Rani menghampiri wanita incaran Sanjaya dan menepuk pundaknya, "Lo gak papa, kan, Vie?"
"Yeah, gue gak papa Ran. Kaget aja pas dateng langsung briefing." tukas Davinka yang langsung berdiri. "Yaudah, gue siapin data calon nasabah dulu sebelum ke ruangan Bos baru kita."
"Ganteng ya, Vie. Coba kalau kita belum punya suami, udah pasti paling depan godain Pak bos," ujarnya sedikit terkekeh.
"Yah, ganteng buat yang single," sahut Davinka dengan senyum simpul. Tapi, detik berikutnya senyum itu langsung hilang dan tergantikan dengan wajah sendunya, "tapi buat istri kayak kita, tetep suami yang paling tampan, kan? Bagaimanapun keadaannya," sambungnya terdengar lirih.
Rani melirik sekitar yang terlihat sepi, sepertinya semua orang sudah kembali pada kesibukan masing-masing.
"Suami Lo udah lebih baik, kan, Vie?"
Davinka membalas tatapan Rani dan tersenyum simpul, "Baik, makasih ya. Gue harap pengorbanan gue gak sia-sia."
Rani langsung memeluk tubuh Davinka, sahabatnya ini memang sedang terkena musibah karena suaminya sedang terbaring lemah di ranjang pesakitan.
**
Di dalam ruangannya Sanjaya menunggu dengan tidak sabar setelah melihat data wanita incarannya yang bernama Davinka Maharani Rusnadi, wanita yang memiliki seluet dan suara yang sama seperti wanitanya di club malam. Walau tidak yakin, tapi Sanjaya akan bertekat untuk mengetahuinya dan mendapatkan wanita itu.
Suara ketukan terdengar disertai dengan suara wanita yang begitu ingin dia dengar.
"Masuk!" Setelah mengatakan itu Sanjaya langsung duduk bersikap tenang, menyembunyikan antusiasnya sebaik mungkin.
Dia melihat wanita itu mendekap erat map dalam dadanya. Terlihat begitu tenang, tidak gugup saat pertama kali Sanjaya melihatnya.
"Duduk, saya ingin tahu seperti apa calon nasabah yang akan kamu kunjungi, setelah itu baru menemui nasabah saya."
Sanjaya terus mengamati semua pergerakannya, wajahnya yang oval, dengan pipi chubby dan alisnya yang kerang. Mata wanita itu terlihat sedikit sayu dengan kelopak matanya yang sedikit bengkak seperti habis menangis. Padangan Sanjaya menetap sangat lama di bibir sensual yang sejak tadi ingin dia gigit.
Davinka meletakkan map dalam dekapan, mulai membuka dan menunjukkan siapa calon nasabahnya.
"Namanya Teresa Manopo, dia bekerja di bagian sports marketing mobil LB. Beliau berencana akan menarik semua deposit di bank asing dan memindahkannya pada Bank BRC. Tapi, beliau masih ingin mempertimbangkannya."
Setiap ucapan bagaikan mantra di telinga Sanjaya. Pria itu begitu terhanyut dalam fantasinya dimana Davinka tengah menggoyangkan pinggulnya maju mundur ketika wanita itu berada diatasnya. Bibirnya yang sensual sering kali dia gigit.
"Eemmhh," erangan tertahan lolos begitu saja dari bibir Sanjaya. Gairah mulai menguasainya.
"Pak, maaf, apa Anda mendengarkan saya? Halo, Pak!" Davinka terlihat panik.
Bos dihadapannya terlihat begitu mesum dengan pandangan yang terus menatapnya penuh nafsu.
Sanjaya tersentak. Mengerjapkan matanya beberapa kali, berusaha mencari fokusnya.
"Apa kamu wanitaku, Davinka?" tanya Sanjaya tidak bisa menunggu lagi. Dirinya ingin segera merengkuh tubuh wanita itu.
"Maaf ... maksud, Anda?" tanya Davinka terlihat kikuk.
"Club, Kamu wanita di club itu, bukan?" tanya Sanjaya dengan tatapan yang mengunci pergerakan Davinka.
Tubuh Davinka terlihat menegang, "Maaf, sepertinya Anda semakin ngawur. Saya permisi kalau begitu!"
