Setelah melihat hasil yang tidak sesuai dengan harapannya,membuat Sarah terpukul dengan semuanya ia merasa frustasi, dengan gemetar Sarah meraih ponselnya dan membuka daftar kontaknya.
Dia mencari nama sahabatnya, Talia, dengan jari-jarinya yang gemetar. Begitu menemukannya, dia menekan tombol panggil dengan hati yang berdebar kencang.Setelah beberapa kali berdering, telepon itu diangkat. Suara Talia terdengar dari seberang sambungan, penuh dengan kehangatan dan kepedulian.“Halo, Sarah, ada apa?” Tanya Talia dengan lembut, menyadari dari nada suara Sarah bahwa ada sesuatu yang tidak beres.Sarah menelan ludah, mencoba menahan emosinya yang meluap-luap. “T-Talia, aku butuh kamu,” Ucapnya dengan suara yang gemetar.“Ada apa, Sarah? Apakah kamu baik-baik saja?” tanya Talia, suaranya penuh kekhawatiran.Sarah tak menjawab pertanyaan dari Talia, ia menangis terisak-isak. Mendengar suara Sarah menangis Talia kuatir dengan keadaan Sarah ia takut jika terjadi sesuatu kepada Sarah.“Sarah, aku akan segera ke sana. Tolong kirimkan lokasimu padaku, dan aku akan menjemputmu di sana,” ucap Talia dengan tegas, menawarkan dukungan lebih lanjut."Tidak perlu Tal, aku akan ke apartemenmu."Sarah keluar dari toilet umum dan menyapu tatapan di sekitarnya. Dia merasa sedikit lega melihat bahwa tempat itu sepi dan tidak ada yang menyadarinya.Tanpa menunggu lebih lama, Sarah segera memesan taksi melalui aplikasi di ponselnya. Dia menunggu dengan gelisah di pinggir jalan, hatinya berdebar-debar karena ketidakpastian yang terus menghantui.Saat taksi tiba, Sarah naik dengan cepat dan memberikan alamat apartemen Talia kepada sopir taksi. Dia duduk dengan tegang di kursi belakang, pikirannya dipenuhi dengan berbagai pikiran dan kekhawatiran."Apakah aku harus memberi tahu Talia tentang musibah yang mengenai ku, bagaimana jika Talia tahu bahwa aku hamil anak Alexander apakah Talia akan percaya dengan ku." Batin Sarah.Perjalanan menuju apartemen Talia terasa seperti abad bagi Sarah. Setiap sudut jalan, setiap lalu lintas yang padat, semuanya terasa seperti hambatan yang tak teratasi di jalannya menuju keamanan dan ketenangan.Akhirnya, setelah perjalanan yang panjang dan melelahkan, taksi tiba di depan apartemen Talia. Sarah membayar sopir taksi dengan cepat dan naik ke apartemen dengan hati yang berdebar-debar.Ketika pintu apartemen terbuka, Talia melihat Sarah di depan pintu dengan wajah yang menyedihkan. Tanpa berkata sepatah kata pun, Sarah melangkah mendekati Talia dan memeluknya erat-erat.Talia bisa merasakan getaran emosi yang memenuhi tubuh Sarah saat dia memeluknya. Dia merasakan desakan air mata yang mengalir dari mata Sarah, dan dia tahu bahwa sesuatu yang sangat buruk telah terjadi.Dengan penuh kelembutan, Talia membalas pelukan Sarah, mencoba memberikan dukungan dan kenyamanan yang dia butuhkan. Mereka berdua berdiam diri dalam pelukan hangat itu, membiarkan waktu berlalu tanpa kata-kata.Setelah beberapa saat, Sarah mengangkat wajahnya dari bahu Talia, air mata mengalir di pipinya. Dia menatap mata Talia dengan pandangan penuh keputusasaan dan kekhawatiran."Talia, aku tidak tahu harus bagaimana. Semuanya menjadi begitu sulit," ucap Sarah dengan suara yang gemetar, mencoba menahan tangisannya.Talia menatap Sarah dengan penuh perhatian dan kepedulian. Dia merangkul Sarah lebih erat, membiarkan temannya menumpahkan semua beban emosinya."Sarah, lihat aku ada apa? apakah ibu tirimu menyakitimu lagi?" tanya Talia seraya mengelap air mata Sarah.Setelah beberapa saat dalam pelukan yang hangat, Sarah melepaskan diri dari pelukan Talia. Dengan gemetar, dia mengambil tes kehamilan dari dalam tasnya dan menunjukkannya kepada Talia.Talia menatap alat tes kehamilan itu