LOGINSatu minggu berlalu sejak Raisha dan Lander mendarat di Amerika. Dalam rentang waktu itu, keadaan Stevano justru semakin memburuk. Tidak ada seorang pun yang benar-benar memahami apa yang sedang terjadi dengannya. Bahkan Bianca yang selalu menuntut perhatian penuh mulai kehabisan kesabaran karena lelaki itu tampak seperti kehilangan arah.Pagi itu, suasana kediaman Bianca terasa sunyi, namun bukan sunyi yang menenangkan. Ada sesuatu yang menggantung di udara, seperti ketegangan yang tidak terlihat namun cukup kuat untuk membuat siapa pun enggan bersuara keras. Stevano duduk di ruang tamu, memandangi gelas kopinya yang sudah dingin sejak setengah jam lalu. Tatapannya kosong, seolah pikirannya melayang jauh dari tempat itu. Napasnya naik turun pelan, namun tidak pernah stabil.Bianca melangkah masuk dengan sepatu berhak tinggi yang berderap keras di lantai marmer. Gadis itu berdandan rapi, rambut pirangnya disanggul anggun dan bibirnya dilapisi lipstik merah muda yang biasanya mendapat
Udara dingin langsung menyergap wajah Raisha begitu pintu pesawat terbuka. Embusan angin asing itu membuatnya merapatkan jaket yang ia kenakan jaket milik Lander, karena ia tidak punya cukup waktu membawa miliknya sendiri.Sedetik setelah kaki mungilnya menginjak lantai bandara, Raisha menutup mata sejenak, menarik napas panjang. Udara Amerika terasa berbeda. Lebih dingin, lebih tajam… dan entah mengapa, terasa lebih bebas."Welcome to New York," gumam Lander rendah sambil berjalan sedikit di depan.Raisha mengikuti dari belakang. Sejak tadi ia terus menatap sekeliling, lampu-lampu bandara, papan petunjuk digital, wajah-wajah asing yang bergerak cepat. Semuanya terasa seperti mimpi panjang yang belum sepenuhnya ia pahami.Ia melarikan diri.Menghilang.Meninggalkan Stevano.Hatinya kembali berdegup cepat.Raisha tidak menyesal telah pergi… tapi ketakutannya tidak berkurang sedikit pun.Lander menoleh. "Kamu baik-baik saja?"Raisha mengangguk pelan. "Iya, Paman. Hanya… belum terbiasa."
Jam sudah menunjukan pukul dua belas malam ketika Stevano baru saja tiba di apartemennya, pemuda itu mendorong pintu lalu masuk ke dalam apartemen. Saat ia menutup pintu, suasana di apartemen itu sangat sepi. Bi Jumi sudah izin tadi pagi untuk pulang lebih awal karena tidak enak badan, ketika Stevano bertanya di mana Raisha, Bi Jumi menjawab bahwa Raisha sejak tadi pagi belum keluar kamar. Berpikir jika istrinya itu sakit, Stevano hanya menyetujui permintaan Bi Jumi dan melanjutkan perjalanannya menemani Bianca. Ia sama sekali tidak memikirkan istrinya sama sekali, meski seharian tak ada kabar darinya. "Sepi sekali," gumam Stevano. Ia menyalakan lampu apartemen itu, lalu melepas jaket yang sejak tadi ia kenakan. Stevano berjalan menuju dapur dan melirik meja makan yang sudah berisi makanan dingin. "Apa Raisha belum makan?" Stevano membuka tudung saji, dan makanan di sana masih utuh bahkan tidak tersentuh sedikit pun. "Ck, apa dia nungguin aku?" Stevano menutup kembali tudung sa
Stevano menghela napas berat. "Bia, aku mulai lelah. Bisakah kita keluar dari tempat ini?" Bianca menoleh, ia terlihat tidak setuju dengan saran Stevano. Masih banyak barang yang belum ia beli di toko tersebut, Bianca melipat kedua tangannya di depan dada. "Tidak boleh! kita baru sebentar di sini, masa mau pulang?" Bianca berdecak sebal. "Kamu kenapa sih? biasanya juga tidak pernah protes." "Kita sudah dua jam di sini, dan kamu cuma belanja ini itu. Padahal barang-barang kamu yang bagus masih banyak di rumah," kata Stevano. Bianca mendengus jengkel, ia tak mau mengakui ucapan Stevano karena baginya semua barang dengan keluaran terbaru harus di beli, ia tak mau ketinggalan tren yang sedang muncul. "Memang kenapa? Aku hanya mau yang terbaik untuk diriku. Kamu tidak suka jika pacarmu membeli banyak barang mewah?" jawab Bianca sinis sambil mengangkat dagu. Stevano memejamkan mata sejenak, mencoba menahan emosi yang sudah naik ke ubun-ubun. Ia benar-benar lelah. Kedua tangannya
Raisha menarik kopernya keluar kamar, suasana di apartemen itu sangat sepi karena Bi Jumi sedang ke pasar dan itu merupakan kesempatan besar baginya keluar tanpa ketahuan. Awalnya Raisha tak berniat pergi diam-diam, namun setelah pertimbangan yang cukup lama akhirnya ia mengambil keputusan ini. "Aku harus cepat," kata Raisha. Ia buru-buru melanjutkan langkahnya menuju pintu apartemen, sebelum ia menutup pintu itu untuk selamanya Raisha kembali menoleh ke belakang dan menatap ruangan yang sudah ia jadikan saksi hubungannya dengan Stevano. Raisha tersenyum pilu. "Selamat tinggal, Kak," Katanya parau. Pintu tertutup rapat dan Raisha berlari menuju lift yang akan membawanya menuju lantai dasar, selama berada di lift Raisha mencoba mengatur pernapasannya yang mendadak sesak. Perpisahan yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya justru terjadi hanya dalam hitungan hari, ia tak sanggup jika terus menerus melihat Stevano dan Bianca bersama sedangkan dirinya masih berstatus sebagai istri
Hari minggu akhirnya tiba, setelah menghabiskan waktu bersama Stevano dalam kebisuan di kamar hotel mewah akhirnya Raisha kembali pada rutinitasnya di apartemen.Saat ini Raisha sedang membereskan buku pelajarannya, ia memasukan buku-buku itu ke dalam lemari. Seperti biasa Stevano sudah pergi dari apartemen itu, jangan tanya ke mana ia pergi karena tujuan satu-satunya adalah Bianca."Sebentar lagi buku-buku bakal berdebu," gumamnya sendu.Tangannya meraih pigura foto pernikahannya dengan Stevano, Raisha mengusap foto itu perlahan lalu tersenyum tipis. "Sebentar lagi kamu bebas, Kak." Raisha menyeka sudut matanya yang berair, setelah seminggu memikirkannya Raisha akhirnya memilih keputusan terberat dalam hidupnya. Keputusan yang akan mengubah seluruh perjalanan hidup dan pernikahannya, ia meletakan kembali pigura itu dan melangkah menuju lemari pakaian. Raisha mengeluarkan koper berwarna hitam yang berukuran sedang, ia meraih pakaian miliknya lalu memasukan ke dalam koper. Pakaiann







