“Coba tebak … Di mana?” Suara Claudia terdengar serak, dipenuhi tawa pelan yang menggoda, namun mengandung ancaman terselubung. “Aku berdiri tepat di depan gedung ini, di lobi utama, di antara patung perunggu yang besar itu loh.”Ervan menegang, tangannya mencengkeram ponsel hingga buku-buku jarinya memutih. “Clau … Jangan macam-macam ya,” desisnya, mencoba meredam kemarahan yang meluap-luap. Beberapa tenaga medis di rumah sakit ini mengenalnya. Kehadiran Claudia di sana, ditambah lagi dengan tingkahnya yang tidak terduga, adalah bencana. Nama baiknya benar-benar dipertaruhkan. Apa lagi Cluadia juga berprofesi sebagai perawat. Hubungan mereka benar-benar termasuk skandal!“Aku sudah bilang, aku mau kamu. Sekarang juga,” tuntut Claudia, nadanya mengeras. “Kamu mau turun atau aku yang naik ke sana? Aku akan cari sampai ke kamar ibunya Rina sekalian, kalau perlu.”Ancaman itu menghantam Ervan telak. Kedua matanya membola karena terkejut dan panik. Ia tidak peduli pada Rina atau Bu Ratih
Drrrt … Drrrt …Bunyi dering ponsel kembali memecah kehangatan.“Mi … ini gimana …? Ervan nelepon lagi?” tanya Rina dengan suara pelan bercampur panik.Fahmi tersenyum tipis, meski napasnya masih memburu. Ada kilatan nakal di matanya. Ia meraih tangan Rina yang gemetar dan mencium punggung tangannya cepat.“Angkat aja. Kalau perlu, bilang aja kamu lagi sama aku,” usul Fahmi, suaranya mengandung tantangan.Rina menatapnya horor, lalu tersenyum pahit, mencubit pipi Fahmi dengan gemas. “Gila! Kamu mau kita berdua dicap burukl? Mana bisa aku bilang kayak gitu? Kita nggak bisa gegabah, Fahmi. Kalau Ervan ingin nama baik dan reputasinya tak tercela karena perselingkuhannya dengan Claudia. Aku juga begitu. Nggak akan aku biarkan Ervan yang merasa ‘bersih’.”“Oke … Terserah kamu Sayang …,” kata Fahmi pelan.Rina lalu menaruh jari telunjuknya di bibir Fahmi, mengisyaratkan ‘jangan berisik’. Fahmi mengangguk, mundur selangkah, dan menyandarkan punggungnya ke dinding, memerhatikan Rina.Rina men
Fahmi beranjak berdiri dari kursi, lalu berjalan mendekat. Ia meraih tangan Rina. Sentuhan itu, meskipun hanya sekilas, cukup untuk menyalurkan semua ketegangan dan kelegaan yang ia rasakan.“Kita nggak bisa di sini,” bisik Rina, matanya melirik cemas ke ujung koridor, ke arah Dr. Wisnu dan Ervan menghilang. “Ervan akan kembali. Atau perawat bisa lihat. Kita harus cari tempat lain.”“Lalu kita bicara di mana? Aku kengen Rin ….”“Aku juga nggak tau …,” pekik Rina lirih bercampur tegang.“Tangga darurat,” ujar Fahmi sigap, langsung bangkit. “Cepat!”Mereka berdua berjalan cepat dan hampir berlari, menuju pintu bertanda ‘EXIT’ merah menyala yang tersembunyi di balik dinding. Begitu masuk, aroma pengap dan dingin langsung menyambut mereka. Mereka memilih anak tangga paling atas, di mana suara bising rumah sakit hampir tidak terdengar.Rina langsung menyandarkan tubuhnya ke tembok semen yang dingin, menatap Fahmi dengan mata berkaca-kaca.“Kamu gila, Fahmi. Kamu bilang mau jaga jarak. Ken
