Daniel duduk di ruangannya yang gelap, jendela tertutup rapat. Matanya tertuju pada layar laptop di hadapannya, yang dipenuhi dengan berbagai laporan dan catatan yang dia kumpulkan selama beberapa hari terakhir. Namun, setiap upaya yang dia lakukan untuk melacak keberadaan Sarah terasa sia-sia.
"Bagaimana jika Tuan Muda Alexander tahu bahwa aku kehilangan jejak nona Sarah." Gumam Daniel yang merasa kuatir jika tuannya tahu.Tanpa ragu lagi, Daniel mengambil keputusan yang sulit. Dia harus mencari bantuan dari orang-orang yang memiliki koneksi dan sumber daya yang lebih besar darinya. Dia harus membayar mata-mata.Dengan hati yang berat, Daniel mulai mencari kontak yang tepat. Dia tahu bahwa langkah ini bukanlah tanpa risiko, tetapi dia tidak memiliki pilihan lain. Sarah perlu ditemukan, dan dia akan melakukan apa pun untuk membuat itu terjadi."Hallo, aku perintahkan cariikan aku seseorang nanti akan ku kirimkan fotonya.""Dengan senang hati pak Daniel." Ucap pria tersebut.Dia tahu bahwa setiap detik berharga. Alexander tidak boleh mengetahui bahwa dia telah kehilangan jejak Sarah. Konsekuensinya bisa sangat serius, tidak hanya bagi Sarah, tetapi juga bagi dirinya sendiri. Dia merasa bertanggung jawab atas keselamatan sahabatnya, dan dia tidak akan menyerah sampai dia ditemukan.Setelah mengirim foto itu, Daniel merasa gelisah. Dia terus memeriksa ponselnya setiap beberapa menit, berharap akan ada kabar dari mata-mata. Setiap detik yang berlalu terasa seperti abadi, dan kegelisahan dalam dirinya semakin meningkat.Beberapa jam berlalu tanpa kabar. Daniel merasa semakin putus asa dan gelisah. Dia berjalan-jalan di ruangannya, mencoba untuk menjernihkan pikirannya, tetapi ketegangan yang menghantuinya tidak kunjung hilang.Tiba-tiba, ponselnya berdering. Daniel meraihnya dengan cepat, jantungnya berdebar kencang dalam dada saat dia melihat nama mata-mata di layar."Dia ditemukan," kata suara di seberang telepon, memecah keheningan ruangan. "Aku akan memberitahu Anda lokasinya."Daniel segera menutup laptopnya dan bersiap-siap untuk berangkat. Dia merasa perlu untuk segera pergi ke lokasi yang dilaporkan oleh mata-mata. Setelah mengenakan jaketnya dan mengambil kunci mobilnya, dia keluar dari ruangannya dengan langkah cepat.Sesampainya di lokasi, Daniel melihat sekeliling dengan cepat, mencari tanda-tanda keberadaan Sarah. Dia mencoba untuk tetap tenang, tetapi jantungnya berdegup kencang dalam kegelisahan."Dengan siapa nona Sarah, apakah dia teman nona Sarah ?." Batin Daniel mengawasi Sarah dari dalam mobil.Daniel memperhatikan dari kejauhan saat seorang wanita mendekati Sarah dengan sebuah kotak makanan. Dia melihat Sarah menoleh ke arah wanita tersebut dengan senyuman bahagia yang terpancar di wajahnya.Dengan penuh kasih, wanita itu menyerahkan kotak makanan kepada Sarah, yang menerimanya dengan penuh rasa terima kasih. Mereka berdua berbicara sebentar, sementara senyum hangat dan candaan ringan terdengar di antara mereka."Syukur lah , jika nona Sarah baik-baik saja, lebih baik aku memberitahu tuan muda saja." Ucap Daniel.Daniel mengeluarkan ponselnya dan membidik kamera ke arah Sarah. Hatinya berdegup