Tubuh Ella langsung berkeringat dingin. Amarahnya terganti dengan rasa bersalah. Membayangkan bahwa wanita baya itu pasti telah melihat kejadian tidak etis yang baru saja terjadi.
Ella tidak tahu seberantakan apa penampilannya saat ini, tapi itu pasti memalukan.
Dengan langkah cepat, wanita itu baya mendekati Ella dan menariknya menjauh dari Lorenzo, hingga membuat tubuh Ella terhuyung.
“Apa yang kau lakukan? Kau gila, hah?” maki Pamela, Ibu Daren dengan suara keras yang memekakkan telinga.
“Kau selingkuh? Beraninya kau menyelingkuhi putraku di depan wajahku? Beraninya kau melakukan ini pada putraku?!” teriaknya lagi tepat di depan wajah Ella sembari mendorong kasar bahu gadis itu hingga ia mundur selangkah. Suaranya menggelegar bagai petir di siang bolong.
Gadis itu pucat pasi dan tubuhnya gemetar. "Ini salah paham, ini tidak seperti yang Ibu lihat. Aku tidak berselingkuh, tolong dengarkan aku.”
Pamela berkacak pinggang, kepalanya menggeleng. “Masih berani kau mengelak setelah apa yang aku lihat dengan mata kepalaku sendiri?!”
“Tidak, kumohon dengarkan—”
Plak!
Pamela membungkam Ella dengan sebuah tamparan keras, hingga suaranya menggema di lorong.
Mata Lorenzo membola dalam sepersekian detik. Sebelum akhirnya kembali dengan tatapan tajamnya.
Tubuh Ella terhuyung, jatuh terjerembab ke lantai. Gadis itu menunduk, terkulai lemah dalam duduknya. Rambutnya jatuh menutupi wajahnya. Air mata kembali membanjiri pipinya.Tubuhnya bergetar. Suara keras dan bentakan Pamela telah memicu kecemasan berlebihan yang sedari tadi ia tahan. Ella merasa sangat sesak, pipinya berdenyut nyeri.
Lorenzo melangkah, berdiri di tengah-tengah antara Ella dan Pamela. Wanita baya itu terdiam sejenak, menatap Lorenzo yang menjulang di depannya.
“Apa? Kau mau apa? Membela wanita jalangmu ini, hah?!” teriak Pamela, matanya masih menyala-nyala dengan kobaran emosi.
Lorenzo menggeram. “Jaga mulutmu itu! Sekali lagi kau berani bicara seperti itu dan melukai Ella, kupastikan kau akan bernasib sama dengan putramu.”
Tangan Pamela terkepal, ia berdecih. “Kalian berdua benar-benar sudah kehilangan akal, hah?! Dasar menjijikan! Pergi dari hadapanku sekarang. Ini rumah sakit, bukan hotel. Dan kau, Ella, jangan temui anakku lagi!”
Ella mendongak terperangah, bibirnya bergerak-gerak ingin bicara. Sekuat tenaga mencoba mengendalkan diri.
“Maaf…,” ucapnya, hanya itu yang bisa keluar dari mulutnya.
“Tidak, pergilah kalian! Aku tidak mau mendengarmu dan melihatmu lagi!” bentak Pamela tidak ingin dibantah.
Lorenzo berlutut di samping Ella. Mengangkat tubuh gadis itu tanpa mengeluarkan usaha seolah Ella hanya sehelai bulu.
Ella menggeleng menolak, tapi ia tidak punya tenaga untuk memberontak. Merasa sangat lemas bahkan untuk mengeluarkan suara penolakkan.
*** Suara di dalam mobil hanya diisi oleh isakan Ella. Lorenzo membawa gadis itu ke dalam mobilnya yang kini telah melaju jauh meninggalkan rumah sakit. Pria itu melingkarkan lengannya ke tubuh Ella yang kini berada di pangkuannya, merengkuh pinggang Ella dengan erat.Napas gadis itu masih terputus-putus dan sesenggukan. Lorenzo menarik dagunya agar bisa menatapnya, ia ingin melihat keadaan gadis itu. Pria itu mengehela napas pelan yang terasa panas di wajah Ella.
“Kau aman di sini, Ella. Cobalah mengatur napasmu,” katanya. “Tarik napas dalam-dalam, lalu embuskan perlahan.”
Mata Ella fokus pada mata Lorenzo, perlahan mengikuti perintah Lorenzo pelan-pelan membuat pria itu tersenyum tipis.
Isakan gadis itu perlahan memudar, napasnya mulai kembali tenang. Lorenzo Lalu mengambil sebotol air mineral dari pocket door.
“Minumlah,” katanya sembari menyodorkan kepada Ella botol yang tutupnya sudah dibuka.
Ella menegakkan tubuhnya, meneguk air minum itu. Tangannya masih sedikit gemetar hingga tidak bisa memegang botol dengan stabil.Gadis itu hanya meminum sedikit, lalu mengembalikan botolnya pada Lorenzo.
