“Raff, katanya dia ada di Lobby Lounge & Bar. Apa kau mau aku suruh dia ke sini?” Dion terlihat serba salah. Raffael jadi sedikit tak enak. Agar tak menyusahkan pria tak bersalah itu, Raffael berkata, “Kita ke sana saja. Kau sudah banyak membantu istriku sepertinya.”Ia teringat bagaimana Manda memintanya untuk mendengarkan Dion saat seharusnya ia marah pada ketua panitia itu. Jelas sekali, mereka pernah punya hubungan yang lebih dekat dari sekedar teman sekolah.Dion pun terlihat lega karena ia tidak perlu memaksa pria kepala batu seperti Rudy untuk mendatanginya. Ia yakin, Raffael tidak akan mau dirinya membocorkan niatnya untuk bertemu Rudy.“Kenapa kau nggak ada dalam ingatan Manda, kalau kalian dekat? Apa kau menyakiti istriku juga?” tanya Raffael, dengan nada cukup mengancam.Dion terlihat gugup. Ia tidak yakin dirinya yang pernah jatuh cinta pada Manda perlu diceritakan, jadi ia hanya menyampaikan alasannya menjauh dari Manda.“Bu–bukan seperti itu. Sebenarnya, pacarku terlalu
“Tunggu, Pak Raff—” Rudy berusaha menahan Raffael, tetap Regan sudah ada di sana menghadangnya. Damian mulai memijat pelipisnya, pusing diperhadapkan dengan masalah rumit itu. Sementara Raffael meminta Dion menemaninya mencari roti ham, Damian memberi isyarat pada Rudy untuk menyerah saja. “Jangan bikin masalah baru. Keputusan Raffael nggak bisa diubah, kecuali Manda yang memintanya.” Damian menghela napas panjang, frustasi.Rudy tertunduk. Panik dan cemas karena ia tahu, kesalahan kecil ini akan mempengaruhi perusahaan keluarganya.“Apa yang sebenarnya sudah kau lakukan?” tanya Damian heran. “Bagaimana bisa kau mengenal Manda?”Masih sambil tertunduk, Rudy menjawab, “Kami teman sekolah. Saya hanya ingin bertemu dengannya, jadi saya bilang kalau dia harus bayar ganti rugi karena tidak mengambil souvenir kamar hotel yang saya sediakan.”“Damn, Brat! Apa kau masih anak sekolahan? Cheap trick kayak gini bakal pengaruhi semua, Rud.”Rudy semakin panik. “Lantas, saya harus bagaimana Pak
“Aku pamit ya, Raff, Manda,” ujar Damian setelah puas mengamati Bintang. Entah kenapa, Manda merasa wajah Damian terlihat berbinar.Seolah tahu pikiran Manda, Raffael berkata, “Kata Damian, dia jadi pengen punya anak.”Manda terkekeh. “Damian udah nikah belum sih?” tanyanya kemudian. Yang ditanya pun menggeleng. “Rencananya akhir tahun ini. Pastikan kalian datang.”“Siap! Di manapun kau nikah, aku sama Manda pasti hadir.” Raffael berjanji.Kekehan bercampur rasa tersipu keluar dari mulut Damian–pria yang biasanya tenang dan santai itu. Jelas sekali, ia pasti sangat mencintai kekasihnya.“Oke. Aku nggak bisa lama-lama, Alexa nunggu di mall sebelah.”Raffael pun ikut pamit sebentar karena ia harus mengantar Damian sampai ke lift. Sementara itu, Manda kembali menikmati roti ham dan acara televisi. Ia menunggu Raffael kembali karena harus membahas soal pesan Rudy.Tak sampai 10 menit, Raffael kembali dan bergabung dengan Manda di sofa. “Nonton apa sih, Hon?” tanya Raffael sambil menci
