Happy Reading
*****
Wanita itu terdiam. Sepertinya, dia sedang menimbang-nimbang perkataan sang suami.
"Tenang dulu, Pak. Kita tunggu beberapa menit, jika Ais belum sadar juga, baru kita bawa ke klinik."
Lelaki paruh baya itu menoleh pada istrinya. "Ibu, temani Ais. Bapak bereskan HP-nya yang jatuh itu."
Perempuan pemilik nama Endang itu mengangguk. Mendekat pada putrinya dan mengoleskan sedikit minyak kayu putih di sekitar hidung Aisyah. Botol minyak tersebut juga dia dekatkan di sekitar hidung Aisyah. Sebelah tangannya yang bebas digunakan untuk memijit lengan.
"Pak, sudah selesai belum? Tolong pijit bagian kakinya. Siapa tahu dia bisa segera sadar," pinta Endang yang melihat sang suami sudah membereskan kekacauan di kamar tersebut.
"Sebentar, Bu,"sahut lelaki paruh baya.
Burhan meletakkan ponsel Aisyah yang sudah tak berbentuk ke atas meja rias. Dia melangkah, mendekati sang putri yang belum sadar dan mulai memijit kakinya sesuai perintah. Sepuluh menit telah berlalu, Aisyah belum sadar juga. Lelaki itupun kembali panik.
"Bu, tolong telpon dokter lagi. Siapa tahu dia mau mengangkat. Bapak khawatir dengan keadaan anak kita. Kenapa sampai sekarang belum sadar juga?"
"Iya, Pak. Ini, minyak kayu putihnya. Gantian, Bapak yang di sini," tunjuk Endang pada posisinya yang berada di samping kepala Aisyah.
Sebelum Endang menggeser posisinya untuk turun, dia merasakan ada pergerakan halus dari tangan putrinya. Diurungkan sebentar niatnya, perempuan itu berusaha memastikan keadaan Aisyah. Kedua kelopak mata si gadis mulai bergerak, meskipun masih terpejam.
"Bu, cepet sana telepon dokter. Jangan diam saja," kata si bapak khawatir.
"Pak, tunggu sebentar. Aisyah sudah mulai bereaksi. Lihat tangan dan matanya ini," tunjuk Endang.
Burhan menatap tubuh putrinya sesuai petunjuk sang istri. "Alhamdulillah. Bener, Bu. Matanya mulai bergerak."
Burhan berpindah posisi kebagian atas, sejajar dengan istrinya. Dia memanggil-manggil nama Aisyah disertai usapan lembut pada lengan. Perlahan, Aisyah membuka mata. Pandangannya kosong menatap langit-langit kamar, kaca-kaca di matanya mulai memenuhi kornea.
"Katakan pada Ibu, Nak. Kamu kenapa?" tanya perempuan yang sudah melahirkaan Aisyah. Namun, bukan jawaban yang Endang dapatkan, tetapi isak tangis Aisyah mulai terdengar.
"Ais, kamu kenapa?" tanya Burhan kembali panik mendapati putrinya yang tiba-tiba menangis kencang.
"Ais, dengarkan Ibumu. Ceritakan! Apa yang sedang terjadi? Masalah apa yang sedang kamu hadapi sampai kamu menjadi seperti ini?" tanya Endang, "Kami sebagai orang tua akan selalu mendukungmu. Jadi, ceritakan ada apa?"
Aisyah memandang sedih kepada kedua orang tuanya. Bagaimana dia akan menceritakan apa yang dialaminya saat ini. Gadis itu menatap kedua orang tuanya bergantian. Rasanya, dia tak akan sanggup mengecewakan harapan mereka.
"Ais, ceritakan," desak Burhan. Suara lelaki paruh baya itu jelas menunjukkan kekhawatiran yang sangat besar.
Melihat kekhawatiran kedua orang tuanya semakin membuat Aisyah bingung, darimana dia akan memulai ceritanya. Tangis pun pecah kembali.
"Menangislah! Setelah itu, ceritakan pada kami. Apa yang membuatmu seperti ini?" Endang merengkuh tubuh putrinya yang masih berbaring.
