Dengan wajah basah penuh air mata, ia berlari keluar rumah untuk memasuki mobilnya yang sudah terparkir di pelataran. Ia meminta supir melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi.
Tangannya meremas ujung pakaiannya. Dadanya naik turun dengan cepat, amarah dan perasaan takut menjadi satu. Tak lama, mobil memasuki parkiran rumah sakit terbesar di ibu kota. Ia buru-buru turun dari mobil, berlari ke dalam rumah sakit dan bertanya pada resepsionis tentang keberadaan Daren. Ella langsung berlari ke ruang operasi sesuai arahan resepsionis. Lampu di atas pintu operasi berwarna merah menunjukkan bahwa operasi masih berlangsung. Gadis itu menyugar rambutnya sambil bersandar di dinding. Hatinya merapalkan segala doa keselamatan untuk Daren. Air matanya turun tiada henti. "Daren, tolong, tolong bertahan. Tuhan, tolong selamatkan dia," gumamnya harap-harap cemas. “Sekarang aku mengerti mengapa kau selalu membuang hadiah yang kuberikan bahkan tanpa repot-repot melihatnya. Ternyata ini hadiah yang kau suka.” Suara bariton mengalun di telinganya. Tubuhnya terasa membeku untuk sesaat ketika mendengar aksen Italia yang sangat familier di telinganya itu. Ia membalikkan tubuhnya dengan kaku. Matanya langsung bertemu dengan mata hitam seorang pria berbadan besar dengan pakaian semi formal—jaket kulit dengan lengan yang ditarik sampai sikut, menampakkan urat-urat tangannya, dan tato rantai. Seorang pria yang sama dengan yang ada dalam ingatan masa lalunya. Pria itu adalah pria yang ia tinggalkan tanpa sepatah kata pun dua bulan yang lalu. Pria yang sama yang pernah membuat jantungnya berdegup kencang karena cinta, tapi pria itu juga yang kini membuat jantungnya berdegup kencang karena amarah. Dialah orang yang membebaskan ayah kandungnya dari jeruji besi. Monster yang seharusnya mendekam 20 tahun atas kekerasan terhadap ibunya, membuat masa kecilnya menderita, dan membunuh neneknya tepat di depannya, tapi kini monster itu malah berjalan bebas di luaran sana. Sedangkan Ella membawa trauma itu hingga dewasa. Keberadaannya membuka luka lama Ella, sebuah ingatan traumatis—bagaimana tangan monster itu memukuli ibunya, ancaman yang menghantui setiap tidurnya, kematian orang terkasih yang mengenaskan. Pria itu telah merenggut keadilan dalam hidupnya. Dia mendekati Ella perlahan. Langkahnya tenang, tidak terburu-buru, suara sepatunya menguasai lorong. Ella merasakan darahnya mendidih. Emosinya langsung meledak. Dengan langkah besar ia menghampiri pria itu. Ia mencengkram kuat kerah kemejanya, dengan tatapan tajam yang seolah mampu menikam. “Lorenzo De Luca, brengsek kau! Apa yang kau lakukan pada Daren?!” maki Ella dengan rahang yang mengetat. Mata gelap pria itu terkunci dengan mata Ella yang basah karena air mata. Namun, pria itu tidak mengubah posisinya, tetap berdiri tegak dengan mata yang turun ke bawah, menatap Ella yang lebih pendek darinya. Ia menyeringai, wajahnya sangat tenang, kontras dengan ekspresi Ella yang penuh ledakan emosi saat ini. Namun, ketenangan di wajah Lorenzo malah semakin membuat amarah Ella tidak terkendali. “Mau apa kau di sini? Belum puas kau membuatnya celaka?” suara Ella serak, hampir tidak bisa keluar