로그인Kamar hotel mewah itu berantakan, sisa-sisa malam penuh gairah yang kini berganti menjadi ketegangan yang menyesakkan. Aqila, baru saja bangun, berbalut selimut tebal, mencoba menjauh dari pria di sebelahnya.“Fendi, sudah siang. Aku harus pulang. Mereka akan curiga kalau aku nggak segera muncul,” desis Aqila, mencoba melepaskan tangannya dari genggaman Fendi.Fendi, sepupu Fahmi, tersenyum sinis, menahan tangan Aqila. “Please, jangan pergi, Qi. Toh Mama, Ayah, dan juga anakmu tidak akan pulang cepat-cepat.”“Aku serius, Fendi!” Aqila menarik tangannya. “Hubungan kita ini hanya senang-senang. Kenapa kamu jadi drama begini?”Fendi bangkit duduk, sorot matanya yang biasanya jenaka kini terlihat serius. Ia menatap Aqila dengan tatapan menuntut kepastian.“Aku nggak mau Fahmi sampai curiga lagi dan tahu kalau aku masih jalan sama laki-laki lain. Apalagi sampai tahu laki-laki itu sepupunya sendiri. Memang kamu mau kalau Fahmi tahu?” tanya Aqila, mencoba mengintimidasi.“Enggak apa-apa,” ja
Mereka akhirnya tiba di rumah makan sederhana yang direkomendasikan Fahmi kemarin. Letaknya tidak terlalu jauh dari desa, di pinggir jalan raya yang mulai ramai. Setelah memarkir mobil, Fahmi dan Rina berjalan masuk. Aroma masakan khas Sunda langsung menyambut mereka, membuat perut Rina yang memang sudah keroncongan semakin meronta.“Kamu mau makan apa, Rin? Di sini ayam bakarnya juara, sambalnya juga pedasnya pas,” tanya Fahmi sambil menarik kursi untuk Rina di sudut ruangan yang lebih privat.“Aku ikut kamu saja, Mi. Yang penting pedes,” jawab Rina, tersenyum. Senyum yang terasa ringan dan tanpa beban, hanya bisa ia berikan saat bersama Fahmi.Sambil menunggu pesanan, mereka menghabiskan waktu dengan obrolan ringan. Fahmi menceritakan masa kecilnya yang sering dihabiskan di rumah neneknya, bagaimana dia dan sepupu-sepupunya dulu sering mencuri mangga di malam hari, dan betapa takutnya mereka jika ketahuan. Rina mendengarkan dengan penuh perhatian, sesekali tertawa renyah. Setiap d
“Kalau Aqila itu nggak pernah menghargaiku. Rumah tanggaku sama dia juga sama rumit dan retaknya seperti hubungan kamu dengan Ervan.”Rina terdiam. Netra mereka masih saling menatap satu sama lain.“Dengar, Rin,” kata Fahmi, suaranya sedikit lebih serius. “Hubunganku dengan Aqila mungkin lebih berbeda, tapi ceritanya hampir sama. Dan aku menghormatinya sebagai istriku, sebagai ibu dari anak-anakku, tapi perasaanku pada Aqila … tidak sama dengan perasaanku padamu. Perasaan aku udah mati.”Rina tetap diam, hatinya berdenyut nyeri mendengar pengakuan Fahmi. “Nenekku itu orangnya peka, Rin,” lanjut Fahmi. “Dia tahu aku tidak bahagia sepenuhnya dalam pernikahan itu. Dia tahu aku butuh seseorang yang bisa mengisi kekosongan di hatiku.” Fahmi mengelus pipi Rina lembut. “Kamu mengisi kekosongan itu, Rin. Kamu membuatku merasa hidup dan dibutuhkan lagi.”Rina tidak bisa menahan air matanya. Ia memeluk Fahmi erat, menyembunyikan wajahnya di dada pria itu. Aroma kayu bakar dan lavender yang kin
