Share

Rencana Tuan Thakur

Malam harinya, Rashika tidak dapat tidur dengan tenang setelah perdebatannya dengan Sang ayah tadi sore. Ia mencoba berbaring dan memejamkan matanya agar dapat tidur dan bangun esok hari, karena besok merupakan hari di mana Neha akan menjelaskan segalanya kepada ayahnya.

Di sisi lain,

Tuan Thakur sedang bercengkerama dengan Sang ibu di ruang keluarga. Tuan Thakur membicarakan perihal rencananya untuk menikahkan Rashika dengan seorang pemuda kenalannya.

"Aku sudah memikirkan hal ini dengan matang, Ibu. Rashika pasti bahagia kalau menikah dengan pemuda ini." Ucap Tuan Thakur mencoba meyakinkan ibunya.

Nyonya Savitri menghela napas dan melepaskan kacamatanya. "Itu kalau menurutmu Rashika akan bahagia, tapi yang menjalani pernikahan tetaplah Rashika. Hanya dia yang bisa merasakan, apakah dia bahagia atau tidak." Balas Nyonya Savitri yang merasa kurang setuju dengan rencana putranya itu.

Tuan Thakur terdiam sejenak. Ia berpikir keras untuk mencari cara agar mendapatkan dukungan atas rencananya itu.

"Ibu, dengarkan aku! Rashika itu masih terbilang gadis kecil kita, dia masih sangat muda, dia masih labil dalam menentukan pasangan hidup. Aku sebagai ayahnya hanya merasa khawatir kalau dia sampai salah dalam memilih pasangan." Ucap Tuan Thakur dengan nada tenang. Raut wajahnya tampak memelas dan cemas memikirkan masa depan putrinya. Ia sengaja melakukan itu agar Nyonya Savitri yakin padanya.

"Iya, aku paham dengan perasaanmu tapi saat ini Rashika masih mendalami pendidikannya. Dia masih ingin meraih cita-citanya," ujar Nyonya Savitri pula.

"Heeeaahh! Untuk apa pendidikan tinggi-tinggi, pada akhirnya takdir wanita itu tetaplah di dapur, di kasur dan di sumur." Balas Tuan Thakur dengan nada meremehkan.

"Apa katamu?" Semprot Nyonya Savitri tidak suka dengan nada bicara putranya.

Tuan Thakur terkesiap saat mendengar suara ibunya yang tersengar keras.

"Jadi, maksudmu takdir seorang wanita hanya itu?" Tanya wanita tua itu sambil berjalan mendekati Tuan Thakur.

"Dasar kau ini!" Timpuk Nyonya Savitri melemparkan majalah pada Tuan Thakur lantaran kesal karena opininya terhadap takdir seorang wanita.

Ia kembali duduk dengan menahan kesal. "Cobalah kau bertanya pada putrimu itu, jangan kau hanya berpegang pada pikiranmu saja. Dia juga butuh kebebasan dalam menentukan pilihan hidupnya." Ucap Nyonya Savitri memberi pengertian kepada putranya itu.

Tuan Thakur mendekati ibunya. Ia duduk berlutut di sisi sofa sang ibu sambil meraih tangan wanita tua itu.

"Ibu, aku yakin pilihanku ini sangat cocok untuk Rashika. Dia seorang prajurit, dia abdi negara, Bu." Ucap Tuan Thakur mencoba meyakinkan ibunya kembali.

Ia sangat tahu bahwa ibunya sangat terobsesi dengan profesi tentara. Dahulu keinginannya itu tidak tercapai karena dirinya tidak menyukai profesi tersebut. Dirinya sangat menyukai bidang bisnis.

Wajah Nyonya Savitri tampak sumringah. "Benarkah?" tanya wanita itu mulai terpengaruh.

"Benar, Bu. Dia adalah anak satu-satunya dikeluarga itu. Dia hanya tinggal bersama ibunya sekarang, dia bertugas di perbatasan dan hanya pulang sekali dalam setahun." Papar Tuan Thakur kemudian.

Raut wajah Nyonya Savitri berubah kecut. "Apa? Jadi, dia hanya pulang satu kali dalam setahun? Lalu, bagaimana dengan nasib cucuku nanti kalau dia jarang pulang?" Timpal Nyonya Savitri mulai berubah pikiran.

"Ibu, apa salahnya dia pulang hanya satu kali dalam setahun, bukankah dia mengemban tugas menjaga keamanan negara ini? Tentu saja dia pulang hanya beberapa waktu saja." Sahut Tuan Thakur pula.

Nyonya Savitri terdiam sejenak. Ia sama sekali tidak penasaran lagi untuk mengetahui lebih lanjut karena perkataan Tuan Thakur sebelumnya.

"Itu adalah tugas yang paling mulia, Bu. Tidak semua laki-laki di dunia ini yang bisa melakukan pekerjaan seperti dia," lanjut Tuan Thakur kembali.

Nyonya Savitri menatap tajam ke arah tuan Thakur. "Apa kau ingin putrimu menjadi janda lebih cepat? Kenapa kau tidak cari pria yang kesehariannya di kantor seperti dirimu?" Tanya wanita tua itu kemudian.

Tuan Thakur terdiam sejenak. "Kalau aku mencari pemuda yang suka berbisnis pula, bisa-bisa dia menjadi pesaingku. Bisnisku bisa hancur kalau menantuku juga pebisnis." Pikir Tuan Thakur di dalam hatinya.

"Ibu, aku sudah mencari tahu tentang laki-laki ini. Dia sangat kaya, Bu. Semua harta warisan ayahnya telah menjadi miliknya sejak ayahnya meninggal tahun lalu, oleh sebab itu sekarang dia bertekad untuk mencari pendamping yang akan mengurus hartanya selama dia bertugas." Tutur Tuan Thakur panjang lebar hingga tanpa sadar menguak niat terselubungnya.