karena amarah di dadanya. “Aku sudah bilang padamu, Sayang. Setiap orang yang berani menyentuhmu tidak akan berakhir dengan baik, tapi kau tidak pernah mendengarkanku, kan?” Lorenzo mencondongkan kepalanya ke telinga Ella. “Kau terus-menerus menutup telinga pada peringatanku, menganggap ringan pada ancamanku. Jadi, aku harus membuatmu melihatnya sendiri bahwa aku tidak main-main,” lanjutnya. Cengkraman Ella di kerah Lorenzo semakin kuat, membuat telapak tangannya memucat. Ella tidak bisa berpikir jernih, emosinya tidak terkendali. “Kau gila, Lorenzo! Urusanmu denganku, bukan dengan orang-orang di sekitarku. Pengecut kau memilih orang yang tidak tahu apa pun. Kau pikir dengan menyakiti Daren bisa membuatku bertekuk lutut padamu? Kau pikir akan mendapatkanku dengan cara curang seperti itu?!” Seringaian Lorenzo semakin lebar. “Oh, kau salah, aku melakukan ini bukan untuk mendapatkanmu karena sejak awal kau milikku, Sayang. Kau tahu bahwa aku tidak suka melihatmu disentuh pria lain, tapi kau terus menguji kesabaranku. Jika aku tidak bisa menyentuhmu, maka tidak ada satu pun yang boleh menyentuhmu.” “Kita sudah selesai, Lorenzo! Aku bisa melakukan apa pun yang aku mau. Kau tidak berhak memutuskan apa pun dalam hidupku. Aku yang menentukan siapa yang boleh menyentuhku!” desis Ella marah. Tangan kekar Lorenzo menangkup wajah Ella. “Siapa bilang? Kau milikku, dan akan selalu menjadi milikku. Kau harus mendengarku dan melihatku. Hanya aku.” Ella melepaskan cengkramannya di kerah baju Lorenzo, menepis tangan Lorenzo di wajahnya kemudian mundur selangkah. Menyugar rambutnya, air mata mulai mengalir lagi. “Aku benar-benar menyesal telah bertemu denganmu. Seharusnya aku dengarkan orang tuaku untuk tidak berhubungan dengan orang sepertimu. Dengan begitu aku dan Daren bisa hidup bahagia.” Ketika Ella terus bicara, ia tidak menyadari bahwa mata dingin Lorenzo berubah sengit saat menatapnya, urat lehernya nampak mencuat. Ada kilas kebencian di mata pria itu setelah mendengar kalimat Ella. Tangan besar pria itu menarik siku Ella dengan hentakan kuat. Tangannya yang lain mencengkram dagu Ella dengan kekuatan yang menyakitkan, menarik wajah Ella mendekat ke wajahnya. “Aah!” pekik Ella terkejut. Dalam sepersekian detik, bibirnya menekan bibir Ella dalam ciuman kasar dan mendominasi, seperti sebuah hukuman dan peringatan. Ella terkesiap, tubuhnya terasa kaku untuk sesaat. Bibirnya dibungkam sangat kuat oleh Lorenzo. Mata Ella terbuka lebar, jantungnya berdegup tidak keruan. Ada kebingungan, rasa jijik, amarah, dan kebencian yang bercampur aduk dalam dirinya. Ella menarik kepalanya untuk menjauh. Namun, Lorenzo dengan kekuatan besarnya menahan kepalanya. Ia bahkan menarik rambut Ella agar kepalanya mendongak. Lorenzo mendorongnya hingga punggung Ella menubruk tembok. Ella memberontak dengan memukul dada Lorenzo sekuat tenaga, tapi pria itu mengangkat kedua tangannya ke atas kepala. “Hmmph—” Tangan Ella mengepal dalam cengkraman Lorenzo. Pria itu membelenggu segala pergerakannya, memaksanya bertahan dalam ciuman yang penuh paksaan. Napasnya tercekat, Lorenzo tidak memberikan ruang bagi Ella untuk bernapas. Ia terus menggigit bibir dan lidah