LOGINDi dalam kamar, dengan suara televisi yang menyala begitu juga dengan ponsel milik Stevano. Tapi, cowok itu lebih sibuk dengan rokok dan segelas alkohol di tangan kirinya.
Raisha menghela napas panjang, dia tidak tahu apa yang ada di dalam otak cowok itu. Semua tingkah lakunya membuat Raisha terheran-heran, dia yang belum pernah melihat cowok dengan temperamental seburuk suaminya sering kali ingin menangis ketika mendengar suara bentakan dari suaminya itu. "Kak, aku matiin televisinya, ya?" Raisha bertanya sambil meraih remot yang berada di nakas samping ranjang. "Boleh, kan?" Namun, detik itu juga Raisha mendapat tatapan tajam dari Stevano hingga membuat cewek itu mengurungkan niatnya dan kembali meletakan remot di atas nakas. Raisha memilih meringkuk naik ke atas kasur di samping cowok itu. Dia masuk ke dalam selimut tebal, begitu aroma asap rokok serta alkohol menyeruak ke dalam indra penciumannya. Raisha merasakan perutnya bergejolak hebat, saat itulah dia tidak bisa menahan rasa mualnya. "Huek!" Stevano reflek menoleh ke samping tempat istrinya berada, terlihat cewek itu sedang menutup mulutnya sendiri menggunakan telapak tangan kanannya. Raisha beranjak turun dari ranjang lalu berlari menuju kamar mandi, dia membuka pintu dengan tergesa-gesa hingga tanpa sadar menimbulkan suara dentuman cukup keras. Stevano berdecak melihat tingkah istri kecilnya, dia lupa jika Raisha kini sedang hamil muda. Dia pun segera menyingkirkan asbak, rokok, dan juga alkoholnya dari atas kasur ke tempat sampah. Setelahnya, cowok itu berjalan menuju kamar mandi untuk mengecek istrinya. Begitu masuk, Stevano melihat Raisha tengah berjongkok dengan keringat dingin yang muncul di keningnya, bibir cewek itu sangat pucat begitu juga dengan wajahnya. Stevano menatap sekilas tanpa ada niatan untuk membantu, lalu cowok itu meraih sikat gigi di wastafel dan mencuci wajahnya. Dari kaca wastafel, dia bisa melihat tubuh Raisha yang terlihat limbung. Stevano meraih handuk dari lemari kecil di samping wastafel, dan mengeringkan wajahnya dengan cepat. Setelah selesai, dia menghela napas panjang lalu berjongkok dan mengangkat tubuh istrinya yang sudah pucat pasi ke dalam gendongannya. "Dasar nyusahin mulu," cibir Stevano sebal. Cowok itu keluar dari kamar mandi, lalu meletakan Raisha ke atas kasur dengan gerakan kasar. Stevano menatap malas istrinya, lalu melepas kaus yang dia kenakan. Seketika tubuh berotot cowok itu terpampang jelas, dengan perut kotak-kotak yang berhias tato di bagian pinggangnya. Tato berbentuk kalajengking, menghiasi pinggang cowok itu. Stevano naik ke atas ranjang dan berbaring di samping Raisha, dia meletakan kedua tangannya di bawah kepala hingga memperlihatkan bagian ketiaknya yang sudah di cukur hingga bersih. Raisha menoleh, dia menelan salivanya dengan susah payah. Tidak di pungkiri, kalau suaminya itu memiliki ketampanan melebihi rata-rata. Bahkan, menurutnya Stevano bisa di bilang cowok paling tampan setelah ayahnya di kehidupannya yang dulu. Raisha menggeleng pelan, dia membulatkan tekadnya. Mengesampingkan gengsi yang di milikinya, dia berpikir secara realistis jika dia harus memanfaatkan semua situasi, Raisha memberanikan diri mendekati cowok itu. Perlahan dia menggeser posisi rebahannya hingga jarak di antara mereka semakin tipis, Raisha mengangkat tangan kanannya lalu memeluk pinggang sang suami, Raisha bergerak dan meletakan kepalanya di bawah ketiak suaminya. Hal itu tentu saja membuat cowok itu terkejut, dia berniat membentak Raisha tapi dia urungkan ketika cewek itu berkata. "Anak Kakak lagi mau di manja Ayahnya." "Kalau mau modus bilang aja," sinis Stevano membuat pipi Raisha merona tanpa sadar. Raisha menenggelamkan wajahnya di samping tubuh suaminya, menghirup aroma tubuh cowok itu dalam-dalam. "Anak Kakak minta di elus," ujar Raisha malu-malu. Stevano mendengus sebal, "Kalau modus tidak usah bawa-bawa anakku." Raisha yang awalnya menyembunyikan wajahnya, kini langsung mendongak dan menarik lengan cowok itu sebagai