"Ohooo, pantas saja kau bersikeras untuk menikahkan putrimu dengan pemuda itu, ternyata karena harta keluarganya yang banyak rupanya." Celetuk Nyonya Savitri sembari menghela napasnya.

"Bukan begitu Bu, lagipula aku melakukan ini untuk masa depan Rashika juga. Kalau seandainya dia mati di medan pertempuran otomatis Rashika-lah yang akan menjadi pewaris hartanya, terlebih lagi kalau Rashika bisa memberinya keturunan." Ungkap Tuan Thakur terus membujuk hati sang ibu.

"Tutup mulutmu!" Bentak Nyonya Savitri menghentikan niat putranya. "Niatmu itu sungguh busuk, kau sebenarnya bukan mencari menantu tapi kau mencari harta untuk dirimu sendiri." Tuding Nyonya Savitri dengan kesal.

"Oh ya ampun, kenapa aku mempunyai putra yang begitu tamak seperti dirimu?" Ungkap Nyonya Savitri sembari menunjuk wajah Tuan Thakur. Ia sangat mengeluhkan karakter Tuan Thakur yang tamak akan harta.

"Demi menambah harta kekayaanmu kau bahkan rela menikahkan putrimu pada pemuda seperti itu, jangan katakan kalau pemuda itu juga telah berumur sama seperti dirimu." Pungkas Nyonya Savitri lagi.

Tuan Thakur mendelikkan kedua matanya karena telah membuat ibunya mengomel panjang lebar.

"Sampai kapan kau akan terus memikirkan harta? Lihat dirimu! Perutmu bahkan telah membuncit, aku yakin kau terlalu banyak makan uang haram." Tuding Nyonya Savitri yang semakin kesal.

"Ibu!"

"Jangan memotong perkataanku!" Hardik wanita tua itu sehingga membuat Tuan Thakur terdiam. "Usiamu itu sudah semakin tua, hartamu sudah banyak. Apa lagi yang ingin kau capai?" Lanjut Nyonya Savitri kembali.

"Ibu, aku melakukan ini untuk kebahagiaan Rashika juga, kebahagiaan Ibu. Bukankah Ibu juga menikmati uang hasil jerih payahku, aku hanya tidak ingin hidup Rashika kekurangan di masa depan nanti." Sanggah Tuan Thakur dengan cepat.

"Kau hanya memikirkan masa depanmu, bukan masa depan putrimu!"

Tuan Thakur lalu berdiri karena merasa kesal tidak berhasil membujuk ibunya.

"Sudahlah, Ibu tidak akan mengerti. Aku akan tetap menikahkan Rashika dengan pemuda itu dengan restu atau tanpa restu dari Ibu. Lagipula, ayah Rashika adalah aku bukan Ibu." Oceh Tuan Thakur dengan jengkel dan hendak beranjak pergi.

Nyonya Savitri semakin kesal mendengar perkataan Tuan Thakur. Ia mengambil majalah lebih banyak dan melemparkannya pada Tuan Thakur.

"Dasar kau pria tua, buncit!" Ucap Nyonya Savitri sembari melemparkan majalah itu satu per satu.

Tuan Thakur dapat mengelak dari lemparan-lemparan itu. Ia mengurut dada di sebalik tembok setelah berhasil lolos dari kemurkaan ibunya.

"Wanita tua itu tidak akan mengerti bagaimana susahnya mencari uang. Heeaahh ... aku akan tetap pada rencanaku." Gumam Tuan Thakur dan beranjak pergi ke ruang kerjanya.

****

Keesokannya,

Rashika tengah bersiap-siap akan berangkat ke kampusnya. Nenek datang ke kamarnya untuk memberitahukan rencana ayahnya semalam.

Rashika terhenyak duduk di bibir ranjang. Hal yang ia cemaskan selama ini akhirnya terjadi juga. Gara-gara surat bodoh itu impiannya menjadi seorang dokter akan hancur, pikirnya.

"Kau jangan khawatir, nenek selalu mendukung apapun yang kau lakukan." Ucap Sang nenek sembari mengelus puncak kepala cucunya.

Rashika terlihat rapuh. Ia merangkul nenek dan memeluknya dengan erat.

"Aku harus ke kampus dulu, aku yakin nanti aku bisa menemukan cara lain untuk menggagalkan rencana ayah." Ucap Rashika sembari melepaskan pelukannya.

"Ya. Nenek percaya padamu, lakukanlah yang menurutmu itu benar!"

"Terima kasih, Nenek."

Rashika kemudian meraih tasnya dan bergerak turun ke bawah. Ia sudah berjanji untuk bertemu dengan Neha hari ini. Namun, saat sampai di penghujung tangga tampak ayah Rashika, Tuan Thakur sedang duduk di ruang tengah.

Langkah Rashika tampak ragu-ragu, namun ia memilih menundukkan pandangannya saat akan melewati Sang ayah.

"Rashika!" Tegur Tuan Thakur hingga menghentikan langkah gadis itu.

Rashika membalikkan badannya, namun menatap ayahnya sesekali.

"Ayah sudah mengatur pertemuanmu dengan pemuda pilihan ayah. Dia akan menelponmu nanti, ayah sudah memberikan nomor ponselmu padanya. Temuilah dia karena dia tidak punya banyak waktu untuk cuti." Tutur Tuan Thakur sambil merapikan berkas-berkas kerjanya.

Tanpa mengatakan apapun, Rashika kembali melanjutkan langkahnya.

"Itu artinya yang dikatakan nenek benar. Ayah benar-benar keterlaluan," gerutu Rashika di dalam hatinya.

****

To be continue

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status