Beberapa bulan berlalu dan hari ini, Bintang mencapai usia 6 bulan. Raffael mengadakan perayaan kecil untuk buah hati mereka. Mengundang cukup banyak orang, termasuk beberapa rekan bisnis yang minta diundang.“Wah, jadi itu pacarnya Pak Damian?” bisik Manda pada Raffael.Raffael mengangguk. “Kau tahu, dia dulu sekretaris papanya Damian. Lebih tua Alexa.”Wajah Manda terlihat sangat penasaran dengan cerita dibalik hubungan tersebut. Ia jadi berpikir, apa kemungkinan sekretaris mendapatkan bosnya sebagai suami itu cukup besar.‘Mungkin karena kenalannya pasti petinggi-petinggi perusahaan. Kalau nggak kuat iman, punya pacar pun bisa selingkuh sama bosnya ya,’ batin Manda menganalisa. Semua tamu undangan tengah menikmati makan siang mereka, setelah memberikan doa pada Bintang setiap kali mereka bersalaman. “Hon,” panggil Raffael tiba-tiba. “Bintang ‘kan udah bisa makan. Apa kita sudah bisa pergi bulan madu? Aku perlu bahas sama Camelia.”Wajah Manda berseri-seri. “Oh ya! Boleh aja, Raf
“Pa, kenapa?” tanya Manda melihat ayahnya was-was. “Papa agak was-was toko, Nak.” Rowan mengaku. “Tapi Papa juga pengen banget liburan bareng kamu sama Mama.”Manda memeluk sang ayah erat, sambil menenangkannya. “Kali ini nggak cuma bodyguardnya Raffa lho, Pa, yang jagain toko. Bodyguard kak Reinhart juga ikut dikerahkan.”Rowan mengangguk. “Iya, Nak. Papa paham.”Diana terkekeh. “Anggap aja bulan madu kita juga, Pa.”Ternyata, ucapan Diana lebih bisa membuat Rowan melupakan segala kekhawatirannya. Walau tak banyak, Rowan bersikeras akan membayari salah satu acara makan mereka nanti di Jepang. Camelia dan Raffael menyetujuinya saja. Bagi mereka yang terpenting semua orang bisa ikut berbahagia. “Nyonya Manda, mobil sudah siap.” Tara memberitahu.Karena keteledoran Raffael, ia jadi melewatkan beberapa dokumen yang sangat penting, dan tertahan di kantornya. Ia akan menyusul dari kantor menuju bandara langsung, jadi tidak bisa pulang ke Jogja kemarin. “Ayo, berangkat.” Cal—kepala pel
“Raff … ah!”Manda terkesiap ketika dirinya terbangun, Raffael masih berada di atas tubuhnya. Memenjara kedua tangan sang istri di atas kepala.“Hon … kau masih sadar?” tanya Raffael terengah. “Sepertinya kau nggak sadarkan diri sejenak.”Sebuah adegan samar teringat, saat mereka mencapai puncak bersama Manda merasa lelah. Seingatnya, itu yang kedua.Ekor mata Manda melirik ke arah jam digital yang ada di meja dan tertegun karena jarum jam seolah tak bergerak dari saat ia terakhir berusaha melihat waktu. Mantan bos-nya yang selalu ia labeli ‘mesum’ itu kini menunjukkan taringnya. “Kenapa kau nggak berhenti?!” protes Manda panik. Raffael tersenyum lembut. Dirinya sudah setengah mati berusaha mengendalikan hasrat setelah melihat Manda keluar dari pemandian dengan kimono tidurnya. Sepanjang acara makan malam, Raffael berusaha mempercepat waktu. Tentu saja mustahil. Mereka akhirnya kembali ke resor masing-masing sekitar pukul 11 malam. Mungkin lebih. Raffael sudah menitipkan Bintang
“Ra, gimana? Udah nego sama yang punya tanah?” Bulan madu mereka selesai dengan penuh kebahagiaan. Hal pertama yang diurus Raffael ketika kembali bekerja adalah pembahasan soal mencari lokasi kantor yang tepat di Yogyakarta. Seperti yang sudah dibahas, ia berniat memindahkan kantor pusatnya ke Yogyakarta, demi bisa bertemu Manda setiap hari. Namun, sudah hampir 5 bulan sejak permintaannya itu, sang sekretaris masih belum menemukan tempat yang sesuai dengan keinginan Raffael. “Ada lokasi