Share

6. Anggota Keluarga

Author: nesitara
last update Last Updated: 2025-02-28 16:41:10

Aruna menatap bayangannya di cermin dengan perasaan campur aduk. Gaun malam berwarna merah berbahan satin mahal itu tampak begitu mewah di tubuhnya. Lekuk tubuh Aruna menonjol sempurna namun tidak berlebihan. Rambutnya ditata anggun, riasan di wajahnya mempertegas wajahnya tanpa berlebihan. Ia hampir tidak mengenali dirinya sendiri—seolah ini bukan Aruna yang biasanya.

Namun, di balik semua keindahan itu, ada kegelisahan yang menyusup dalam hati Aruna. Ia tidak terbiasa dengan pakaian mahal, tidak terbiasa dengan kehidupan seperti ini. Apakah ia benar-benar pantas berada di sisi Baskara dalam acara malam ini? Bagaimana caranya ia bersikap di hadapan para orang kaya di sana?

Kalimat tegas Baskara terngiang dalam kepala Aruna.

“Jangan buat aku malu.”

Aruna menarik napas dalam-dalam, mengenyahkan rasa gugup yang menyerang. Wajah dan tubuhnya mungkin siap untuk menghadiri acara penting malam ini, tapi tidak dengan hatinya. Ia hanya berharap semua berjalan dengan lancar dan ia tidak membuat hal-hal memalukan.

Tidak lama kemudian, suara langkah kaki terdengar di belakangnya. Aruna menegakkan punggungnya, napasnya tertahan saat melihat pantulan seorang pria dalam cermin. Baskara berdiri di ambang pintu, mengenakan setelan jas hitam yang sempurna membalut tubuh tegapnya. Mata tajamnya menyapu Aruna dengan ekspresi sulit ditebak.

Perias profesional yang masih sibuk membereskan alat-alatnya menoleh ke arah Baskara dan tersenyum bangga. “Pak Baskara, bagaimana? Istri Bapak sudah terlihat cantik, bukan?”

Aruna menunggu jawaban sang pria, jantungnya berdebar. Namun, yang didapatkan bukan pujian ataupun respons hangat yang ia harapkan.

Baskara hanya menatapnya sekilas, lalu mengalihkan pandangannya. Wajahnya dingin, rahangnya mengeras, seolah kehadiran Aruna dalam balutan gaun itu tidak berarti apa-apa baginya.

Aruna menelan ludah, kecewa merayapi dadanya.

“Kita berangkat sekarang,” ucap Baskara singkat, suaranya datar tanpa emosi.

Perias itu tampak sedikit canggung, sementara Aruna hanya bisa menggenggam jemarinya sendiri, mencoba meredam perasaan tidak nyaman yang mulai menyelimuti hatinya.

Kenapa Baskara tiba-tiba bersikap seperti ini? Berbeda sekali dengan sikapnya saat memaksa Aruna untuk menikah. Kini, Aruna seakan seperti barang usang yang tidak terpakai.

Tanpa banyak kata, pria itu melangkah keluar, meninggalkan Aruna yang masih berdiri mematung di depan cermin. Semua kepercayaan diri yang tadi sempat Aruna rasakan perlahan menguap, berganti dengan kegugupan yang semakin menyesakkan.

Setelah tim perias yang membantu Aruna pamit, gadis itu merasa dua kali lipat lebih hampa. Sejak tadi ia hanya mengobrol dengan orang-orang itu sementara Baskara sibuk dengan dunianya sendiri. Pria yang menjadi suaminya itu seakan tidak ingin melihat Aruna, bahkan menganggap sang gadis tidak ada.

Saat Aruna sedang berjalan ke ruang tamu, terdengar suara seruan.

“Baskara? Kamu ada di rumah?” seru suara wanita dewasa yang terdengar asing itu.

Aruna melangkah lebih cepat untuk melihat siapa sosok itu. Seorang wanita paruh baya masuk ke apartemen dengan langkah anggun, mengenakan gaun elegan dengan rambut yang tertata rapi sesuai usianya. Tatapannya tajam, penuh wibawa, namun ada kelembutan dalam sorot matanya saat melihat Aruna berdiri dengan gugup di lorong.

“Inikah wanita yang diceritakan ibumu?” tanya wanita itu pada Baskara yang sedang duduk di sofa.

Baskara hanya mengangguk sambil lalu. Ia memilih mengeluarkan ponsel dan kembali sibuk dengan urusannya.

Aruna menunduk sopan, tangannya menggenggam erat sisi gaunnya. Ia sudah menyiapkan mental jika harus menghadapi perlakuan dingin seperti yang ia terima dari Riadi dan Kumala. Namun yang terjadi justru di luar dugaan.