Burhan menghela napas panjang. Mungkin, lebih baik jika dia membiarkan Aisyah mencurahkan semua keluhannya pada sang istri. "Bapak, ke bawah sebentar, Bu," ucapnya memberi kesempatan istri dan anaknya berduaan.
Burhan berjalan ke arah telepon di rumahnya. Dia mulai menekan nomor yang sudah dihapal di luar kepala. Orang itu, mungkin bisa menjelaskan tentang keadaan Aisyah saat ini. Keyakinan itu muncul karena kedekatan Aisyah dengan orang tersebut.
"Asalamualaikum," salam seseorang yang ditelepon Burhan dari seberang sana.
"Waalaikumsalam," jawab Burhan.
"Ada apa, Pak?"
"Bisa kamu datang ke rumah, Mas?"
"Maaf, Pak. Saya nggak bisa. Jika Bapak telpon karena menyangkut masalah saya dengan Aisyah. Saya rasa, semua sudah jelas. Lagian, saya sedang di Surabaya dan nggak mungkin bisa datang ke rumah njenengan."
Kening Burhan berkerut. Dugaan yang tadi muncul kini mendekati kebenaran. Nada bicara orang yang ditelponnya itu sudah berubah. Tidak seperti biasanya.
"Bapak, merasa perlu penjelasan yang lebih detail dari kamu, Mas. Bapak, tunggu kedatangannya. Jika, enggak bisa hari ini, maka besok."
"Kenapa Bapak memaksa?"
"Bapak enggak mau tahu. Kamu harus datang dan menjelaskan secara langsung pada Bapak." Burhan segera menutup teleponnya tanpa menunggu penjelasan lawan bicaranya.
"Apa yang telah dia katakan pada Aisyah sampai putriku histeris seperti itu. Jika, hanya masalah perbedaan penyelenggaraan pesta pernikahan mereka, enggak mungkin kesedihan tampak dari wajahnya. Semoga enggak terjadi hal-hal yang bisa mengganggu rencana pernikahan mereka," kata Burhan dalam hati.
Sesak rasa hati seorang ayah membayangkan apa yang sedang dialami putrinya kini. Jika di pabrik Burhan bisa berbuat garang pada semua bawahannya. Maka, sangat berbeda ketika dia dihadapkan kepada masalah keluarganya. Burhan akan sedikit melunak untuk mengahadapi dan menyelesaikan permasalahan tersebut. Dia yakin kejadian yang menimpa Aisyah berkaitan dengan lelaki bernama Haritz Ridauddin.
"Pak. Kenapa melamun seperti itu? Ada apa?" tanya Endang. Istrinya itu, tanpa disadari sudah berdiri di sebelahnya.
Kesadaran Burhan perlahan kembali. "Ya, Bu. Ada apa?"
"Bapak ini, ditanya malah balik tanya. Hadeh! Lagi mikir apa, Pak?"
"Bu, sepertinya Aisyah ada masalah sama Haritz," kata lelaki paruh baya tersebut.
"Masalah bagaimana, Pak? Kemarin siang, mereka masih keluar bareng ke KUA, katanya ada pengarahan sebelum nikah. Mereka masih terlihat baik-baik saja. Jangan ngarang kalau ngomong, Pak." Endang melangkahkan kakinya ke dapur hendak mengambil air putih untuk Aisyah.
"Bu, tunggu. Bapak, enggak ngarang. Tadi, Bapak sempat telepon Haritz dan bertanya tentang anak kita, tapi reaksinya berbeda. Nada omongannya seperti orang yang enggak peduli dengan Aisyah lagi."
"Omongan Bapak semakin ngaco saja. Sudah, Ibu, mau ke dapur kasihan, Ais."
"Bu, apa Ais belum menceritakan sebab kejadian tadi."
Endang menggelengkan kepala, lalu melewati suaminya begitu saja. Dalam pikirannya, mana mungkin mereka berdua bertengkar. Sepulang dari KUA saja, wajah kebahagiaan jelas terpancar dari keduanya.
Burhan mengelengkan kepala, ternyata sang istri tak mempercayai perkataannya. Sementara, hatinya yakin ada sesuatu yang sedang terjadi dengan hubungan Aisyah dan Haritz. Dia pun berjalan menaiki tangga menuju kamar Aisyah.