Ella setiap kali gadis itu memberontak hingga membuatnya merintih. “GABRIELLA!” Tubuh Ella berjengit mendengar suara teriakan nyaring seorang wanita. Bersamaan dengan itu Lorenzo memutus ciumannya. Ella terengah-engah, wajahnya memerah, basah air mata, bibirnya membengkak dan terasa perih. Baik Ella maupun Lorenzo memusatkan pandangan ke arah yang sama. Kepada seorang wanita baya dengan dress biru panjang betis, yang menatap mereka dengan penuh keterkejutan yang bercampur amarah. “Dasar wanita jalang! Daren sedang berada di ambang kematian, tapi kau beraninya bermesraan dengan pria lain di depan ruang operasi tunanganmu!”Ketidakhadiran Lorenzo pada makan malam keluarga Ella justru menjadi anugrah terindah untuk mereka. Pria itu menghilang tanpa pesan sejak siang setelah dering telepon yang tidak bekesudahan menyerbu ponselnya. Makan malam ini terasa seperi wujud dari impian Ella. Aroma masakan ibunya mengisi ruangan, candaan-candaan Thomas—yang meskipun kuno berhasil menciptakan tawa memenuhi ruang makan, terasa hangat, penuh kasih sayang. Sejenak mereka lupa tentang ketegangan pagi tadi, lupa tentang Lorenzo. Malam ini hanya ada mereka, keluaraga bahagia yang kembali bercengkerama tanpa khawatir hari esok. Ella makan dengan lahap, sangat menikmati masakan Karen yang terasa seperti hal langka untuknya. Ia megbadikan setiap momen di sini. Karen yang menceritakan gosip tentang tetangga mereka saat ia membantu Karen masak. Kejahilan Thomas padanya yang membuatnya merajuk, tapi kemudian kembali tersenyum ketika mendengar cadaan Thomas. “Siapa yang menyisakan makanannya bersisa harus cuci piri
Norman, Oklahoma Di balik sikap Lorenzo yang seperti iblis, dengan segala tindakannya ang melebihi batas moral, namun perkataan pria itu selalu bisa dipegang. Setiap kata yang terucap dari bibirnya adalah kenyataan. Pria itu membuktikannya dengan mengantar Ella menemui orang tuanya di Oklahoma, tanah kelahiran Ella. Langit Oklahoma biru cerah, secerah wajah Ella yang antusias menemui orang tuanya. Gadis itu buru-buru keluar dari mobil ketika mereka sudah sampai di pekaranagn rumah dua lantai bercat putih gading. Ia berlari kecil menuju pintu rumah. Wajahnya berseri-seri, matanya berbinar, senyum tak pernah pudar sejak ia meninggalkan penthouse bebera jam yang lalu. “Ibu! Ayah!” Ella berseru dengan suara yang manja, hampir jarang Lorenzo dengar karena Ella selalu bicara dengan nada sinis dengannya. Ia menghambur kepelukan pasangan baya yang berada di ruang tamu. Lengannya yang kecil mendekap dua tubuh sekaligus. Suasana menadi penuh haru, tapi hangat. Mata ibunya berkaca-ka
"Aku sudah memperingatkanmu, Jessica,” kata Lorenzo, suaranya lebih tenang kali ini. Walau amarah masih terlihat dalam tatapan tajamnya. Kini hanya ada mereka berdua di ruangan tamu. Lorenzo menatap Jessica yang terduduk lemas di lantai sambil menunduk. “Jangan. Macam-macam. Dengannya.” Suaranya penuh penekanan. Ia melangkah ke sofa melepaskan jasnya dengan gerakan cepat dan melemparkannya asal ke sofa kulit. Tatapannya tidak pernah lepas pada Jessica. Gadis itu terpojok, terintimidasi, membuatnya menciut. “Apa pun yang kau lakukan dengan Ella harus atas izinku,” lanjutnya sembari melepas dasinya kemudian menggulung lengannya sampai ke siku memperlihatkan tato rantai yang melilit lengannya. “Sekarang jelaskan padaku, apa maksudmu melakukan ini?” Ia duduk di sofa, menyisir rambutnya yang berantakan ke belakang. Kemudian menyandarkan punggung tegangnya sembari mengeluarkan sebatang rokoknya. Tangan Jessica mengepal di sisi tubuhnya. Napasnya sudah stabil sekarang. Perla
