“Mau!” Manda tak sadar meninggikan suara. Terkejut dan senang karena sekretaris CEO yang terkenal judes itu mau menemaninya. “Ini pertama kalinya saya makan di kantin kantor,” lanjut Manda.“Baik. Kita ketemu di depan lift lantai 3.”Antusias Manda ternyata tak serta merta menular pada Lyn. Gadis berkacamata itu menjawab dengan nada datar seolah tak tertarik. Sayang, Manda tak bisa melihat senyum tipisnya.Dengan langkah riang Manda segera menuju lift dan turun ke lantai 3. Tak sampai 2 menit, Lyn pun muncul dari lift lain. “Lyn!”Wajah Lyn terlihat datar saat membalas sapaan Manda dengan gumaman pelan. “Mm.”Untungnya, Manda bukan tipe yang ikut canggung saat bertemu orang seperti Lyn. Dengan santai ia tetap memulai percakapan demi percakapan, walau balasannya mungkin singkat dan bahkan tak ada.“Aku belum pernah makan di sini. Apa kau ada rekomendasi?”Lyn mengangguk. “Mm. Beef teriyaki ibu kantin. Enak.”Dan tanpa menunggu jawaban Manda, ia sudah berjalan menuju stan yang dimaks
“Astaga, seger mataku!”Pekik laki-laki tersebut dengan suara riang. Walau Manda sudah masuk lagi ke dalam kamar mandi, tetapi ucapan kurang ajarnya itu masih terdengar. “Mbak, maaf, maaf. Saya keluar lagi deh,” ujar orang itu masih sambil terkekeh. “Salah yang naruh kulkas sih, di deket kamar mandi.”Manda memutar bola matanya. ‘Mana kutahu siapa yang taruh kulkas di situ! Orang mesum!’ rutuknya dalam hati.Setelah ia tak lagi mendengar suara dari luar, perlahan ia membuka pintu dan malah terkejut dengan keberadaan Lyn yang berdiri di depan pintu tanpa suara. “Maaf, tadi saya sedang ke ruang dokumen. Pak Gideon ternyata datang berkunjung.” Manda sedikit merasa malu karena kecelakaan kecil barusan sudah diketahui Lyn. “Nggak apa-apa, Lyn. Saya cuma kaget banget.”“Saya jaga di sini, kamu ganti baju aja.”Menerima perlakuan baik Lyn, Manda pun berterima kasih. Ia segera berpakaian.Rasa penasaran kembali menggelitik. “Siapa orang itu? Kok bisa masuk ke ruangan?”“Pak Gideon sepupu t
“Ehehe …”Camelia menatap malas pada Manda. “Jangan ‘ehehe’ saya. Ayo, ikut!”Baru saja Camelia menggenggam tangan Manda dan berbalik untuk membawanya kembali ke ruangan, suara Raffael terdengar dari pintu tangga darurat. “Manda!” Nadanya panik.Camelia dan Manda terlihat keheranan. “Raffa? Ada apa kamu sampai ngos-ngosan begitu?” tanya Camelia. Mengabaikan pertanyaan sang kakak, Raffael meraih pergelangan tangan Manda dan menariknya pelan. “Ayo, ke ruanganku dulu.”“Nggak bisa.” Camelia menarik lengan Manda satu lagi. “Aku duluan yang punya janji dengan Manda.”Di tengah pertentangan itu, Lyn tiba-tiba muncul. “Bu Camelia, Pak Gideon sudah menunggu di ruangan.”“Ha?! Ngapain tua bangka itu datang ke sini?” keluh Camelia kesal. Mau tak mau, ia akhirnya melepas genggaman tangannya pada Manda. “Manda, nanti saya ke ruangan kamu.”Manda ingin menjawab, tetapi Raffael sudah menuntutnya untuk segera pergi dari sana. “Ada apa, Pak? Kenapa panik?” tanya Manda selagi mereka menuruni tangg
“Hentikan kebiasaanmu komentar spontan, Giddy!” Camelia menepuk sedikit kencang punggung Gideon yang tadi berpapasan dengan Manda saat keluar dari kamar mandi. “Bu Camelia?!” pekik Manda saat berusaha bangun dari jatuhnya. “Anu … ini saya nggak sengaja terjatuh.”Manda berpikir kalau ia harus mencari alasan agar tidak ada yang mencurigai hubungannya dengan Raffael.“Ngapain kau di sini, Gideon?” tegur Raffael. “Pantas saja Emilia ada di kantorku juga.”Ia berdiri dan mengebaskan debu yang mungkin menempel pada celana dan kemejanya. Tak menggubris ocehan Raffael, Gideon malah berkomentar pada Manda. “Kamu banyak sialnya ya? Tadi papasan pas kamu nggak pakai baju. Sekarang pas kamu jatuh menimpa Raffa.”Kali ini Camelia benar-benar memukul Gideon. “Ha?! Nggak pakai baju? Kamu ngintip Manda, Gid?!”Raffael pun spontan menoleh ke arah Manda. Wajahnya mengkerut penuh tanya pada sang sekretaris. Wajah Manda terlihat memerah karena insiden tadi malah diceritakan seperti sebuah lelucon.
