Masuk"Ra, mau ke kantin bareng?" tanya Vera, teman baru Raisha dari beberapa jam yang lalu.
Stevano yang memaksa cewek itu untuk berteman dengan Raisha, karena Vera merupakan adik dari Axel. Raisha berpikir sejenak, lalu mengangguk dan menyetujui ajakan Vera ke kantin. Mereka berjalan bersama-sama menyusuri koridor sekolah menuju kantin sambil di selingi obrolan ringan. Setibanya di kantin, keriuhan terasa begitu kental. Bangku yang masih kosong hanya tersisa beberapa biji, hingga tatapan kedua remaja itu tertuju pada seseorang yang sedang melambaikan tangan ke arah Raisha dan Vera. Vera menoleh dan langsung menarik pergelangan tangan Raisha agar mendekat pada bangku yang sudah dihuni oleh para cowok biang masalah di sekolah. Vera segera duduk di samping Nathan yang sedang sibuk dengan ponsel di genggamannya, dia melirik sekilas pada kekasihnya itu. Hubungan mereka sudah berjalan selama setengah tahun, tapi sikap Nathan masih terkesan cuek hanya beberapa kali saja cowok itu bisa bersikap romantis. Sedangkan Raisha duduk di sebelah Stevano, cowok itu juga sedang sibuk memainkan ponselnya tanpa sedikitpun menyentuh makanan yang sudah dia pesan sebelumnya. Cowok itu menggeser mi ayam ke arah Raisha, "Makan." Titahnya. Raisha menatap makanan itu tidak berselera, dia sedang ingin makan bakso di campur sambal yang banyak. Mengingat hal itu membuat air liurnya ingin menetes. "Jangan makan yang pedas-pedas, tidak bagus buat kandunganmu, makan ini aja." Kata Stevano seolah tahu isi pikiran istrinya. Sontak Raisha menatap suaminya lama, cowok itu masih saja tidak menatapnya tapi hal itulah yang membuat Raisha heran, dari mana suaminya bisa tahu isi pikirannya? Raisha bahkan menebak jika suaminya bisa membaca pikirannya. "Cepat makan. Masih mending aku memberimu makanan bukan lumpur," sentak Stevano hingga Raisha reflek memegang sendok dan bersiap untuk memakan mie ayam tersebut sebelum dia di berikan lumpur oleh suaminya. "Kamu tidak makan juga, Ver?" tanya Ryker berusaha memberi kode. Vera melirik Nathan yang seakan tuli dan lebih sibuk dengan dunianya sendiri. "Tidak, soalnya cowokku lebih asik sama ponselnya." Mendengar itu, Nathan menghela napas panjang lalu mematikan ponsel dan meletakkannya di atas meja. Tangan kanannya terangkat lalu mengusap rambut Vera lembut. "Kamu mau makan apa, Sayang?" Seketika wajah Vera merona, dia menyandarkan kepala pada dada bidang kekasihnya. "Tidak ada. Aku cuma mau di perhatiin sama kamu aja." Axel yang sedang menyuapkan batagor ke dalam mulutnya langsung tersedak, dia meraih asal minuman di atas meja. Rasa panas menyengat di tenggorokannya, dia mendengus jengkel melihat adiknya dan Nathan bermesraan di depannya yang masih jomblo akut. "Pacaran terus, nanti putus nangis." Ejek Axel dongkol. "Sirik amat jadi orang, sono cari cewek dong biar tidak jadi jomblo karatan." Balas Vera sinis. Raisha terkikik memperhatikan interaksi mereka semua, dia masih ingat jelas bagaimana tadi Vera bercerita dengan bangga, bahwa dia berhasil meraih hati cowok yang sudah xia idolakan sejak memasuki sekolah Allicius. *** "Stevano!" suara