Pandangan Lorenzo kembali turun ke wajah Ella. Perlahan ibu jarinya mengusap bibir bawah Ella yang masih bengkak dan merah.Gadis itu meringis, refleks menepis kasar tangan besar Lorenzo. “Sakit, Lorenzo,” rintihnya.
Namun, Lorenzo malah menyeringai puas. Ella yang mulai tenang perlahan mampu menguasai dirinya. Kepalanya perlahan mulai bisa berpikir kembali dengan jernih.Ia memperlihatikan sekelilingnya, lalu bergerak pindah ke kursi sebelah. Namun, Lorenzo menarik pinggang Ella agar kembali pada posisi semula. Ella menegakkan tubuhnya, otomatis menatap tajam Lorenzo. Urung pindah karena tahu Lorenzo tidak melepaskannya.
“Aku mau pulang, Lorenzo,” kata Ella dengan suaranya yang serak.
“Aku akan mengantarmu pulang,” balas Lorenzo tenang.
Ella tidak menjawab, ia menarik napas dalam sembari memejamkan matanya. Lega dengan jawaban Lorenzo.
Selama di perjalanan, ia mencoba mencerna semua yang terjadi padanya. Tatapannya kosong, ia belum bisa menerima kenyataan yang baru saja terjadi.
Lorenzo mengacaukan segalanya. Daren terluka, Ibu Daren salah paham.
Ia tidak tahu lagi harus bagaimana menghadapi Lorenzo ke depannya. Susah payah gadis itu kabur sampai bersembunyi di negara kecil ini. Namun, pada akhirnya ia kembali dipertemukan dengan Lorenzo.
Hujan rintik-rintik membuat Ella mengalihkan pandangan ke jendela. Tatapannya terpaku pada bintik-bintik hujan di kaca jendela hingga ia menyadari ada sesuatu yang aneh.
Jalan yang mereka tempuh bukanlah jalan menuju tempat tinggalnya. Ella menyipit menatap Lorenzo yang sedang menatapnya santai, seolah sudah membaca isi pikiran Ella.
“Kau mau membawaku ke mana?” desaknya curiga, mulai merasa gelisah.
Lorenzo menyeringai, tangannya bergerak lambat, menyingkirkan sehelai rambut yang menempel di dahi Ella yang berkeringat.
"Ke tempat di mana tidak ada satu pun orang yang mengetahui keberadaanmu.”
“Ada Pamela di sana,” bisik Karen sembai matanya mengintip ke dalam kamar Daren melalui kaca kecil di pintu. Ella menggigit bibir bawahnya, ia menatap Karen skeptis. “Dia tidak akan mengizinkanku masuk. Tante Pamela telah melarangku bertemu dengan Daren,” gumamnya getir. “Lebih bak kita kembali saja, Bu,” lanjut Ella pasrah, wajahnya berubah muram. Karen menghela napas, mengerti masalah yang dihadapi putrinya. Ia membungkuk, menghadap Ella yang duduk di kursi roda. Ia menyentuh tangan Ella yang berada di pegangan kuris roda. “Begini saja,” bisik Karena lembut membuat Ella mengernyit penasaran. “Ibu akan bantu mengalihkan perhatian Pamela agar kau bisa masuk, bagaimana?” lanjut Karen disertai senyum bangga atas idenya. Mata Ella melebar, matanya berbinar penuh harap. Wajahnya kini menjadi lebih ceria. Sudut bibirnya terangkat membentuk senyuman sumringah, senyum pertanya yang muncul tanpa beban sejak siuman. “Ibu, terima kasih,” bisinya penuh rasa syukur. Tangannya yang lemah
Sejak hari itu, Ella mengabaikan kehadiran pria itu, menganggapnya seolah tidak ada, tidak bicara satu kata pun, tidak meliriknya sedikit pun. Seperti pagi ini, Ella membesarkan volume suara televisi ketika Lorenzo memasuki ruangannya. Ia tahu maksud kedatangan pria itu. Lorenzo menentang sebuah paper bag. Ada aroma mas khas yang sangat familier di hidung Ella, aroma kua cokelat yang Ella duga merupakan isi dari paper bag yang dibawa Lorenzo. Pria itu mendekat, menggeser kursi ke sisi ranjangnya. Tatapan Ella terpaku pada televisi. Wajahnya santai, seolah menikmati siaran televisi. Padahal pikirannya sedang waspada terhadap keberadaan Lorenzo. Tindakan pria ini yang terkadang tidak pernah bisa ditebak membuat Ella selalu memasang pertahanannya. “Ella,” panggilnya, suaranya jauh lebih lembut dari kemarin. Tidak lagi tegas seperti biasanya. “Bagaimana keadaanmu?” tanyanya. Tentu saja Ella tidak menjawab. Lorenzo menatap gadis itu yang bersikap seolah tidak mendengarnya. Ia meleta