yang bagus di pinggir jalan besar, Pak. Tapi ditempati swalayan besar. Setelah diamati, swalayan itu tidak terlalu ramai.”Rara—sekretaris Raffael yang bernama asli Tiara itu langsung menunjukkan foto bangunan dan tata letak gedung yang ia bicarakan. “Dari rumah istri saya ke sana berapa lama?” tanya Raffael penuh harap. “10 menit, Pak,” jawab Rara. “Selama jalanan tidak sedang dalam kondisi padat.”Mendengar jawaban itu, Raffael langsung menjentikkan jarinya. “Ho! Saya suka tempat ini. Coba sam
“Jangan gila, Raff!” tukas Damian. “Kamu mau dihujat banyak netizen Indonesia?”“Benar tuh, Raff!” George menambahkan. “Justru kerjaan itu yang kemarin bantu Manda untuk move on dan nggak sampai bikin dia stres berkepanjangan!”Raffael terdiam mendengar ceramah dua temannya. Ia jadi teringat lagi alasan kenapa Manda awalnya mengambil banyak pekerjaan online.Ia hanya bergurau saja dengan pertanyaan tadi. Walau benar, dirinya kurang suka Manda melakukan pekerjaan online-nya seolah itu adalah hal yang utama. Damian melanjutkan, “Lagipula, kau yang paling tahu kan, istrimu itu tipe seperti apa? LIfe is work. Perempuan tipe Manda yang pekerja keras nggak bisa kamu suruh nganggur di rumah, Raff.”Raffael mengangguk setuju. Sejak menjadi sekretaris pribadinya, semua pekerjaan dilakukan Manda, suka atau tidak suka. Kadang ia suka membawa Manda dinas dadakan, pun wanita kesayangannya itu selalu siap.“Mungkin istrimu mengalami sejenis post pause syndrome sekarang. Dulu dia bekerja untuk menc
Hai! Romero Un menyapa!Novel ini akhirnya tamat ya ^_^Terima kasih buat para pembaca yang mendukung novel ini sampai selesai. Terima kasih juga untuk pembaca yang sudah memberikan komentar dan hadiah. Sampai ketemu di novel selanjutnya ya!Sayonara!
“Bos, sudah keluar hasilnya.”Bintang mengangguk. Ia segera mengecek hasilnya dan menemukan komposisi larutan yang tertulis dapat menyebabkan kerusakan pada pita suara. Ia pun langsung memberitahu Dennis. “Segera suruh Luna menemui dokter Gilian. Kuharap belum terlambat memperbaiki pita suaranya.”“Black, tangkap Kanya dan 2 temannya. Bawa mereka ke kapten. Aku sudah malas mengurusi mereka.”“Baik, Bos!”Sepeninggalan Black, Bintang langsung menyandarkan kepala, sambil memijat-mijat dahinya yang mulai pusing. Dengan posisi tak berubah, ia mencoba meraih gagang telepon dan menghubungi Tiara. “Auntie, tolong ke ruanganku.”2 menit setelahnya, Tiara sudah duduk di hadapannya. “Ada apa, Pak Bintang?”“Aku mau keluarkan berita dan juga peraturan baru.”Sang sekretaris senior itu mengangguk.‘Apa ini masalah artis Luna itu? Kurasa memang sudah keterlaluan sekali Kanya itu.’ Tiara membatin, sementara tangannya membuka laptop di pangkuan.Dalam berita internal itu, Bintang menjelaskan perka
“Oh! Lex, aku cari kamu. Ayo, ikut!”Bintang mengambil kesempatan untuk lepas dari Kanya. Ia segera pamit, menggeret adik perempuannya bersama. “Kau dikerjai si Kanya?” tanya Alexa setelah mereka cukup jauh dari target pembicaraan.Bintang menggeleng. “Sepertinya dia nggak suka dengan Lia dan membuat skandal untuk menghancurkan karir Lia sebelum debut.”Alexa mengerutkan dahi. “Kukira sasaran Kanya si Luna. Dia sering banget dipanggil Kanya sebelum latihan mulai. Dan pagi ini Luna kena marah karena suaranya tiba-tiba hilang.”Kali ini dahi Bintang yang berkerut tak mengerti. “Kenapa kau diam saja? Kanya sepertinya bukan perempuan yang baik, Lex. Hati-hati.”Alexa mendengus geli. “Siapa yang berani denganku?!”