Perjalanan menuju tempat yang tidak diketahui Ella ini berlangsung dalam keheningan yang mencekam. Ella duduk dengan tubuh kaku di kursi penumpang sambil menatap kosong ke luar jendela. Pemandangan keramaian pusang kota perlahan berganti menjadi area pinggiran kota yang lebih sepi.Lorenzo mengendarai mobilnya ketenangan yang membuat Ella ingin melompat keluar mobil saking ia tidak taha dengan keheniangan ini. Eajahnya tampak dingin, tidak terbaca. Rahangnya yang tegas, matanya menatap lurus ke jalan. Seperti pria iatu masih kesal dengan kejadian semalam.Ella merasakan gatal yang tak tertahankan di ujung lidahnya, ingin bertanya ingin bertanya, ingin berceloteh, ingin mengatakan apa saja yang membuat kesunyian mencengkram ini hilang. Namun, ia tahu Lorenzo tidak akan menjawab dan memerintahkannya untuk tutup mulut.Mobil akhirnya berhenti di depan sebuah bangunan yang tampak seperti gudang besar, mata Ella menyipit membaca papan kayu yang terpasang di atas pintu masuk.“Thunder Rang
Brak!Lorenzo menendang pintu kamar Ella hingga menimbulkan bunyi dentuman yang cukup keras dan bergema di seantero penthouse. Wajahnya terlihat kaku, helaan napasnya berat saat ia mencoba menenangkan sebelum benar-benar lepas kendali.Meskipun seluruh tubuhnya tegang dan rasa jengkelnay sudah mencapai batasnya, tapi gerakan Lorenzo tetap berhati-hati saat ia meletakkan tubuh Ella yang setengah sadar ke atas ranjang. Kemudian melepaskan heels Ella, saat ia hendak beranjak keluar kamar, tiba-tiba Ella meraih pergelangan tangannya.Gadis itu terduduk, pipinya kemerahan karena mabuk, matanya yang setengah tebuka menatap Lorenzo dengan tatapan yang lembut. Ia meraih tangan pria itu dan menggenggamnya.“Lorenzo, kau mau ke mana?” lirihnya dengan suara yang lembut.Lorenzo menghela napas dalam, kemudian menarik kasar tangannya dari Ella. “Istirahatlah,” katanya singkat, nadanya dingin.Namun sebelum kakinya melangkah, tangan Ella yang mencengkeram kerah kemejanya dengan kekuatan yang mengej
Alonzo mengerutkan kening, kebingungan terlintas di wajahnya. Ia terkejut pada cara Ella yang bicara tidak sopan padanya, tapi ia lebih terkejut pada apa yang dikatakan Ella. “Bebas? James bebas?” pekik Alonzo. Ella berdecih, melipat kedua tangannya di depan dada. Dagunya terangkat angkuh. “Jangan pura-pura tidak tahu,” sambarnya. “Kau dan Lorenzo yang membebaskannya” Alonzo beralih menatap putranya, alisnya terangkat ketika melihat Lorenzo menggeleng lagi. “Sepertinya ada kesalahpahaman di sini,” katanya yang membuat Lorenzo mendengus karena Alonzo tidak mengerti kode yang ia berikan. Lorenzo berdehem, kemudian menarik Ella menghadapnya dan mendekat pada telinga gadis itu. “Ayahku akhir-akhir ini menunjukkan gejala demensia dini. Jadi, percuma saja kau membahas ini,” bisiknya berbohong. Alonzo menyipit menatap Lorenzo tajam, ia memiliki firasat burut mengenai apa yang dibisikkan Lorenzo kepada Ella karena setelahnya ia melihat gadis itu memandang keduanya bergantian
Aroma manis yang bercampur aroma bunga segar menguar dari parfum menguar di dalam kamar Ella ketika Lorenzo memasuki kamar gadis itu. Ia memperhatikan penampilan Ella yang sedang berdiri di depan cermin, memunggunginya. Wajahnya sudah dipoles dengan make up, rambut cokelatnya yang lurus dibuat bergelombang. Tubuh rampingnya dibalut dengan gaun merah ketat yang mengeskpos bahunya dan memiliki belahan setinggi paha yang mengekspos kaki jenjangnya. Rahang Lorenzo mengetat, sisi posesifnya muncul. Ia melangkah mendekati gadis itu, tapi mata mengarah pada Jessica. “Apaan ini, Jessica? Sudah kubilang, aku tidak ingin Ella memakai gaun yang terbuka.” Jessica mengedikkan bahunya, ia tersenyum tipis. “Lorenzo, tapi gaun ini sangat sempurna di tubuh Ella, aku bahkan iri denganya,” aku Jessica disertai senyum puas. Lorenzo mendengus, ia beralih menatap tajam Ella melalui pantulan cermin. “Ganti pakaianmu sekarang,” titah Lorenzo pada Ella. Ella membalikkan tubuhnya dengan anggun.
Sinar matahari pagi yang menerobos masuk kamar Ella melalui tirai tipis itu dengan lembut menyapu wajahnya. Mata sembab dan bengkak gadis itu perlahan terbuka. Ia bergerak perlahan mengubah posisinya menjadi duduk. Tubuhnya terasa sangat lelah dan kaku. Ia mengusap wajahnya kemudian melangkah memasuki kamar mandi dengan langkah gontai, berdiri di depan wastafel. Cermin oval di hadapannya memantulkan sosoknya yang pucat dan lesu. Pandangannya tertuju pada pelipis kanannya, tepat pada luka yang ditutup dengan kassa dan plester. Tangannya tegerak membuka penutup luka itu. Hingga terlihat jelas sebuah luka gores yang panjang dengan warna kemerahan dan sedikit bengkak. Ingatan tentang kejadian kemarin menyeruak di ingatanya—kecelakan di mal, mimpi buruknya, pelukan Lorenzo semalam. Dadanya tiba-tiba terasa seperti ditekan oleh benda berat membuat merasa sesak. Tangannya mencengkram kuat pinggiran wastafel. Jantungnya berdetak dengan kencang hingga ia bisa mendengar suara jant
Ella.” Lorenzo beranjak menyusulnya, mencoba meraih tangan Ella untuk menghentikannya. Namun, Ella menepisnya kasar seolah sentuhan Lorenzo menyakiti kulitnya. “James sudah keluar dari penjara, dia pasti mencariku dan ibuku sekarang. Dia pasti akan datang untuk menyakitiku dan ibuku seperti dulu,” gumam Ella dengan suara serak yang bergetar hebat. Setiap kata keluar disertai isakan dan napas yang terputus-putus. Air mata mengalir deras di pipinya. Ia dengan asal-asalan memasukkan semua pakaian di lemari ke dalam koper, merampas apa pun yang ada di sana. “Ella, hentikan. Coba lihat aku, coba dengarkan aku dulu, Sayang,” bujuk Lorenzo dengan suara rendah penuh permohonan putusa asa. “Tidak, Lorenzo, aku tidak punya waktu. James sebentar lagi akan datang, ibu dalam bahaya, dia sendirian Lorenzo, aku harus melindunginya,” racau Ella dengan satu tarikan napas. Air mata Ella berjatuhan membasahi pakaian di dalam kopernya. “Mimpi itu adalah pertanda bahwa kejadian di masa lalu akan ter