LOGIN"Mungkin kalian hanya pernah berpapasan di jalan kompleks, Van. Namanya juga tetanggaan, pasti sering bertemu tanpa sengaja. Hanya saja karena baru kali ini kalian berkenalan secara resmi, rasanya jadi seperti pernah bertemu di tempat lain," timpal Rina cepat. Suaranya diusahakan tetap stabil.Rina berusaha sekuat tenaga agar matanya tidak melirik ke arah Fahmi dengan cara yang mencurigakan. Ia harus terlihat seperti istri yang sedang memberikan penjelasan logis, bukan komplotan yang sedang menyembunyikan rahasia. Fahmi segera menangkap umpan Rina. Ia mengangguk dengan senyum yang dipaksakan tetap santai. "Iya, bisa jadi. Kompleks ini kan tidak terlalu besar. Mungkin kita pernah berpapasan saat aku sedang lari pagi atau mencuci mobil."Ervan menyipitkan mata, seolah sedang memindai memori di otaknya, namun akhirnya ia mengangguk. Karena merasa buru-buru harus mencari ponselnya yang tertinggal dan kemudian kembali berangkat ke rumah sakit.Senyum ramahnya kembali tersungging, meski bi
Udara di halaman rumah itu mendadak terasa tipis, seolah oksigen tersedot habis oleh kehadiran Ervan yang berdiri mematung di ambang pintu gerbang kecil. Keheningan yang tercipta begitu pekat, hanya menyisakan suara kicauan burung yang kini terdengar seperti ejekan bagi Rina dan Fahmi.Ervan tidak bergerak. Matanya yang tajam di balik kacamata bening itu menyapu pemandangan di depannya dengan ketelitian seorang ahli bedah. Ia menatap Rina, lalu beralih pada Fahmi, mengamati jarak yang tersisa di antara mereka yang menurutnya terlalu akrab untuk sekadar percakapan antar tetangga.Gurat keterkejutan di wajah Rina tak bisa disembunyikan. Ia merasa seluruh sendinya melemas, namun otaknya dipaksa bekerja secepat kilat. Sebelum Ervan membuka suara dan melontarkan pertanyaan yang bisa menghancurkan segalanya, Rina buru-buru memecah kesunyian."Ini ... tetangga sebelah, Van. Fahmi," ucap Rina dengan nada bicara yang diusahakan tetap ringan, meski suaranya sedikit bergetar di ujung kalimat.Er
"Kalau Fendi benar-benar membuka mulut, berarti Ervan sudah tahu namamu, Mi," bisik Rina dengan wajah pucat pasi. Suaranya hampir tenggelam oleh deru jantungnya sendiri.Fahmi mengepalkan tinjunya. Rahangnya mengeras. "Bajingan itu benar-benar cari mati. Dia pikir aku main-main dengan ancamanku? Kalau dia berani menyebut namaku pada Ervan, dia juga harus siap kehilangan segalanya.""Tapi masalahnya bukan cuma Fendi, Mi," sela Rina cepat, matanya mulai berkaca-kaca. "Masalahnya adalah makan malam nanti. Ervan bukan tipe orang yang suka menjamu tetangga tanpa alasan. Dia itu perfeksionis dan sangat teliti. Mengundang kalian ... itu seperti sedang menyiapkan meja sidang untuk kita.""Jadi menurut kamu, Ervan benar sudah tau tentang kita?""Entahlah ... Aku juga bingung. Aku gak ngerti ... Aku takut, Mi. Sumpah ... Aku memang mau pisah dari Ervan. Tapi aku nggak mau kesalahannya di aku. Karena itu akan membuat Ervan makin merasa menang dan ia akan menumpahkan semua kesalahan sama aku. Pad
"Aku berangkat ya, Rin," ucap Ervan datar sembari merapikan kerah kemejanya di depan pintu.Rina memaksakan senyum, ritual pagi yang kini terasa seperti beban berat. "Iya, Van. Hati-hati di jalan. Jangan lupa makan siang."Ervan hanya mengangguk singkat. Tidak ada kecupan di kening seperti biasanya. Tatapan matanya masih menyimpan sisa-sisa luka dari penolakan Rina semalam, bercampur dengan kecurigaan yang ia simpan rapat-rapat. Rina mengantarkan Ervan sampai ke teras, berdiri diam menatap mobil suaminya itu bergerak perlahan meninggalkan halaman.Ia menunggu. Terus menatap hingga mobil Ervan benar-benar menghilang di tikungan kompleks. Begitu mobil itu tak lagi terlihat, Rina menghela nafas panjang, seolah baru saja melepaskan ransel berisi batu dari pundaknya.Kreeek ....Suara mesin gerbang otomatis rumahnya mulai bekerja, menutup perlahan. Namun, di saat yang bersamaan, suara yang sama terdengar dari arah sebelah. Gerbang rumah Fahmi terbuka.Rina tersentak. Jantungnya mendadak be
Cahaya dari layar ponsel menyinari wajah Rina yang pucat di tengah remang kamar. Jantungnya masih berdegup kencang saat jemarinya menyentuh layar untuk membuka pesan dari nomor asing tersebut. Sebuah pesan singkat, namun mengandung racun yang sangat pekat.[Nomor Tidak Dikenal]:"Sampai kapan kamu mau bertahan di posisi yang sudah tidak menginginkanmu? Turunlah secara terhormat dari tahta 'Nyonya Dokter Ervan'. Kamu hanya menghalangi kebahagiaan orang lain."Rina menatap kata demi kata itu dengan mata menyipit. Meskipun ia tidak mengenali nomor ponsel yang tertera, ia tidak butuh waktu lama untuk menebak siapa pengirimnya. Gaya bahasa yang penuh tuntutan, arogan, dan merasa paling berhak atas Ervan ... tidak salah lagi, ini adalah Claudia.Rina tidak langsung menjawab. Ia justru tersenyum sinis, sebuah senyuman yang jarang ia tunjukkan. Ia meletakkan ponselnya di atas nakas dengan gerakan pelan, namun kepalanya dipenuhi dengan suara batin yang bergejolak.'Jangan khawatir, Claudia. Ak
Rina tidak langsung menjawab. Beberapa detik kemudian ia baru bersuara. “Kamu menyuruh aku mengundang mereka makan bersama di rumah kita? Besok?”“Iya. Memang kenapa?”“Enggak kenapa-kenapa sih. Cuman … tumben aja. Tiba-tiba …,” jawab Rina sembari berusaha bersikap natural. “Aku memang belum kenal dengan tetangga baru itu. Saat tetangga sebelah mengundang kita acara open house di rumahnya kan aku nggak bisa datang. Cuman kamu aja kan yang datang?”Sontak Rina langsung teringat kenangannya bersama Fahmi saat acara open house. Ia berkenalan dan sejak pada pandangan pertama mereka sudah mulai saling tertarik.Melihat Rina yang hanya diam mematung, Ervan menegur dengan nada yang lebih lembut namun tetap menuntut jawaban."Rin? Kamu baik-baik saja? Kenapa melamun?" tanya Ervan. Tangannya kini menyentuh bahu Rina, sebuah sentuhan yang seharusnya menenangkan, tapi bagi Rina justru terasa seperti belenggu yang dingin.Rina tersentak kecil. Ia mengerjapkan matanya, berusaha mengusir bayangan