Fahmi kembali masuk ke dalam kamar beberapa saat kemudian, membawa dua buah ubi bakar berukuran sedang di atas piring kaleng. Aroma manis ubi yang terpanggang sempurna menguar, mengisi ruangan.“Nih, biar ada tenaga buat jalan nanti,” kata Fahmi, menyodorkan piring itu kepada Rina. Rina mengambil satu, menggigitnya pelan. Kehangatan dan rasa manis ubi itu sedikit menghibur hatinya yang kembali dilanda kegalauan.“Manis banget ubinya,” ujar Rina sembari merasakan setiap sentuhan indra perasanya dengan ubi di dalam mulutnya.“Iya, manis … kayak kamu.”“Ih dasar ya … Gombal terus.”“Serius aku ….”“Penulis kan suka gombal.”“Gombalannya kan di dalam tulisan aja Rin. Kalau di dunia real life sih aku gak sefasih itu,” ungkap Fahmi sembari tersenyum tipis dan jarinya mencolek dagu Rina dengan gemas.Rina tersenyum tersipu mendengarnya. “Pakaian kita udah kering kan, Mi?” tanyanya setelah menelan kunyahan ubi.“Udah, barusan aku cek di dapur. Untung nenek punya tungku kayu bakar, jadi cepat
“Tadi malam, aku nggak pake pengaman.”Rina terkesiap. Wajahnya langsung tegang.“Maksudmu … kamu nggak pakai kondom?” tanya Rina, suaranya sedikit meninggi. Ia baru sadar, saking menikmati sentuhan Fahmi, ia sampai lupa total untuk mengingatkan soal pengaman. Astaga, sebodoh itu aku!Fahmi menggaruk belakang kepalanya, terlihat canggung. “Iya, Sayang. Aku nggak pake kondom.” Ia melangkah mendekat, duduk di pinggir ranjang dan meraih tangan Rina. “Gini nih, aku jujur ya. Aku kan nggak pernah bawa stok kayak gitu, Rin. Mana aku tahu kalau kita akan berakhir bercinta di rumah ini?”Wajah Rina langsung memerah, antara malu dan kaget mendengar jawaban jujur Fahmi yang santai dan blak-blakan begitu. Ia menarik selimutnya hingga menutupi dada.“Kita nggak merencanakan ini, kan?” kata Fahmi lagi, mencoba membela diri.Rina menahan nafas sejenak, kemudian tersenyum tipis. Ia mengelus lembut lengan Fahmi.“Tenang saja, Mi. Tidak akan ada kejutan yang macam-macam,” ujar Rina, suaranya terdengar
Fahmi mulai menggerakkan pinggulnya. Ia merangkak di belakang Rina, membiarkan tubuhnya bersentuhan penuh dari belakang. Kehangatan yang menjalar menciptakan desahan nikmat dari Rina.“Mau kita lanjut?” bisik Fahmi, nadanya penuh damba.Rina mengangguk. Ia tidak butuh kata-kata. Malam ini, bahasa tubuh adalah satu-satunya komunikasi.Dengan gerakan yang penuh gairah namun hati-hati, Fahmi menyatukan dirinya dengan Rina.Rina sedikit terkesiap saat merasakan keperkasaan Fahmi yang begitu nyata, penuh, dan mendominasi. Ini jauh berbeda dari sentuhan Ervan. Fahmi memberinya waktu, perhatian, dan sentuhan yang terasa tulus dan menghargai.Mereka bergerak, menyatu dalam irama yang sama dengan hujan di luar. Setiap sentuhan terasa seperti janji, setiap erangan seperti pengakuan dosa. Ranjang kayu tua itu berderit, menyanyikan lagu cinta terlarang mereka. Bau lavender, bau kayu, dan aroma kulit yang bercampur menjadi satu.Ketika puncak kenikmatannya datang, rasanya seperti badai, tiba-tiba