“Jadi, ini yang kemarin kakak tanyain ke aku? Skandal itu disengaja oleh Kanya?” Alexa kembali bertanya. Kepala Bintang bergerak naik-turun. “Kebetulan aku melihatnya.”Mereka terdiam sesaat, sebelum akhirnya Bintang memutuskan untuk pergi menemui Dennis. “Kau juga hati-hati. A
“Aku nggak peduli.” Bintang membalas pertanyaan Adelia dengan pernyataan keras kepala. “Kita bisa menyembunyikan pernikahan ini, untuk sementara.”“Buat apa?” tanya Adelia tak mengerti. “Kalau aku menikah, aku ingin bisa menceritakannya pada semua orang.”Mendengar itu Bintang tak bisa berkelit. Ia tak menyangkal. Mungkin dirinya yang paling sulit untuk menyembunyikan hubungan mereka. Bahkan sejak awal, dirinya lah yang tak bisa menahan diri untuk mengumbar kedekatannya dengan Adelia. “Tapi kalau tunangan, kurasa aman. Gimana?” usul Adelia yang merasa bersalah setelah pertanyaannya tadi. Bagaimanapun, saat ini, seorang CEO besar melamarnya. Dia, yang hanyalah seorang gadis biasa.Namun, Bintang menolak usulannya. “Aku ingin menikahimu karena aku mau semalam-malamnya kamu pulang, aku ada di rumah.”Wajah Adelia bersemu merah. Sebuah senyum tak sadar terbentuk di sana. “Hanya karena alasan itu?” gumamnya tak percaya.“Itu bukan ‘hanya’, My dear.” Bintang memeluk tubuh sang kekasih er
“Bos, Regan mengitrogasiku. Sepertinya Bos Raffael mencari Anda.”Black melapor pada Bintang, tepat di saat ia yakin kalau Adelia sudah masuk ke kamar mandi hotel. Ini adalah hari kedua Bintang dan Adelia berada di hotel. Seharian kemarin mereka menikmati renang dan layanan spa dari hotel itu. Dan pagi ini, seperti yang sudah ia perkirakan akan terjadi. Foto dirinya melangkah keluar dari apartemen para artis RAFTEN sambil merangkul seorang perempuan tak dikenal, menghiasi halaman depan media berita artis ibukota.Tentu saja, Raffael dan Manda akan marah besar, mengira bahwa putranya berselingkuh di belakang Adelia. “Mereka pikir Anda membalas dendam atas skandal Nona Adelia.”“Ah ….” Bintang terkekeh geli dengan tebakan orang tuanya. “Aku mematikan ponselku. Kau saja yang beritahu mereka kalau foto itu adalah fotoku dengan Lia.”Black mengangguk. “Baik, Bos.”“Tapi, jangan kasih tahu kami di hotel ini,” tambah Bintang, mengingatkan. “Aku dan Lia sedang liburan.”“Siap, Bos!”Sege
Ha! Ha! Ha! “Pertanyaan dari mana itu?” Bintang tergelak mendengar kenyataan bahwa Adelia tak merasakan cintanya.CEO RAFTEN bahkan tak bisa menyalahkan siapapun kecuali dirinya, karena sudah membuat Adelia bertanya demikian. Cinta yang ia berikan sepertinya tidak nyata. Seperti apa kata sang ibunda. Hambar.“Kau nggak tahu saja, tiap malam aku datang ke sini. Tapi kau nggak pernah ada.”Netra Adelia membulat kaget. “Bohong! Aku nggak pernah ketemu kamu! Nggak pernah ada tanda-tanda kamu mengunjungi apartemenku.”Bintang mengecup bibir sang kekasih, singkat. Kemudian berkata, “Aku malas kalau harus mengakui perbuatanku. Jadi, terserah kamu percaya atau nggak. Aku nggak masalah, Lia.”Melihat Bintang tidak bersikeras membuktikan ucapannya, Adelia memutuskan untuk percaya. “Terus, kenapa kau ke apartemenku nggak bilang-bilang?” tanyanya heran. Bibir Bintang bergerak ke kanan lalu ke kiri, menimbang apa juga yang membuatnya datang ke apartemen Adelia.“Awalnya mau kasih kejutan. Tapi
