Home / Romansa / Terjebak Obsesi Sang CEO / 7. Permohonan di Tengah Hujan

Share

7. Permohonan di Tengah Hujan

Author: feynaa
last update Last Updated: 2025-04-23 09:21:32
Bruk!

Aw!” Ella mengerang kesakitan saat tubuhnya terhempas ke tanah yang becek dan licin, basah oleh guyuran hujan yang tak kunjung reda.

Ia menatap kain lusuh yang masih digenggam erat di tangannya—sehelai kain yang tadinya ia ikat di pagar balkon sebagai alat bantu untuk turun dari lantai dua. Ikatan yang ia buat ternyata tidak cukup kuat untuk menahan berat tubuhnya.

Berakhir jatuh dengan cukup keras.

Hujan deras menerpa wajahnya, mengaburkan pandangan, sesekali petir menggelegar. Rasa dingin menusuk hingga ke tulang-tulangnya, membuatnya menggigil. Ia berdiri, menahan rasa ngilu pada anklenya, sesekali merintih.

Memaksakan kakinya melangkah meski terpincang-pincang. Ia menyusuri semak-semak belukar. Mencoba mencari kalung yang dilempar Lorenzo. Ia harus menemukan kalung itu.

Tidak peduli tangannya yang terluka tergores ranting-ranting semak belukar. Gadis itu terus menyusuri taman. Matanya menyapu setiap sudut taman yang gelap.

Kepalanya tiba-tiba terasa pusing, membua
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Related chapters

  • Terjebak Obsesi Sang CEO   8. Genjatan Senjata

    Ella tidak menyangka ia masih memilki setitik rasa untuk Lorenzo. Permohonan pria itu ternyata mampu meluluhkannya. Menjadi sebuah genjatan senjatanya yang menghentikan perang mereka sementara. Namun, ada rasa kepuasan dalam diri Ella hanya karena Lorenzo menjilat ludahnya sendiri dengan berlutut di hadapannya. Ella tidak menyadari bahwa ia semakin terikat dengan Lorenzo, tidak menyadari bahwa perubahan situasi ini ada pada kendali Lorenzo. “Hatchu!” Lorenzo menghentikan gerakan tangannya yang sedang mengeringkan rambut Ella dengan hair dryer. Mereka duduk di sofa dengan Ella memunggunginya. Pria itu menarik pundak Ella agar berbalik padanya ketika lagi-lagi mendengar Ella bersin. Ia menempelkan punggung tangannya di kening Ella. Suhu tubuh gadis itu terasa meningkat “Lihat apa yang kau dapat dari ulahmu, kau demam sekarang,” kata Lorenzo. Ella menepis tangan Lorenzo dia keningnya. Meskipun dirinya sudah tidak memberontak dan lebih tenang, gadis itu masih enggak berin

    Last Updated : 2025-04-24
  • Terjebak Obsesi Sang CEO   9. Ancaman Kematian

    “Ella, kau masih di sana, Nak?” Suara Thomas masih terdengar karena telepon masih tersambung. Ella melirik ponsel dalam genggaman Lorenzo, lalu berdehem. Mencoba membuat suara sebagai kode yang bisa didengar Thomas. Sekaligus menjadi upayanya untuk mengaburkan rasa gugup karena ketidaksiapan menghadapi Lorenzo. Tatapan pria itu sangat tidak bersahabat dan entah mengapa membuatnya merinding. Segera Ella membuang wajahnya, menghindari kontak mata dengan Lorenzo. Sepasang mata hitam yang tajam itu seolah mampu menembus pertahanan terdalamnya. Mata Lorenzo beralih pada benda tipis dalam gengaman tangan kekarnya. Tanpa kata ia beranjak keluar ruangan lalu menutup pintu sembari mendekatkan ponsel ke telinganya dan bersandar di dinding. “Ella butuh istirahat,” ucapnya dingin sembari memasukkan satu tangan ke sakunya. “Kau... Lorenzo?” Thomas bertanya dengan nada curiga dan menyelidik. “Kau tidak perlu tahu siapa aku.” Lorenzo menjawab dengan sikap acuh tak acuh, suaranya datar. M

