Basseterre, St. Kitts and Nevis
“Kupastikan kau tidak akan mengabaikan hadiahku lagi kali ini, Gabriella Jovianne.” Pesan itu lagi. Tangan kanan Ella mencengkram kuat ponselnya ketika ia membaca sebuah pesan masuk dari nomor tidak dikenal. Sedangkan tangan kirinya mencengkram buket bunga di pangkuannya. Rahangnya mengetat, dengan jengkel ia menghapus pesan itu. Daren—tunangannya—yang sedang mengemudi menoleh heran padanya yang tiba-tiba menjadi pendiam. “Ada apa?” tanyanya lembut.Ella menarik napas sembari memasukkan ponsel ke dalam tas bahunya, kemudian kepalanya menggeleng pelan.
“Aku dapat pesan dari nomor tidak dikenal.”
Pria itu mengernyit heran, fokusnya dalam mengemudi menjadi terbagi. “Lagi? Kau yakin itu dari orang tidak kau kenal?”Ella terdiam, ada satu nama yang terbesit di otaknya. Seorang pria yang pernah hadir di masa lalunya. Namun, ia terlalu membencinya hingga mengucapkan namanya saja pun ia enggan.
“Entahlah, aku malas menebak-nebak,” balasnya lesu sembari bersandar pada jendela.
Jujur saja, gadis itu memikirkan hadiah apa yang dimaksud oleh pengirim pesan itu. Tiba-tiba ia merasakan tangan Daren bertumpu di punggung tangannya. Ibu jarinya mengusap lembut, sedikit memberikan ketenangan. Suasana di dalam mobil pun hening hingga mobil hitam itu tiba di depan pelataran luas dari villa mewah lantai dua. Daren turun dari mobil kemudian membukakan pintu untuknya, lalu mengantarkannya sampai ke depan pintu villa. “Terima kasih untuk hari ini. Kau sudah melakukan banyak hal untuk membuatku senang. Aku tidak tahu harus bagaimana dengan semua kebaikanmu,” kata Ella sembari memberikan pelukan singkat. “Tidak perlu berterima kasih, Ella, bahagiamu juga bahagiaku.” Daren mendekatkan diri pada Ella dan memberikan ciuman lembut di dahinya. Ella mengangguk lalu perlahan melepaskan genggamannya dengan Daren. “Baiklah, sampai jumpa besok.” “Ella, tunggu, aku punya sesuatu untukmu,” kata pria itu, membuat satu alis Ella terangkat. “Bisakah kau pejamkan matamu sebentar?” Ella meragu sesaat, tapi matanya terpejam perlahan. Ia merasakan sesuatu yang bergerak di lehernya. Tanpa diperintah, matanya terbuka. Ia menunduk melihat kalung cantik yang melingkar di sana. “Cantik sekali,” pujinya, sembari mengusap liontin kalung itu dengan senyum haru. Binar di matanya kembali lagi. Lupa dengan pesan misterius sebelumnya. “Terima kasih,” katanya penuh haru sembari mengusap pipi tunangannya itu. “Aku senang kau suka. Sekarang, masuklah, aku akan pergi setelah kau masuk,” balasnya sembari mengusap kepala gadis itu. Ella melambaikan tangan dengan senyum manis. Setelah Daren membalas lambaian tangannya, ia menutup pintu. Begitu tiba di dalam kamar, ia melempar tas dan bunga ke atas ranjang, lalu pergi ke meja rias dan menatap pantulan dirinya pada cermin. Tangannya tergerak menyentuh liontin berbentuk bunga matahari, di tengahnya terdapat batu zamrud kecil berwarna hijau itu. Ini adalah perhiasan pertama yang ia dapat dari Daren, teman masa kecilnya yang sekarang menjadi tunangannya. Kalung ini terasa begitu spesial. Mungkin, ini karena efek jatuh cinta. Tiba-tiba terdengar suara ketukan di pintu kamarnya yang mengaburkan lamunan Ella. Ia beranjak membuka pintu, tersenyum tipis kepada pelayan yang berada di hadapannya. “Maaf mengganggu istirahat anda, Nona, barusan ada seorang kurir yang memberikan ini untuk, Nona,” ucap Mariah sembari menyodorkan sebuah kotak. Kening Ella berkerut menatap kotak kecil berwarna hitam yang berbalut pita merah. “Kurir? Di jam segini?” tanyanya heran karena ini sudah cukup malam dan tidak ada kurir yang bekerja selarut ini. Meskipun heran, ia mengambil barang itu. “Terima kasih,” katanya lalu menutup pintu dan duduk di sisi ranjang. Mata cokelatnya mengamati kotak hadiah itu, tidak ada nama