‘... dia nangis karena sudah lama nggak bisa ketemu kamu, Kak.’Ucapan Alexa tadi kembali terngiang di telinga Bintang, walau sambungan telepon sudah terputus sejak tadi. Senyuman lebar tak bisa ia tahan. ‘Kurasa aku terlalu percaya pada hubungan kami. Percaya bahwa kami mengerti satu sama lain, tanpa perlu banyak interaksi.’“Ternyata aku salah,” keluhnya menyimpulkan apa yang terjadi. Dengan cepat ia mengirim pesan pada Tiara, sekretarisnya. To Tiara:Besok saya libur satu minggu. Jangan cari saya!Pesan terkirim!Kemudian ia juga mengirim pesan yang sama pada Theo, tetapi terkait Adelia. To Theo:Besok Adelia libur 3 hari. Jangan cari dia!Pesan terkirim!Bintang mematikan ponselnya dan juga Adelia begitu saja dan mulai fokus mengurus sang kekasih. Ia menggulung lengan kemejanya dan mulai menyeka bagian tubuh Adelia yang terlihat. Malam itu ia memutuskan untuk menemani sang kekasih, tidur di ranjang yang sama.‘Ah … sebaiknya aku juga ganti saja itu!’*** Keesokan paginya, Ad
‘Kalau diingat-ingat … aku terakhir lihat Lia dari jendela pintu ruang latihan. 3 minggu lalu, kalau nggak salah.’Bintang menatap lurus tanpa berkedip. Pandangannya kosong, sementara ia menggenggam gelas wine di tangannya. Ia sedang duduk di sofa apartemen sang kekasih. Masih terdiam, pikirannya kembali mengingat hari itu. ‘Setelah itu, aku pergi dinas. Dennis bilang kalau Lia sangat bersemangat siap debut.’“Nggak ada yang salah dengan kami. Kurasa.”Pria yang tengah bingung dengan komentar ibu dan rekan kerjanya itu kembali menghela napas panjang. Ia tak tahu apa yang membuat hubungannya dicap hambar. Sejauh mereka belum menikah, jelas tidak ada yang bisa mereka lakukan selain pergi kencan. Sesekali berciuman atau tidur di kasur yang sama. “Apa aku harusnya menikahi Lia?” Lagi, ia berbicara dengan diri sendiri. “Tapi dia sedang bersiap debut. Bagaimana kalau langsung hamil dan merusak karirnya?”Sudah pukul 11 malam dan Adelia tak juga tiba di rumah. Mungkin penantian Bintang ma
“Dia tidur sambil berendam.”Bintang menggelengkan kepala, heran dengan kelakuan absurd sang kekasih kecilnya. Sekarang ia tidak tahu harus berbuat apa untuk mengangkat tubuh Adelia tanpa melihat. “Lia.” Bintang mencoba membangunkannya. “Adelia!”Dengkuran halus malah menjadi jawaban dari panggilan itu. Membuat Bintang mulai kehabisan akal setelah beberapa kali mencoba membangunkannya. Ia memutuskan untuk mengambil handuk dan menutupi tubuh gadis itu setelah berhasil mengangkatnya dengan menutup mata. Setelah bekerja keras, Bintang pun berhasil membaringkannya di tempat tidur. Namun, sampai di sana, Adelia malah terbangun. “Kenapa kau baru bangun sekarang, hm?” keluh Bintang. “Kau mengerjaiku ya?”Adelia mengerjapkan netranya beberapa kali, kemudian tersadar bahwa ia sudah ada di kasurnya, masih dengan tubuh yang basah. “Astaga! Apa aku ketiduran?”Melihat dari respon Adelia, Bintang tahu kalau gadis itu pasti kelelahan setelah beberapa minggu terus berlatih dan hanya bisa tidur 2