    Last Updated : 2025-04-25
  • Terjebak Obsesi Sang CEO   10. Kesepakatan Mendesak

    Bohong jika Ella tidak merasa cemas dengan ancaman Lorenzo. Gadis itu meringkuk di atas kasur, menggigiti kukunya. Pria itu tidak pernah main-main dengan perkataannya. Apa yang dilakukan pada Daren sudah membuktikan semuanya dan ia tidak mau melakukan kesalahan yang sama—mengabaikan perkataan Lorenzo. Ancaman yang dilontarkannya bukan hanya isapan jempol belaka. Lorenzo merupakan tipe orang yang selalu bisa dipegang kata-katanya. Rasa frustasi semakin memuncak. Rambutnya yang acak-acakan ia cengkram. Kepalanya berdenyut nyeri sekali memikirkan jalan keluar dari lingkaran setan ini. Ella sadar, dengan melarikan diri terus menerus bukanlah solusi dari masalah ini. Ia harus mencari cara lain. Suara derit pintu memecah keheningan, membuat tubuhnya tegang. Refleks, Ella membalikkan badan membelakangi pintu dan memejamkan mata erat-erat. Terdengar suara derap langkah mantap yang semakin mendekat, diikuti gerakan kasur yang memberitahu bahwa seoseorang telah duduk di sisi ka

    Last Updated : 2025-04-26
  • Terjebak Obsesi Sang CEO   11. Negosiasi Menyelamatkan Diri

    Menit-menit berlalu terasa sangat menegangkan untuk Ella. Keringat dingin membasahi telapak tangannya sejak ia mengatakan ingin membuat kesepakatan dan balasan Lorenzo hanya merintahkannya menunggu. Sedangkan pria itu sekarang mengurus orang-orang suruhan Thomas yang datang menjemputnya. Dengan gelisah, gadis itu berjalan mondar-mandir bak setrikaan. Otaknya terus berputar memikirkan segala kemungkinan kesepakatan yang bisa menguntungkannya sekaligus melindungi orang-orang terdekatnya. Dengan tangan gemetar, ia beranjak mengambil air minum untuk menenangkan diri. Namun gelas itu tergelincir dari genggamannya yang basah oleh keringat. Tiba-tiba Sebuah tangan besar dengan sigap menangkap gelas tersebut sebelum pecah membentur lantai. Ella tersentak dan menoleh, mendapati sosok besar Lorenzo menjulang di hadapannya. Bahkan derap langkah pria ini tak terdengar olehnya, mungkin karena pikirannya yang terlalu ramai. Tanpa kata, pria itu menuangkan air ke gelas lalu menyodorkannya

    Last Updated : 2025-04-27
  • Terjebak Obsesi Sang CEO   12. Ciuman Kesepakatan

    “Kau bisa mengawasiku,” jawab Ella tenang.“Hanya saja, pastikan kau mengawasiku dalam jarak yang wajar. Tidak terlalu dekat dan membuatku risih. Kau juga boleh ikut bersamaku jika aku keluar rumah, kau juga bisa datang ke rumahku kapan pun.”Lorenzo terdiam sejenak, sedikit merenung. Ia mengamati setiap detail ekspresi Ella. Dengan gerakan yang lembut namun posesif, ia menarik tubuh Ella ke pangkuannya. Meski terkejut, Ella tidak menolak.Tangan Lorenzo bertumpu di pahanya yang tidak tertutup kain. Ella bisa merasakan kehangatan dari tangan Lorenzo yang membuatnya gelisah. Sedangkan tangannya yang lain melingkar di pinggang Ella.“Apa alasanmu membuat keputusan seperti ini?” Suara Lorenzo terdengar sangat curiga.“Jangan kau pikir aku akan langsung percaya. Aku mengenalmu dengan baik, hingga aku tahu bahwa ada rencana lain yang kau rencanakan dalam kepala cantikmu itu, kan?”Ella mengernyit, memberanikan diri menatap mata Lorenzo langsung. Sebenarnya ia sendiri tidak yakin dengan ap