bantal. Lalu, tanpa rasa malu dia menarik lengan Stevano yang satu lagi dan meletakannya di atas perutnya yang sudah sedikit membuncit. Wajah Raisha semakin memerah, jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. "Kak... elus..." Stevano hanya melirik Raisha dengan ekor matanya, dia heran dari mana datangnya keberanian cewek itu. Ratusan orang yang pernah menjadi mantannya, tidak ada satupun yang berani melakukan hal seperti itu padanya. Kebanyakan dari mereka langsung takut, begitu bertatapan dengan mata cowok itu. "Kak," rengek Raisha manja. "Nanti anaknya ngiler loh, karena tidak di turutin kemauannya." Stevano menarik napas panjang, tak ayal dia akhirnya menuruti kemauan istrinya itu. Dia mengelus perut cewek itu pelan, gerakan tangan Stevano sesekali berhenti. Dia masih belum bisa percaya, jika di dalam perut cewek kecil itu ada darah dagingnya. "Kak," panggil Raisha. Namun, Stevano sama sekali tidak menjawab. Cowok itu memejamkan mata dengan tangan yang masih mengelus perut istrinya. Tidak ingin menyerah begitu saja, Raisha kambali melontarkan pertanyaan. "Mama sama Raya... orangnya baik, kan?" Seketika Stevano membuka kedua matanya, dan menghentikan gerakan tangannya di perut sang istri. Tubuh cowok itu menegang, seperti sangat terkejut mendapatkan pertanyaan tak terduga dari cewek itu. Raisha yang sadar, langsung mendongak menatap wajah suaminya yang berjarak sangat dekat dengannya. "Kak, kok diam saja?" "Jangan dekat-dekat sama mereka," ujar Stevano tidak terbantahkan. Kening Raisha seketika berkerut, "Memang kenapa?" "Pokoknya jangan dekat-dekat mereka, kalau kamu tidak mau kehilangan anak kita." Seru Stevano, nada suaranya naik beberapa oktaf hingga membuat Raisha langsung menundukkan kepalanya. "Iya, iya. Aku tidak dekat-dekat mereka, tapi elusin anak kita lagi, Kak." Pinta Raisha tersenyum tipis. Stevano tidak membantah, dia segera menuruti permintaan cewek itu dari pada dia mendengar rengekan dari istrinya yang menurutnya bisa memecahkan gendang telinganya.Satu minggu berlalu sejak Raisha dan Lander mendarat di Amerika. Dalam rentang waktu itu, keadaan Stevano justru semakin memburuk. Tidak ada seorang pun yang benar-benar memahami apa yang sedang terjadi dengannya. Bahkan Bianca yang selalu menuntut perhatian penuh mulai kehabisan kesabaran karena lelaki itu tampak seperti kehilangan arah.Pagi itu, suasana kediaman Bianca terasa sunyi, namun bukan sunyi yang menenangkan. Ada sesuatu yang menggantung di udara, seperti ketegangan yang tidak terlihat namun cukup kuat untuk membuat siapa pun enggan bersuara keras. Stevano duduk di ruang tamu, memandangi gelas kopinya yang sudah dingin sejak setengah jam lalu. Tatapannya kosong, seolah pikirannya melayang jauh dari tempat itu. Napasnya naik turun pelan, namun tidak pernah stabil.Bianca melangkah masuk dengan sepatu berhak tinggi yang berderap keras di lantai marmer. Gadis itu berdandan rapi, rambut pirangnya disanggul anggun dan bibirnya dilapisi lipstik merah muda yang biasanya mendapat
Udara dingin langsung menyergap wajah Raisha begitu pintu pesawat terbuka. Embusan angin asing itu membuatnya merapatkan jaket yang ia kenakan jaket milik Lander, karena ia tidak punya cukup waktu membawa miliknya sendiri.Sedetik setelah kaki mungilnya menginjak lantai bandara, Raisha menutup mata sejenak, menarik napas panjang. Udara Amerika terasa berbeda. Lebih dingin, lebih tajam… dan entah mengapa, terasa lebih bebas."Welcome to New York," gumam Lander rendah sambil berjalan sedikit di depan.Raisha mengikuti dari belakang. Sejak tadi ia terus menatap sekeliling, lampu-lampu bandara, papan petunjuk digital, wajah-wajah asing yang bergerak cepat. Semuanya terasa seperti mimpi panjang yang belum sepenuhnya ia pahami.Ia melarikan diri.Menghilang.Meninggalkan Stevano.Hatinya kembali berdegup cepat.Raisha tidak menyesal telah pergi… tapi ketakutannya tidak berkurang sedikit pun.Lander menoleh. "Kamu baik-baik saja?"Raisha mengangguk pelan. "Iya, Paman. Hanya… belum terbiasa."
