Share

Dunia Alesha Runtuh

Keadaan menjadi sangat kacau. Semua orang berhamburan keluar dengan ketakutan akan bernasib sama dengan pria yang tiba-tiba tertembak. Tidak bagi seorang perempuan yang kini tengah bercucuran air mata.

“ALDRICH,” teriak Alesha berlari. Menangkup wajah Aldrich dengan kedua tangannya. “Aldrich bangun!” teriaknya.

Aldrich tidak bergeming. “Aldrich jangan tinggalin aku. Aldrich please bertahan.” Alesha mencoba mengguncang tubuh Aldrich.

Alesha tidak peduli jika dirinya berada dalam bahaya. Saat ini ia hanya ingin Aldrich membuka mata—kemudian berkata jika tidak akan meninggalkannya sendirian.

“Alesha butuh Aldrich.” Alesha memeluk Aldrich. “Aldrich bangun…” lirih Alesha. Ia bahkan tidak peduli dengan dressnya yang sudah berlumuran darah.

“Katanya kamu mau ngajak aku lihat Menara Pizza?” Alesha berharap ini hanya mimpi. Ia menampar dirinya sendiri.

“Bangun Alesha! Lo mimpi!” Alesha menatap kembali Aldrich yang berada di pelukannya.

“ALDRICH BANGUN! ALESHA GAK MAU SENDIRI LAGI!”

DOOR

DOOR

Lagi-lagi suara tembakan menggema. “SEMUANYA KELUAR!”

Alesha menggeleng. “Gak. Aku gak akan tinggalin kamu. Kita harus ke rumah sakit sekarang.” Ia berusaha bangun sembari memapah tubuh Aldrich yang jauh lebih besar dari tubuhnya.

“Kak ayo pergi.” Freya datang bersama Alex. Mereka berusaha menarik Alesha agar melepaskan Aldrich.

“Gue gak mau pergi,” tolak Alesha.

“PERGI SEKARANG SEBELUM LO MATI!” teriak Alex.

“GUE GAK AKAN BIARIN ALDRICH SENDIRIAN DI SINI!”

“ALDRICH UDAH MATI, AL! LO HARUS SELAMATIN DIRI SENDIRI!” teriak Alex lebih keras. Freya dan Alex menarik lengan Alesha sekuat tenaga. Membawanya berlari sebelum orang-orang itu menemukan mereka.

Sebelum pergi—Alesha menoleh ke belakang. Melihat Aldrich yang terjatuh di bawah. Tak lupa dia juga menatap orang-orang yang kini mengepung jasad Aldrich. Tanpa perasaan mereka hanya menatap Aldrich yang berada di lantai.

Alesha tidak akan lupa dengan pria yang ia yakini sebagai pembunuh Aldrich. Pria itu nampak tertawa dengan kematian Aldrich yang berada di depannya. Tidak punya hati—Alya bersumpah agar orang itu segera mati dengan cara yang sama.

~~

“Karena ada insiden tidak terduga, pertunjukkan terpaksa dihentikan. Saya ingin mengatakan jika kalian luar biasa—kalian sudah menampilkan yang terbaik untuk pertunjukkan ini.” Perkataan guru di depan hanya menjadi angin lalu bagi Alesha.

Alesha sama sekali tidak tertarik mendengarkan ucapan orang lain. Ia hanya diam dengan tatapan kosong. Air matanya seakan habis menangisi kepergian sang kekasih dengan cara tragis.

“Alesha…” panggil guru perempuan. Ia berjongkok—kemudian memeluk Alesha perlahan. “Ikhlaskan kepergian kekasih kamu. Semua ini musibah, kamu harus sabar.”

Alesha tidak bergeming. Ucapan orang terdekatnya seperti ucapan belasungkawa dan Alesha tidak suka. Bis sudah berjalan—beberapa menit menempuh perjalanan akhirnya sampai di Bandara.

“Kak, jangan melamun.” Freya menggandeng tangan Alesha. Mereka sudah memasuki pesawat. Duduk di bangku bersama anak-anak lain.

“Aku mau ke toilet cuci muka sebentar.” Alesha berpamitan pergi.

Freya hanya mengangguk. Ia duduk santai dengan bermain ponsel. Pesawat sudah berjalan namun Alesha tak kunjung kembali membuatnya kawatir.

“Bu, tadi kak Alesha pamit mau ke toilet tapi sampai sekarang belum kembali,” adu Freya pada guru.

Guru itu nampak terkejut. “Seharusnya kamu gak biarin Alesha pergi sendirian. Ayo kita cari di toilet.” Mereka berdua menuju toilet pesawat. Namun sayang Alesha tidak ada. Toilet benar-benar kosong saat mereka membukanya.