    Last Updated : 2025-04-28
  • Terjebak Obsesi Sang CEO   13. Serangan Balik

    Sepanjang perjalanan, Lorenzo menggenggam tangan Ella dengan kelembutan yang mengherankan. Suhu tubuh Ella masih panas. Wajahnya nampak khawatir saat melirik wajah Ella di kursi sebelah. Ella memejamkan mata dan berpura-pura tertidur menghadap jendela. Kepala Ella berdenyut-denyut sangat menyiksa. Pikirannya masih berkecamuk memikirkan kejadian tidak senonoh beberapa waktu lalu. Rasa menyesal dan bersalah kepada Daren menghantui benaknya. Ia merutuki dirinya sendiri yang tidak bisa mengendalikan perasaannya. Mobil memasuki halaman sebuah villa mewah. Alis Lorenzo berkerut dalam melihat sejumlah penjaga berseragam hitam di sekitar pelataran. Mereka mendekat dengan postur siaga. Meski situasi tampak mencurigakan, Lorenzo tetap tenang. Setelah mematikan mesin. Tangannya bergerak mengusap kepala Ella, membangunkan gadis itu dari tidur pura-puranya. Ella membuka mata perlahan, terkejut melihat villa dikelilingi banyak orang. Remasan lembut Lorenzo di tangannya membuat Ella menole

    Last Updated : 2025-04-29
  • Terjebak Obsesi Sang CEO   14. Rahasia Ella

    “Kekerasan tidak akan membuatnya jera,” gumam Ella lemah. “Ayah tidak seharusnya melakukan itu.” Ia bersandar di kepala ranjang memperhatikan Karen yang sedang memeriksa termometer. Angka di layar kecil itu membuatnya meringis—suhu tubuh Ella tinggi. “Istirahat, Ella. Jangan pikirkan pria itu. Dia pantas dihukum oleh ayahmu,” sahutnya sembari menarik selimut hingga menutupi perut Ella. “Apa yang kau harapkan akan dilakukan Ayahmu setelah putrinya dibawa pergi oleh pria tanpa izin? Mengajak Lorenzo ngobrol santai di gazebo sambil main catur dan minum kopi, begitu?” sarkasnya jengkel. Ella terdiam, ia menunduk menelan kata-kata yang ingin keluar. Ia tahu ibunya sama murkanya dengan ayahnya. Pintu kamar tiba-tiba terbuka dengan derit keras. Thomas berdiri di ambang pintu, matanya—yang biasanya penuh otoritas—kini dipenuhi kecemasan. Langkahnya berat saat ia mendekat. Tanpa kata, ia menarik Ella ke dalam pelukannya, erat. “Ayah sangat cemas.” Suara Thomas serak, penuh emosi yang i

    Last Updated : 2025-04-30
  • Terjebak Obsesi Sang CEO   15. Jadi Miliknya Sampai Mati

    Cahaya matahari menyelinap halus ke dalam ruangan melalui jendela villa Lorenzo. Memantul di lantai marmer yang dingin dan mengkilap. Bau alkohol yang tajam memenuhi udara dalam ruangan yang remang-remang itu. Asap rokok masih mengepul dari sisa puntung di asbak. Lorenzo duduk di sofa kulit tua, sebatang rokok menyala di antara jari-jarinya. Di depannya, meja kaca dipenuhi botol-botol alkohol—ada gelas wiski yang tinggal separuh. Dering telepon memecah kehingan. Lorenzo mencondongkan tubuhnya ke arah meja untuk mengambil ponselnya. Tertera nama Alfonso di layar ponsel. “Kau sudah membaca hasil diagnosisnya?” tanya Lorenzo tanpa basa-basi. Suaranya serak saat berbicara. Ada ketegangan di dalamnya. Di ujung sana, suara Alfonso terdengar sangat hati-hati, seolah memilih kata-kata yang dapat diterima Lorenzo tanpa perdebatan. “Ya, aku pernah menangani penyakit seperti ini beberapa bulan lalu,” jawab Alfonso tenang. “Hipocampus Tumoris, penyakit yang diderita Ella merupakan tumor y

