ini kali kedua melihat pahatan sempurna otot perut dan dada bidang pria itu. Siapa juga yang menduga Denver masuk kamarnya.

“Do--kter a--da di sini?” tanya Dewi berubah kikuk. Dia langsung menutup mulutnya menggunakan tangan.

Denver mengulum senyum memperhatikan gadis di depannya. Pria itu menghampiri Dewi yang berdiri sambil mengeratkan handuk merah muda. Dia menunduk dan mencubit lembut dagu gadis itu, lalu bertanya, “Apa kamu sudah yakin? Jika ragu, bisa mundur sekarang.”

“Aku ….” Dewi kehabisan kata mendengar pertanyaan Denver.

Seandainya dia menjawab ragu, apakah Denver sukarela melepaskannya? Lalu bagaimana dengan uang yang telah pria itu berikan? Dewi sudah menggunakannya untuk mencicil biaya pengobatan Danang. Sekarang … haruskah dia melarikan diri dari tugas?

Gadis itu menggeleng lemah tanpa suara. Tidak bisa mundur lagi! Malam ini waktu yang tepat untuk berhubungan intim. Ini masa ovulasinya, dia enggan menunggu lebih lama lagi.

“Aku tidak ragu, Dokter. Aku … menginginkannya,” jawab Dewi pada akhirnya.

Denver menatap lekat paras gadis itu. Jemari pria itu bergerak perlahan membelai pipi kemerahan, menggelitik pemiliknya hingga menggeliat.

Ini pertama kali gadis itu mendapat sentuhan lembut dari seorang pria.

Dewi mulai berani menatap sepasang manik indah milik pria di hadapannya. Sorot mata Denver memancarkan kehangatan serta kekaguman yang belum pernah dia dapatkan. Namun, gadis itu mati-matian menahan diri agar tidak terjerumus ke dalam lubang perasaan.

Merasakan tidak ada reaksi apa pun membuat Denver melepaskan sang gadis. Pria itu berjalan menuju pintu dan berkata, “Kamu masih ragu, Dewi.”

Gadis itu menggeleng dan menyahut, “Aku menginginkannya, Dokter. Lakukan saja.”

“Aku tidak memaksa, katakan saja kapan kamu siap,” tutur Denver terdengar lemah lembut di telinga.

Bertepatan dengan pintu hampir tertutup, Dewi melepas handuknya hingga terjatuh menunjukkan kemolekan yang menggoda. Dia berdiri menghadap Denver yang terkejut melihat sikap sang gadis.

"Aku siap!"

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (6)
goodnovel comment avatar
Nunung Mintarsih
mantap lanjut
goodnovel comment avatar
ORTYA POI
Semoga lancar rencana kedepan
goodnovel comment avatar
NACL
siap Kak makasih Yaaa
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Terjebak Hasrat Terlarang Dokter Denver   SPECIAL CHAPTER : BIDADARI CANTIK DI ATAS CATWALK

    Siang itu, butik kecil bernuansa pastel milik Diana tampak tenang. Tirai tipis bergoyang lembut tertiup angin dari jendela yang terbuka. Di sudut ruangan, Diana sedang memeriksa detail bordiran pada salah satu gaun yang akan digunakan untuk pemotretan pernikahan besok. Jemarinya bergerak perlahan, matanya fokus, dengan senyum yang tetap lembut. “Cantik banget, Diana .…” Suara wanita dari pintu membuat Diana menoleh. “Tante Rani!” seru Diana pelan, senyumnya makin mengembang. Dia segera bangkit dan memeluk teman mamanya itu. Maharani tertawa kecil, lalu menunjuk gaun di tangan Diana. “Kalau kamu yang pakai, pasti tambah sempurna. Sumpah, waktu lihat kamu di catwalk bulan lalu … Tante sampai mikir, ini manusia apa bidadari, sih?” Diana mengerucutkan bibirnya merahnya, lalu menepuk lengan Maharani dengan. “Berlebihan banget, Tante. Tapi makasih, ya. Aduh, jadi malu.” Mereka duduk di sofa mungil dekat jendela. Maharani membuka kotak kecil berisi bros handmade yang ingin dia titipkan

  • Terjebak Hasrat Terlarang Dokter Denver   SPECIAL CHAPTER : DOKTER BEDAHKU TAMPAN

    “Dokter, bolehkah kami berfoto bersama sebelum operasi?” Dashel menoleh dengan senyum khasnya. Wajahnya yang sebagian tertutup masker dan sorot mata yang tajam membuat beberapa perawat tak kuasa menyembunyikan rona merah di pipi mereka. “Boleh saja,” jawab pria itu santai sambil mengangkat dua jari ke arah kamera. “Asalkan jangan sampai pasiennya menunggu terlalu lama. Bisa-bisa dia memutuskan kabur.” Si paling usil dari keluarga Denver, kini telah menjelma menjadi salah satu dokter bedah muda yang paling diidolakan di rumah sakit. Setelah menyelesaikan pendidikan spesialis di Johns Hopkins University, sebuah institusi kedokteran bergengsi, Dashel—yang akrab disapa Dash—kembali ke Indonesia membawa pulang segudang prestasi serta rasa percaya diri yang tak terbendung. Akan tetapi, sesungguhnya transformasi Dash bukan hanya terlihat dari gelar dan jas putih yang kini melekat di tubuh atletisnya. Di ruang operasi, dia menjadi sosok yang sangat berbeda dari kesehariannya. Dash sela