pengirimnya. Namun, terlintas Daren di otaknya, ia tersenyum senang karena percaya bahwa pria itu yang memberikannya hadiah, lagi. Dengan antusias ia membuka kotak hadiah tersebut. Namun, begitu melihat isinya, senyumnya hilang. Wajahnya berubah pucat dan pupil matanya membesar. Isi di dalam kotak itu bukan sebuah hadiah yang ia bayangkan. Tangannya gemetar hebat hingga kotak itu terjatuh dengan bunyi gemeretak yang keras. Isi di dalam kotak itu tercecer di lantai. Sebuah cincin perak menggelinding ke arahnya. Cincin perak yang menjadi bukti ikatan pertunangannya dengan Daren itu kini basah oleh noda berwarna merah darah. Gadis itu jatuh tersungkur, ia mundur menjauhi cincin itu hingga punggungnya membentur tembok. Tubuhnya bergetar, air matanya mengalir deras. Ingatannya langsung melompat pada pesan dari nomor tidak dikenal itu. Inikah hadiah yang dimaksud? Mendadak, ia merasa terlempar ke dalam sebuah ingatan masa lalu yang telah ia kubur rapat-rapat. Bayangan wajah seorang pria muncul dalam ingatannya. Wajah tegas, tatapan mata tajam, menyeringai padanya, menyeramkan. Ella ingin berteriak, tetapi suaranya teredam. Perasaan takut membuat tubuhnya tidak berdaya. Suara dering ponsel menyelamatkan jiwanya yang hampir tenggelam dalam bayangan masa lalu itu. Gadis itu merangkak mengambil ponsel di dalam tasnya dengan tangan gemetar. Sebuah telepon masuk dari nomor itu lagi. Dengan terburu dan panik ia menekan ikon berwarna merah berkali-kali hingga sambungan telepon terputus. Tanggannya bergulir di atas layar ponsel, berhenti pada nomor kontak Daren. Ia mendial nomor tersebut sambil terduduk di lantai, bersandar di dinding. Air mata masih sesekali menetes di pipinya. “Kumohon angkat teleponmu,” gumamnya harap-harap cemas. Ia menggeram ketika tidak ada jawaban dari seberang telepon. Lalu kembali mendial nomor telepon Daren lagi. Nihil, ia masih tidak mendapat jawaban. Sebuah pesan masuk dari nomor tidak dikenal lagi. Tangannya menekan notifikasi pesan itu. Masuk ke room chat, sebuah video terkirim padanya. Dengan gemetar ia melihat video tersebut. Jantungnya hampir berhenti berdetak. Video tersebut menunjukkan sebuah mobil dalam keadaan terbalik, dengan plat nomor yang sangat ia hafal. Bagian depan mobil itu hancur parah karena menabrak pembatas jalan. Lalu ada satu pesan baru yang masuk ke dalam room chat. “Suka hadiahku, Sayang?” Bunyi pesan itu membuat Ella menjatuhkan ponselnya.Lorenzo menyeringai, tapi sebelum ia sempat bekasi lebih jauh, Jessica dengan gerakan yang tampak disengaja menumpahkan jus jeruknya di atas meja. Cairan oranye pekat itu membasahi kaus Ella dan sebagian celana Lorenzo. Ella menjerit kecil, tubuhnya tersentak. Ia refleks bangkit dari pangkuan Lorenzo, wajahnya meringis jengkel melihat noda yang kini menghiasi sebagian pakaiannya. Menempel lembab di kulitnya. Sedangkan Lorenzo, menatap tajam Jessica. “Ups, maaf, aku tidak sengaja!” seru Jessica dengan ekspresi panik yang dibuat-buat. Matanya mengerling pada Lorenzo. “Kau tidak apa-apa?” Jessica menatap Lorenzo panik, seolah pertanyaan itu hanya ditujukan pada Lorenzo, sengaja mengabaikan Ella. Nada kekhawatiran dalam suaranya Jessica membuat Ella mual karena suaranya terlalu lembut, terlalu dibuat manis. Tanpa menunggu jawaban, Jessica langsung bergegas mengambil tisu dan mulai mengusap noda di celana pria itu. Tangannya berlama-lama di paha Lorenzo lebih dari yang seharusnya. El
