Setelah beberapa minggu berlalu, keadaan Sarah semakin memburuk. Tubuhnya semakin kurus, dan dia merasakan kelemahan yang luar biasa. Setiap hari menjadi perjuangan baginya untuk bangun dari tempat tidur.
"Apa yang terjadi pada ku, kenapa beberapa hari aku merasa pusing dan mual." Batin Sarah kebingungan.Gejala mual yang sering muncul membuatnya kesulitan untuk makan atau minum dengan baik. Sarah merasa terjebak dalam siklus yang tidak berujung dari ketidaknyamanan fisik dan kecemasan mental.Sarah meraih tas nya dan memasukan ponselnya segera keluar dari kamar,namun langkah nya terhenti saat melihat ibu tiri nya melihat nya dengan aneh."Mau kemana ?, masih pagi bukan kah kamu sudah keluar dari pekerjaan mu.""Bukan urusan anda. " Ketus Sarah."Kau pikir kau bisa kabur begitu saja?,Dasar anak tak tahu diuntung bukannya nyari pekerjaan ini tidak menumpang makan".desis ibu tirinya dengan nada sinis, tatapan dinginnya menusuk ke dalam jiwa Sarah.Kata-kata tersebut menusuk hati Sarah dengan kejam. Segala kebencian dan ketidakadilan yang selama ini ia rasakan, seolah meledak dalam dirinya. Namun, dia tetap berusaha menahan diri, berusaha mempertahankan sedikit kekuatan yang tersisa.Sarah menahan air matanya ia segera keluar dari rumah tersebut. Sarah merasakan hidup nya tak ada rasa kebahagiaan, saat kepergian ibu nya Sarah merasakan kesulitan dalam hidup nya, apalagi ditambah kejadian tiga minggu yang lalu dengan Alexander.Sarah menuju ke apotik karena ada sesuatu yang harus ia beli, dengan langkah yang ragu-ragu, hatinya berdebar-debar. Dia mengetahui bahwa langkahnya kali ini akan menjadi langkah penting dalam hidupnya. Namun, ketakutan dan rasa malu terus menghantuinya.Sesampainya di depan apotik, Sarah berdiri di depan pintu dengan tatapan yang gelisah. Dia merasa seakan-akan semua orang di sekitarnya menatapnya, menilainya. Dia takut akan dipermalukan, takut dihakimi oleh pandangan mereka.Dengan hati yang berdebar, Sarah akhirnya melangkah masuk ke dalam apotik. Dia berusaha menutupi rasa malu yang menggebu-gebu di dalam dirinya, tetapi kecemasan yang menghantui terus mengikuti setiap langkahnya."Ada yang bisa dibantu kak ?.""Umm,, aku aku mau, mau beli alat teks kehamilan." Ucap Sarah pelan.Karyawan apotik, seorang wanita muda dengan senyum ramah, terkejut ketika Sarah mengajukan permintaannya. Tatapannya terpaku pada Sarah dengan ekspresi campuran antara kejutan dan simpati."Maaf, bukankah ini terlalu cepat untuk Anda membeli alat tes kehamilan?" tanya karyawan apotik dengan lembut, mencoba menunjukkan pengertian.Sarah merasa makin malu dan tegang. Dia tidak ingin mengungkapkan keadaannya kepada orang asing, terutama dalam situasi yang sangat pribadi seperti ini. "Umm,, itu milik ibu ku bukan aku."Mendengar penjelasan Sarah bahwa tes kehamilan tersebut sebenarnya untuk ibunya, karyawan apotik tersenyum penuh pengertian. Dia merasa lega bahwa tidak perlu memperdalam rasa tidak nyaman Sarah dengan pertanyaan lebih lanjut.Dengan senyum ramah, karyawan apotik mengambil alat tes kehamilan dari rak dan memberikannya kepada Sarah. Tatapannya penuh dengan simpati dan dukungan."Ini kak, lima belas ribu.""Baik lah ini kak terimakasih." Ucap Sarah memberikan uang dan segera pergi.Setelah meninggalkan apotik, Sarah merasa tegang dan gelisah. Dia merasa sulit untuk menahan diri, keinginan untuk mengetahui hasil tes kehamilan itu begitu besar.Sarah berjalan menuju toilet umum terdekat, hatinya berdebar-debar saat dia membawa alat tes kehamilan tersebut. Dia masuk ke dalam toilet dengan langkah gemetar, mencari ruangan yang sepi dan tenang.Setelah memastikan bahwa dia sendirian, Sarah dengan cepat membuka kemasan alat tes kehamilan itu. Dia mengikuti instruksi yang tertera dengan