dengan terkejut. Matanya memperbesar saat dia melihat garis kedua yang jelas menunjukkan bahwa tes itu positif."Oh, Sarah..." desis Talia, suaranya penuh dengan kebingungan dan kekhawatiran."Apa yang harus aku lakukan, Talia?" Tanya Sarah dengan suara yang gemetar, mencari petunjuk dari sahabatnya."Pertama-tama kau harus memberitahu ku, kau hamil dengan siapa? pria mana yang menghamilimu?"Dengan gemetar dan takut, Sarah merasa sulit untuk mengucapkan kata-kata berikutnya. Dia tahu bahwa mengungkapkan kebenaran tentang identitas pria yang menghamilinya adalah langkah yang sulit dan menakutkan."Dia... dia adalah Alexander," kata Sarah dengan suara yang gemetar, matanya menatap lurus ke arah lantai, tak sanggup untuk menatap wajah Talia.Talia menatap Sarah dengan terkejut dan tidak percaya. Dia tidak bisa mempercayai apa yang baru saja didengarnya. Alexander, pria kaya dan berkuasa yang mereka kenal, adalah orang yang bertanggung jawab atas semua ini?"Sarah kamu ngga lagi bercanda kan, Alexander Blackwood pria yang terkenal dengan kekayaannya, pemilik perusahaan Griffin Enterprises ?.""Iya Talia, aku ngga lagi bercanda. Kejadian tersebut terjadi tiga minggu yang lalu, itu sebuah kecelakaan dia tiba-tiba masuk ke kamar ku lakukan melakukan hal tersebut dalam keadaan mabuk, dia beranggapan aku kekasihnya." Jelas Sarah dengan suara tangisan.Talia merasa nafasnya seperti berhenti saat mengetahui sahabatnya hamil anak Alexander. Talia meraih tangan Sarah, ia memberitahu Sarah bahwa ia akan dalam masalah besar, karena Alexander Blackwood bukanlah pria biasa dia keturunan orang kaya tentu saja ini akan sulit bagi Sarah."Aku tahu Talia sebab itu aku ngga memberitahu dia, tidak mencari keberadaan nya lalu aku apakan kandungan ku.""Sarah tenang lah, kita akan menemukan caranya. kamu pertahankan kandungan mu, aku akan membantu semaksimal mungkin. Kita harus menyembunyikan semuanya bisa kan?"Sarah mengangguk iya, ia akan mengikuti perintah Talia seraya memeluk Talia. Sarah mereasa lega akhirnya ia bisa tenang, dan dia bersyukur memiliki sahabat seperti Talia yang selalu ada untuk nya, dan melindungi dalam hal apapun itu.Kebahagiaan yang sempat Adrian rasakan saat kelahiran putrinya berubah menjadi kekhawatiran yang dalam. Ia tak bisa benar-benar tenang, mengingat betapa berbahayanya situasi antara Daniel dan Alexander. Adrian tahu bahwa satu-satunya cara untuk menghentikan siklus dendam ini adalah dengan menghadapi Daniel dan menemukan solusi yang benar-benar damai.Alexander juga menyadari ancaman yang belum sepenuhnya berlalu. Meski sempat tersentuh oleh kebahagiaan Adrian, pikirannya tak bisa lepas dari bayang-bayang pertemuan terakhirnya dengan Daniel. Dalam pertemuan itu, Daniel menunjukkan kemarahan dan kebencian yang mendalam, terutama setelah merasa dikhianati oleh Adrian. Alexander memahami bahwa dendam yang tersimpan dalam hati Daniel tak akan hilang begitu saja.Adrian akhirnya memutuskan bahwa ia harus berbicara langsung dengan Daniel. Ia mengatur pertemuan rahasia di tempat yang jauh dari hiruk-pikuk kota, berharap bisa melunakkan hati sepupunya itu. Sebelum pergi, ia menatap Amelia dan
Amelia duduk di kursi malas di rumah sakit, perutnya yang besar jelas menunjukkan bahwa ia sudah sangat dekat dengan waktu persalinan. Adrian duduk di sampingnya, menggenggam tangannya erat-erat. Meski bibirnya tersenyum lembut, ada ketegangan yang jelas di wajahnya. Hari itu, hari yang seharusnya dipenuhi kebahagiaan, malah diwarnai kekhawatiran karena ancaman Daniel yang masih menggantung di udara."Semua akan baik-baik saja," bisik Adrian, berusaha menenangkan istrinya. "Kita fokus pada kelahiran bayi kita dulu. Jangan pikirkan hal-hal yang lain."Amelia mengangguk, meskipun ia tahu Adrian juga sedang memikirkan hal yang sama. Ia tahu suaminya tertekan dengan situasi yang melibatkan Daniel. Namun, saat ini, yang terpenting baginya adalah menyambut buah hati mereka.Tiba-tiba, Amelia merasakan rasa sakit yang tajam di perutnya, seperti ada kontraksi yang datang lebih kuat dari sebelumnya. Ia mengerang pelan, membuat Adrian segera panik.“Amelia, kamu baik-baik saja?” Adrian langsung