Ella terbangun karena alarmnya, matanya masih terasa berat untuk terbuka. Tidurnya cukup larut semalam. Setelah mematikan alarm, ia mengusap wajahnya pelan. Sejenak terdiam sambil memandangi langit-langit kamar, membiarkan matanya beradaptasi dengan cahaya pagi yang menerobos dari hordengn tipis. Dengan lesu ia medukkan dirinya, mengikat asal rambut kemudian bangkit. Melangkah lunglai ke kamar mandi untuk membasuh wajahnya. Suara perutnya memecah keheningnya, Ella mengusapnya. Perutnya menuntut asupan karena semalam ia tidak makan dengan baik. Ia bergegas turun ke ruang makan. Samar-damar ia mendengar suara bising dari ruang makan. Sesampainya di sana, ia melihat beberapa maid sedang menata sarapan di atas meja. Ia juga melihat Jessica di sana. Wajahnya tampak segar kontras dengan penampilan Ella yang berantakan. Wanita itu meliriknya, lalu menyunggingkan senyum ramahnya. “Hai, Ella, mau sarapan? Maid sudah buatkan sarapan untuk kita.” Ella mengernyit, keramahan Jessica terlih
Kecupan singkat mendarat di kening Ella. “Berhenti overthinking, Ella, berhenti menyakiti kepalamu,” ucap Lorenzo lembut seolah menenangkan isi kepala Ella yang semrawut. “Istirahatlah,” lanjutnya kemudian mundur, menatap wajah Ella yang masih memerah. Setelah mengatakan itu Lorenzo keluar dari kamar Ella. Ia menuruni tangga dengan langkah yang berat seolah obrolan mereka masih membebaninya. Ia berjalan menuju pantry. Menuangkan wine ke gelas kristal. Duduk dengan menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. Telinganya samar-samar mendengar suara langkah kaki mendekat. Jessica muncul dengan gaun tidurnya yang sangat terbuka, sengaja memamerkan lekuk tubuhnya. Senyum menggoda terukir di wajahnya yang cantik. “Kau belum tidur?” tanya Lorenzo datar, meliriknya sekilas kemudian kembali meneguk minumannya. Gadis itu duduk di sebelah Lorenzo, tangannya mengusap lembut otot-otot lengan Lorenzo. Sentuhannya sangat menggoda. Pria itu tidak menepis, tapi terlihat acuh tak acuh. “B
Malam telah menyelimuti kota ketika Ella kembali ke penthouse. Jessica menemaninya makan malam. Beruntung kali ini Jessica tidak banyak bicara. Meskipun begitu, ia tetap tidak bisa menikmati makan malamnya, ia tidak nafsu makan. Jessica beberapa kali meliriknya heran karena Ella hanya mengaduk-aduk makanannya dan wajahnya terlihat melamun. “Kau tidak suka makanannya?” tanya Jessica membuat Ella mengalihkan pandangannya. Gadis itu menghela napas. Makananannya terasa hambar. Di saat seperti ini, Ella merindukan masakan Karen. Ia merindukan orang tuanya. “Aku sudah kenyang, aku ingin istirahat,” katanya kemudian beranjak ke kamarnya. Ia duduk termenung di tepi ranjang. Masih memikirkan dengan kata-kata Alfonso untuk menikmati hidupnya yang tidak bertahan lama. Ia harus memikirkan dirinya sendiri. Itu artinya ia tidak seharusnya memikirkan kesembuhan Daren atau cara kabur dari Lorenzo. Alfonso benar, ia berhak bahagia dengan atau tanpa penyakitnya. Ia tidak boleh hidup pasr
Mata Ella berkedip, secercah cahaya putih terasa menyilaukan membuatnya kesulitan membuka mata. Bunyi elektrokardigraf mengalun lembut di telinganya diikuti oleh aroma antiseptik yang menyengat hidungnya. Kepalanya terasa berat. Ia memperhatikan sektitarnya, menyadari bahwa dirinya tidak berada di penthouse, tapi di ranjang rumah sakit. Selang infus menusuk di lengannya yang pucat. “Bagaimana keadaanmu?” Suara bariton Lorenzo membuatnya menoleh dengan lemah. Pria itu duduk di kursi samping ranjangnya, tangannya menggengam erat tangan gadis itu. Matanya yang tajam itu sekilas terlihat melembut saat melihat kerentanan Ella. “Kau benar-benar membuatku ketakutan,” bisiknya dengan suara parau. Suaranya sedikit bergetar. Nada yang hampir tidak pernah Ella dengar dari pria yang tegas sepertinya. “Tidak sadarkan diri berjam-jam, kau membuatku tidak bisa bernapas dengan baik, Ella.” “Ocehamu tidak akan membuat keadaanku lebih baik, Lorenzo,” balas Ella dengan suara serak, nyar
