Sejak hari itu, Ella mengabaikan kehadiran pria itu, menganggapnya seolah tidak ada, tidak bicara satu kata pun, tidak meliriknya sedikit pun. Seperti pagi ini, Ella membesarkan volume suara televisi ketika Lorenzo memasuki ruangannya. Ia tahu maksud kedatangan pria itu. Lorenzo menentang sebuah paper bag. Ada aroma mas khas yang sangat familier di hidung Ella, aroma kua cokelat yang Ella duga merupakan isi dari paper bag yang dibawa Lorenzo. Pria itu mendekat, menggeser kursi ke sisi ranjangnya. Tatapan Ella terpaku pada televisi. Wajahnya santai, seolah menikmati siaran televisi. Padahal pikirannya sedang waspada terhadap keberadaan Lorenzo. Tindakan pria ini yang terkadang tidak pernah bisa ditebak membuat Ella selalu memasang pertahanannya. “Ella,” panggilnya, suaranya jauh lebih lembut dari kemarin. Tidak lagi tegas seperti biasanya. “Bagaimana keadaanmu?” tanyanya. Tentu saja Ella tidak menjawab. Lorenzo menatap gadis itu yang bersikap seolah tidak mendengarnya. Ia meleta
Langit mulai meredup saat Lorenzo kembali ke rumah sakit, tepatnya kini ia berada di taman rumah sakit. Tempat yang cukup segar dan cukup sepi untuk membicarakan hal pribadi. Thomas duduk sendirian di kursi kayu, di bawah pohok oak. Membungkuk dan menunduk menatap bir kaleng di tangannya. Ia melirik Lorenzo yang baru saja duduk di sebelahnya dengan santai. Seketika tubuh Thomas terasa menegang dan kewaspadaan dirinya langsung aktif karena aura menyeramkan yang dibawa Lorenzo.bPria itu sudah berganti pakaian dengan kemeja hitam yang dibalut jaket kulit. Bersih, tidak ada lagi noda darah yang terlihat. Namun, rambutnya berantakan menunjukkan dirinya masih terlihat kacau. Wajahnya masih menunjukkan ketegasan, seolah ia tidak punya emosi lain. Tanpa kata, Lorenzo langsung menyodorkan beberapa lembar foto kepada Thomas dari dalam saku jaketnya. Mata Thomas mendelik, melihat foto Victor Harper dalam keadaan mengenaskan. “Mengenalnya?” tanya Lorenzo basa-basi. Wajah Thomas se
Di ruang remang-remang dalam bangunan kotruksi tua di pinggiran kota yang sudah tidak beroperasi lagi, kini dikuasi oleh Lorenzo dan bawahannya. Suasana terlihat sangat mencekam karena dikelilingi oleh pria berbadan besar dengan wajah yang dingin. Lorenzo berdiri di tengah ruangan, menatap seorang pria dengan wajah lebam tergantung di depannya. Kedua tangannya terangkat diikat kuat. Kakinya yang terikat bahkan tidak menyentuh lantai, membuat posisinya sedikit lebih tinggi dari Lorenzo. Mata pria itu ditutup kain hitam, mulutnya disumpal kain tebal, meredam teriakan dari perlawanannya. Lorenzo menadahkan tangannya pada Alessio, pria itu meletakkan sebuah belati di telapak tangan Lorenzo. “Aku tidak tahu apa masalahmu dengan Thomas,” kata Lorenzo dengan yang sangat rendah, tapi tajam. Jemarinya memainkan gagang belati dengan gerakan memutar yang santai. sedangkan tangannya yang lain terselip di saku celananya. “Namun, menargetkan putrinya adalah kesalahan besar,” desisnya pen
Fajar hampir muncul di cakrawala,tapi Ella masih belum sadarkan diri. Lorenzo menunggu, duduk di kursi keras lorong rumah sakit. Tubuhnya masih penuh ketegangan, terjaga semalaman penuh. Tidak berpindah posisinya sejak berjam-jam yag lalu. Menggeggam erat-erat ponselnya. Belum juga ada kabar dari Alfonso mengenai pelaku penikaman itu. Ia menyisir rambutnya yang sudah berantakan Suara langkah memecah keheningan lorong rumah sakit. Lorenzo mengangkat wajahnya dan mendapati Thomas dan Keran berjalan cepat menuju tempatnya duduk. Mata Thomas berkilat penuh amarah. Hal yang sudah Lorenzo duga, tatapan pria baya itu tidak pernuh melembut padanya. “Kau! Lihat apa yang kau lakukan! Ini semua salahmu! Kau membuatnya dalam bahaya!” sembur Thomas dengan suara meninggi. Thomas mencengkeram kerah kemeja Lorenzo hingga pria itu berdiri dari duduknya. Lorenzo bergeming, membeiarkan amarah Thomas meluapkan emosnya. Sebab jauh di lubuk hatinya, ada persan bersalah juga yang membuatnya ti
“PANGGIL AMBULANCE!” Pengunjung yang berlalu lalng berteriak panik ketika melihat Ella terbaring di atas tanah. Rasa sakitnya mulai samar-samar di ambang kesadarannya yang mulai menipis. Suara-suara di sekitarnya mulai terdengar samar-samar. Matanya setengah terbuka, wajahnya pucat pasi. Teriakan-teriakan itu mengusik fokus Lorenzo. Ia langsung menoleh penasaran ke asal suara. Ia mendapati beberapa orang sedang berkerumun tidak jauh dari tapatnya berdiri. Saat itu ia baru menyadari ketidakhadiran Ella di sisinya. Keningnya, bekerut fokusnya buyar. Suara di seberang telepon terabaikan. Langkahnya terayun mendekati kerumunan itu. Matanya melebar, tangannya yang memegang ponsel terjatuh di sisinya. Napasnya terhenti seketika melihat Ella tergeletak tak berdaya di atas aspal. darah menggenang di sisi tubuhnya. “ELLA!” teriak Lorenzo panik. Ia sontak berlutut di sebelah gadis itu. Melepas jasnya untuk menghentikan pendarahan Ella. tangannya gemetar hebat saat menekan luka itu. “Lo
Ketidakhadiran Lorenzo pada makan malam keluarga Ella justru menjadi anugrah terindah untuk mereka. Pria itu menghilang tanpa pesan sejak siang setelah dering telepon yang tidak bekesudahan menyerbu ponselnya. Makan malam ini terasa seperi wujud dari impian Ella. Aroma masakan ibunya mengisi ruangan, candaan-candaan Thomas—yang meskipun kuno berhasil menciptakan tawa memenuhi ruang makan, terasa hangat, penuh kasih sayang. Sejenak mereka lupa tentang ketegangan pagi tadi, lupa tentang Lorenzo. Malam ini hanya ada mereka, keluaraga bahagia yang kembali bercengkerama tanpa khawatir hari esok. Ella makan dengan lahap, sangat menikmati masakan Karen yang terasa seperti hal langka untuknya. Ia megbadikan setiap momen di sini. Karen yang menceritakan gosip tentang tetangga mereka saat ia membantu Karen masak. Kejahilan Thomas padanya yang membuatnya merajuk, tapi kemudian kembali tersenyum ketika mendengar cadaan Thomas. “Siapa yang menyisakan makanannya bersisa harus cuci piri