Darah menetes di atas salju yang menumpuk di trotoar. Nanda menatap pria yang mencoba menusuknya terlihat panik. Dia berhasil menghalau belati menembus perut dengan cara menggenggamnya, membuat benda silver itu menggores telapak tangan.
Pria tadi panik, hingga akhirnya mereka semua kabur meninggalkan Sashi dan Nanda.
Nanda membuang belati yang berlumuran darahnya. Dia memandang luka gores di telapak tangan yang baginya tidak terlalu dalam.
“Tanganmu terluka. Ayo ke rumah sakit.” Sashi langsung menggandeng tangan kanan Nanda.
“Tidak usah. Ini tidak dalam,” tolak Nanda membuat Sashi berhenti melangkah.
“Lukamu dalam. Jelas itu perlu dua atau tiga jahitan. Jika tidak ditangani dengan tepat, bisa saja terjadi infeksi, lantas pembusukan, dan tanganmu bisa diamputasi.” Sashi malah menakut-nakuti Nanda agar mau diajak ke rumah sakit.
Nanda menatap Sashi yang baginya sangat cerewet, belum lagi wanita itu fasih berbahasa indonesia, padahal dari segi wajah tampak wanita asing, membuat Nanda keheranan.
“Aku hanya perlu obat merah,” ucap Nanda lantas melirik telapak tangan yang terluka.
Sashi mencebik mendengar ucapan Nanda. Dia mengambil saputangan dari tasnya, kemudian mengikatnya ke telapak tangan Nanda agar darah tidak terus mengalir.
“Aku menginap di sana. Biar aku obati lukamu, aku memiliki peralatan medis di kamar,” ujar Sashi karena Nanda tak mau diajak ke rumah sakit.
Nanda hanya mengangguk pelan. Dia kemudian meminta Sashi masuk mobil karena ternyata mereka menginap di hotel yang sama.
Nanda mengemudikan mobil menuju hotel yang sudah dekat. Dia melirik spion, melihat mobil lain berjalan di belakangnya. Nanda menatap curiga, tapi saat mobil itu menyalip membuatnya sedikit lega.
“Apa ada masalah?” tanya Sashi yang memang cerewet dan serba ingin tahu, padahal tidak mengenal Nanda.
“Tidak ada,” jawab Nanda sambil memandang jalanan.
Mereka sampai di hotel dan naik lift bersama. Sashi melirik telapak tangan Nanda lantas berpindah ke wajah pria itu. Dia melihat Nanda yang terlihat tenang dan tidak kesakitan padahal bagi Sashi luka itu cukup dalam.
“Kamarmu di lantai berapa?” tanya Sashi bersiap menekan tombol untuk Nanda.
“Nomor sama yang tadi kamu tekan dari basement,” jawab Nanda tanpa menoleh Sashi.
Sashi terkejut sambil mengulum bibir. Dia kemudian menarik tangannya lagi dan berdiri dengan benar di samping Nanda.
“Ternyata lantai kamar kita sama,” ucap Sashi.
Nanda tidak membalas ucapan wanita itu. Memilih diam sampai pintu lift terbuka di lantai kamar tempat mereka menginap.
Sashi sesekali melirik Nanda. Dia heran dengan pria itu, tadi begitu baik menolong dan menanyakan kondisinya, sekarang malah memperlihatkan sikap dingin dan kaku.
Pintu lift terbuka, keduanya keluar dan berjalan ke arah kamar masing-masing.
“Kamarku di ujung sana, di mana kamarmu? Aku akan ambil obatnya dulu,” kata Sashi sambil menunjuk ke kamarnya yang ada di sisi kanan.
Tanpa banyak bicara, Nanda berjalan ke kamar Sashi. Dia berdiri menunggu wanita itu membuka pintu.
Sashi melongo dengan sikap Nanda, sampai menghentikan langkah karena pria itu berdiri di depan kamarnya.
“Kenapa kamu malah berdiri di sana?” tanya Sashi sambil menaikkan satu alis ke atas.
“Bukankah kamu mau mengobati tanganku?” Nanda menunjukkan tangannya yang terluka.
Sashi malah gelagapan mendengar ucapan Nanda. Memang dia ingin mengobati, tapi bukan berarti di kamarnya juga.
“Kamu jadi mengobati atau tidak? Kepalaku sedikit pusing karena terlalu lama berdiri,” ujar Nanda kemudian.
Sashi buru-buru mengeluarkan kartu akses kamarnya. Lantas membuka pintu dan meminta Nanda masuk terlebih dahulu.
“Duduklah.” Sashi meminta Nanda duduk di sofa.
“Kamu tahu caranya menangani luka?” tanya Nanda yang ragu jika Sashi bisa.
Jika dilihat dari penampilannya, Sashi pastilah berasal dari keluarga terpandang.
“Aku bukan anak TK. Aku dokter muda, ya meski masih dokter umum,” jawab Sashi pamer karena tidak ingin diremehkan.
Nanda tersenyum miring mendengar jawaban Sashi. Masih tidak percaya jika wanita itu seorang dokter.
Sashi mengambil peralatan medisnya yang disimpan di koper. Dia memang selalu membawa itu untuk jaga-jaga jika saja membutuhkan itu semua.
Nanda terkejut melihat Sashi memiliki stetoskop dan peralatan medis lainnya. Dia sepertinya harus percaya jika wanita itu memang dokter.