Langkah kaki Lorenzo mengalun tegas keluar dari pintu lift, memasuki penthouse. Tangannya bergerak cepat melepas kancing jasnya kemudian meletakan jas tersebut di atas sofa ruang tamu. Matanya melirik Jessica yang sedang duduk di sana. Wajahnya kaku, tatapannya dingin saat menatap wanita itu yang mendekat padanya dengan senyum manisnya. “Ella di mana?” tanyanya datar sembari melepaskan dasinya. “Di kamarnya,” balas Jessica singkat, tangannya terulur hendak membantu Lorenzo melepaskan dasinya. “Tidak perlu,” sergah Lorenzo tegas sambil menepis tangan Jessica. Jessica mendengus pelan, sedikit tersinggung. Namun, ia masih memaksakan senyum manisnya. “Ngomong-ngomong tentang Ella, dia—” “Nanti saja bicaranya,” potong Lorenzo sembari melangkah meninggalkan Jesica. Wajah Jessica berubah kecewa dalam sekejap. Ia memperhatikan Lorenzo yang menaiki anak tangga dengan tangan terkepal. Pria itu menaiki tanga dengan langkah yang lebar-lebar, seolah terburu-buru. Tangannya sibuk m
Ella menggaruk pelipisnya, memutar bola mata jengah. “Apa yang dia inginkan dari kehidupan seseorang yang sebentar lagi akan mati?” batinnya membalas. Ia menarik napasnya lelah. Perubahan emosi yang drastis ini membuatnya pusing. Terlalu banyak hal menyebalkan dalam satu hari. Kesabaran Ella telah mencapai batasnya. Rahangnya mengetat. “Hubunganku dengan Lorenzo itu bukan urusanmu. Tutup mulutmu itu dan keluar dari kamarku,” perintah Ella ketus kemudian menutup pintu tepat di depan wajah Jessica. Ella bersandar pada pintu kayu itu, sembari menarik napas dalam-dalam. Ruangan terasa sunyi, tapi menenangkan. Namun, beratnya ucapan Jessica masih tertinggal di sini. Lorenzo bukan orang mudah jatuh cinta. Itu membuatnya menyadar bahwa selama ini Lorenzo juga tidak pernah mengatakan bahwa pria itu mencintainya. Dia hanya mengklaim bahwa Ella miliknya tanpa benar-benar memberitahu Ella mengenai perasannya. Ella mengacak-acak rambutnya yang sudah berantakan itu. Semua mengenai Loren
Rahang Lorenzo mengetat, matannya menggelap. Tangannya kini mencengkram paha Ella seolah memberi Ella peringatan untuk tidak menguji batas kesabarannya. Ella meringis, kemudian menarik napas dalam, mengumpulkan ketenangannya. Ia meletakkan kedua tangannya mencengkram bahu Lorenzo, menegaskan bahwa ia punya hak untuk bicara. Sambil terus mempertahankan kontak mata dengan Lorenzo. “Kau pria dewasa yang sudah tidak perlu lagi diajarkan tentang batasan, tentang benar dan salah. Jika memang kau menghargaiku, jika memang hubungan ini berarti untukmu maka tunjukan, Lorenzo,” jelasnya tegas. “Teruskan jika kau merasa apa yang kau lakukan itu benar, aku tidak melarangmu. Namun, jangan harap standar yang berbeda untukku. Aku akan melakukan apa yang kau lakukan kepadaku.” Ekpresi keras di wajah Lorenzo berubah. Cengkraman di paha Ella melemah. Mata Lorenzo yang tajam menyipit, sekilas terlihat terkejut. Ella seolah membalikkan situasi, memojokkan Lorenzo. Dominasi Lorenzo mengabur di hadapa
Austin, Texas, Amerika Serikat Mobil SUV hitam itu membelah keramaian kota menuju penthouse Lorenzo setelah mendarat di Texas. Langit sudah gelap saat mereka tiba. Di dalam, Ella duduk membisu, tangannya digenggam erat Lorenzo seolah jika genggaman itu terlepas, Ella akan hilang dalam sekejap. Suara bariton Lorenzo memenuhi ruang mobil. Sibuk berbicara melalui sambungan telepon dengan bahasa Italia yang tidak Ella mengerti. Selama perjalanan, mata gadis itu menatap keluar jendela. Tempat ini, menyimpan banyak kenangan masa lalu mereka. Tempat yang mempertemukannya dengan Lorenzo. Mobil memasuki parkiran basemant VIP. Perjalanan dilanjutkan dengan lift pribadi yang hanya bisa diakses dengan kartu dan sidik jari Lorenzo. Lift meluncur naik ke lantai paling atas. Tangan Lorenzo merengkuh pingang Ella posesif. Merapatkan tubuhnya pada Ella hingga dadanya menpempel pada punggung gadis itu. Panas tubuh Lorenzo membakar punggungnya. “Kau cukup pendiam malam ini,” celetukny