    Last Updated : 2025-05-01

Latest chapter

  • Terjebak Obsesi Sang CEO   17. Harapan Kehidupan

    “Satu, dua, tiga—kejut!” perintah dokter menggema, tegas dan penuh urgensi. Tubuh Daren tersentak keras saat arus listrik dari defibrilator mentenyuh kulit dadanya. Namun, garis lurus di layar elektrokardiograf tak bergerak. Tubuh Ella limbung hingga ia nyaris jatuh. Lorenzo merengkuhnya kuat, lengannya melingkar di pinggang gadis itu. “Tolong… selamatkan dia. Aku mohon, Tuhan, biarkan aku lihat dia selamat,” bisiknya, suaranya samar, tenggelam kebisingan keadaan yang mencekam. “Kejut lagi!” perintah dokter. Tubuh Daren tersentak sekali lagi. Air mata Pamela mengalir, matanya penuh ketakutan akan kehilangan anak sulungnya. Ia menahan napas, matanya terpaku pada layar. Ella di luar ruangan menangis histeris. Jantungnya berdegup kencang, seolah ingin menggantikan irama yang hilang dari Daren. Gadis itu menutup mulutnya, menahan jeritan. Tubuhnya yang gemetar dalam rengkuhan Lorenzo. “Tolong, Daren, tolong kembali,” racaunya di sela-sela tangisnya. “Kumohon, Daren,

  • Terjebak Obsesi Sang CEO   16. Garis Lurus Kematian

    Hingga siang hari ini tidak ada lagi satu pun panggilan telepon atau pesan dari Lorenzo sejak Ella mengungkap rahasianya—penyakit yang menggerogoti tubuhnya. Ini sangat melegakan, seperti ikatan tali Lorenzo padanya perlahan melonggar. Ia berharap kebenaran tentang penyakitnya akan memutus ikatan dengan Lorenzo. Ini adalah harapan terakhirnya, satu-satunya cara yang tersisa setelah ia kehabisan akal untuk kabur dari Lorenzo. Pandangannya beralih ke kotak cincin biru kecil di atas meja. Ia membukanya perlahan, dan menatap cincin perak sederhana di dalamnya. Logam itu sudah bersih dari noda kemerahan yang pernah menempel. Nama Daren terlintas di benaknya. Dadanya sesak, rasa bersalah menusuknya. Napasnya terasa berat mengingat ia tidak bisa berada di sisi Daren di saat-saat tersulitnya, dan itu menyiksanya lebih dari penyakit yang ia sembunyikan. Ella menarik napas dalam, memasukkan kotak cincin ke dalam tasnya, lalu bangkit. Langkahnya pelan ke lantai dasar, berpapasan dengan

  • Terjebak Obsesi Sang CEO   15. Jadi Miliknya Sampai Mati

    Cahaya matahari menyelinap halus ke dalam ruangan melalui jendela villa Lorenzo. Memantul di lantai marmer yang dingin dan mengkilap. Bau alkohol yang tajam memenuhi udara dalam ruangan yang remang-remang itu. Asap rokok masih mengepul dari sisa puntung di asbak. Lorenzo duduk di sofa kulit tua, sebatang rokok menyala di antara jari-jarinya. Di depannya, meja kaca dipenuhi botol-botol alkohol—ada gelas wiski yang tinggal separuh. Dering telepon memecah kehingan. Lorenzo mencondongkan tubuhnya ke arah meja untuk mengambil ponselnya. Tertera nama Alfonso di layar ponsel. “Kau sudah membaca hasil diagnosisnya?” tanya Lorenzo tanpa basa-basi. Suaranya serak saat berbicara. Ada ketegangan di dalamnya. Di ujung sana, suara Alfonso terdengar sangat hati-hati, seolah memilih kata-kata yang dapat diterima Lorenzo tanpa perdebatan. “Ya, aku pernah menangani penyakit seperti ini beberapa bulan lalu,” jawab Alfonso tenang. “Hipocampus Tumoris, penyakit yang diderita Ella merupakan tumor y