Davinka langsung merapikan berkasnya, tapi dengan cepat tangan Sanjaya menyambar tangan Davinka dan menggenggamnya erat, menarik tubuh wanita itu agar semakin mendekat ke arahnya.
"Benarkah, tapi kamu memang wanitaku."
Sanjaya menarik tubuh Davinka hingga wanita itu mau tidak mau sampai mendudukkan tubuhnya diatas meja dan membuat beberapa benda terjatuh, termasuk berkas yang dia pegang.
"Anda salah, Tu—Pak, Anda sepertinya salah orang!"
Bibir Davinka bergetar, merasa takut pria ini akan berbuat nekad.
Sanjaya tersenyum licik, mengendus aroma tubuh Davinka beberapa kali. "Baiklah, kita akan membuktikannya."
Dengan sekali raup, bibir Davinka sudah dihisap dengan keras oleh Sanjaya. Tangan pria itu sudah mulai membuka satu persatu kancing kemeja yang dikenakan, mencari sesuatu yang membuatnya mabuk kemarin malam.
Sekuat tenaga Davinka mendorong tubuh Sanjaya dengan kedua tangannya, tapi begitu sulit karena pria itu menahan tengkuknya dengan kuat.
Ketika tangan itu sudah mendapatkan benda miliknya, pria itu mulai memainkannya dengan kasar. Sanjaya tidak membiarkannya bernapas sedikitpun dan terus mendesak lidahnya agar mendapat cela untuk masuk.
"Emm, Emm," suara Davinka hanya dapat terbenam dalam mulut Sanjaya dan semakin membuat pria itu menggila karena mendapatkan akses di sela bibirnya yang terbuka.
Kaki Davinka terus bergerak dan berusaha menendang pria itu hingga membuat beberapa barang terjatuh.
Meja yang lapang semakin membuat Sanjaya leluasa mendekatkan tubuhnya dengan tubuh Davinka dan menguncinya. Menyibak kemeja itu sampai memperlihatkan bahu Davinka yang putih mulus.
Sanjaya melepaskan tautan bibir mereka dan mendekap erat tubuh Davinka. Menarik banyak oksigen untuk mengisi paru-parunya yang kosong dan terasa kering.
Davinka merasa tubuhnya lemas seperti jeli dalam dekapan pria itu. Air matanya sudah menyeruak tanpa henti, dan kini membasahi baju Sanjaya.
Merasakan guncangan, Sanjaya melepaskan dekapannya dan menatap Davinka lekat dengan kedua tangan yang merangkum wajah wanita itu.
"Suttt, jangan menangis, Sayang. Kamu memang wanitaku, kamu tidak bisa menyangkal. Coba lihat!" tunjuk Sanjaya pada dada Davinka yang terdapat banyak bercak merah yang hampir pudar.
"Saya bukan wanita siapapun, Anda telah melecehkan saya, Pak. Saya bisa menuntut Anda!" Tangis Davinka pecah, suaranya sudah meraung-raung, berharap ada yang mendengar dan menyelamatkan dirinya. Tapi, ruangan itu seperti berada ditempat yang sangat jauh, sangat sunyi.
Dada pria itu bergemuruh, senang mendapatkan wanita yang dia cari, yang ternyata ada di perusahaannya sendiri. Ternyata, semudah ini menemukan wanita yang dia inginkan.
"Sutt, saya akan menikahimu, ayo kita kerumah kedua orang tuamu!" ajak Sanjaya sudah tidak sabar ingin memiliki wanita ini sepenuhnya.
Entah keberanian dari mana, tangan Davinka terangkat dan menampar pipi Sanjaya hingga meninggal cap tiga jarinya, tidak peduli jika pria ini akan membunuhmu saat ini juga.
"Sepertinya Anda salah menilai dan mengenali orang! Maaf saya mengundurkan diri!"
Davinka langsung turun dari meja dan bergegas menuju keluar dengan memeluk tubuhnya yang gemetar. Tapi, sebelum tangannya meraih handle pintu, Sanjaya sudah meraih tangannya dan memutar tubuh Davinka.