Malam itu, suasana rumah Alexander dipenuhi ketenangan setelah kelahiran anak keduanya. Namun, di luar sana, badai besar sedang mendekat. Daniel, yang masih dikuasai amarah dan dendam, tidak bisa menerima kenyataan bahwa Adrian, adik sepupunya, memilih untuk melawan dan menghentikan niatnya.Sementara itu, di rumah sakit, Sarah telah dipindahkan ke kamar pemulihan bersama bayi perempuannya yang sehat. Alexander tak lepas dari sisi istrinya. Meski ia merasa lega karena anak keduanya lahir dengan selamat, pikirannya tetap terpecah dengan ancaman yang menggantung di atas kepala mereka—Daniel.“Alex,” bisik Sarah dengan suara lembut, menggenggam tangan suaminya. “Kamu kelihatan sangat khawatir. Ada apa? Apakah sesuatu terjadi dengan Daniel?”Alexander mengangguk pelan. Ia tak ingin menyembunyikan apapun dari Sarah, meskipun ia tahu bahwa ini bukan saat yang tepat untuk membicarakan masalah besar. Namun, Sarah mengenalnya terlalu baik untuk dibiarkan dalam kegelapan.“Daniel... dia... mara
Suara napas Sarah semakin cepat, tubuhnya bergetar menahan rasa sakit yang semakin tak tertahankan. Pecahnya ketuban membuat semua orang di rumah panik, terutama Amelia yang tidak pernah melihat kakaknya dalam keadaan selemah ini. Amelia segera memegang tangan Sarah dengan erat, mencoba menenangkan kakaknya meski hatinya sendiri dipenuhi kekhawatiran. Sementara itu, Adrian sedang dalam perjalanan, berusaha secepat mungkin untuk menemukan Alexander."Adrian, tolong cepat kembali! Kak Sarah tidak sanggup lagi!" suara Amelia terdengar putus asa melalui telepon.Adrian mempercepat langkahnya, berpacu dengan waktu. Di tengah perjalanan, ia tak henti-hentinya mencoba menghubungi Alexander, tetapi ponselnya tetap mati. Rasa takut dan kekhawatiran merayap dalam dirinya. Ia tahu bahwa Daniel mungkin sudah melancarkan rencananya, dan jika Alexander tidak segera ditemukan, semuanya bisa berakhir buruk. Namun, saat ini, Adrian tidak hanya memikirkan Alexander, tapi juga Sarah dan bayinya yang aka
Di ruang gawat darurat rumah sakit, situasi semakin tegang. Sarah yang berbaring di ranjang rumah sakit sudah tampak pucat pasi. Pecah ketubannya datang lebih cepat dari perkiraan, dan rasa sakit yang menyiksanya semakin hebat. Amelia menggenggam erat tangan kakaknya, mencoba menenangkan Sarah, namun ketegangan tetap terasa jelas di wajahnya."Amelia... aku tidak bisa... ini terlalu sakit," bisik Sarah dengan suara yang nyaris putus asa."Sabar, Sarah. Kamu kuat. Aku di sini bersamamu, dan Adrian sedang berusaha menghubungi Alexander," ucap Amelia dengan nada lembut, meski dalam hatinya ia sendiri mulai panik. Adrian, yang berdiri tak jauh dari pintu, terlihat mondar-mandir sambil terus menempelkan ponselnya di telinga, mencoba menghubungi Alexander berkali-kali."Kenapa teleponnya selalu mati?" gumam Adrian, frustrasi. Ia menghela napas panjang, matanya terarah ke arah Sarah yang sedang berjuang. Rasa tanggung jawab mulai menekan hatinya. Apalagi dengan firasat buruk yang terus mengg