  • Terjebak Hasrat Terlarang Dokter Denver   SPECIAL CHAPTER : SI PRESIDIR YANG NYEBELIN

    Pukul tujuh pagi, lantai tertinggi gedung J&B Pharmacy sudah dipenuhi staf yang pucat pasi. Mereka berlarian, merapikan berkas, menyusun slide, mengecek statistik berkali-kali. Hal ini karena ada yang menakutkan, Akashan Draven Bradley mulai menjadi presdir. "Dia sudah di ruang rapat?" bisik salah satu staf. "Sudah. Dari jam enam empat puluh," jawab yang lain pelan, seakan menyebut nama Draven terlalu keras bisa bikin dicoret dari daftar gaji. Di ruang rapat, suasana membeku. Draven duduk di ujung meja panjang, mengenakan jas hitam pekat, dasinya lurus, rambutnya klimis tak bergerak. Tatapannya setajam pisau bedah. “Proyeksi penjualan kalian di kuartal ini ... menyedihkan,” kata Draven sambil menatap grafik. Salah satu kepala divisi mencoba menjelaskan, “Kami mengalami hambatan distribusi karena banjir—” “Jadi kamu biarkan masyarakat tidak dapat obat hanya karena hujan?” Suaranya datar dan dingin. “Kamu kerja untuk perusahaan farmasi. Kalau distribusimu kalah sama cuaca, se

  • Terjebak Hasrat Terlarang Dokter Denver   SPECIAL CHAPTER : KALAU DIRGA JADI DOKTER

    "Jangan pernah bilang menjadi dokter itu mudah." Kalimat itu terngiang di kepala Dirga sejak pagi buta. Entah mengapa, hari ini dia mengenakan jas putih dan berdiri di depan rumah sakit milik ayahnya—bukan sebagai anak pemilik, melainkan sebagai dokter baru. Ya, entah mimpi apa yang menghampirinya semalam. Dirga, si paling anti bau rumah sakit, kini resmi bertugas sebagai residen di Poli Anak. “Dokter Dirga, pasien pertama sudah menunggu di dalam,” ujar seorang perawat sambil tersenyum manis. Dirga mengangguk, mencoba tampak tegar. Namun, tangannya gemetar saat membuka pintu ruang periksa. Di sanalah bencana pertama dimulai. “Aku tidak mau disuntik!!” jerit seorang bocah lima tahun sambil melempar botol minum ke arah wajah Dirga. “Tenang … Dokter tidak gigit, sungguh.” Seketika boneka putih mendarat keras tepat di antara alisnya. Hari pertama, tiga pasien anak menangis, satu muntah di pangkuannya, dan satu lagi kabur lewat jendela kecil. Sesampainya di rumah, Dirga duduk lema

  • Terjebak Hasrat Terlarang Dokter Denver   Bab 338 : Kehidupan Bahagia 6 D

    12 Tahun Kemudian"Berisik banget sih! Bisa nggak sekali aja nggak nangis?" teriak Draven dari ambang pintu kamarnya.Anak laki-laki berusia 13 tahun itu mengacak-acak rambutnya sendiri, kesal. Dia mendelik ke arah Diana—adik perempuannya—yang lagi sesenggukan di tengah lorong lantai dua.Diana, dengan mata berkaca-kaca, mendongak marah. "Bukan bantu aku, malah ngomel! Huh!" serunya sambil mengusap kasar air mata."Bantu apa? Kamu tuh cengeng!" balas Draven sengit.“Dash ambil cokelatku lagi, padahal sisa sedikit tahu!” lontar Diana dengan bibir merah mudanya.Sebelum pertengkaran makin memanas, suara pintu kamar terbuka terdengar dari sisi lainnya. Seketika Diana berlari ke arah sumber suara, meninggalkan Draven yang masih berwajah masam.Diana berdiri tepat di depan seorang remaja laki-laki yang baru saja keluar dari kamar. Rapi dengan kemeja putih dan celana panjang hitam.“Kak Dirga,” rajuk Diana, sambil menerjang ke pelukan kakaknya.Dirga telah tumbuh menjadi pemuda tampan berus

