Aku terbangun entah pada pukul berapa. Ah, kenapa aku tidak melihat jam tanganku? Kan, aku membawa jam tangan dari bumi. Nah, benar, sekarang pukul sembilan malam. Tapi, Nai dan Nia masih belum sadar dari tidurnya. Rupanya, mereka berdua memang sangat lelah dan lemas. Saat-saat seperti inilah, rasa bersalahku kembali hadir menyelimuti. Tidak terasa, air mataku mengalir beberapa saat, bebas mengalir menuju tarikan gravitasi.
Tidak lama aku menangis, dengan tidak mengeluarkan suara, akhirnya Nai dan Nia terbangun. Aku cepat-cepat menghapus air mata, sebelum mereka berdua mengetahui kelemahanku. Inilah kelemahanku satu-satunya, mudah merasa bersalah, tapi jarang menangis.
“Kau sudah bangun?” tanya Nia yang mengerjap-ngerjapkan matanya.
“Iya, baru saja bangun.” Jawabku lirih, dengan menunjukkan senyuman semu.
Nampaknya memang tidak ada kesempatan untuk menyelamatkan diri dari semua kejadian ini. Tidak ada yang bisa kami lakukan kecuali
Gubrakk …Kratakk … Brukk … Krasakk …Pagi hari, entah benar atau tidak, aku terbangunkan oleh suara-suara tidak beraturan dari luar ruangan. Sepertinya sedang berlangsung penggusuran rumah secara massal, seperti yang dilakukan oleh Pemerintah Jakarta beberapa tahun silam, sangat mengagetkan. Atau, sedang terjadi perang dunia ketiga?Segera aku membangunkan Nai dan Nia yang masih terlelap dalam mimpinya, tidak merasa terganggu sama sekali oleh suara kerusuhan di luar ruangan.“Nai, Nia, bangun! Sudah pagi. Kalian dengar suara apa itu?” kataku sambil menggerak-gerakkan tubuh mereka berdua.“Hem…” hanya kata itu yang keluar dari bibir Nia.Nai sudah terbangun, mengusap matanya, dan bertanya kepadaku, “Suara apa itu?”“Entah, aku juga baru bangun, Nai.” Jawabku.Suara kegaduhan semakin terdengar nyaring, semakin mendekat. Getaran-getaran juga terasa
Perjalanan kami akhirnya menemukan sebuah titik akhir. Kanisan memberikan kabar bahwa setengah jam lagi kita akan sampai pada lokasi tujuan. Kanisan kembali mengemudikan moternya, tapi dengan kecepatan yang tidak seperti biasanya. Kali ini, Kanisan mengemudikan moter dengan santai, 100km/jam.“Kita akan memasuki lokasi Hutan Perbatasan Kulstar.” Kata Kanisan kepada kami semua.Tidak ada yang membalas kata-katanya, kami sudah lelah dengan perjalanan yang begitu lama dan menegangkan. Apalagi Nai, dia kini terbaring di atas kursinya, nyaman sekali. Aku mengamati kanan-kiri, gelap, tidak ada pemandangan. Dan kini aku baru menyadari bahwa moter kami tidak pernah berpapasan dengan moter lain. Atau bahkan sangat jarang. Setengah jam memasuki lokasi yang dinamakan dengan Hutan Perbatasan oleh Kanisan, mataku merasakan ngantuk yang begitu dahsyatnya.“Kawan, ayolah nikmati perjalanan ini. Jangan sia-siakan waktu dan momen terindah ini. Kita tidak akan m
Sekitar pukul sepuluh malam kami sampai di tempat yang dijanjikan oleh Kanisan. Benar apa yang dikatakan oleh Kanisan, bahwa tempat ini adalah tempat teraman, sejuk, dan menenangkan jiwa. Angin malam mendengungkan kasih pada setiap manusia, membelas dada, dan menanamkan rasa cinta di sana. tempat ini beraroma pedesaan, tanpa teknologi tapi maju. Tidak ada lampu-lampu besar seperti di Kulstar bagian kota. Tidak ada moter-moter membingungkan mata. Semuanya serba damai. Bahkan, moter yang ada tidak berjalan dengan terbang, mereka berjalan dengan menggunakan roda-roda biasa.“Selanjutnya, apakah rencana yang akan kalian lakukan?” tanya Kanisan setelah kami selesai makan malam.Tempat yang kami diami saat ini hanya menggunakan penerangan dari benda semacam lilin, namun terbuat dari besi. Tadi aku sempat bertanya kepada Nia, tentang benda apakah itu. Dia menjawab bahwa benda itu adalah benda yang biasa digunakan sebagai penerang malam, terbuat dari besi, tanpa ba
Benar, genap satu jam kami dari waktu selesai makan, akhirnya Kanisan memberikan aba-aba kepada kami yang tengah menikmati udara sejak di waktu setengah pagi, dan setengah siang.“Cepat-cepat, semua siap berangkat menuju misi pertama!” kata dia dengan berteriak dari depan rumahnya.Aku tidak lagi bertanya mengenai misi apa yang akan kami lakukan untuk pertama kali. Aku yakin, pasti misi dari perjalanan ini semua adalah mencarikan diriku jalan pulang, tidak ada yang lain.***Pukul sebelas siang, kami semua telah berada di dalam moter. Siang ini kami hanya menggunakan satu moter, untuk empat orang. Sebelumnya, rupanya Kanisan juga telah menghubungi beberapa temannya, atau mungkin anak buahnya, untuk berangkat menuju misi pertama dengan kami. Jumlah keseluruhan saat ini ada tiga moter, dan dua belas manusia di dalamnya.Moter berjalan pelan mengarungi jalanan yang masih utuh dengan tanah. Ini adalah jalan yang sama dengan jalan tadi malam