Langit mulai meredup saat Lorenzo kembali ke rumah sakit, tepatnya kini ia berada di taman rumah sakit. Tempat yang cukup segar dan cukup sepi untuk membicarakan hal pribadi. Thomas duduk sendirian di kursi kayu, di bawah pohok oak. Membungkuk dan menunduk menatap bir kaleng di tangannya. Ia melirik Lorenzo yang baru saja duduk di sebelahnya dengan santai. Seketika tubuh Thomas terasa menegang dan kewaspadaan dirinya langsung aktif karena aura menyeramkan yang dibawa Lorenzo.bPria itu sudah berganti pakaian dengan kemeja hitam yang dibalut jaket kulit. Bersih, tidak ada lagi noda darah yang terlihat. Namun, rambutnya berantakan menunjukkan dirinya masih terlihat kacau. Wajahnya masih menunjukkan ketegasan, seolah ia tidak punya emosi lain. Tanpa kata, Lorenzo langsung menyodorkan beberapa lembar foto kepada Thomas dari dalam saku jaketnya. Mata Thomas mendelik, melihat foto Victor Harper dalam keadaan mengenaskan. “Mengenalnya?” tanya Lorenzo basa-basi. Wajah Thomas se
Di ruang remang-remang dalam bangunan kotruksi tua di pinggiran kota yang sudah tidak beroperasi lagi, kini dikuasi oleh Lorenzo dan bawahannya. Suasana terlihat sangat mencekam karena dikelilingi oleh pria berbadan besar dengan wajah yang dingin. Lorenzo berdiri di tengah ruangan, menatap seorang pria dengan wajah lebam tergantung di depannya. Kedua tangannya terangkat diikat kuat. Kakinya yang terikat bahkan tidak menyentuh lantai, membuat posisinya sedikit lebih tinggi dari Lorenzo. Mata pria itu ditutup kain hitam, mulutnya disumpal kain tebal, meredam teriakan dari perlawanannya. Lorenzo menadahkan tangannya pada Alessio, pria itu meletakkan sebuah belati di telapak tangan Lorenzo. “Aku tidak tahu apa masalahmu dengan Thomas,” kata Lorenzo dengan yang sangat rendah, tapi tajam. Jemarinya memainkan gagang belati dengan gerakan memutar yang santai. sedangkan tangannya yang lain terselip di saku celananya. “Namun, menargetkan putrinya adalah kesalahan besar,” desisnya pen
Fajar hampir muncul di cakrawala,tapi Ella masih belum sadarkan diri. Lorenzo menunggu, duduk di kursi keras lorong rumah sakit. Tubuhnya masih penuh ketegangan, terjaga semalaman penuh. Tidak berpindah posisinya sejak berjam-jam yag lalu. Menggeggam erat-erat ponselnya. Belum juga ada kabar dari Alfonso mengenai pelaku penikaman itu. Ia menyisir rambutnya yang sudah berantakan Suara langkah memecah keheningan lorong rumah sakit. Lorenzo mengangkat wajahnya dan mendapati Thomas dan Keran berjalan cepat menuju tempatnya duduk. Mata Thomas berkilat penuh amarah. Hal yang sudah Lorenzo duga, tatapan pria baya itu tidak pernuh melembut padanya. “Kau! Lihat apa yang kau lakukan! Ini semua salahmu! Kau membuatnya dalam bahaya!” sembur Thomas dengan suara meninggi. Thomas mencengkeram kerah kemeja Lorenzo hingga pria itu berdiri dari duduknya. Lorenzo bergeming, membeiarkan amarah Thomas meluapkan emosnya. Sebab jauh di lubuk hatinya, ada persan bersalah juga yang membuatnya ti
“PANGGIL AMBULANCE!” Pengunjung yang berlalu lalng berteriak panik ketika melihat Ella terbaring di atas tanah. Rasa sakitnya mulai samar-samar di ambang kesadarannya yang mulai menipis. Suara-suara di sekitarnya mulai terdengar samar-samar. Matanya setengah terbuka, wajahnya pucat pasi. Teriakan-teriakan itu mengusik fokus Lorenzo. Ia langsung menoleh penasaran ke asal suara. Ia mendapati beberapa orang sedang berkerumun tidak jauh dari tapatnya berdiri. Saat itu ia baru menyadari ketidakhadiran Ella di sisinya. Keningnya, bekerut fokusnya buyar. Suara di seberang telepon terabaikan. Langkahnya terayun mendekati kerumunan itu. Matanya melebar, tangannya yang memegang ponsel terjatuh di sisinya. Napasnya terhenti seketika melihat Ella tergeletak tak berdaya di atas aspal. darah menggenang di sisi tubuhnya. “ELLA!” teriak Lorenzo panik. Ia sontak berlutut di sebelah gadis itu. Melepas jasnya untuk menghentikan pendarahan Ella. tangannya gemetar hebat saat menekan luka itu. “Lo