hati-hati, meskipun tangannya gemetar saat dia melakukan langkah-langkah yang diperlukan."Ya Tuhan berikan aku kekuatan untuk melihat hasil teks ini." Batin SarahSaat ia menunggu hasilnya, detik-detik itu terasa seperti waktu yang tak berujung. Hatinya berdebar keras, pikirannya dipenuhi dengan berbagai kemungkinan yang bisa terjadi.Dengan mata yang terbelalak, Sarah menatap layar alat tes kehamilan dengan campuran antara kejutan dan ketakutan. Dia tidak bisa mempercayai apa yang dilihatnya. Garis kedua yang muncul dengan jelas menunjukkan bahwa tes kehamilan tersebut positif. Dia benar-benar hamil."Apa, aku hamil ngga mungkin aku hamil. Ngga ini ngga boleh terjadi."Detak jantungnya berdegup kencang, dan perasaan kacau-balau memenuhi pikirannya. Sarah merasa seperti semuanya berputar di sekitarnya. Pikirannya dipenuhi oleh berbagai pertanyaan dan ketakutan akan masa depan yang tak pasti.Dalam kebingungan dan keputusasaan, Sarah merasa terjebak dalam pusaran emosi yang tak terkendali. Dia menangis sejadi-jadinya di toilet umum, kesedihan dan kekhawatirannya meledak dalam bentuk air mata yang tak terbendung."Bagaimana ini, bagaimana jika ayah tahu mengenai ini bagaimana jika pihak kampus mengetahui tenrnah kehamilan ku, apa yang harus ku lakukan."Pikirannya dipenuhi oleh pertanyaan yang tak terjawab. Bagaimana ini bisa terjadi? Bagaimana dia bisa hamil setelah satu malam yang mengerikan? Bagaimana dia bisa meminta pertanggungjawaban dari seorang pria kaya dan berkuasa seperti Alexander?Kebahagiaan yang sempat Adrian rasakan saat kelahiran putrinya berubah menjadi kekhawatiran yang dalam. Ia tak bisa benar-benar tenang, mengingat betapa berbahayanya situasi antara Daniel dan Alexander. Adrian tahu bahwa satu-satunya cara untuk menghentikan siklus dendam ini adalah dengan menghadapi Daniel dan menemukan solusi yang benar-benar damai.Alexander juga menyadari ancaman yang belum sepenuhnya berlalu. Meski sempat tersentuh oleh kebahagiaan Adrian, pikirannya tak bisa lepas dari bayang-bayang pertemuan terakhirnya dengan Daniel. Dalam pertemuan itu, Daniel menunjukkan kemarahan dan kebencian yang mendalam, terutama setelah merasa dikhianati oleh Adrian. Alexander memahami bahwa dendam yang tersimpan dalam hati Daniel tak akan hilang begitu saja.Adrian akhirnya memutuskan bahwa ia harus berbicara langsung dengan Daniel. Ia mengatur pertemuan rahasia di tempat yang jauh dari hiruk-pikuk kota, berharap bisa melunakkan hati sepupunya itu. Sebelum pergi, ia menatap Amelia dan
Amelia duduk di kursi malas di rumah sakit, perutnya yang besar jelas menunjukkan bahwa ia sudah sangat dekat dengan waktu persalinan. Adrian duduk di sampingnya, menggenggam tangannya erat-erat. Meski bibirnya tersenyum lembut, ada ketegangan yang jelas di wajahnya. Hari itu, hari yang seharusnya dipenuhi kebahagiaan, malah diwarnai kekhawatiran karena ancaman Daniel yang masih menggantung di udara."Semua akan baik-baik saja," bisik Adrian, berusaha menenangkan istrinya. "Kita fokus pada kelahiran bayi kita dulu. Jangan pikirkan hal-hal yang lain."Amelia mengangguk, meskipun ia tahu Adrian juga sedang memikirkan hal yang sama. Ia tahu suaminya tertekan dengan situasi yang melibatkan Daniel. Namun, saat ini, yang terpenting baginya adalah menyambut buah hati mereka.Tiba-tiba, Amelia merasakan rasa sakit yang tajam di perutnya, seperti ada kontraksi yang datang lebih kuat dari sebelumnya. Ia mengerang pelan, membuat Adrian segera panik.“Amelia, kamu baik-baik saja?” Adrian langsung