Lorenzo berdecak jengkel sembari meremas ponselnya—nyaris meremukkan ponsel tersebut saat lagi-lagi teleponnya tidak dapat tersambung dengan Ella. Ia duduk dengan tidak tenang di depan laptopnya yang dibiarkan menyala tanpa disentuh. Urat di lehernya mulai mencuat, bukti kesabarannya yang sudah habis. Rahangnya mengetat, kerutan terbentuk di antara alisnya yang tebal. Jemarinya bermain dia atas layar, beralih menghubungi Alfonso. Tidak seperti Ella, Alfonso menjawab pada deringan pertama. “Bagaimana kemoterapinya?” tanya Lorenzo langsung tanpa basa-basi, dengan nada yang tegang. “Semuanya berjalan baik. Tidak ada masalah. Ada apa?” Alfonso menjawab dengan nada yang lebih santai. “Sudah selesai? Ella sudah pulang?” desak Lorenzo. “Ya, kemoterapinya sudah selesai beberapa menit yang lalu. Ella sudah pulang sejak lama,” jawab Alfonso tenang. Tangan Lorenzo mengepal. “Kau yakin?” Lorenzo menekan setiap suku katanya. “Tentu saja karena sekarang ruang kemoterapinya digunakan
Ella berdiri di depan cermin panjang, sedang mengikat rambutnya dengan gaya half ponytail. Beberapa helai rambut dibiarkan jatuh membingkai wajahnya yang bulat. Ia mengenakan mini dress berwarna biru pastel yang membungkus lekuk tubuh mungilnya dengan sempurna. Ella melirik Lorenzo dari cermin, menangkapnya yang terdiam kaku dengan tatapan yang terlalu intens. “Kenapa?” tanyanya pelan. Lorenzo mengedip sekali, tersadar dari lamunannya. Ia tersentum tipis, lalu melangkah masuk mendekati gadis itu, matanya tidak pernah lepas dari tubuh Ella. Ketika sampai di belakangnya, ia melingkarkan lengannya di pinggang gadis itu dengan lembut, tapi tegas, memeluknya dari belakang. Dada bidang Lorenzo yang hangat terasa menekan punggung Ella, menciptakan sensasi yang anehnya menenangkan sehingga Ella bahkan tidak bergerak menghindar. Lorenzo memberikan ciuman singkat di leher Ella, tepat di titik sensitif, di bawah telinganya. Tubuh Ella menegang seketika, sentuhan di sana selalu membua
Lorenzo menyeringai, tapi sebelum ia sempat bekasi lebih jauh, Jessica dengan gerakan yang tampak disengaja menumpahkan jus jeruknya di atas meja. Cairan oranye pekat itu membasahi kaus Ella dan sebagian celana Lorenzo. Ella menjerit kecil, tubuhnya tersentak. Ia refleks bangkit dari pangkuan Lorenzo, wajahnya meringis jengkel melihat noda yang kini menghiasi sebagian pakaiannya. Menempel lembab di kulitnya. Sedangkan Lorenzo, menatap tajam Jessica. “Ups, maaf, aku tidak sengaja!” seru Jessica dengan ekspresi panik yang dibuat-buat. Matanya mengerling pada Lorenzo. “Kau tidak apa-apa?” Jessica menatap Lorenzo panik, seolah pertanyaan itu hanya ditujukan pada Lorenzo, sengaja mengabaikan Ella. Nada kekhawatiran dalam suaranya Jessica membuat Ella mual karena suaranya terlalu lembut, terlalu dibuat manis. Tanpa menunggu jawaban, Jessica langsung bergegas mengambil tisu dan mulai mengusap noda di celana pria itu. Tangannya berlama-lama di paha Lorenzo lebih dari yang seharusnya. El