Hampir pukul sebelas siang ketika mobil Fahmi memasuki area parkir Rumah Sakit Sentosa di Bogor. Ia mematikan mesin, namun tetap duduk di balik kemudi. Jantungnya berdebar kencang, bukan karena kelelahan menyetir, tapi karena perasaannya yang campur aduk.Ia sudah melanggar janji untuk menjaga jarak. Fahmi tahu, kedatangannya ini berbahaya. Ia bisa saja menghancurkan semua upaya Rina untuk berpura-pura normal di depan ibunya, atau lebih buruk Rina akan marah karena ia tidak bisa menepati janji.“Bodoh. Kenapa aku ke sini?” gumam Fahmi, tapi sepasang kakinya sudah terlanjur membawanya keluar dari mobil.Fahmi berjalan menyusuri koridor rumah sakit yang bersih. Ia berhenti saat mencapai deretan kamar rawat VIP. Kamar Bu Ratih berada di ujung, pintunya sedikit terbuka, menyisakan celah tipis. Ia memilih duduk di kursi tunggu empuk yang berjarak sekitar sepuluh meter dari pintu, di dekat jendela. Dari sana, ia bisa melihat pintu, namun sulit terlihat dari dalam.Fahmi menarik napas panjan
Mendengar kalimat Fahmi yang dingin dan mematikan di telepon, seolah ada bongkahan es yang menghantam Aqila. Ia benar-benar syok. Selama ini, Aqila mengira Fahmi sudah berdamai dengan masa lalu mereka, bahwa pria itu sudah memaafkan perselingkuhannya dan menerima kondisi pernikahan mereka yang hambar. Ia berpikir, dengan mempertahankan status dan tetap menjadi ibu yang baik bagi Kekey, semuanya akan baik-baik saja.“Fahmi … jangan bercanda. Aku lagi di Bali, nggak lucu!” Aqila berusaha menertawakan, namun suaranya terdengar pecah.“Aku nggak bercanda, Qila. Aku serius. Sampai ketemu di Jakarta. Aku sudah putuskan. Kita pisah,” tutup Fahmi, nadanya tak terbantahkan.“Kamu masih menyalahkan aku?”“Bukan cuman soal itu … Pernikahan kita sudah hambar. Kamu juga tidak pernah mendengarkan saran atau nasehatku.”“Apa karena sudah dua bulan ini kita tidak berhubungan ranjang?” tanya Aqila lirih. “Aku kan udah jelasin sama kamu Fahmi … Aku lagi banyak kerjaan. Pulang-pulang tuh aku capek.”“T
Pagi itu di Cianjur, suasana rumah mewah bergaya kolonial milik mertua Fahmi terasa dingin dan sepi, bertolak belakang dengan hiruk pikuk di rumah sakit Bogor di mana Rina berada. Fahmi sudah bersiap. Kekey, putrinya yang berusia lima tahun, sudah rapi dengan ransel kecil bergambar Unicorn.“Kita pulang, Nak. Kita lihat rumah, ya?” bisik Fahmi, mengecup pipi Kekey.“Asik! Kekey bisa makan es krim malem-malem!” seru Kekey riang, membuat Fahmi tersenyum hangat.Namun, senyum itu langsung membeku begitu ia memasuki ruang tengah. Bu Sintia, Mamanya Aqila, sudah menunggu dengan wajah masam dan tangan terlipat di dada, seperti hakim yang siap menjatuhkan vonis.“Mau ke mana kamu pagi-pagi begini, Fahmi?” tanya Bu Sintia, nadanya lebih terdengar seperti perintah.“Saya mau bawa Kekey pulang, Ma. Saya kan sudah bilang semalam,” jawab Fahmi sopan, meski hatinya sudah mencelos melihat aura judes Bu Sintia.Bu Sintia tertawa sinis, tawa yang menusuk hingga ke ulu hati. “Pulang? Kamu pikir kamu b