Malam itu, suasana rumah Alexander dipenuhi ketenangan setelah kelahiran anak keduanya. Namun, di luar sana, badai besar sedang mendekat. Daniel, yang masih dikuasai amarah dan dendam, tidak bisa menerima kenyataan bahwa Adrian, adik sepupunya, memilih untuk melawan dan menghentikan niatnya.Sementara itu, di rumah sakit, Sarah telah dipindahkan ke kamar pemulihan bersama bayi perempuannya yang sehat. Alexander tak lepas dari sisi istrinya. Meski ia merasa lega karena anak keduanya lahir dengan selamat, pikirannya tetap terpecah dengan ancaman yang menggantung di atas kepala mereka—Daniel.“Alex,” bisik Sarah dengan suara lembut, menggenggam tangan suaminya. “Kamu kelihatan sangat khawatir. Ada apa? Apakah sesuatu terjadi dengan Daniel?”Alexander mengangguk pelan. Ia tak ingin menyembunyikan apapun dari Sarah, meskipun ia tahu bahwa ini bukan saat yang tepat untuk membicarakan masalah besar. Namun, Sarah mengenalnya terlalu baik untuk dibiarkan dalam kegelapan.“Daniel... dia... mara
Suara napas Sarah semakin cepat, tubuhnya bergetar menahan rasa sakit yang semakin tak tertahankan. Pecahnya ketuban membuat semua orang di rumah panik, terutama Amelia yang tidak pernah melihat kakaknya dalam keadaan selemah ini. Amelia segera memegang tangan Sarah dengan erat, mencoba menenangkan kakaknya meski hatinya sendiri dipenuhi kekhawatiran. Sementara itu, Adrian sedang dalam perjalanan, berusaha secepat mungkin untuk menemukan Alexander."Adrian, tolong cepat kembali! Kak Sarah tidak sanggup lagi!" suara Amelia terdengar putus asa melalui telepon.Adrian mempercepat langkahnya, berpacu dengan waktu. Di tengah perjalanan, ia tak henti-hentinya mencoba menghubungi Alexander, tetapi ponselnya tetap mati. Rasa takut dan kekhawatiran merayap dalam dirinya. Ia tahu bahwa Daniel mungkin sudah melancarkan rencananya, dan jika Alexander tidak segera ditemukan, semuanya bisa berakhir buruk. Namun, saat ini, Adrian tidak hanya memikirkan Alexander, tapi juga Sarah dan bayinya yang aka
Di ruang gawat darurat rumah sakit, situasi semakin tegang. Sarah yang berbaring di ranjang rumah sakit sudah tampak pucat pasi. Pecah ketubannya datang lebih cepat dari perkiraan, dan rasa sakit yang menyiksanya semakin hebat. Amelia menggenggam erat tangan kakaknya, mencoba menenangkan Sarah, namun ketegangan tetap terasa jelas di wajahnya."Amelia... aku tidak bisa... ini terlalu sakit," bisik Sarah dengan suara yang nyaris putus asa."Sabar, Sarah. Kamu kuat. Aku di sini bersamamu, dan Adrian sedang berusaha menghubungi Alexander," ucap Amelia dengan nada lembut, meski dalam hatinya ia sendiri mulai panik. Adrian, yang berdiri tak jauh dari pintu, terlihat mondar-mandir sambil terus menempelkan ponselnya di telinga, mencoba menghubungi Alexander berkali-kali."Kenapa teleponnya selalu mati?" gumam Adrian, frustrasi. Ia menghela napas panjang, matanya terarah ke arah Sarah yang sedang berjuang. Rasa tanggung jawab mulai menekan hatinya. Apalagi dengan firasat buruk yang terus mengg
Malam itu, Sarah terbangun dengan rasa mulas yang menusuk di perutnya. Ia mengerang pelan, tangannya memegangi perut yang semakin membesar. Detik itu juga ia tahu bahwa ini adalah tanda bahwa waktu kelahiran anak keduanya telah tiba. Namun, Alexander belum juga kembali. Ia mencoba menenangkan diri, menarik napas dalam-dalam, tapi kontraksi semakin kuat.Dengan tangan gemetar, Sarah meraih ponselnya dan segera menghubungi adiknya, Amelia. Sambil menunggu Amelia mengangkat panggilan, Sarah menggigit bibirnya, menahan rasa sakit yang semakin tak tertahankan."Amelia... aku butuh bantuanmu," suara Sarah terdengar panik saat Amelia akhirnya mengangkat telepon.Amelia yang mendengar suara panik kakaknya langsung terbangun dari tidurnya. "Sarah? Ada apa? Kau baik-baik saja?""Ini... aku rasa aku akan melahirkan, Amelia. Alexander belum juga pulang. Bisa kau datang ke sini dengan Adrian? Aku tidak kuat..."Mendengar suara lemah Sarah, Amelia langsung bergegas membangunkan Adrian yang masih te