  • Terjebak Obsesi Sang CEO   14. Rahasia Ella

    “Kekerasan tidak akan membuatnya jera,” gumam Ella lemah. “Ayah tidak seharusnya melakukan itu.” Ia bersandar di kepala ranjang memperhatikan Karen yang sedang memeriksa termometer. Angka di layar kecil itu membuatnya meringis—suhu tubuh Ella tinggi. “Istirahat, Ella. Jangan pikirkan pria itu. Dia pantas dihukum oleh ayahmu,” sahutnya sembari menarik selimut hingga menutupi perut Ella. “Apa yang kau harapkan akan dilakukan Ayahmu setelah putrinya dibawa pergi oleh pria tanpa izin? Mengajak Lorenzo ngobrol santai di gazebo sambil main catur dan minum kopi, begitu?” sarkasnya jengkel. Ella terdiam, ia menunduk menelan kata-kata yang ingin keluar. Ia tahu ibunya sama murkanya dengan ayahnya. Pintu kamar tiba-tiba terbuka dengan derit keras. Thomas berdiri di ambang pintu, matanya—yang biasanya penuh otoritas—kini dipenuhi kecemasan. Langkahnya berat saat ia mendekat. Tanpa kata, ia menarik Ella ke dalam pelukannya, erat. “Ayah sangat cemas.” Suara Thomas serak, penuh emosi yang i

  • Terjebak Obsesi Sang CEO   13. Serangan Balik

    Sepanjang perjalanan, Lorenzo menggenggam tangan Ella dengan kelembutan yang mengherankan. Suhu tubuh Ella masih panas. Wajahnya nampak khawatir saat melirik wajah Ella di kursi sebelah. Ella memejamkan mata dan berpura-pura tertidur menghadap jendela. Kepala Ella berdenyut-denyut sangat menyiksa. Pikirannya masih berkecamuk memikirkan kejadian tidak senonoh beberapa waktu lalu. Rasa menyesal dan bersalah kepada Daren menghantui benaknya. Ia merutuki dirinya sendiri yang tidak bisa mengendalikan perasaannya. Mobil memasuki halaman sebuah villa mewah. Alis Lorenzo berkerut dalam melihat sejumlah penjaga berseragam hitam di sekitar pelataran. Mereka mendekat dengan postur siaga. Meski situasi tampak mencurigakan, Lorenzo tetap tenang. Setelah mematikan mesin. Tangannya bergerak mengusap kepala Ella, membangunkan gadis itu dari tidur pura-puranya. Ella membuka mata perlahan, terkejut melihat villa dikelilingi banyak orang. Remasan lembut Lorenzo di tangannya membuat Ella menole

  • Terjebak Obsesi Sang CEO   12. Ciuman Kesepakatan

    “Kau bisa mengawasiku,” jawab Ella tenang.“Hanya saja, pastikan kau mengawasiku dalam jarak yang wajar. Tidak terlalu dekat dan membuatku risih. Kau juga boleh ikut bersamaku jika aku keluar rumah, kau juga bisa datang ke rumahku kapan pun.”Lorenzo terdiam sejenak, sedikit merenung. Ia mengamati setiap detail ekspresi Ella. Dengan gerakan yang lembut namun posesif, ia menarik tubuh Ella ke pangkuannya. Meski terkejut, Ella tidak menolak.Tangan Lorenzo bertumpu di pahanya yang tidak tertutup kain. Ella bisa merasakan kehangatan dari tangan Lorenzo yang membuatnya gelisah. Sedangkan tangannya yang lain melingkar di pinggang Ella.“Apa alasanmu membuat keputusan seperti ini?” Suara Lorenzo terdengar sangat curiga.“Jangan kau pikir aku akan langsung percaya. Aku mengenalmu dengan baik, hingga aku tahu bahwa ada rencana lain yang kau rencanakan dalam kepala cantikmu itu, kan?”Ella mengernyit, memberanikan diri menatap mata Lorenzo langsung. Sebenarnya ia sendiri tidak yakin dengan ap