  • Terjebak Hasrat Terlarang Dokter Denver   Bab 337 : Mimpi yang Terwujud

    Satu Tahun Kemudian--Birmingham, InggrisUdara musim semi yang sejuk menyapa kota Birmingham saat mobil yang dikemudikan Darius melaju pelan memasuki area Rumah Sakit JB. Di sebelahnya, Maharani menatap keluar jendela dengan kening berkerut."Kenapa ke rumah sakit?" tanyanya heran, sambil merapikan pakaiannya.Darius hanya tersenyum tipis, tidak menjawab.Maharani makin bingung. "Kita mau sakit? Atau mau jenguk seseorang?"Darius menggeleng pelan, tetap dengan ekspresi datarnya yang membuat Maharani makin penasaran."Darius ... ada apa sebenarnya?" tanya Maharani lagi, sedikit merajuk."Ikut saja dulu," sahut Darius tenang, sambil menggandeng tangan istrinya.Mereka berjalan melewati koridor rumah sakit yang bersih dan wangi. Sesekali Maharani melirik ke kanan dan kiri, mencoba mencari petunjuk apa yang sebenarnya terjadi. Akhirnya mereka tiba di sebuah poli, dan seorang dokter bule menyambut dengan ramah."Good afternoon, Mr. and Mrs. Darmawan," sapa dokter itu.Maharani yang masih t

  • Terjebak Hasrat Terlarang Dokter Denver   Bab 336 : Aku Pusing, Ma, Pa

    "Waaa! Waaah!" Dirga panik bukan main saat mendengar tangisan nyaring menggema dari boks bayi di ruang keluarga. Dia buru-buru mengintip ke sumber suara yang mengganggu acara televisi kesukaannya. "Dash jangan nangis dong ... Kamu ‘kan udah minum susu tadi," bujuk Dirga sambil mengelus pipi sang adik dengan tangan kecilnya. Belum sempat Dashel tenang, tangisan lain menyusul. Dirga nyaris melompat kaget. "Aduh, Di ... jangan ikut-ikutan, ya," keluhnya. Sambil setengah berjongkok, Dirga mengambil botol susu yang tadi diletakkan pengasuh di meja dekat boks, mencoba menyerahkannya pada Diana. Dirga menoleh dengan wajah bingung, kedua tangannya sudah sibuk masing-masing memegang satu botol susu. Dia mencoba menyeimbangkan keduanya sambil terus berbicara setengah memohon, setengah bingung, "Diam, ya, ssst ... sebental lagi Mama pulang, kok ... Sabal." Dirga bagai seorang kapten kapal kecil mencoba menenangkan tiga anak buahnya yang memberontak bersamaan. Ya, memang Draven agak lebih t

  • Terjebak Hasrat Terlarang Dokter Denver   Bab 335 : Kekompakan Papa Denver dan Dirga

    Dua bulan setelah kelahiran tiga malaikat kecil mereka, kediaman Denver dan Dewi berubah menjadi kehebohan yang tiada henti. Meskipun sudah ada empat pengasuh yang disiapkan, untuk Dirga, Draven, Dashel, dan Diana—tetap saja pagi ini kacau balau. Di sudut kamar, Dewi tengah sibuk memompa ASI sembari menyusui Diana. Tubuhnya agak membungkuk, dengan rambut disanggul seadanya, dan wajah cantik itu terlihat sedikit pucat. Sementara itu, Dirga mondar-mandir dari kamar ke kamar, keningnya berkerut karena kesal. "Aduh, di mana, ya, kaus kaki dino?" rengeknya, suara kecil itu sungguh nyaring memenuhi seluruh rumah. Pengasuh sudah menawarkan beberapa pasang kaus kaki yang lain, tetapi Dirga menggeleng keras. "Dirga, ini kaus kakinya sudah dicuci bersih. Pakai saja ini, ya?" bujuk pengasuhnya lembut. "Bukan itu!" Dirga berteriak kecil, lalu berlari ke kamar Dewi. Sayang, yang dicarinya tidak ada. Dengan langkah kecil yang mantap, dia menuju kamar bayi dan menemukan Dewi sedang menyusu

  • Terjebak Hasrat Terlarang Dokter Denver   Bab 334 : Sibling Goals 2

    Pukul delapan pagi, suasana ruang presidential suite sudah jauh berbeda dari kemarin. Aroma antiseptik khas rumah sakit masih tercium, tetapi kini bercampur dengan tawa kecil dan desah lega yang menghangatkan udara di sekitar.Di ranjang besar berseprei putih bersih itu, Dewi duduk sembari bersandar lemah. Ya, tubuhnya masih tampak pucat, tetapi mata sipit itu berbinar lembut. Di pelukannya, Dirga sedang berbaring, melepas rindu katanya. Satu tangan mungil itu menggenggam erat piyama rumah sakit Dewi, tidak mau terpisah lagi.“Aku sayang Mama,” bisik anak itu.Dengan jemarinya, Dewi membelai rambut putra pertamanya. Dia menunduk dan mencium kening mungil itu beberapa kali, tentu penuh rasa rindu yang menyesak dada.“Mama juga sayang banget sama Kakak Dirga,” balas Dewi, diikuti senyum merekah.Sedangkan Denver berdiri di sis ranjang. Dia memeriksa kondisi Dewi. Tangan pria itu sesekali menyentuh pergelangan tangan istrinya, mengecek denyut nadi yang masih terasa lemah, tetapi stabil.

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status