nyaring dari wanita paruh baya menggema di teras rumah kediaman Salvatore. Wanita paruh baya itu merentangkan tangan lebar-lebar untuk menyambut putranya, tapi Stevano hanya melirik sekilas lalu berjalan memasuki rumah tanpa menyapa wanita tersebut. Evelyn menurunkan kedua tangannya, dia berusaha tersenyum tegar ketika putranya begitu acuh, seakan tidak menganggapnya ada di sana. Evelyn menarik napas panjang, wanita yang menyandang gelar sebagai ibu kandung Stevano Salvatore itu hanya bisa menahan kerinduannya yang semakin besar seiring bertambahnya waktu. Walau dia tahu alasan mengapa anaknya bersikap seperti itu, semua karena kesalahannya dan mantan suaminya, Kenzo. Tatapan Evelyn beralih pada sosok perempuan yang berdiri diam di dekat motor Stevano. Raisha tidak tahu harus berbuat apa, kecuali membalas senyuman Evelyn. Sebelumnya, dia belum pernah bertemu dengan wanita itu. Dari ingatan yang dia dapatkan, Evelyn tidak hadir ketika dirinya dan Stevano menikah. "Sayang, sini." Panggil Evelyn lembut, hingga Raisha berjalan mendekati wanita tersebut. Tubuh Raisha langsung menegang, begitu Evelyn memeluknya. Butuh beberapa detik hingga Raisha mau membalas pelukan dari wanita tersebut. "Kenalin, saya ibu kandung suami kamu. Mulai sekarang panggil aja Mama, ya." Ujar Evelyn ramah. Raisha mengangguk pelan, kemudian dia melepas pelukan mereka. "Kita masuk, yuk, Ma." Evelyn terdiam beberapa saat, lalu menggelengkan kepalanya. Raut wajah wanita itu berubah masam, "Tidak usah, Sayang. Kita ngobrol di teras aja tidak apa-apa, kan?" Raisha tak bisa menolak, dia mengikuti langkah Evelyn menuju kursi di teras rumah tersebut. Seperti kebanyakan orang, Evelyn dan Helena memiliki hubungan yang tidak baik. Karena itulah, Evelyn yang lebih memilih menunggu Stevano di teras rumah dari pada di dalam rumah walaupun asisten rumah tersebut sudah berkali-kali memintanya masuk. "Maafin Mama, ya, waktu kamu nikah Mama tidak datang." Ujar Evelyn menyesal saat mereka sudah duduk di kursi teras. "Memang saat itu... Mama pergi ke mana?" tanya Raisha tanpa sengaja membuat Evelyn semakin merasa bersalah. "Saat itu, Mama lagi ada urusan penting, Sayang." Jawab Evelyn berbohong. Sejujurnya, saat itu Evelyn tidak datang ke pernikahan putra sulungnya karena sedang pergi liburan bersama keluarga barunya. Dia memilih tidak pulang, meski Kenzo sudah menghubunginya dan mengatakan jika anak mereka akan melangsungkan pernikahan. Ketika dia mendengar kabar tersebut, Evelyn sangat syok. Tapi dia memilih tidak peduli, dan baru sekarang dia merasa menyesali keputusannya saat itu, yang berakibat dengan hubungannya bersama Stevano yang semakin renggang. Raisha menyunggingkan senyum tipis untuk memenangkan Evelyn, "Tidak apa-apa, Ma. Lagi pula semua sudah berlalu." "Ra," panggil Evelyn lembut laku kembali bertanya. "Kamu... benar-benar hamil?" Pertanyaan itu membuat Raisha terdiam, ingatan asing mendadak masuk ke dalam ingatannya. Raisha mendesis saat merasakan sakit kepala yang begitu hebat. "Ssst..." desis Raisha. Raisha mendapat ingatan, tentang malam di mana dia di