kencang saat dia mengambil foto Sarah. Setelah mengambil foto, Daniel menatap layar ponselnya Daniel mengirimkan foto tersebut kepada Alexander. Daniel menulis pesan singkat yang menyebutkan bahwa dia telah menemukan jejak Sarah dan sedang mengawasinya.Setelah mengirim foto Sarah kepada Alexander, Daniel menunggu dengan napas tertahan untuk balasannya. Ketegangan di dadanya semakin meningkat seiring berjalannya waktu. Akhirnya, ponselnya berdering, mengumumkan kedatangan pesan dari Alexander.Dengan hati yang berdebar-debar, Daniel membuka pesan tersebut. Isinya membuatnya merasa lega, tetapi juga meningkatkan kekhawatirannya. Alexander meminta Daniel untuk memeriksa apakah Sarah memberitahu wanita yang memberikan makanan tadi tentang kejadian malam itu."Bagaimana ini, jika aku turun maka nona Sarah akan tahu bahwa aku mengawasi nya atas perintah tuan muda." Batin Daniel kebingungan.Ketika Daniel mendekati mereka, dia mencoba untuk tidak terlihat seperti sedang mengintai, tetapi tetap waspada terhadap setiap percakapan yang terjadi di antara mereka. Setiap kata yang diucapkan oleh Sarah menjadi penting, dan setiap reaksi dari wanita tersebut membuat detak jantungnya semakin cepat."Sarah, Aku ingin kamu memakan buah-buahan ini setiap hari. Mereka kaya akan nutrisi yang dibutuhkan oleh tubuhmu dan bayi dalam kandunganmu. Sangat penting untuk memastikan bahwa kalian berdua mendapatkan nutrisi yang cukup untuk menjaga kesehatan." Ucap Tania duduk di sebelah Sarah dengan senyum ramah di wajahnya.Sarah menatap buah-buahan yang disajikan Tania dengan rasa syukur yang mendalam. Meskipun dia masih dalam keadaan tegang dan gelisah, kata-kata Tania memberinya sedikit kenyamanan."Terima kasih, Tania kamu sangat baik dengan ku dan bayi ku. Aku akan melakukan yang terbaik untuk menjaga kesehatan bayiku."Daniel merasa seperti sebuah ledakan di dalam dirinya ketika mendengar percakapan antara Sarah dan Tania. Matanya melebar, dan dia merasa seolah-olah tanah di bawah kakinya bergetar. Pikirannya berputar dengan cepat, mencerna arti dari apa yang baru saja dia dengar.Dia tak bisa percaya bahwa Sarah benar-benar hamil, dan lebih mengejutkan lagi, anak itu adalah milik Alexander. Pemandangan Tania menawarkan buah-buahan bagi Sarah sekarang menjadi gambaran yang jelas dan berat di dalam pikiran Daniel."Nona Sarah... hamil?" Gumamnya dengan suara yang hampir tidak terdengar.Daniel segera pergi dari tempat tersebut, langkah-langkahnya cepat dan tanpa arah, dipenuhi dengan kebingungan dan kecemasan tentang apa yang harus dia lakukan selanjutnya.Dia mengeluarkan ponselnya dari saku dan dengan gemetar menekan nomor Alexander. Setiap detik terasa seperti jam, dengan detak jantungnya yang berdebar-debar di telinganya.Setelah beberapa kali panggilan tak terjawab, akhirnya Alexander mengangkat teleponnya. "Ya, Daniel. Ada apa?" suaranya terdengar tegas dan profesional.Daniel menelan ludah dengan susah payah, mencoba untuk menemukan kata-kata yang tepat."Tuan muda Alexander, aku... ada sesuatu yang perlu kubicarakan denganmu. Ini tentang nona Sarah," ucapnya akhirnya dengan suara yang terdengar gemetar.Setelah menutup