Jam sudah menunjukan pukul dua belas malam ketika Stevano baru saja tiba di apartemennya, pemuda itu mendorong pintu lalu masuk ke dalam apartemen. Saat ia menutup pintu, suasana di apartemen itu sangat sepi. Bi Jumi sudah izin tadi pagi untuk pulang lebih awal karena tidak enak badan, ketika Stevano bertanya di mana Raisha, Bi Jumi menjawab bahwa Raisha sejak tadi pagi belum keluar kamar. Berpikir jika istrinya itu sakit, Stevano hanya menyetujui permintaan Bi Jumi dan melanjutkan perjalanannya menemani Bianca. Ia sama sekali tidak memikirkan istrinya sama sekali, meski seharian tak ada kabar darinya. "Sepi sekali," gumam Stevano. Ia menyalakan lampu apartemen itu, lalu melepas jaket yang sejak tadi ia kenakan. Stevano berjalan menuju dapur dan melirik meja makan yang sudah berisi makanan dingin. "Apa Raisha belum makan?" Stevano membuka tudung saji, dan makanan di sana masih utuh bahkan tidak tersentuh sedikit pun. "Ck, apa dia nungguin aku?" Stevano menutup kembali tudung sa
Stevano menghela napas berat. "Bia, aku mulai lelah. Bisakah kita keluar dari tempat ini?" Bianca menoleh, ia terlihat tidak setuju dengan saran Stevano. Masih banyak barang yang belum ia beli di toko tersebut, Bianca melipat kedua tangannya di depan dada. "Tidak boleh! kita baru sebentar di sini, masa mau pulang?" Bianca berdecak sebal. "Kamu kenapa sih? biasanya juga tidak pernah protes." "Kita sudah dua jam di sini, dan kamu cuma belanja ini itu. Padahal barang-barang kamu yang bagus masih banyak di rumah," kata Stevano. Bianca mendengus jengkel, ia tak mau mengakui ucapan Stevano karena baginya semua barang dengan keluaran terbaru harus di beli, ia tak mau ketinggalan tren yang sedang muncul. "Memang kenapa? Aku hanya mau yang terbaik untuk diriku. Kamu tidak suka jika pacarmu membeli banyak barang mewah?" jawab Bianca sinis sambil mengangkat dagu. Stevano memejamkan mata sejenak, mencoba menahan emosi yang sudah naik ke ubun-ubun. Ia benar-benar lelah. Kedua tangannya
Raisha menarik kopernya keluar kamar, suasana di apartemen itu sangat sepi karena Bi Jumi sedang ke pasar dan itu merupakan kesempatan besar baginya keluar tanpa ketahuan. Awalnya Raisha tak berniat pergi diam-diam, namun setelah pertimbangan yang cukup lama akhirnya ia mengambil keputusan ini. "Aku harus cepat," kata Raisha. Ia buru-buru melanjutkan langkahnya menuju pintu apartemen, sebelum ia menutup pintu itu untuk selamanya Raisha kembali menoleh ke belakang dan menatap ruangan yang sudah ia jadikan saksi hubungannya dengan Stevano. Raisha tersenyum pilu. "Selamat tinggal, Kak," Katanya parau. Pintu tertutup rapat dan Raisha berlari menuju lift yang akan membawanya menuju lantai dasar, selama berada di lift Raisha mencoba mengatur pernapasannya yang mendadak sesak. Perpisahan yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya justru terjadi hanya dalam hitungan hari, ia tak sanggup jika terus menerus melihat Stevano dan Bianca bersama sedangkan dirinya masih berstatus sebagai istri
Hari minggu akhirnya tiba, setelah menghabiskan waktu bersama Stevano dalam kebisuan di kamar hotel mewah akhirnya Raisha kembali pada rutinitasnya di apartemen.Saat ini Raisha sedang membereskan buku pelajarannya, ia memasukan buku-buku itu ke dalam lemari. Seperti biasa Stevano sudah pergi dari apartemen itu, jangan tanya ke mana ia pergi karena tujuan satu-satunya adalah Bianca."Sebentar lagi buku-buku bakal berdebu," gumamnya sendu.Tangannya meraih pigura foto pernikahannya dengan Stevano, Raisha mengusap foto itu perlahan lalu tersenyum tipis. "Sebentar lagi kamu bebas, Kak." Raisha menyeka sudut matanya yang berair, setelah seminggu memikirkannya Raisha akhirnya memilih keputusan terberat dalam hidupnya. Keputusan yang akan mengubah seluruh perjalanan hidup dan pernikahannya, ia meletakan kembali pigura itu dan melangkah menuju lemari pakaian. Raisha mengeluarkan koper berwarna hitam yang berukuran sedang, ia meraih pakaian miliknya lalu memasukan ke dalam koper. Pakaiann