Wanita itu tersenyum, matanya mengamati Aruna dengan penuh perhatian. “Siapa namamu, Nak?” suaranya lembut namun penuh karakter kuat berwibawa.

Aruna mengangkat wajah, sedikit terkejut. “Eh… Aruna, Bu,” jawabnya hati-hati.

Wanita itu tergelak. “Astaga! Kamu belum tahu siapa aku ya? Aku nenek Baskara. Kamu boleh panggil aku Oma.”

Dilanda bingung, Aruna masih bergeming. Oma kemudian melangkah mendekat, lalu tanpa ragu meraih tangan Aruna. Ia meneliti wajah gadis itu, lalu mengangguk seakan puas. “Cantik sekali menantuku. Ternyata cucuku bisa juga pilih istri,” katanya, membuat Aruna hampir ternganga.

Baskara yang berdiri di dekat sofa hanya diam, ekspresinya sulit ditebak. Ia tidak ikut berkomentar, tidak juga menampakkan rasa bangga atau kekaguman seperti yang Aruna harapkan.

“Memang mengejutkan saat mendapati cucuku menikah tanpa pemberitahuan. Tapi aku  berharap pernikahan ini berjalan dengan baik, Aruna,” lanjut Oma, tatapannya penuh arti. “Kuharap cucuku memperlakukanmu dengan baik.”

Aruna mencuri pandang ke arah Baskara, tapi pria itu tetap tidak berkata apa-apa. Ia hanya menatapnya sekilas sebelum mengalihkan pandangan.

“Oma, kami harus segera berangkat,” akhirnya Baskara berbicara, suaranya datar. “Kalian bicara lagi saja nanti.”

Sang nenek mengangguk, lalu menepuk tangan Aruna dengan lembut. “Tidak usah khawatir, Aruna. Kamu adalah bagian dari keluarga sekarang. Beritahu Oma jika Baskara macam-macam padamu.”

Aruna tersenyum kecil. Ia melirik Baskara yang mendengus dengan peringatan neneknya. Namun meski begitu, sepertinya pria itu menghormati sang nenek karena sebelum pergi, Baskara mendekat menghampiri Oma untuk memeluk dan menciumnya.

“Jaga istrimu dengan baik.” Oma mewanti-wanti Baskara saat pria itu berpamitan.

Baskara mengangguk malas, membuat Aruna berharap pria itu sedikit menunjukkan usaha sebagai suami. Namun, Aruna memilih tidak memikirkan perubahan sikap Baskara, meskipun dalam hatinya masih ada keraguan. Paling tidak kini hatinya sedikit menghangat dengan kehadiran Oma. Sejauh ini, hanya wanita itu yang memperlakukan Aruna dengan baik.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terjebak Perangkap Sang CEO   71. Hubungan Sepupu

    Oma memanggil semua anggota keluarga untuk berkumpul di ruang tengah vila. Aruna buru-buru merapikan dirinya dan mengikuti Baskara yang sudah lebih dulu melangkah keluar kamar. Di ruang tengah, suasana terlihat cukup hangat. Semua anggota keluarga telah duduk, beberapa membawa cangkir teh, yang lain hanya berbicara pelan sambil menunggu."Besok kita akan mulai lebih sore. Sepertinya pemandangannya akan lebih bagus jika kita pergi sore hari saat matahari mulai tenggelam," ucap Oma sambil menatap anggota keluarganya satu per satu. "Kita akan berdoa bersama, lalu menaburkan bunga seperti biasa."Semua mengangguk, hingga Baskara tiba-tiba berujar dengan nada tidak sepenuhnya setuju, "Kenapa tiba-tiba mengubah jadwal? Biasanya kita melakukannya di pagi hari? Aku sengaja memundurkan pekerjaanku ke sore hari karena acara ini biasa berlangsung sejak pagi."Aruna yang duduk bersisian dengan Baskara, langsung menoleh, ekspresinya berubah. Namun gadis itu tidak mengatakan apa pun.Ternyata apa y

  • Terjebak Perangkap Sang CEO   70. Vila

    Langit Lombok sore berwarna biru dengan semburat jingga yang mulai menjalar perlahan menyambut kedatangan keluarga Adiwireja ke vila mereka, termasuk Aruna di dalamnya. Angin pantai membawa aroma laut yang asin dan segar, menyapu wajah Aruna saat ia berdiri di ambang pintu vila keluarga Baskara.Vila itu berdiri tenang di tepi pantai, menghadap langsung ke laut lepas. Bangunannya berarsitektur klasik tropis dengan jendela lebar berbingkai kayu, dan balkon luas yang menghadap ombak. Suasana di dalam vila hening, hanya suara debur ombak dan desir angin yang mendominasi.Baskara meletakkan koper di sudut kamar, lalu menghampiri Aruna yang masih berdiri terpaku memandangi pemandangan luar dari balik tirai tipis yang melambai.“Ada apa?” tanya Baskara lembut, memeluk tubuh istrinya dari belakang.Aruna hanya menggeleng pelan. “Tidak apa-apa. Aku cuma... ini terlalu indah. Juga sangat nyaman.”Baskara tersenyum, mengecup pelan pelipis Aruna. “Aku tidak pernah menyadari keindahan tempat ini

