Ella segera berdiri dengan terburu-buru sambil menutupi bibirnya. Wajahnya merah padam seperti tomat matang, rona merah menjalar dari pipi hingga ke ujung telinga. Dan jantungnya, sudah seperti akan melompat keluar dari dadanya. Ia malu pada kejadian tidak pantas yang tidak sengaja itu. Pria itu pun ikut berdiri kemudian merapikan pakaiannya dengan gerakan yang tenang dan terkontrol, kontras dengan kegugupan yang ditunjukkan Ella. Matanya tidak pernah lepas dari wajah Ella, senyum tipis terbit di wajah tegas pria itu. Ada gairah yang terpendam, ada kerinduan yang sudah lama ia simpan, dan ada kepuasan aneh karena akhirnya bisa merasakan sentuhan yang telah lama ia dambakan. "Maaf, aku minta maaf, itu tidak sengaja," kata Ella dengan sangat cepat, suaranya bergetar malu. "Bahkan jika itu sengaja aku tidak keberatan," balas Lorenzo sembari mengusap bibirnya dengan gerasakan sesual yang sempat ditangka mata Ella. Lorenzo masih merasakan kehangatan bibir Ella di bibirnya, bahkan lip
Ella menatap layar ponselnya dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, restoran yang sebelumnya dipenuhi hiruk-pikuk percakapan dan dentingan peralatan makan kini mulai sepi. Ia memperhatikan sekitarnya yang kini hanya ada dirinya dan pelayan yang sedang membereskan meja demi meja. Lima jam Daren menghilang entah ke mana meninggalkannya sendirian di restoran mewah yang baru pertama kali ia datangi, bahkan namanya saja tidak bisa ia ucapkan dengan benar. Lima jam ia menunggu sendia di sini tanpa kabar dari Daren. Jari-jarinya gemetar saat mengetik pesan yang kesekian kalinya, berharap kali ini Daren akan membalas. Ia telah berulang kali menghubungi pria itu—telepon, pesan singkat, bahkan pesan suara—namun sampai sekarang ia tidak mendapatkan respons apa pun. Ella benar-benar frustasi dibuatnya. Ella menghela napas panjang, merasakan kegelisahan di dadanya semakin menumpuk. Keputusasaan mulai merambat dalam dadanya, menyebar hingga ke ujung j
Ella menatap layar ponselnya dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, restoran yang sebelumnya dipenuhi hiruk-pikuk percakapan dan dentingan peralatan makan kini mulai sepi. Ia memperhatikan sekitarnya yang kini hanya ada dirinya dan pelayan yang sedang membereskan meja demi meja. Lima jam Daren menghilang entah ke mana meninggalkannya sendirian di restoran mewah yang baru pertama kali ia datangi, bahkan namanya saja tidak bisa ia ucapkan dengan benar. Lima jam ia menunggu sendia di sini tanpa kabar dari Daren. Jari-jarinya gemetar saat mengetik pesan yang kesekian kalinya, berharap kali ini Daren akan membalas. Ia telah berulang kali menghubungi pria itu—telepon, pesan singkat, bahkan pesan suara—namun sampai sekarang ia tidak mendapatkan respons apa pun. Ella benar-benar frustasi dibuatnya. Ella menghela napas panjang, merasakan kegelisahan di dadanya semakin menumpuk. Keputusasaan mulai merambat dalam dadanya, menyebar hingga ke ujung j
Dering ponsel yang nyaring memecah keheningan pagi, menarik Ella dari lautan mimpi yang menenggelamkannya. Tubuhnya bergerak refleks, tangan kirinya meraba-raba permukaan nakas mencari sumber suara yang mengganggu kedamaiannya, dengan mata yan masih terpejam melawan cahaya yang mulai menyusup melalui celah tirai. Jari-jarinya akhirnya menemukan ponselnya yang bergetar. Dengan mata yang menyipit, ia menatap layar yang menyilaukan. Nama "Daren" tertera di layar dalam huruf-huruf yang tampak kabur. Ia mengangkat panggilan itu bahkan taa repot-repot duduk, membiarkan tubuhnya tetap tertelentang di atas kasur. "Hm, ada apa kau meneleponku sepagi ini? Merindukanku?" godanya dengan suara serak khas bangun tidur. Bahkan di saat otaknya belum sepenuhnya bekerja, ia masih bisa menggoda dengan baik. Tawa kecil Daren mengalir dari seberang telepon—suara yang selalu berhasil membuat ujung bibir Ella terangkat tanpa sadar, membentuk senyum tipis. Ada sesuatu yang menghangatkan dadanya dalam
Lorenzo tersenyum geli, tapi tatannya mengandung kenangan dan kerinduan mendalam. Inilah yang selalu ia kagumi dari Ella, kata-kata tajamnya, sikap menantangnya yang tidak pernah surut meski dalam keadaan apa pun. Bahkan setelah kehilangan ingatannya, jati diri Ella yang sesungguhnya tetap mengalir dalam darahnya. Lorenzo tersenyum lebih lebar. "Kau tidak tahu betapa menariknya sisi dirimu yang seperti ini," bisik Lorenzo, setiap kata yang keluar dari bibirnya terdengar seperti rayuan yang mendebarkan hati. "Bahkan tatapan membunuhmu pun terlihat begitu menawan." "Aku serius!" Ella mengacungkan pisaunya dengan tangan yang sedikit bergetar. Tingkah Lorenzo yang tidak menunjukkan sedikit pun rasa takut terhadap ancamannya justru membuatnya frustasi. Lorenzo tersenyum menantang, ada kilat kenakalan dan kepercayaan diri yang memabukkan di matanya yang gelap. "Jika kau benar-benar ingin membunuhku, setidaknya biarkan aku mencicipi bibir manismu dulu sebelum aku mati. Bukank
Gemuruh mesin mobil sport memecah keheningan sore. Mobil itu terparkir di pelataran rumah Ella. Dari balik tirai jendela kamar lantai dua, Ella mengintip dengan napas yang tertahan. Jantungnya berdebar ketika melihat sosok familiar keluar dari mobil mewah itu—Lorenzo. Pria yang mobilnya ia tabrak tadi pagi kini kembali, berdiri dengan postur yang tenang, menawan namun mengintimidasi. Kemeja hitam yang dipakainya dibiarkan terbuka di kerah. Rambut hitam legamnya ditata rapi ke belakang dengan sempurna, menonjolkan struktur wajah yang keras. Setiap gerakan tubuhnya memancarkan aura maskulin yang mendebarkan. Ella menghela napas panjang, kening berkerut dalam. Setiap kali memandang Lorenzo, ia merasa gugup dan gelisah. Dan anehnya, ada sesuatu yang hangat di dadanya ketika melihat pria itu, perasaan ini membingungkan Ella. Ia yakin Lorenzo datang untuk menagih tanggung jawab atas kerusakan mobilnya, tetapi mengapa perasaannya berkata lain? Dengan langkah berat, Ella turun untuk