"Tidak akan aku biarkan kamu pergi begitu saja, kamu wanitaku, Davinka! Dan akan menjadi wanitaku untuk selamanya! Jika kamu menolaknya, dengan terpaksa aku akan memberitahu apa yang kamu lakukan di club malam itu!" ancam Sanjaya.
Davinka kembali mendorong tubuh Sanjaya dengan sisa tenaganya. "Silahkan lakukan apa yang Anda mau, saya tidak takut. Walaupun ya, saya adalah wanita yang Anda maksud—maka Anda tidak memiliki bukti. Tapi sayangnya, Anda salah orang!"
Memanfaatkan kelengahan Sanjaya, Davinka langsung berlari, keluar dari lubang neraka yang mengerikan itu dan terus berlari kencang.
Davinka merasa heran dengan keadaan di luar yang begitu sepi, padahal sebelum dirinya masuk ada Sandy dan Mondy yang duduk di meja depan ruangan Sanjaya. Dimana mereka? Kenapa seketika semua orang bisa pergi?
Merasa bersyukur Davinka langsung berlari menuju toilet wanita, kembali berterima kasih karena di dalam sana begitu sepi. Davinka langsung mengunci diri sambil menangkupkan kedua telapak tangan di wajah, berjongkok di sudut pintu. Merasa dirinya benar-benar kotor oleh jamahan pria itu!
Davinka kembali menoleh pada Wulan dan menggenggam tangannya, menatap wanita itu penuh hormat, berkata dengan suara yang lembut dan penuh permohonan, "Mah, aku tidak dibesarkan oleh seorang ibu dan tidak banyak orang yang aku kenal. Sekarang aku memanggilmu Mama. Emm, Mama mau, kan, menjadi ibuku dan merestui pernikahanku!"Pupil matanya melebar, terus menatap Wulan penuh harap. Akankah Wulan memenuhi keinginannya?Wulan sendiri kehilangan kata-katanya. Air mata kembali mengalir deras dengan isakkan tertahan. Wanita itu hanya mengangguk sebagai jawaban.Bodoh! Anak sebaik ini, bagaimana ia bisa menyakitinya dan menolaknya berulang kali!Davinka mengangguk dengan senyum lebarnya, lalu memeluk tubuh gemetar itu dengan penuh kehangatan."Terima kasih, mulai sekarang aku punya Mama." Bisik Davinka dengan elusan lembut di punggung Wulan.Davinka mengurai pelukan, menarik tangan Sanjaya agar menjabat tangan Wulan, "Sekarang Mama Wulan adalah ibu mertuamu, cepat sungkem!"Sanjaya tercengang.
Mendengar ibunya berkata seperti itu membuat Yudha bangun dari duduknya dan meraih tangannya."Ini semua karena Yudha. Mama hanya korban dari obsesi Yudha! Sudah, semua sudah selesai. Biar Yudha yang menanggung semua ini!" Tegas pria itu. Kini aura kehidupan sudah terlihat di wajahnya. Davinka yang asli sering menolaknya dengan kata-kata kasar karena ke keraskepalaannya.Penyesalan, kekecewaan, dan amarah terpancar jelas. Akan tetapi, semua ditujukan kepada dirinya sendiri."Tidak ada yang akan masuk penjara. Semua hanya karena kesalahpahaman!" tanam Sandy, "Tuan Sanjaya mengembalikan semua yang sudah diambilnya," ujarnya lagi yang membuat mereka semua tercengang."Mak-maksudnya?"Kebingungan jelas terlihat dari bagaimana cara mereka bereaksi. Entah apa yang diambil dan harus dikembalikan."Toko elektronik suami Anda beserta isinya dan beberapa calon investor sudah ada di dalam dokumen ini. Kalian tidak bisa menolak! Ja