  • Terjebak Perangkap Sang CEO   69. Kebersamaan Hangat

    Menjelang malam, Aruna akhirnya kembali ke apartemen. Begitu pintu dibuka, aroma khas apartemen yang familiar menyambutnya. Di ruang tengah, Baskara sedang duduk di sofa dengan laptop terbuka di pangkuannya, tapi langsung menoleh saat mendengar pintu terbuka.“Aku pulang,” ucap Aruna pelan, senyumnya tipis.Baskara mengangkat wajah. Mata pria itu berbinar begitu melihat Aruna masuk. Ia kemudian bangkit dan mendekat, menyambut Aruna dengan pelukan singkat. “Kamu kelihatan capek.”“Sedikit.” Aruna mengangguk. “Tadi habis dari rumah sekalian antar Anin pulang.”Mereka berdua lalu duduk di sofa, keheningan sejenak mengisi ruang.“Kamu sudah makan malam?” tanya Aruna.Baskara mengangguk. “Ya, aku makan lebih dulu karena kamu sudah makan dengan Anin. Tidak apa-apa?”“Ya, tidak apa-apa, Mas. Aku malah akan khawatir kalau kamu belum makan. Nanti kalau kamu sakit aku juga yang repot merawatmu,” ujar Aruna dengan senyum geli.Alis Baskara naik. “Maksudnya kamu tidak ikhlas merawatku kalau aku s

  • Terjebak Perangkap Sang CEO   68. Pulang ke Rumah

    Aruna berdiri di depan rumah orang tuanya—rumah yang sudah lama sekali rasanya tidak ia kunjungi meski sebenarnya baru beberapa bulan saja. Banyaknya rentetan kejadian belakangan ini membuat kepergiannya dari rumah itu terasa sudah lama berlalu. Kini, Anindya yang tinggal di sana. Adiknya itu menolak untuk tinggal bersama Aruna dan memilih untuk tinggal sendirian di rumah orang tua mereka.Rumah itu menyimpan begitu banyak kenangan yang melekat dalam setiap dinding dan sudutnya. Udara senja terasa lebih berat ketika Aruna menatap pintu yang kini terbuka oleh Anindya.“Masuk aja, Kak. Mau istirahat dulu?” tanya Anindya sambil melepaskan sepatunya.Aruna mengangguk pelan dan mengikuti adiknya masuk. Saat melangkah melewati ruang tamu yang masih dipenuhi perabot lama, ada desir hangat sekaligus perih yang menghampiri dadanya. Ia merasa seperti kembali ke masa-masa kecil, masa saat semuanya masih utuh.Hidup keluarganya mungkin tidak bergelimang harta. Namun Aruna bisa ingat saat orang tu

  • Terjebak Perangkap Sang CEO   67. Obrolan Bersama Anindya

    Sambungan terputus begitu saja, menyisakan hening yang menekan telinga Aruna lebih keras dari suara apa pun. Ia masih mematung di kursinya, jari-jarinya menggenggam ponsel dengan kaku. Keringat dingin mulai membasahi tengkuknya, meski udara di restoran tidak panas.Tidak lama denting singkat terdengar. Satu notifikasi masuk.Aruna menunduk dengan detak jantung tidak karuan. Layar ponselnya kembali menyala. Kali ini bukan panggilan, melainkan sebuah pesan dari nomor tak dikenal.Tidak ada teks. Hanya satu file video.Dengan tangan gemetar, Aruna memutar video itu. Butuh waktu beberapa detik hingga gambar mulai bergerak. Seketika saja dunia Aruna seperti jungkir balik.Di layar, tampak seorang pria tua terbaring di atas ranjang besi, dalam sebuah ruangan yang tampak seperti fasilitas medis atau rumah sakit. Dindingnya kusam, pencahayaannya redup. Tidak ada tanda-tanda modernitas atau perawatan profesional. Hanya ranjang sederhana, alat infus menggantung yang tidak terpasang, dan tabung