panggilannya, Daniel segera masuk ke dalam mobilnya dan segera pulang menuju rumah tuan nya. Daniel kuatir jika tuannya tahu bahwa Sarah hamil anaknya, maka akan menjadi pusat masalah bagi bisnis tuannya."Bagaimana jika media meliput masalah ini, pasti tuan muda akan dalam masalah." Ucap Daniel panik.Daniel berharap jika Alexander tahu tentang kebenarannya ia akan mengambil keputusan yang tepat, dan tidak merugikan Sarah karena melihat Sarah tadi, Daniel merasakan kasian terhadap kehidupan Sarah.Kebahagiaan yang sempat Adrian rasakan saat kelahiran putrinya berubah menjadi kekhawatiran yang dalam. Ia tak bisa benar-benar tenang, mengingat betapa berbahayanya situasi antara Daniel dan Alexander. Adrian tahu bahwa satu-satunya cara untuk menghentikan siklus dendam ini adalah dengan menghadapi Daniel dan menemukan solusi yang benar-benar damai.Alexander juga menyadari ancaman yang belum sepenuhnya berlalu. Meski sempat tersentuh oleh kebahagiaan Adrian, pikirannya tak bisa lepas dari bayang-bayang pertemuan terakhirnya dengan Daniel. Dalam pertemuan itu, Daniel menunjukkan kemarahan dan kebencian yang mendalam, terutama setelah merasa dikhianati oleh Adrian. Alexander memahami bahwa dendam yang tersimpan dalam hati Daniel tak akan hilang begitu saja.Adrian akhirnya memutuskan bahwa ia harus berbicara langsung dengan Daniel. Ia mengatur pertemuan rahasia di tempat yang jauh dari hiruk-pikuk kota, berharap bisa melunakkan hati sepupunya itu. Sebelum pergi, ia menatap Amelia dan
Amelia duduk di kursi malas di rumah sakit, perutnya yang besar jelas menunjukkan bahwa ia sudah sangat dekat dengan waktu persalinan. Adrian duduk di sampingnya, menggenggam tangannya erat-erat. Meski bibirnya tersenyum lembut, ada ketegangan yang jelas di wajahnya. Hari itu, hari yang seharusnya dipenuhi kebahagiaan, malah diwarnai kekhawatiran karena ancaman Daniel yang masih menggantung di udara."Semua akan baik-baik saja," bisik Adrian, berusaha menenangkan istrinya. "Kita fokus pada kelahiran bayi kita dulu. Jangan pikirkan hal-hal yang lain."Amelia mengangguk, meskipun ia tahu Adrian juga sedang memikirkan hal yang sama. Ia tahu suaminya tertekan dengan situasi yang melibatkan Daniel. Namun, saat ini, yang terpenting baginya adalah menyambut buah hati mereka.Tiba-tiba, Amelia merasakan rasa sakit yang tajam di perutnya, seperti ada kontraksi yang datang lebih kuat dari sebelumnya. Ia mengerang pelan, membuat Adrian segera panik.“Amelia, kamu baik-baik saja?” Adrian langsung
Malam itu, suasana rumah Alexander dipenuhi ketenangan setelah kelahiran anak keduanya. Namun, di luar sana, badai besar sedang mendekat. Daniel, yang masih dikuasai amarah dan dendam, tidak bisa menerima kenyataan bahwa Adrian, adik sepupunya, memilih untuk melawan dan menghentikan niatnya.Sementara itu, di rumah sakit, Sarah telah dipindahkan ke kamar pemulihan bersama bayi perempuannya yang sehat. Alexander tak lepas dari sisi istrinya. Meski ia merasa lega karena anak keduanya lahir dengan selamat, pikirannya tetap terpecah dengan ancaman yang menggantung di atas kepala mereka—Daniel.“Alex,” bisik Sarah dengan suara lembut, menggenggam tangan suaminya. “Kamu kelihatan sangat khawatir. Ada apa? Apakah sesuatu terjadi dengan Daniel?”Alexander mengangguk pelan. Ia tak ingin menyembunyikan apapun dari Sarah, meskipun ia tahu bahwa ini bukan saat yang tepat untuk membicarakan masalah besar. Namun, Sarah mengenalnya terlalu baik untuk dibiarkan dalam kegelapan.“Daniel... dia... mara