Ella terbangun karena alarmnya, matanya masih terasa berat untuk terbuka. Tidurnya cukup larut semalam. Setelah mematikan alarm, ia mengusap wajahnya pelan. Sejenak terdiam sambil memandangi langit-langit kamar, membiarkan matanya beradaptasi dengan cahaya pagi yang menerobos dari tirai tipis. Dengan lesu ia mendudukan dirinya, mengikat asal rambut kemudian bangkit. Melangkah lunglai ke kamar mandi untuk membasuh wajahnya. Suara perutnya memecah keheningnya, Ella mengusapnya. Perutnya menuntut asupan karena semalam ia tidak makan dengan baik. Ia pun bergegas turun ke ruang makan. Samar-samar mendengar suara bising dari ruang makan. Sesampainya di sana, ia melihat beberapa maid sedang menata sarapan di atas meja. Ia juga melihat Jessica di sana. Wajahnya tampak segar kontras dengan penampilan Ella yang berantakan. Wanita itu meliriknya, lalu menyunggingkan senyum ramahnya. “Hai, Ella, mau sarapan? Maid sudah buatkan sarapan untuk kita.” Ella mengernyit, keramahan Jessica te
Kecupan singkat mendarat di kening Ella. “Berhenti overthinking, Ella, berhenti menyakiti kepalamu,” ucap Lorenzo lembut seolah menenangkan isi kepala Ella yang semrawut. “Istirahatlah,” lanjutnya kemudian mundur, menatap wajah Ella yang masih memerah. Setelah mengatakan itu Lorenzo keluar dari kamar Ella. Ia menuruni tangga dengan langkah yang berat seolah obrolan mereka masih membebaninya. Ia berjalan menuju pantry. Menuangkan wine ke gelas kristal. Duduk dengan menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. Telinganya samar-samar mendengar suara langkah kaki mendekat. Jessica muncul dengan gaun tidurnya yang sangat terbuka, sengaja memamerkan lekuk tubuhnya. Senyum menggoda terukir di wajahnya yang cantik. “Kau belum tidur?” tanya Lorenzo datar, meliriknya sekilas kemudian kembali meneguk minumannya. Gadis itu duduk di sebelah Lorenzo, tangannya mengusap lembut otot-otot lengan Lorenzo. Sentuhannya sangat menggoda. Pria itu tidak menepis, tapi terlihat acuh tak acuh. “B
Malam telah menyelimuti kota ketika Ella kembali ke penthouse. Jessica menemaninya makan malam. Beruntung kali ini Jessica tidak banyak bicara. Meskipun begitu, ia tetap tidak bisa menikmati makan malamnya, ia tidak nafsu makan. Jessica beberapa kali meliriknya heran karena Ella hanya mengaduk-aduk makanannya dan wajahnya terlihat melamun. “Kau tidak suka makanannya?” tanya Jessica membuat Ella mengalihkan pandangannya. Gadis itu menghela napas. Makananannya terasa hambar. Di saat seperti ini, Ella merindukan masakan Karen. Ia merindukan orang tuanya. “Aku sudah kenyang, aku ingin istirahat,” katanya kemudian beranjak ke kamarnya. Ia duduk termenung di tepi ranjang. Masih memikirkan dengan kata-kata Alfonso untuk menikmati hidupnya yang tidak bertahan lama. Ia harus memikirkan dirinya sendiri. Itu artinya ia tidak seharusnya memikirkan kesembuhan Daren atau cara kabur dari Lorenzo. Alfonso benar, ia berhak bahagia dengan atau tanpa penyakitnya. Ia tidak boleh hidup pasr