"Udah malem! bye, Rani …." Davinka langsung menutup pintunya rapat.Rani membalikkan tubuhnya, kamar itu sudah temaram. Yang membuat ia menggigit bibir bawahnya adalah, Sandy berada di tengah ranjang dengan memeluk Inggi. Putrinya malah ada di sisi lainnya ranjang itu.'Ais … jadi gue harus tidur disamping dia?' jerit Rani dalam hatinya.Bersentuhan dengan kulitnya saja sudah hampir membuatnya seperti terbakar. Tapi ini ….Pikirannya terhenti."Mau sampai kapan kamu di sana!" Suara bariton itu menggema dalam remangnya kamar hingga mampu membuat bulu kuduk Rani meremang sempurna.Suara serak Sandy menandakan bahwa pria itu sudah sempat tertidur, terdengar sangat menggoda di telinganya hingga jantungnya mulai berdetak lebih hebat. Rani mulai melangkah dengan kaki beratnya. Ia tahu malam ini harus tidur di ranjang yang sama dengan Sandy. Mampukah?Ini memang bukan malam pertama mereka. Tapi, tidur tepat di sisi pria itu hampir tidak pernah terjadi selama tiga Minggu mereka menikah."Di-d
'Aku tahu, aku sedang dihukum atas semua kejahatan-kejahatanku. Tapi kenapa tidak ambil saja nyawaku daripada membuat semua orang menderita bersamaku!'Venti mulai merasa depresi dengan keadaannya. Kata-kata berikutnya semakin membuatnya tenggelam."Itu jauh lebih bagus. Di kantor Papa bisa fokus bekerja. Tadinya Papa hanya akan pergi saat mendesak saja. Tapi melihat cinta kalian, Papa merasa sangat lega!"Davinka melihat suster membawa sesuatu di tangannya. "Apa itu, Sus? Apa makan siang mama?""Ya, Nyon—""Panggil ibu saja. Saya lebih nyaman dengan itu!" pangkas Davinka cepat. Dia sudah sangat risih dengan sebutan nyonya-nonyaan.Suster itu mengangguk dan berjalan mendekati Davinka, memperlihatkan apa yang ia bawa."Ini bubur cair. Nyonya Venti hanya dapat makan ini sementara waktu sampai bisa mengunyah kembali," jelas suster itu.Dengan wajah murung dan dan air mata yang hampir jatuh, Davinka terus menatap ib
"Keadaannya tidak akan membaik hanya karena kamu membatalkan resepsi kita, Ra!" Dan ini akan selalu menjadi panggilan untuk Diandra walaupun kini sudah mengganti nama Davinka dan melupakan panggilan Davin-nya."Baiklah, aku kalah dari kalian!" desahnya sambil menatap kelima pria ini yang sekarang berada dikamar perawatan Venti."Ayo! Rasty dan yang lainnya sudah menunggu di rumah," ujar Noel mengingatkan.Mereka akan pulang ke apartemen mewah Sanjaya. Noel sendiri setelah resepsi akan kembali ke Singapura dan menetap disana. Insiden berdarah di rumahnya sama sekali tidak pernah terpublikasikan. Ada keinginan untuk menjual rumah itu, tapi Davinka menolaknya. Bagaimanapun, rumah itu memiliki kenangan untuk Davinka ataupun Diandra.Brata menyewa satu jasa suster untuk merawat istrinya. Sebenarnya ia ingin dua orang agar mereka bisa bergantian menjaga. Tapi, menantunya ini menolak dengan alasan Venti sekarang memiliki empat orang anak. Satu suster sudah cukup."Kenapa tidak pulang kerumah
Ketika semua tidak seperti apa yang kita rencanakan maka, pasrahkan, serahkan, ikhlaskan …. Biarkan tangan Tuhan yang melanjutkan karena, seberapa gigih pun kita mencoba, tanpa jamahan tangannya semua akan sia-sia.Venti sudah mengerahkan seluruh kemampuannya untuk menyingkirkan Diandra agar menjauh dari putranya. Tapi apa? Semakin ia berusaha, semakin mendekatkan mereka hingga akhirnya membuat dirinya seperti ini sekarang. Bahkan, kematian lebih baik daripada kehidupan yang menyiksa ini.Dari tempatnya berbaring, Venti terus menatap wajah Davinka. Wajah cantik itu memang sangat berbeda dengan milik Diandra kecuali, mata, bibir, siluet dan suaranya yang sangat ia kenal.Seharusnya dia tahu akan hal ini karena Noel adalah bedah plastik terbaik di negaranya hingga mendapatkan pekerjaan di Singapura."Kita harus mencari dokter terapis terbaik, mama tidak bisa terus seperti ini!" bujuk Davinka disela isak tangisnya.'Apa dia menangis untukku? Menangisi aku yang jahat ini?' bagaimana mana