“Berdua?” tanya Elena penasaran. Merasa sang kepala sekretaris itu mulai curiga, Manda terpaksa berbohong. “Nggak tahu, Bu. Tadi Pak Raffael cuma suruh saya ke sana 10 menit setelah dia kirim pesan.”“Jangan-jangan dia udah tahu kamu di bully?” tebak Melly, mulai membuka topik baru untuk bergosip. “Apa Karin bakal dipecat?” Tak mau terlibat lebih jauh dengan pembicaraan itu, Manda pun segera pamit ke ruang rapat yang disebutkan Raffael tadi.Tiba di sana, ternyata tak seperti dugaannya. Sudah ada Camelia dan Gideon di sana. Juga ada seorang wanita muda yang duduk bersebelahan dengan Gideon. “Selamat siang!” Manda menyapa seraya memasuki ruang rapat itu.Ia merasa canggung berada di antara para petinggi perusahaan. Padahal baru juga beberapa hari ia bekerja. Gideon terkekeh. “Ada apa dengan salam kaku itu? Kita sudah ketemu tadi.”“Abaikan dia, Manda.” Raffael menarik kursi kosong di sebelahnya, memberi isyarat agar sekretarisnya duduk dekat.Manda menurut. Lagi pula, ia memang ada
“Mungkin.”Manda menjawab setelah lama berpikir. “Mungkin, secara nggak langsung, Pak. Karena bukan salah saya juga kalau tiba-tiba saya dipindah dari posisi yang seharusnya.”Kali ini, giliran Raffael yang berpikir lama. ‘Yeah. Kurasa dia benar. Seharusnya dia bukan sekretarisku.’ Begitupun, sang presdir sepertinya belum ingin mengakui kesalahan. Ia hanya menyimpannya dalam hati. “Saya ada janji dengan Pak Mahen malam ini,” ujar Raffael menyudahi topik sebelumnya. “Kamu mau saya antar pulang atau saya pesankan taksi?”Kening Manda berkerut, heran kenapa seolah ia sedang diminta pulang lebih cepat. “Memangnya kenapa?”“Bajumu.” Raffael mengingatkan. “Kalau kau naik kendaraan umum, apa nyaman?” ‘Ah! Bisa-bisa aku kena sasaran orang jahat pakai baju mahal begini.’“Nanti saya pesan taksi, Pak.”Raffael menatap Manda dengan seksama. Ia ingin gadis itu memintanya untuk membayari taksi atau memesankan taksi, tapi dari jawaban yang ia terima, jelas ia ingin melakukannya sendiri.“Oke. Sa
“Manda, apa kamu dapat kabar dari Pak Raffael?”Manda melirik jam tangannya kemudian menggeleng. “Belum, Bu. Apa saya coba tanya saja?”Elena mengangguk. “Boleh. Nggak biasanya dia terlambat datang.”Hati Manda tiba-tiba terasa berat. Sejak kemarin, sang atasan sama sekali tidak mengganggunya. Kalau Raffael yang biasa, dia pasti sudah dapat pesan macam-macam soal pekerjaan. Manda jadi takut, kalau-kalau terjadi sesuatu dengan bos-nya setelah bertemu Mahen.“Bu El, Ibu tahu rekanan bisnis kita yang namanya Pak Mahen?” tanya Manda sebelum mengirim pesan pada Raffael.Dahi Elena berkerut, mencoba mengingat-ingat. “Mahen?”Manda mengangguk.Tak lama, Elena menggelengkan kepala. “Belum pernah dengar saya. Memang kenapa?”“Kemarin, Pak Raffael bilang kalau dia ada janji dengan Pak Mahen.”“Kalau gitu, apa kamu coba kontak Pak Mahen itu?” usul Elena. Manda menggeleng. “Saya nggak ada nomornya. Pak Raffael nggak bolehin saya kontak mereka. Bahkan sekretarisnya juga. Saya nggak boleh ada kon