  • Terjebak Obsesi Sang CEO   11. Negosiasi Menyelamatkan Diri

    Menit-menit berlalu terasa sangat menegangkan untuk Ella. Keringat dingin membasahi telapak tangannya sejak ia mengatakan ingin membuat kesepakatan dan balasan Lorenzo hanya merintahkannya menunggu. Sedangkan pria itu sekarang mengurus orang-orang suruhan Thomas yang datang menjemputnya. Dengan gelisah, gadis itu berjalan mondar-mandir bak setrikaan. Otaknya terus berputar memikirkan segala kemungkinan kesepakatan yang bisa menguntungkannya sekaligus melindungi orang-orang terdekatnya. Dengan tangan gemetar, ia beranjak mengambil air minum untuk menenangkan diri. Namun gelas itu tergelincir dari genggamannya yang basah oleh keringat. Tiba-tiba Sebuah tangan besar dengan sigap menangkap gelas tersebut sebelum pecah membentur lantai. Ella tersentak dan menoleh, mendapati sosok besar Lorenzo menjulang di hadapannya. Bahkan derap langkah pria ini tak terdengar olehnya, mungkin karena pikirannya yang terlalu ramai. Tanpa kata, pria itu menuangkan air ke gelas lalu menyodorkannya

  • Terjebak Obsesi Sang CEO   10. Kesepakatan Mendesak

    Bohong jika Ella tidak merasa cemas dengan ancaman Lorenzo. Gadis itu meringkuk di atas kasur, menggigiti kukunya. Pria itu tidak pernah main-main dengan perkataannya. Apa yang dilakukan pada Daren sudah membuktikan semuanya dan ia tidak mau melakukan kesalahan yang sama—mengabaikan perkataan Lorenzo. Ancaman yang dilontarkannya bukan hanya isapan jempol belaka. Lorenzo merupakan tipe orang yang selalu bisa dipegang kata-katanya. Rasa frustasi semakin memuncak. Rambutnya yang acak-acakan ia cengkram. Kepalanya berdenyut nyeri sekali memikirkan jalan keluar dari lingkaran setan ini. Ella sadar, dengan melarikan diri terus menerus bukanlah solusi dari masalah ini. Ia harus mencari cara lain. Suara derit pintu memecah keheningan, membuat tubuhnya tegang. Refleks, Ella membalikkan badan membelakangi pintu dan memejamkan mata erat-erat. Terdengar suara derap langkah mantap yang semakin mendekat, diikuti gerakan kasur yang memberitahu bahwa seoseorang telah duduk di sisi ka

  • Terjebak Obsesi Sang CEO   9. Ancaman Kematian

    “Ella, kau masih di sana, Nak?” Suara Thomas masih terdengar karena telepon masih tersambung. Ella melirik ponsel dalam genggaman Lorenzo, lalu berdehem. Mencoba membuat suara sebagai kode yang bisa didengar Thomas. Sekaligus menjadi upayanya untuk mengaburkan rasa gugup karena ketidaksiapan menghadapi Lorenzo. Tatapan pria itu sangat tidak bersahabat dan entah mengapa membuatnya merinding. Segera Ella membuang wajahnya, menghindari kontak mata dengan Lorenzo. Sepasang mata hitam yang tajam itu seolah mampu menembus pertahanan terdalamnya. Mata Lorenzo beralih pada benda tipis dalam gengaman tangan kekarnya. Tanpa kata ia beranjak keluar ruangan lalu menutup pintu sembari mendekatkan ponsel ke telinganya dan bersandar di dinding. “Ella butuh istirahat,” ucapnya dingin sembari memasukkan satu tangan ke sakunya. “Kau... Lorenzo?” Thomas bertanya dengan nada curiga dan menyelidik. “Kau tidak perlu tahu siapa aku.” Lorenzo menjawab dengan sikap acuh tak acuh, suaranya datar. M

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status