“Saya daritadi tidak melihat ada yang masuk toilet,” ucap Pramugari.

~~

Alesha tahu keputusan yang ia buat adalah keputusan nekat yang tidak didasari dengan perencanaan. Hanya berbekal tas slempang yang berisi data pribadinya dan dompet yang berisi beberapa lembar uang, Alesha kabur. Ia tidak tahu harus ke mana selain ke tempat tinggal Aldrich.

Ia menatap sebuah foto Aldrich yang berada di sebuah Apartemen. Katanya—pria itu tinggal di sana selama beberapa bulan ini. Apartemen tersebut mewah karena penghasilan Aldrich yang semakin tinggi.

Alesha mencari letak Apartemen itu. Letaknya berada tidak jauh dari pusat kota. Alesha menggunakan taksi. Setelah sampai ia langsung menuju nomor di mana Apartemen Aldrich. Katanya sandi Apartemen pria itu adalah ulang tahun Alesha.

Dengan percaya diri—Alesha memasukkan angka kelahirannya.

"090300," lirihnya

Alesha mengedarkan pandangannya. Mendapati sebuah foto di atas nakas. Ia mengambil foto saat mereka baru saja berkencan.

Jika mengingatnya ingin tertawa saja, mereka berkencan di taman dekat Panti Asuhan. Waktu mereka tidak banyak dan terbatas. Namun Aldrich tidak menyerah—sering diam-diam mengintip Alesha di jendela kamar asrama. Diam-diam membawakan Martabak, katanya supaya menggagalkan diet yang sedang dijalani Alesha.

"Aku bawa Martabak telur sama Martabak manis," ujar Aldrich.

Alesha menggelen tidak mau.

"Makan sayang. Kalau gak makan, aku teror kamu di mimpi."

Setelah mengambil foto itu—tubuh Alesha merosot. Menunduk—memeluk lututnya sendiri. Bagi Alesha yang tidak mempunyai siapapun di dunia ini, Aldrich adalah dunianya.

Alesha bangkit—ia tidak bisa menangis saja. Ia membuka laci-laci yang berada di ruang tamu. Hanya ada beberapa buku-buku. Beralih, ia berjalan ke kamar Aldrich.

Alesha membuka beberapa nakas di samping tempat tidur. Di sana, ia menemukan beberapa pistol. Alesha mengernyit.

"Kenapa Aldrich menyimpan barang berbahaya? Kehidupan apa yang sebenarnya dijalani Aldrich?"

Alesha membuka lemari. Hanya berisi pakaian. Di bawah ada sebuah kotak di mana untuk membukanya perlu kode akses. Lagi-lagi ia dipaksa berpikir untuk memecahkan misteri ini. Ia memasukkan kode ulang tahun Aldrich. Namun salah.

Berpikir lebih keras lagi. Ia memasukkan kode ulang tahunnya sendiri. Salah.

"101017," lirih Alesha. Itu adalah tanggal jadian mereka.

"Akhirnya." Kotak itu terbuka.

Di dalamnya ada sebuah dokumen dan kotak lagi. Alesha membuka dokumen yang ternyata berisi kepemilikan sebuah tanah dan gedung atas dirinya bukan Aldrich.

Aldrich membeli semuanya? Alesha mengambil kotak kecil berwarna biru. Sebuah cincin cantik berwarna silver. Memutar cincin itu di bawahnya ada sebuah inisial yang terukir. A & A, inisal mereka berdua.

Di bawah kotak cincin ada sebuah kertas yang terlipat dengan sangat kecil.

"Cincin ini untuk Aleshaku. Sorry Princessku aku gak bisa pulang lebih cepat. Pokoknya cincin ini untuk kamu. Aku menulis ini karena aku punya firasat buruk. Jika kamu membaca surat ini berarti firasat itu benar-benar terjadi. Sorry ya princess aku gak bisa jadi dunia kamu lagi. Tapi aku berusaha bangun dunia supaya kamu bisa menjalani kehidupan kamu dengan bebas. Kamu bisa gunain semua asetku untuk bertahan hidup. I love you."

Bukan ini yang Alesha butuhkan. Alesha butuh Aldrich. Alesha butuh pria itu untuk menjalani kekosongan dunianya. Alesha mendadak terdiam saat mendengar suara pintu Apartemen yang dibuka. Derap langkah kaki semakin mendekat.

"Dobrak pintu."

"Tapi Sir-"

"AKU TIDAK PEDULI! DOBRAK SEKARANG!"

Alesha menghapus segera menghapus air matanya. Dengan cepat ia merapikan semuanya.

“PERIKSA SEMUANYA.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status