“Manda? Ngapain kamu, Nak?” Spontan Manda berdiri dengan wajah meringis. “Ng—nggak apa-apa, Bu Diandra. Si–silakan masuk, Bu!”Manda menempelkan kartu dan membuka pintu untuk direktur wanita tersebut. Ia sendiri mengikuti di belakang. Ketika tiba di bilik kerjanya, Manda sedikit lega karena Melly dan Ria sudah kembali ke meja mereka dan Elena tak terlihat di sana.‘Fyuh! Seenggaknya aku bisa pura-pura kerja nanti kalau dia masuk. Jadi, nggak akan papasan mata.’ Batinnya merana, ‘Kenapa jadi kucing-kucingan begini ya?’Baru saja ia bertekad untuk tidak mengangkat kepala siapapun yang masuk ke ruangan, tetapi begitu suara pintu terbuka, Manda otomatis mendongak.Netranya langsung bertemu dengan bola mata bulat milik Elena. Spontan Manda menunduk, seolah ia sudah berbuat kesalahan. ‘Duh! Gimana sih aku! Malah ngehindar! Semoga Bu Elena nggak minta bicara berdua. Aku masih belum siap.’Sayang, harapannya tidak terkabul. Dengan wajah sumringah Elena menepuk pundak Manda dan berkata, “Ma
Hai! Romero Un menyapa!Novel ini akhirnya tamat ya ^_^Terima kasih buat para pembaca yang mendukung novel ini sampai selesai. Terima kasih juga untuk pembaca yang sudah memberikan komentar dan hadiah. Sampai ketemu di novel selanjutnya ya!Sayonara!
“Bos, sudah keluar hasilnya.”Bintang mengangguk. Ia segera mengecek hasilnya dan menemukan komposisi larutan yang tertulis dapat menyebabkan kerusakan pada pita suara. Ia pun langsung memberitahu Dennis. “Segera suruh Luna menemui dokter Gilian. Kuharap belum terlambat memperbaiki pita suaranya.”“Black, tangkap Kanya dan 2 temannya. Bawa mereka ke kapten. Aku sudah malas mengurusi mereka.”“Baik, Bos!”Sepeninggalan Black, Bintang langsung menyandarkan kepala, sambil memijat-mijat dahinya yang mulai pusing. Dengan posisi tak berubah, ia mencoba meraih gagang telepon dan menghubungi Tiara. “Auntie, tolong ke ruanganku.”2 menit setelahnya, Tiara sudah duduk di hadapannya. “Ada apa, Pak Bintang?”“Aku mau keluarkan berita dan juga peraturan baru.”Sang sekretaris senior itu mengangguk.‘Apa ini masalah artis Luna itu? Kurasa memang sudah keterlaluan sekali Kanya itu.’ Tiara membatin, sementara tangannya membuka laptop di pangkuan.Dalam berita internal itu, Bintang menjelaskan perka
“Oh! Lex, aku cari kamu. Ayo, ikut!”Bintang mengambil kesempatan untuk lepas dari Kanya. Ia segera pamit, menggeret adik perempuannya bersama. “Kau dikerjai si Kanya?” tanya Alexa setelah mereka cukup jauh dari target pembicaraan.Bintang menggeleng. “Sepertinya dia nggak suka dengan Lia dan membuat skandal untuk menghancurkan karir Lia sebelum debut.”Alexa mengerutkan dahi. “Kukira sasaran Kanya si Luna. Dia sering banget dipanggil Kanya sebelum latihan mulai. Dan pagi ini Luna kena marah karena suaranya tiba-tiba hilang.”Kali ini dahi Bintang yang berkerut tak mengerti. “Kenapa kau diam saja? Kanya sepertinya bukan perempuan yang baik, Lex. Hati-hati.”Alexa mendengus geli. “Siapa yang berani denganku?!”“Jadi, ini yang kemarin kakak tanyain ke aku? Skandal itu disengaja oleh Kanya?” Alexa kembali bertanya. Kepala Bintang bergerak naik-turun. “Kebetulan aku melihatnya.”Mereka terdiam sesaat, sebelum akhirnya Bintang memutuskan untuk pergi menemui Dennis. “Kau juga hati-hati. A