Suara napas Sarah semakin cepat, tubuhnya bergetar menahan rasa sakit yang semakin tak tertahankan. Pecahnya ketuban membuat semua orang di rumah panik, terutama Amelia yang tidak pernah melihat kakaknya dalam keadaan selemah ini. Amelia segera memegang tangan Sarah dengan erat, mencoba menenangkan kakaknya meski hatinya sendiri dipenuhi kekhawatiran. Sementara itu, Adrian sedang dalam perjalanan, berusaha secepat mungkin untuk menemukan Alexander."Adrian, tolong cepat kembali! Kak Sarah tidak sanggup lagi!" suara Amelia terdengar putus asa melalui telepon.Adrian mempercepat langkahnya, berpacu dengan waktu. Di tengah perjalanan, ia tak henti-hentinya mencoba menghubungi Alexander, tetapi ponselnya tetap mati. Rasa takut dan kekhawatiran merayap dalam dirinya. Ia tahu bahwa Daniel mungkin sudah melancarkan rencananya, dan jika Alexander tidak segera ditemukan, semuanya bisa berakhir buruk. Namun, saat ini, Adrian tidak hanya memikirkan Alexander, tapi juga Sarah dan bayinya yang aka
Di ruang gawat darurat rumah sakit, situasi semakin tegang. Sarah yang berbaring di ranjang rumah sakit sudah tampak pucat pasi. Pecah ketubannya datang lebih cepat dari perkiraan, dan rasa sakit yang menyiksanya semakin hebat. Amelia menggenggam erat tangan kakaknya, mencoba menenangkan Sarah, namun ketegangan tetap terasa jelas di wajahnya."Amelia... aku tidak bisa... ini terlalu sakit," bisik Sarah dengan suara yang nyaris putus asa."Sabar, Sarah. Kamu kuat. Aku di sini bersamamu, dan Adrian sedang berusaha menghubungi Alexander," ucap Amelia dengan nada lembut, meski dalam hatinya ia sendiri mulai panik. Adrian, yang berdiri tak jauh dari pintu, terlihat mondar-mandir sambil terus menempelkan ponselnya di telinga, mencoba menghubungi Alexander berkali-kali."Kenapa teleponnya selalu mati?" gumam Adrian, frustrasi. Ia menghela napas panjang, matanya terarah ke arah Sarah yang sedang berjuang. Rasa tanggung jawab mulai menekan hatinya. Apalagi dengan firasat buruk yang terus mengg
Malam itu, Sarah terbangun dengan rasa mulas yang menusuk di perutnya. Ia mengerang pelan, tangannya memegangi perut yang semakin membesar. Detik itu juga ia tahu bahwa ini adalah tanda bahwa waktu kelahiran anak keduanya telah tiba. Namun, Alexander belum juga kembali. Ia mencoba menenangkan diri, menarik napas dalam-dalam, tapi kontraksi semakin kuat.Dengan tangan gemetar, Sarah meraih ponselnya dan segera menghubungi adiknya, Amelia. Sambil menunggu Amelia mengangkat panggilan, Sarah menggigit bibirnya, menahan rasa sakit yang semakin tak tertahankan."Amelia... aku butuh bantuanmu," suara Sarah terdengar panik saat Amelia akhirnya mengangkat telepon.Amelia yang mendengar suara panik kakaknya langsung terbangun dari tidurnya. "Sarah? Ada apa? Kau baik-baik saja?""Ini... aku rasa aku akan melahirkan, Amelia. Alexander belum juga pulang. Bisa kau datang ke sini dengan Adrian? Aku tidak kuat..."Mendengar suara lemah Sarah, Amelia langsung bergegas membangunkan Adrian yang masih te
