Aruna menatap bayangannya di cermin dengan perasaan campur aduk. Gaun malam berwarna merah berbahan satin mahal itu tampak begitu mewah di tubuhnya. Lekuk tubuh Aruna menonjol sempurna namun tidak berlebihan. Rambutnya ditata anggun, riasan di wajahnya mempertegas wajahnya tanpa berlebihan. Ia hampir tidak mengenali dirinya sendiri—seolah ini bukan Aruna yang biasanya.
Namun, di balik semua keindahan itu, ada kegelisahan yang menyusup dalam hati Aruna. Ia tidak terbiasa dengan pakaian mahal, tidak terbiasa dengan kehidupan seperti ini. Apakah ia benar-benar pantas berada di sisi Baskara dalam acara malam ini? Bagaimana caranya ia bersikap di hadapan para orang kaya di sana?
Kalimat tegas Baskara terngiang dalam kepala Aruna.
“Jangan buat aku malu.”
Aruna menarik napas dalam-dalam, mengenyahkan rasa gugup yang menyerang. Wajah dan tubuhnya mungkin siap untuk menghadiri acara penting malam ini, tapi tidak dengan hatinya. Ia hanya berharap semua berjalan dengan lancar dan ia tidak membuat hal-hal memalukan.
Tidak lama kemudian, suara langkah kaki terdengar di belakangnya. Aruna menegakkan punggungnya, napasnya tertahan saat melihat pantulan seorang pria dalam cermin. Baskara berdiri di ambang pintu, mengenakan setelan jas hitam yang sempurna membalut tubuh tegapnya. Mata tajamnya menyapu Aruna dengan ekspresi sulit ditebak.
Perias profesional yang masih sibuk membereskan alat-alatnya menoleh ke arah Baskara dan tersenyum bangga. “Pak Baskara, bagaimana? Istri Bapak sudah terlihat cantik, bukan?”
Aruna menunggu jawaban sang pria, jantungnya berdebar. Namun, yang didapatkan bukan pujian ataupun respons hangat yang ia harapkan.
Baskara hanya menatapnya sekilas, lalu mengalihkan pandangannya. Wajahnya dingin, rahangnya mengeras, seolah kehadiran Aruna dalam balutan gaun itu tidak berarti apa-apa baginya.
Aruna menelan ludah, kecewa merayapi dadanya.
“Kita berangkat sekarang,” ucap Baskara singkat, suaranya datar tanpa emosi.
Perias itu tampak sedikit canggung, sementara Aruna hanya bisa menggenggam jemarinya sendiri, mencoba meredam perasaan tidak nyaman yang mulai menyelimuti hatinya.
Kenapa Baskara tiba-tiba bersikap seperti ini? Berbeda sekali dengan sikapnya saat memaksa Aruna untuk menikah. Kini, Aruna seakan seperti barang usang yang tidak terpakai.
Tanpa banyak kata, pria itu melangkah keluar, meninggalkan Aruna yang masih berdiri mematung di depan cermin. Semua kepercayaan diri yang tadi sempat Aruna rasakan perlahan menguap, berganti dengan kegugupan yang semakin menyesakkan.
Setelah tim perias yang membantu Aruna pamit, gadis itu merasa dua kali lipat lebih hampa. Sejak tadi ia hanya mengobrol dengan orang-orang itu sementara Baskara sibuk dengan dunianya sendiri. Pria yang menjadi suaminya itu seakan tidak ingin melihat Aruna, bahkan menganggap sang gadis tidak ada.
Saat Aruna sedang berjalan ke ruang tamu, terdengar suara seruan.
“Baskara? Kamu ada di rumah?” seru suara wanita dewasa yang terdengar asing itu.
Aruna melangkah lebih cepat untuk melihat siapa sosok itu. Seorang wanita paruh baya masuk ke apartemen dengan langkah anggun, mengenakan gaun elegan dengan rambut yang tertata rapi sesuai usianya. Tatapannya tajam, penuh wibawa, namun ada kelembutan dalam sorot matanya saat melihat Aruna berdiri dengan gugup di lorong.
“Inikah wanita yang diceritakan ibumu?” tanya wanita itu pada Baskara yang sedang duduk di sofa.
Baskara hanya mengangguk sambil lalu. Ia memilih mengeluarkan ponsel dan kembali sibuk dengan urusannya.
Aruna menunduk sopan, tangannya menggenggam erat sisi gaunnya. Ia sudah menyiapkan mental jika harus menghadapi perlakuan dingin seperti yang ia terima dari Riadi dan Kumala. Namun yang terjadi justru di luar dugaan.
Wanita itu tersenyum, matanya mengamati Aruna dengan penuh perhatian. “Siapa namamu, Nak?” suaranya lembut namun penuh karakter kuat berwibawa.