“Aku nggak peduli.” Bintang membalas pertanyaan Adelia dengan pernyataan keras kepala. “Kita bisa menyembunyikan pernikahan ini, untuk sementara.”“Buat apa?” tanya Adelia tak mengerti. “Kalau aku menikah, aku ingin bisa menceritakannya pada semua orang.”Mendengar itu Bintang tak bisa berkelit. Ia tak menyangkal. Mungkin dirinya yang paling sulit untuk menyembunyikan hubungan mereka. Bahkan sejak awal, dirinya lah yang tak bisa menahan diri untuk mengumbar kedekatannya dengan Adelia. “Tapi kalau tunangan, kurasa aman. Gimana?” usul Adelia yang merasa bersalah setelah pertanyaannya tadi. Bagaimanapun, saat ini, seorang CEO besar melamarnya. Dia, yang hanyalah seorang gadis biasa.Namun, Bintang menolak usulannya. “Aku ingin menikahimu karena aku mau semalam-malamnya kamu pulang, aku ada di rumah.”Wajah Adelia bersemu merah. Sebuah senyum tak sadar terbentuk di sana. “Hanya karena alasan itu?” gumamnya tak percaya.“Itu bukan ‘hanya’, My dear.” Bintang memeluk tubuh sang kekasih er
“Bos, Regan mengitrogasiku. Sepertinya Bos Raffael mencari Anda.”Black melapor pada Bintang, tepat di saat ia yakin kalau Adelia sudah masuk ke kamar mandi hotel. Ini adalah hari kedua Bintang dan Adelia berada di hotel. Seharian kemarin mereka menikmati renang dan layanan spa dari hotel itu. Dan pagi ini, seperti yang sudah ia perkirakan akan terjadi. Foto dirinya melangkah keluar dari apartemen para artis RAFTEN sambil merangkul seorang perempuan tak dikenal, menghiasi halaman depan media berita artis ibukota.Tentu saja, Raffael dan Manda akan marah besar, mengira bahwa putranya berselingkuh di belakang Adelia. “Mereka pikir Anda membalas dendam atas skandal Nona Adelia.”“Ah ….” Bintang terkekeh geli dengan tebakan orang tuanya. “Aku mematikan ponselku. Kau saja yang beritahu mereka kalau foto itu adalah fotoku dengan Lia.”Black mengangguk. “Baik, Bos.”“Tapi, jangan kasih tahu kami di hotel ini,” tambah Bintang, mengingatkan. “Aku dan Lia sedang liburan.”“Siap, Bos!”Sege
Ha! Ha! Ha! “Pertanyaan dari mana itu?” Bintang tergelak mendengar kenyataan bahwa Adelia tak merasakan cintanya.CEO RAFTEN bahkan tak bisa menyalahkan siapapun kecuali dirinya, karena sudah membuat Adelia bertanya demikian. Cinta yang ia berikan sepertinya tidak nyata. Seperti apa kata sang ibunda. Hambar.“Kau nggak tahu saja, tiap malam aku datang ke sini. Tapi kau nggak pernah ada.”Netra Adelia membulat kaget. “Bohong! Aku nggak pernah ketemu kamu! Nggak pernah ada tanda-tanda kamu mengunjungi apartemenku.”Bintang mengecup bibir sang kekasih, singkat. Kemudian berkata, “Aku malas kalau harus mengakui perbuatanku. Jadi, terserah kamu percaya atau nggak. Aku nggak masalah, Lia.”Melihat Bintang tidak bersikeras membuktikan ucapannya, Adelia memutuskan untuk percaya. “Terus, kenapa kau ke apartemenku nggak bilang-bilang?” tanyanya heran. Bibir Bintang bergerak ke kanan lalu ke kiri, menimbang apa juga yang membuatnya datang ke apartemen Adelia.“Awalnya mau kasih kejutan. Tapi