Setelah Daniel pergi, Adrian duduk termenung di ruangannya, memikirkan langkah berikutnya. Situasi semakin memburuk. Meski ia sudah mencoba berbicara dengan Daniel, semuanya malah semakin rumit. Kini, ia harus memikirkan cara untuk menghentikan Daniel sebelum balas dendam itu benar-benar menghancurkan semua orang, termasuk Amelia yang kini menjadi pusat perhatian di antara mereka.Amelia, yang selama ini selalu tampak ceria, belakangan mulai menunjukkan tanda-tanda kelelahan emosional. Adrian menyadari betapa sulitnya bagi Amelia untuk berada di tengah konflik yang ia sendiri mungkin tidak sepenuhnya pahami. Ia tak pernah membayangkan bahwa Amelia akan terjebak di antara dendam keluarga yang tak berkesudahan ini.Setelah beberapa saat berpikir, Adrian memutuskan untuk pulang lebih awal. Ia ingin berbicara dengan Amelia tentang semua yang terjadi. Ada banyak hal yang belum Amelia ketahui, dan Adrian merasa ini adalah saat yang tepat untuk mengungkapkan semuanya. Di satu sisi, Adrian ta
Daniel berjalan bolak-balik di dalam ruangan gelap dengan wajah tegang. Pikiran tentang pengkhianatan Adrian terus membayangi. Adrian, yang seharusnya berada di sisinya, justru mulai menunjukkan sikap sebaliknya. Dan sekarang, Adrian bahkan meminta dia berhenti dari rencana balas dendam yang sudah lama dia susun. Suara langkah kaki Daniel menggema di ruangan itu, hingga akhirnya dia menghentikan gerakannya dan memandang Adrian dengan sorot mata marah."Kenapa kau tiba-tiba berubah pikiran, Adrian?" tanya Daniel dengan nada dingin yang menggigilkan. "Kita sudah sepakat bahwa ini adalah satu-satunya cara untuk membalas dendam pada Alexander. Kenapa sekarang kau memutuskan untuk mengkhianatiku?"Adrian, yang berdiri di sudut ruangan, menghela napas panjang. Wajahnya tampak lelah, dan dia menatap Daniel dengan tatapan tenang, tapi tegas. "Ini bukan soal pengkhianatan, Daniel. Ini soal menghentikan siklus kebencian yang tak ada gunanya. Apa yang kau harapkan dari semua ini? Kehancuran Ale
Hari itu, Alexander kembali ke rumah dengan hati yang penuh beban. Pikirannya tak bisa lepas dari pesan-pesan di ponsel tua yang ia temukan di kantor lama Daniel. Jika benar Daniel masih hidup, apa tujuan dari semua ini? Apa yang sebenarnya sedang dia rencanakan? Di dalam hatinya, Alexander tahu ini bukan lagi sekadar balas dendam pribadi, ada sesuatu yang lebih besar, lebih gelap, yang terpendam di bawah permukaan.Sesampainya di rumah, Alexander disambut oleh Sarah yang sedang bermain bersama Zacky di ruang tengah. Melihat kebahagiaan di wajah istri dan anaknya sedikit meredakan kegelisahan yang menghantuinya."Kamu pulang terlambat lagi, Sayang," kata Sarah sambil tersenyum hangat. "Ada sesuatu yang ingin kamu bicarakan?"Alexander tersenyum tipis, mendekati Sarah dan mencium pipinya. "Banyak yang terjadi di kantor, tapi aku tidak ingin membebanimu dengan masalah itu."Sarah menatap Alexander dengan penuh perhatian, mengetahui bahwa suaminya sedang menutupi sesuatu. Namun, dia memi