Aruna mengangkat wajah, sedikit terkejut. “Eh… Aruna, Bu,” jawabnya hati-hati.
Wanita itu tergelak. “Astaga! Kamu belum tahu siapa aku ya? Aku nenek Baskara. Kamu boleh panggil aku Oma.”
Dilanda bingung, Aruna masih bergeming. Oma kemudian melangkah mendekat, lalu tanpa ragu meraih tangan Aruna. Ia meneliti wajah gadis itu, lalu mengangguk seakan puas. “Cantik sekali menantuku. Ternyata cucuku bisa juga pilih istri,” katanya, membuat Aruna hampir ternganga.
Baskara yang berdiri di dekat sofa hanya diam, ekspresinya sulit ditebak. Ia tidak ikut berkomentar, tidak juga menampakkan rasa bangga atau kekaguman seperti yang Aruna harapkan.
“Memang mengejutkan saat mendapati cucuku menikah tanpa pemberitahuan. Tapi aku berharap pernikahan ini berjalan dengan baik, Aruna,” lanjut Oma, tatapannya penuh arti. “Kuharap cucuku memperlakukanmu dengan baik.”
Aruna mencuri pandang ke arah Baskara, tapi pria itu tetap tidak berkata apa-apa. Ia hanya menatapnya sekilas sebelum mengalihkan pandangan.
“Oma, kami harus segera berangkat,” akhirnya Baskara berbicara, suaranya datar. “Kalian bicara lagi saja nanti.”
Sang nenek mengangguk, lalu menepuk tangan Aruna dengan lembut. “Tidak usah khawatir, Aruna. Kamu adalah bagian dari keluarga sekarang. Beritahu Oma jika Baskara macam-macam padamu.”
Aruna tersenyum kecil. Ia melirik Baskara yang mendengus dengan peringatan neneknya. Namun meski begitu, sepertinya pria itu menghormati sang nenek karena sebelum pergi, Baskara mendekat menghampiri Oma untuk memeluk dan menciumnya.
“Jaga istrimu dengan baik.” Oma mewanti-wanti Baskara saat pria itu berpamitan.
Baskara mengangguk malas, membuat Aruna berharap pria itu sedikit menunjukkan usaha sebagai suami. Namun, Aruna memilih tidak memikirkan perubahan sikap Baskara, meskipun dalam hatinya masih ada keraguan. Paling tidak kini hatinya sedikit menghangat dengan kehadiran Oma. Sejauh ini, hanya wanita itu yang memperlakukan Aruna dengan baik.
Sehari setelah acara tabur bunga di laut, halaman depan media nasional dipenuhi foto keluarga Adiwireja. Ada gambar Oma dengan wajah tua yang sembab, Kumala yang menggenggam foto Baskara erat-erat, dan tentu saja yang paling banyak tersebar dan menarik perhatian, foto Aruna yang menunduk dengan wajah pucat ditemani Arga di sampingnya.Judul-judul besar mengiringi: “Air Mata Aruna di Laut: Perpisahan Terakhir untuk Baskara Adiwireja.” “Arga Adiwireja, Setia Mendampingi Ipar.” “Siapa Aruna? Perempuan di Balik Kisah Cinta Terakhir Baskara.”Aruna membaca sekilas dari layar ponselnya, lalu buru-buru menutup. Dadanya berdenyut sakit. Seolah semua orang kini ikut masuk ke dalam luka yang seharusnya hanya miliknya.Di ruang makan vila, ia duduk sambil memegang gelas teh hangat yang tidak disentuh. Anindya memperhatikannya khawatir. “Kak, jangan buka berita dulu. Itu cuma bikin Kakak makin sakit.”Aruna mengangguk, tapi tatapannya tetap kosong. “Kenapa semua orang tidak punya empati? Merek
Hari itu, langit Lombok diselimuti awan tipis. Laut yang biasanya biru cerah kini terlihat muram, seolah ikut berduka. Di dermaga yang disterilkan untuk acara tabur bunga, keluarga besar Adiwireja berdiri dalam diam. Mereka baru saja kembali dari Jakarta untuk satu tujuan sama yaitu menggelar peringatan terakhir bagi Baskara Adiwireja, putra sulung, penerus keluarga, yang kini secara resmi dinyatakan hilang di laut.Di antara kerumunan, Aruna berdiri dengan wajah pucat. Pakaiannya serba hitam, selaras dengan warna perasaannya. Rambutnya digerai, matanya sembab karena tangis yang tidak kunjung reda. Sejak kabar pencarian dihentikan, ia belum pernah benar-benar pulih. Tubuhnya masih ada di sini, tapi hatinya seakan terkubur bersama lautan.Arga berdiri di sisi kanannya, selalu siaga menjaga. Di sisi kiri, Anindya menggenggam tangannya erat. Seolah-olah keduanya sepakat untuk tidak membiarkan Aruna jatuh, meski diri masing-masing tampak hanya bertahan dengan sisa tenaga.Wartawan sudah m