Di dalam kamar, Aisyah menatap kosong langit-langit tempat tidurnya. Beribu tanya mengisi ruang memorinya. Satu per satu kenangan bersama Haritz bermunculan. Menelaah, apakah ada kesalahan fatal yang dilakukannya sehingga sang calon suami berkata kasar seperti tadi.
"Ais, melamun apa? Bapak, dari tadi ngomong, tapi enggak dihiraukan." Tangan kanan Burhan menyentuh lembut bahu putrinya.
"Nggak ada apa-apa, Pak." Memalingkan wajah ke arah lain. Aisyah merasa bersalah dengan kegagalannya.
"Apa kamu bertengkar dengan Haritz?"
Jedar ....
Suara petir itu mengiringi kegalauan hati Aisyah saat ini.
Happy Reading*****Burhan memutar bola matanya. Niat semula ingin menggoda putri semata wayangnya dengan mengajukan syarat bahwa Aisyah harus menikah jika ingin mencari kerja ke Surabaya lagi. Namun, ketika mengingat jika semua itu tidak mungkin, sang kepala keluarga pun urung mengatakannya. "Pak, apa syarat yang harus Ais lakukan untuk bisa kembali kerja ke Surabaya lagi?" rengek Aisyah. "Lupakan saja, anggap Bapak nggak pernah ngomong seperti tadi. Pokoknya, kamu harus berusaha mendapatkan pekerjaan di sini dulu," kata Burhan setengah memaksa dan berharap putrinya berubah pikiran."Bapak, ih," ucap Aisyah manja dengan melingkarkan kedua tangannya di pinggang Burhan. "Kamu itu putri Bapak satu-satunya. Jadi, Bapak ingin selalu melihatmu di rumah setiap kali Bapak pulang, sebelum kamu menjadi seorang istri nantinya." Lelaki paruh baya itu merengkuh Aisyah dalam pelukan. Mencium puncak kepala putrinya berkali-kali. *****Kemilau kekuningan dari sinar mentari mengenai wajah Aisyah
Happy Reading*****Kedua tangan Zaki terangkat, lalu lelaki itu menggoyang ke kanan dan kiri. "Bukan begitu maksudnya, Ais.""Lalu, apa yang Mas maksud? Bukankah kalimatmu tadi dengan jelas mengatakan jika aku lebih baik memperbaiki sikap dengan orang lama. Siapa lagi orang lama yang dekatku jika bukan dia yang sudah membatalkan pernikahan ini," kata Aisyah masih dengan nada jengkel.Zaki menggaruk kepalanya yang tak gatal. Menatap Bibi dan juga omnya. Sementara sang penghulu menatapnya aneh. Kebingungan harus menjawab apa atas perkataan Aisyah tadi, lelaki itu memilih untuk menghindar saja."Om, aku pamit dulu. Ada hal yang masih harus aku kerjakan," kata lelaki yang sejak kecil selalu membuat aisyah menangis. Zaki pamit pada Burhan, langsung berdiri, melangkahkan kakinya."Buru-buru sekali, Mas. Kita belum ngobrol, lho," timpal Burhan, "Masak cuma gara-gara omongan tadi Mas Zaki tersinggung. Kamu kan tahu gimana Ais, dari dulu pasti meminta penjelasan sejelas-jelasnya atas perkata
Happy Reading*****Burhan menatap keponakannya dengan senyuman. "Panjang ceritanya, Mas," jelasnya pada Zaki."Bukannya mereka sudah pacaran lama dan saling mencintai?" tambah Zaki masih dengan rasa penasaran yang begitu kuat.Burhan mengembuskan napas panjang. Berat rasanya mengungkap hal yang menjadi aib keluarga. Apalagi saat ini keadaan Aisyah masih tidak baik-baik saja."Pak, saya tidak akan memaksa njenengan jika memang tidak bisa menceritakan alasannya," kata sang penghulu."Pihak laki-laki membatalkan rencana pernikahan ini, Pak." Burhan akhirnya mengeluarkan apa yang mengganjal di hati. Raut kesedihan kentara sekali di wajahnya."Kok, bisa?" tanya Zaki dan sang penghulu bersamaan."Bukankah pernikahan ini atas keinginan mereka berdua, Pak?" tambah Rosyid.Burhan kembali mengembuskan napas panjang. "Takdir, kita nggak pernah tahu apa yang terjadi di masa depan," jawabnya bijak.Diam-diam, Zaki mengepalkan tangannya. Rasanya, dia ingin sekali memukul lelaki yang telah memperm