  • Terjebak Perangkap Sang CEO   66. Belum Aman

    Aruna baru saja selesai menyiapkan sarapan saat Baskara keluar dari kamar mandi, masih mengenakan handuk dan wajah yang masih terlihat was-was.Pagi ini gerak-gerik Baskara lebih sigap dan waspada, Aruna bisa merasakannya. Sejak Aruna membuka mata, ke mana pun matanya tertuju, pasti ada Baskara di sana. Seakan suaminya itu tidak mau jauh-jauh dari Aruna, ingin memastikan bahwa dirinya bisa terlihat dan terlindungi dalam jangkauan Baskara."Aku bisa kerja dari rumah hari ini," ujar Baskara akhirnya setelah kembali muncul dengan pakaian kerjanya. Sambil berjalan ke arah Aruna dan bergabung di meja makan, ia berkata lagi, "Atau lebih baik aku tidak pergi ke kantor saja dan menemani kamu di sini?"Aruna menoleh, menatap mata suaminya yang menunjukkan kecemasan. Bibirnya tersenyum lembut. Ditambah hatinya terasa hangat karena sangat merasakan usaha Baskara yang masih berusaha menjaganya sejak ia memberitahu tentang teror itu.“Tidak usah, Mas,” ucap Aruna lembut sambil menyiapkan sarapan u

  • Terjebak Perangkap Sang CEO   65. Lebih Waspada

    Senja mulai merayap perlahan, menggantikan cahaya matahari yang tadi menghangatkan ruangan. Lampu-lampu apartemen menyala lembut saat pintu utama terbuka dan suara langkah kaki Baskara terdengar memasuki apartemen. Aruna, yang sedari tadi menunggu di ruang tamu dengan secangkir teh yang sudah dingin di tangan, segera berdiri dan menyambut sang suami seperti biasa.“Capek, ya?” tanya Aruna sambil mengambil jas yang dikenakan Baskara.Baskara tersenyum kecil, lalu mengecup kening istrinya. “Tidak juga. Aku hanya ingin cepat pulang dan bertemu kamu.”Aruna terkekeh pelan, meski nada tawanya terdengar hampa. Ia berusaha bersikap seperti biasa dengan menyiapkan minuman, bertanya soal pekerjaan, dan menemani Baskara makan malam. Tapi pikirannya tidak pernah benar-benar fokus. Matanya sering melirik ke arah pintu. Tangannya kadang gemetar ringan saat mengambil sendok atau gelas.Baskara menyadarinya, tapi belum berkomentar. Sampai akhirnya mereka duduk berdua di sofa setelah makan, dan pria

  • Terjebak Perangkap Sang CEO   64. Ketenangan Pagi

    Pagi itu, cahaya matahari yang hangat menyusup masuk lewat celah tirai kamar, menyorot lembut ke arah tempat tidur yang masih berantakan. Di sisi ranjang, Aruna duduk bersandar dengan selimut membungkus tubuhnya, rambutnya sedikit kusut namun wajahnya berseri. Di hadapannya, Baskara tengah mengenakan jasnya, bersiap untuk berangkat kerja.“Kenapa kamu tidak membangunkanku? Aku belum menyiapkan sarapan karena terlambat bangun,” gerutu Aruna, suaranya masih serak karena baru bangun.Tidurnya terlalu nyenyak hingga ia tidak menyadari hari sudah pagi. Ia bahkan tidak menyadari gerak-gerik Baskara yang pasti mengeluarkan suara-suara saat bersiap-siap. Apa yang terjadi semalam benar-benar membuat Aruna lelah dan hatinya penuh hingga tidur lelap.Baskara menoleh, lalu tersenyum kecil. Aruna perlahan mulai terbiasa dengan senyum sang pria yang hanya muncul untuk dirinya. Ia melangkah mendekat dan duduk di tepi ranjang, tangannya menyentuh pipi istrinya dengan lembut.“Kamu tidur nyenyak sekal

  • Terjebak Perangkap Sang CEO   63. Menyalurkan Perasaan

    Ciuman mereka tidak lagi sekadar sentuhan bibir. Ada hasrat yang tertahan terlalu lama, ada gairah yang meronta untuk dilepaskan. Baskara mendekap Aruna erat, seolah ingin menyatu, bukan hanya tubuhnya, tapi juga hati dan luka-luka yang selama ini mereka simpan dalam diam.Baskara menatap Aruna sejenak, seolah meminta izin, memastikan bahwa ini adalah keinginan mereka berdua. Saat Aruna mengangguk pelan, dengan mata yang berkaca, ia tahu tidak ada lagi yang perlu diragukan.Dengan satu gerakan lembut namun tegas, Baskara mengangkat Aruna ke dalam gendongannya dan membawanya ke kamar. Cahaya temaram lampu tidur menyinari kulit mereka, menciptakan bayang-bayang yang seolah ikut menyaksikan malam yang menjadi momen penting bagi dua insan itu.Begitu Aruna berada di atas ranjang, Baskara bergabung di sana. Tubuhnya bera

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status