‘... dia nangis karena sudah lama nggak bisa ketemu kamu, Kak.’Ucapan Alexa tadi kembali terngiang di telinga Bintang, walau sambungan telepon sudah terputus sejak tadi. Senyuman lebar tak bisa ia tahan. ‘Kurasa aku terlalu percaya pada hubungan kami. Percaya bahwa kami mengerti satu sama lain, tanpa perlu banyak interaksi.’“Ternyata aku salah,” keluhnya menyimpulkan apa yang terjadi. Dengan cepat ia mengirim pesan pada Tiara, sekretarisnya. To Tiara:Besok saya libur satu minggu. Jangan cari saya!Pesan terkirim!Kemudian ia juga mengirim pesan yang sama pada Theo, tetapi terkait Adelia. To Theo:Besok Adelia libur 3 hari. Jangan cari dia!Pesan terkirim!Bintang mematikan ponselnya dan juga Adelia begitu saja dan mulai fokus mengurus sang kekasih. Ia menggulung lengan kemejanya dan mulai menyeka bagian tubuh Adelia yang terlihat. Malam itu ia memutuskan untuk menemani sang kekasih, tidur di ranjang yang sama.‘Ah … sebaiknya aku juga ganti saja itu!’*** Keesokan paginya, Ad
‘Kalau diingat-ingat … aku terakhir lihat Lia dari jendela pintu ruang latihan. 3 minggu lalu, kalau nggak salah.’Bintang menatap lurus tanpa berkedip. Pandangannya kosong, sementara ia menggenggam gelas wine di tangannya. Ia sedang duduk di sofa apartemen sang kekasih. Masih terdiam, pikirannya kembali mengingat hari itu. ‘Setelah itu, aku pergi dinas. Dennis bilang kalau Lia sangat bersemangat siap debut.’“Nggak ada yang salah dengan kami. Kurasa.”Pria yang tengah bingung dengan komentar ibu dan rekan kerjanya itu kembali menghela napas panjang. Ia tak tahu apa yang membuat hubungannya dicap hambar. Sejauh mereka belum menikah, jelas tidak ada yang bisa mereka lakukan selain pergi kencan. Sesekali berciuman atau tidur di kasur yang sama. “Apa aku harusnya menikahi Lia?” Lagi, ia berbicara dengan diri sendiri. “Tapi dia sedang bersiap debut. Bagaimana kalau langsung hamil dan merusak karirnya?”Sudah pukul 11 malam dan Adelia tak juga tiba di rumah. Mungkin penantian Bintang ma
“Dia tidur sambil berendam.”Bintang menggelengkan kepala, heran dengan kelakuan absurd sang kekasih kecilnya. Sekarang ia tidak tahu harus berbuat apa untuk mengangkat tubuh Adelia tanpa melihat. “Lia.” Bintang mencoba membangunkannya. “Adelia!”Dengkuran halus malah menjadi jawaban dari panggilan itu. Membuat Bintang mulai kehabisan akal setelah beberapa kali mencoba membangunkannya. Ia memutuskan untuk mengambil handuk dan menutupi tubuh gadis itu setelah berhasil mengangkatnya dengan menutup mata. Setelah bekerja keras, Bintang pun berhasil membaringkannya di tempat tidur. Namun, sampai di sana, Adelia malah terbangun. “Kenapa kau baru bangun sekarang, hm?” keluh Bintang. “Kau mengerjaiku ya?”Adelia mengerjapkan netranya beberapa kali, kemudian tersadar bahwa ia sudah ada di kasurnya, masih dengan tubuh yang basah. “Astaga! Apa aku ketiduran?”Melihat dari respon Adelia, Bintang tahu kalau gadis itu pasti kelelahan setelah beberapa minggu terus berlatih dan hanya bisa tidur 2