Happy Reading*****Beberapa hari berlalu sejak kejadian pembatalan pernikahan oleh Haritz. Putri semata wayang Burhan tersebut terus mengurung diri di kamar. Walau kedua orang tuanya sudah membujuk bahkan berusaha mengajak keluar. Namun, kenyataannya luka karena patah itu sangat dalam.Hari ini, dia berniat menghirup udara segar. Jadi, dia beranjak dari pembaringan. Aisyah mengamati pantulan wajahnya di cermin. Kulit itu tak sebersih biasanya, pori-pori tampak membesar, noda jerawat tampak jelas, melingkar hitam. Dua hari saja semua telah berubah. Koleksi make up milik Aisyah sama sekali tak tersentuh olehnya beberapa hari ini.Semua aktifitas berhenti, hanya untuk memikirkan, mengapa dan mengapa cinta itu bisa dengan mudahnya lenyap. Apa karena wajahnya seperti ini hingga Haritz mengatakan bahwa cintanya sudah habis."Tapi, aku dulu sangat menjaga kulit wajahku. Nggak mungkin, Hany karena wajahku kusam, Mas Haritz tega mengatakan kalimat yang begitu menyakitkan," gumam Aisyah sambi
Happy Reading*****Mendung bergelayut manja di langit siang hari ini. Memberikan kesyahduan pada setiap insan yang berada di bumi. Menutupi panasnya mentari serta panas perasaan dicampakkan oleh seseorang yang sangat dicintai."Pak, kenapa Ais belum bangun juga? Padahal, sekarang sudah hampir Ashar," ucap Endang disertai usapan di kepala putri semata wayangnya."Sabar, Bu. Kita tunggu sampai Ashar. Jika dia belum bangun juga, kita terpaksa harus membawanya ke rumah sakit." Sejak tadi, Burhan juga cemas dengan keadaan putrinya. Namun, dia berusaha tetap tenang dan mengatakan pada dirinya sendiri bahwa semua akan baik-baik saja.Perlahan bola mata Aisyah bergerak-gerak, jemarinya juga mulai merespon sentuhan dari Endang. Kemudian, gadis berkulit kuning langsat itu membuka mata dengan sempurna. memandang kedua orang tuanya bergantian. Kesedihan di mata keduanya terlihat dengan jelas."Pak, Bu, maaf," ucap si gadis setelah berhasil duduk sambil bersandar di kepala ranjang. Aisyah menamp
Happy Reading*****"Bu, sudah!" teriak Aisyah histeris.Tubuh gadis dengan berat sekitar 42 kg itu ambruk, terjatuh di lantai dan tak sadarkan diri. Jiwanya kembali terguncang mendengar alasan Haritz yang sebenarnya. Jika, Haritz tidak mencintainya selama ini. Apa arti kedekatan yang terjalin bertahun-tahun lamanya itu?"Ais," panggil Endang. Dia dengan cepat memegang kepala putri agar tidak sampai membentur lantai yang keras hingga menyebabkan cedera. "Pak ini gimana?"Burhan menoleh pada istrinya. Cepat, dia memindahkan Aisyah ke sofa panjang di ruangan tersebut. Setelahnya, dia menatap nyalang pada lelaki yang sudah sangat mengecewakan sang buah hati. "Kamu memang lelaki munafik. Jadi, selama bertahun-tahun kamu sengaja memberi harapan palsu pada putriku. Sekarang dengan entengnya kamu mengatakan nggak cinta pada Aisyah," kata Burhan.Sebuah pukulan kembali melayang di wajah Haritz. Bukan lagi tamparan ringan seperti yang dilakukan Endang, tetapi Burhan mengerahkan semua energin