Akhirnya kami entah berada di tempat apa sekarang ini. Ruangannya berbau pepohonan basah, tanah basah, dan suara-suara titikan air dari atas mengenai lantai ruangan. Seandainya jika keadaannya sekarang tidak seperti ini, aku akan merasa senang dengan suasana ini. Lihatlah, kawan! Kakiku diikat dengan tali besar, sedangkan tanganku diikat dengan menggunakan rantai kecil, namun sangat berat. Tiga temanku, yakni Nia, Nai, dan Kanisan juga sama denganku, diikat tangan serta kaki.Mereka bertiga masih terlelap, belum bisa melepaskan diri dari pengarus udara bius. Samar-samar aku mendengar percakapan dari dua penjaga yang berada di ruangan ini.“Mereka tidak akan bangun sampai besok pagi.” Kata laki-laki bertubuh gempal, dengan menggunakan seragam polisi lengkap.Satunya menimpali, “Bagaimanapun, kita tetap harus menjaga segala kemungkinan yang akan terjadi. Kita belum mengetahu siapa mereka. Jangan begitu saja meninggalkan. Walaupun tangan dan kaki
Hai, kawan! Ternyata semua perkiraan yang aku kira-kirakan tidak masuk akal, dan tidak akan menjadi kenyataan. Siang ini, setelah sarapan pagi, aku sangat senang. Walaupun aku tidak ikut sarapan, terlambat, karena aku baru bangun dari pengaruh obat bius udara.“Jadi, Kanisan, apa rencanamu selanjutnya?” tanya ketua Kaliasin.Kanisan tertawa, lalu menjawabnya, “Jangan terburu-buru, Kabisan. Kami baru saja sampai.” Sambil melirik kepada kami, “Bisakah kamu memberikan hidangan yang lebih nikmat dari pada apa yang kami lihat ini?” lanjutnya.Nia langsung menyela, “Benar, aku setuju dengan orang jahat ini.” Katanya.Dan kami semua tertawa bersama dalam alunan siang hari yang sejuk ini.Aku belum sepenuhnya memahai alur kehidupan siang ini. Tapi, yahh... sudah cukup untuk menjalani hidup tanpa tekanan.Nanti aku akan mencertikannya kepada kalian.Perutku sudah sangat lapar, dari tadi malam bel
Dilain tempat, Kanisan, Kabisan, dan beberapa orang lainnya tengah melakukan musyawarah. Aku sudah tidak lagi menghiraukan hasilnya. Sekarang, aku hanya pasrah terhadap takdir yang akan diterapkan oleh Tuhan. Manusia tidak mempunyai kemampuan untuk mengubah segala hal yang telah ditentukan oleh Tuhan. Bukankah demikian? Bahkan, sekadar kencing, manusia tidak bisa menentukan waktu dan tempatnya. Sungguh... manusia adalah makhluk Tuhan yang lemah, dan harus bersandar kepada Tuhan yang perkasa.Mataku berkaca-kaca, kenapa aku bisa melakukan kesalahan besar ini?Satu sisi hatiku menyalahkan buku keajaiban. Satunya lagi tetap menyalahkan diriku. Akhirnya antara aku dan buku keajaiban sama saja, tidak ada yang bisa membawa kami untuk kembali kepada bumi.Ibu...Aku rindu kepadamu.Apakah dirimu juga rindu dengan anakmu ini? Anak yang sering menolak untuk mengerjakan perintahmu?Pernah suatu hari ibu memberikan tugas kepadaku untuk membeli cabai di
Akhirnya pagi datang. Aku harus bersiap-siap, baik lahir maupun batin untuk mendengar keputusan dari pembesar Kali Asin. Apakah aku bisa pulang? Nasibku diputuskan oleh Tuhan pada hari ini, diputuskan Tuhan pada pagi hari yang cerah ini.Nia dan Nai terlihat tidak banyak bicara. Mungkin mereka tengah memahami bahwa suasana ini sangat mencekam. Ini adalah hari keputusan Tuhan. Apakah Tuhan berkehendak untuk mengembalikanku pada bumi?Ah... ini yang aku suka. Pagi hari, sebelum mendengarkan penjelasan dari Kanisan, atau Kabisan, atau pembesar-pembesar lain, kami sarapan terlebih dahulu. Suasana ramai, banyak orang yang tidak aku kenal. Dan baru kali ini aku melihat mereka. Nampaknya mereka adalah para pembesar yang dimaksudkan Kabisan beberapa waktu lalu untuk merembuk tentang mantra kepulangan.Menu sarapan tidak jauh berbeda dengan hari-hari sebelumnya selama aku di Kulstar. Makanan dengan tekstur seperti pentol, tapi rasanya tidak dapat aku ungkapkan. Aku tidak