Hingga beberapa hari selanjutnya, kabar baik belum juga menghampiri.Langit pagi itu berwarna abu-abu pucat, seolah tahu bahwa hari ini akan menjadi penutup bagi semua harapan yang masih tersisa. Laut di hadapan Aruna bergelombang kecil, memantulkan cahaya mentari yang tertutup mendung tipis. Desir angin terasa dingin, menusuk ke dalam dada yang sudah penuh dengan luka.Aruna tanpa lelah tetap berdiri di tepi pantai setiap harinya. Kakinya nyaris tertanam dalam pasir yang lembap. Rambutnya yang panjang tertiup angin, menempel di wajah yang pucat dan letih. Di belakangnya, beberapa anggota Tim SAR bersiap dengan peralatan mereka. Hari itu, seperti hari-hari sebelumnya, mereka akan melanjutkan pencarian. Namun sejak pagi, Aruna bisa merasakan sesuatu yang berbeda. Ada nada keletihan dalam gerak mereka, ada kerutan berat di wajah para penyelamat yang selama ini tak pernah menyerah.“Bu Aruna, kami akan berangkat lagi,” ucap salah seorang anggota tim sambil menunduk hormat.Aruna hanya me
Arga menggenggam lengan Aruna dengan hati-hati, seolah takut ia akan hancur menjadi serpihan berantakan bila disentuh terlalu keras. Dari beranda penginapan, pria itu menuntunnya perlahan menuruni tangga kayu, membawa langkah-langkah kecil itu menuju jalan setapak berpasir yang mengarah ke pantai.Langit sudah mulai cerah. Sinar matahari menimpa permukaan laut, berkilau keperakan terlihat indah. Tapi bagi Aruna, indahnya pagi itu terasa menyakitkan. Bagaimana bisa dunia tetap bersinar, sementara hatinya tenggelam dalam kegelapan?Aruna membiarkan Arga menuntunnya tanpa perlawanan. Kepalanya menunduk dan matanya kosong. Hanya suara ombak yang semakin dekat mengisi telinganya, setiap debur mengingatkannya pada momen ketika Baskara hilang dari pandangan.Saat kaki mereka menyentuh pasir yang masih lembap, Arga melepaskan genggamannya. Ia berdiri di samping Aruna, memberi ruang. “Kamu mau duduk di sini?” tanyanya pelan.Aruna tidak menjawab. Ia melangkah sendiri, berjalan hingga batas pasi
Suasana ruang makan akhirnya kembali hening setelah isakan Aruna perlahan mereda. Teh manis di gelasnya sudah dingin, sarapan di piringnya tinggal separuh, tapi setidaknya ia berusaha menelan sesuatu demi menuruti Oma. Ruangan itu terasa pengap oleh perasaan duka yang tidak terucap. Namun paling tidak perasaan Aruna sedikit lebih hangat oleh upaya Oma dan Arga yang menemaninya.Aruna menyandarkan sendok, menarik napas panjang, lalu menatap Oma dengan mata sembab. “Terima kasih sudah memaksa aku keluar kamar, Oma. Terima kasih karena terus menyemangatiku. Arga juga.”Oma mengusap punggung tangan Aruna dengan lembut. “Kamu sudah berusaha. Itu yang penting. Jangan pikir kamu harus kuat setiap saat. Menangis pun tidak apa-apa.”Arga hanya mengangguk pelan, wajahnya menyiratkan kelelahan sekaligus keprihatinan. Ia tahu s
Pagi datang dengan enggan. Cahaya matahari menembus tirai tipis jendela kamar yang Aruna huni. Cahaya itu berwarna pucat, seakan segan menyentuh dunia yang sedang berduka. Aruna terbangun dengan kepala berat, mata sembab, dan tubuh lelah seolah semalaman ia berlari tanpa henti. Padahal kenyataannya ia hanya tenggelam dalam mimpi buruk tentang Baskara yang datang dan pergi dalam satu tarikan napas.Suara ombak dari kejauhan masih terdengar samar-samar berirama konstan. Namun bagi Aruna suara itu kini menyakitkan. Setiap debur ombak mengingatkannya pada air laut yang menelan Baskara. Ia menatap kosong ke langit-langit kamar, membiarkan air mata kembali mengalir tanpa bisa dicegah.Ponsel di meja samping ranjang bergetar. Awalnya ia tidak ingin peduli. Namun getaran itu terus berulang, membuat hatinya resah. Dengan tangan gemetar, ia meraihnya. Di layar tertera nama adiknya.Anindya.Aruna menahan napas. Bagaimana kabar ini sampai ke telinga Anindya? Ia bahkan belum sempat memberi tahu si