seret ke sebuah apartemen oleh dua pria misterius. Dia dilemparkan masuk ke dalam kamar dan mendapati sosok cowok yang sedang berguling kepanasan di atas ranjang. Cowok itu menyadari keberadaan Raisha lalu mendekat dan menarik tubuhnya ke atas ranjang lalu terjadilah hal yang membuat Raisha hamil seperti saat ini. Ingatan itu membuat tubuhnya gemetar tanpa sadar, dia juga mendapat ingatan bagaimana dia di anggap kotor dan menjijikan oleh keluarganya akibat kejadian tersebut. Bagaimana kakeknya menampar dia habis-habisan, dan menjambak rambutnya bahkan melempar tubuhnya hingga membentur lemari kayu. Kakeknya memaksa Raisha untuk mengatakan siapa yang sudah merebut kegadisannya. Hingga ketika Raisha mengatakan siapa orangnya, kakeknya langsung menyeret Raisha ke rumah Stevano untuk meminta pertanggung jawaban. Setelah ijab kabul, kakek Raisha langsung pergi dari sana meninggalkan gadis itu dengan segala luka yang harus dia tanggung sendirian. Evelyn merasa cemas ketika melihat Raisha berkeringat dingin, wanita itu menyentuh punggung tangan menantunya hati-hati. "Raisha, kamu baik-baik saja?"Satu minggu berlalu sejak Raisha dan Lander mendarat di Amerika. Dalam rentang waktu itu, keadaan Stevano justru semakin memburuk. Tidak ada seorang pun yang benar-benar memahami apa yang sedang terjadi dengannya. Bahkan Bianca yang selalu menuntut perhatian penuh mulai kehabisan kesabaran karena lelaki itu tampak seperti kehilangan arah.Pagi itu, suasana kediaman Bianca terasa sunyi, namun bukan sunyi yang menenangkan. Ada sesuatu yang menggantung di udara, seperti ketegangan yang tidak terlihat namun cukup kuat untuk membuat siapa pun enggan bersuara keras. Stevano duduk di ruang tamu, memandangi gelas kopinya yang sudah dingin sejak setengah jam lalu. Tatapannya kosong, seolah pikirannya melayang jauh dari tempat itu. Napasnya naik turun pelan, namun tidak pernah stabil.Bianca melangkah masuk dengan sepatu berhak tinggi yang berderap keras di lantai marmer. Gadis itu berdandan rapi, rambut pirangnya disanggul anggun dan bibirnya dilapisi lipstik merah muda yang biasanya mendapat
Udara dingin langsung menyergap wajah Raisha begitu pintu pesawat terbuka. Embusan angin asing itu membuatnya merapatkan jaket yang ia kenakan jaket milik Lander, karena ia tidak punya cukup waktu membawa miliknya sendiri.Sedetik setelah kaki mungilnya menginjak lantai bandara, Raisha menutup mata sejenak, menarik napas panjang. Udara Amerika terasa berbeda. Lebih dingin, lebih tajam… dan entah mengapa, terasa lebih bebas."Welcome to New York," gumam Lander rendah sambil berjalan sedikit di depan.Raisha mengikuti dari belakang. Sejak tadi ia terus menatap sekeliling, lampu-lampu bandara, papan petunjuk digital, wajah-wajah asing yang bergerak cepat. Semuanya terasa seperti mimpi panjang yang belum sepenuhnya ia pahami.Ia melarikan diri.Menghilang.Meninggalkan Stevano.Hatinya kembali berdegup cepat.Raisha tidak menyesal telah pergi… tapi ketakutannya tidak berkurang sedikit pun.Lander menoleh. "Kamu baik-baik saja?"Raisha mengangguk pelan. "Iya, Paman. Hanya… belum terbiasa."