Malam itu, Sarah terbangun dengan rasa mulas yang menusuk di perutnya. Ia mengerang pelan, tangannya memegangi perut yang semakin membesar. Detik itu juga ia tahu bahwa ini adalah tanda bahwa waktu kelahiran anak keduanya telah tiba. Namun, Alexander belum juga kembali. Ia mencoba menenangkan diri, menarik napas dalam-dalam, tapi kontraksi semakin kuat.Dengan tangan gemetar, Sarah meraih ponselnya dan segera menghubungi adiknya, Amelia. Sambil menunggu Amelia mengangkat panggilan, Sarah menggigit bibirnya, menahan rasa sakit yang semakin tak tertahankan."Amelia... aku butuh bantuanmu," suara Sarah terdengar panik saat Amelia akhirnya mengangkat telepon.Amelia yang mendengar suara panik kakaknya langsung terbangun dari tidurnya. "Sarah? Ada apa? Kau baik-baik saja?""Ini... aku rasa aku akan melahirkan, Amelia. Alexander belum juga pulang. Bisa kau datang ke sini dengan Adrian? Aku tidak kuat..."Mendengar suara lemah Sarah, Amelia langsung bergegas membangunkan Adrian yang masih te
Setelah Daniel pergi, Adrian duduk termenung di ruangannya, memikirkan langkah berikutnya. Situasi semakin memburuk. Meski ia sudah mencoba berbicara dengan Daniel, semuanya malah semakin rumit. Kini, ia harus memikirkan cara untuk menghentikan Daniel sebelum balas dendam itu benar-benar menghancurkan semua orang, termasuk Amelia yang kini menjadi pusat perhatian di antara mereka.Amelia, yang selama ini selalu tampak ceria, belakangan mulai menunjukkan tanda-tanda kelelahan emosional. Adrian menyadari betapa sulitnya bagi Amelia untuk berada di tengah konflik yang ia sendiri mungkin tidak sepenuhnya pahami. Ia tak pernah membayangkan bahwa Amelia akan terjebak di antara dendam keluarga yang tak berkesudahan ini.Setelah beberapa saat berpikir, Adrian memutuskan untuk pulang lebih awal. Ia ingin berbicara dengan Amelia tentang semua yang terjadi. Ada banyak hal yang belum Amelia ketahui, dan Adrian merasa ini adalah saat yang tepat untuk mengungkapkan semuanya. Di satu sisi, Adrian ta
Daniel berjalan bolak-balik di dalam ruangan gelap dengan wajah tegang. Pikiran tentang pengkhianatan Adrian terus membayangi. Adrian, yang seharusnya berada di sisinya, justru mulai menunjukkan sikap sebaliknya. Dan sekarang, Adrian bahkan meminta dia berhenti dari rencana balas dendam yang sudah lama dia susun. Suara langkah kaki Daniel menggema di ruangan itu, hingga akhirnya dia menghentikan gerakannya dan memandang Adrian dengan sorot mata marah."Kenapa kau tiba-tiba berubah pikiran, Adrian?" tanya Daniel dengan nada dingin yang menggigilkan. "Kita sudah sepakat bahwa ini adalah satu-satunya cara untuk membalas dendam pada Alexander. Kenapa sekarang kau memutuskan untuk mengkhianatiku?"Adrian, yang berdiri di sudut ruangan, menghela napas panjang. Wajahnya tampak lelah, dan dia menatap Daniel dengan tatapan tenang, tapi tegas. "Ini bukan soal pengkhianatan, Daniel. Ini soal menghentikan siklus kebencian yang tak ada gunanya. Apa yang kau harapkan dari semua ini? Kehancuran Ale
Hari itu, Alexander kembali ke rumah dengan hati yang penuh beban. Pikirannya tak bisa lepas dari pesan-pesan di ponsel tua yang ia temukan di kantor lama Daniel. Jika benar Daniel masih hidup, apa tujuan dari semua ini? Apa yang sebenarnya sedang dia rencanakan? Di dalam hatinya, Alexander tahu ini bukan lagi sekadar balas dendam pribadi, ada sesuatu yang lebih besar, lebih gelap, yang terpendam di bawah permukaan.Sesampainya di rumah, Alexander disambut oleh Sarah yang sedang bermain bersama Zacky di ruang tengah. Melihat kebahagiaan di wajah istri dan anaknya sedikit meredakan kegelisahan yang menghantuinya."Kamu pulang terlambat lagi, Sayang," kata Sarah sambil tersenyum hangat. "Ada sesuatu yang ingin kamu bicarakan?"Alexander tersenyum tipis, mendekati Sarah dan mencium pipinya. "Banyak yang terjadi di kantor, tapi aku tidak ingin membebanimu dengan masalah itu."Sarah menatap Alexander dengan penuh perhatian, mengetahui bahwa suaminya sedang menutupi sesuatu. Namun, dia memi