Jam sudah menunjukan pukul dua belas malam ketika Stevano baru saja tiba di apartemennya, pemuda itu mendorong pintu lalu masuk ke dalam apartemen. Saat ia menutup pintu, suasana di apartemen itu sangat sepi. Bi Jumi sudah izin tadi pagi untuk pulang lebih awal karena tidak enak badan, ketika Stevano bertanya di mana Raisha, Bi Jumi menjawab bahwa Raisha sejak tadi pagi belum keluar kamar. Berpikir jika istrinya itu sakit, Stevano hanya menyetujui permintaan Bi Jumi dan melanjutkan perjalanannya menemani Bianca. Ia sama sekali tidak memikirkan istrinya sama sekali, meski seharian tak ada kabar darinya. "Sepi sekali," gumam Stevano. Ia menyalakan lampu apartemen itu, lalu melepas jaket yang sejak tadi ia kenakan. Stevano berjalan menuju dapur dan melirik meja makan yang sudah berisi makanan dingin. "Apa Raisha belum makan?" Stevano membuka tudung saji, dan makanan di sana masih utuh bahkan tidak tersentuh sedikit pun. "Ck, apa dia nungguin aku?" Stevano menutup kembali tudung sa
Stevano menghela napas berat. "Bia, aku mulai lelah. Bisakah kita keluar dari tempat ini?" Bianca menoleh, ia terlihat tidak setuju dengan saran Stevano. Masih banyak barang yang belum ia beli di toko tersebut, Bianca melipat kedua tangannya di depan dada. "Tidak boleh! kita baru sebentar di sini, masa mau pulang?" Bianca berdecak sebal. "Kamu kenapa sih? biasanya juga tidak pernah protes." "Kita sudah dua jam di sini, dan kamu cuma belanja ini itu. Padahal barang-barang kamu yang bagus masih banyak di rumah," kata Stevano. Bianca mendengus jengkel, ia tak mau mengakui ucapan Stevano karena baginya semua barang dengan keluaran terbaru harus di beli, ia tak mau ketinggalan tren yang sedang muncul. "Memang kenapa? Aku hanya mau yang terbaik untuk diriku. Kamu tidak suka jika pacarmu membeli banyak barang mewah?" jawab Bianca sinis sambil mengangkat dagu. Stevano memejamkan mata sejenak, mencoba menahan emosi yang sudah naik ke ubun-ubun. Ia benar-benar lelah. Kedua tangannya
Raisha menarik kopernya keluar kamar, suasana di apartemen itu sangat sepi karena Bi Jumi sedang ke pasar dan itu merupakan kesempatan besar baginya keluar tanpa ketahuan. Awalnya Raisha tak berniat pergi diam-diam, namun setelah pertimbangan yang cukup lama akhirnya ia mengambil keputusan ini. "Aku harus cepat," kata Raisha. Ia buru-buru melanjutkan langkahnya menuju pintu apartemen, sebelum ia menutup pintu itu untuk selamanya Raisha kembali menoleh ke belakang dan menatap ruangan yang sudah ia jadikan saksi hubungannya dengan Stevano. Raisha tersenyum pilu. "Selamat tinggal, Kak," Katanya parau. Pintu tertutup rapat dan Raisha berlari menuju lift yang akan membawanya menuju lantai dasar, selama berada di lift Raisha mencoba mengatur pernapasannya yang mendadak sesak. Perpisahan yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya justru terjadi hanya dalam hitungan hari, ia tak sanggup jika terus menerus melihat Stevano dan Bianca bersama sedangkan dirinya masih berstatus sebagai istri
Hari minggu akhirnya tiba, setelah menghabiskan waktu bersama Stevano dalam kebisuan di kamar hotel mewah akhirnya Raisha kembali pada rutinitasnya di apartemen.Saat ini Raisha sedang membereskan buku pelajarannya, ia memasukan buku-buku itu ke dalam lemari. Seperti biasa Stevano sudah pergi dari apartemen itu, jangan tanya ke mana ia pergi karena tujuan satu-satunya adalah Bianca."Sebentar lagi buku-buku bakal berdebu," gumamnya sendu.Tangannya meraih pigura foto pernikahannya dengan Stevano, Raisha mengusap foto itu perlahan lalu tersenyum tipis. "Sebentar lagi kamu bebas, Kak." Raisha menyeka sudut matanya yang berair, setelah seminggu memikirkannya Raisha akhirnya memilih keputusan terberat dalam hidupnya. Keputusan yang akan mengubah seluruh perjalanan hidup dan pernikahannya, ia meletakan kembali pigura itu dan melangkah menuju lemari pakaian. Raisha mengeluarkan koper berwarna hitam yang berukuran sedang, ia meraih pakaian miliknya lalu memasukan ke dalam koper. Pakaiann