Sashi duduk di samping Nanda. Dia meraih tangan pria itu yang terluka dan membuka ikatan saputangan perlahan. Dengan hati-hati Sashi mulai membersihkan luka Nanda.
“Aku sekarang masih dokter muda, tapi kelak aku akan jadi dokter spesialis,” ucap Sashi mengobati sambil berceloteh.
“Apa aku tanya?” Nanda malah memberikan balasan yang tidak mengenakkan.
Sashi melirik tajam. Dia lantas dengan sengaja menekan luka Nanda yang sedang diobatinya.
“Kamu gila! Kamu mencoba membunuhku, hah!” pekik Nanda karena lukanya jadi terasa perih.
“Oh, sakit. Kupikir tidak. Bukankah sejak tadi kamu biasa saja seolah tidak terluka,” ledek Sashi, “luka kecil seperti ini tidak akan membunuhmu, paling membuatmu kehilangan tangan kalau dibiarkan infeksi dan membusuk,” imbuh Sashi.
Nanda menggerutu. Menganggap wanita di hadapannya ini sangat aneh.
Sashi kesal, merasa Nanda sangat menyebalkan karena tidak membalas ucapannya dengan baik.
Sashi pun membalut luka Nanda perlahan dengan perban. Memastikan luka itu tidak terkontaminasi dengan debu dan kuman.
“Usahakan jangan terkena air, lebih baik jika diperiksa ke rumah sakit,” ujar Sashi setelah selesai mengobati.
“Katanya kamu dokter, apa kemampuanmu meragukan?” Nanda malah meledek, membalas ledekan Sashi tadi.
Sashi kesal hingga kedua pipi menggelembung sebal mendengar ucapan Nanda.
“Tapi ini tidak terlalu buruk. Terima kasih sudah mengobati tanganku.” Setelah mengatakan itu Nanda berdiri dan bersiap pergi.
Sashi berdiri melihat Nanda yang hampir mencapai pintu, hingga dia berucap, “Terima kasih sudah menolongku tadi.”
Nanda tersenyum tipis mendengar ucapan terima kasih dari Sashi. Dia tidak membalikkan badan dan memilih hanya melambaikan tangan.
Nanda pun keluar dari kamar Sashi. Dia menoleh ke kanan, merasa ada seseorang di sana tapi tidak ada siapapun. Nanda pun kemudian memilih masuk kamarnya yang berseberangan dengan kamar Sashi.
Tanpa Nanda dan Sashi duga. Sejak tadi di jalanan, ada beberapa paparazi yang membuntuti keduanya. Bahkan mereka mengambil foto keduanya saat berdiri berhadapan begitu dekat saling pandang, hingga kemudian kini mendapatkan foto saat Nanda masuk kamar Sashi.
Paparazi itu masih berjaga di dekat kamar Sashi, menunggu dan memastikan jika tebakan mereka benar. Mereka melihat Nanda yang keluar dari kamar Sashi setelah cukup lama menunggu, mereka bersembunyi saat Nanda menoleh ke arah mereka agar tidak ketahuan.
“Ini berita sangat bagus.”
“Cepat hubungi Bos!”
“Halo, Pak. Kami mendapatkan berita terhangat tentang tuan muda pertama keluarga Mahendra. Ini akan menjadi berita yang menghebohkan karena eksklusif kami saja yang punya.”
“Dia tampan sekali. Pipinya juga menggemaskan.” Rihana langsung menggendong cucu keduanya itu. Rihana, Bintang, dan para suami datang ke sana setelah satu minggu Sashi melahirkan. Mereka begitu bahagia mengetahui Sashi melahirkan dengan lancar. “Aku mau menggendongnya,” kata Bintang mengambil Archie dari gendongan Rihana. Sashi dan Nanda menatap para orang tua yang sangat bahagia. Mereka begitu bahagia melihat semuanya berkumpul di sana. “Siapa namanya?” tanya Bintang sambil menimang bayi Archie. “Archie Abimand Mahendra. Nanda ingin nama keluarga tersemat di namanya,” jawab Sashi. “Nama yang bagus,” puji Rihana sambil mengelus pipi Archie menggunakan telunjuk, membuat bayi mungil itu menggeliat geli. Bintang menatap cucu pertamanya itu. Melihat Archie yang sangat menggemaskan, membuat Bintang malah sedih. “Apa kamu akan balik ke Indonesia?” tanya Bintang sambil menatap Sashi. Semua orang pun terkejut hingga menatap Bintang, kemudian ke Sashi secara bergantian. Sashi bingung
Sashi baru saja keluar dari kamar mandi. Dia tiba-tiba merasakan perutnya sakit, membuat Sashi langsung berpegangan pada kusen pintu. “Agh, kenapa sakit?” Sashi memegangi perutnya yang besar. Kehamilan Sashi baru memasuki usia sembilan bulan. Dia menjalani hari dalam masa kehamilan dengan baik meski Nanda tak selalu ada di sampingnya. Pagi itu dia baru saja mencuci wajah, tapi perutnya tiba-tiba terasa mulas bahkan panas juga pinggangnya pegal. “Apa kamu mau keluar sekarang?” Sashi menahan sakit sambil mengusap perutnya. Sashi mengalami kontraksi, membuatnya tak sanggup berjalan hingga memilih langsung duduk di ranjang. Dia berulang kali mengatur napas karena kontraksi yang terjadi. “Anda sudah bangun?” Suara perawat pribadi yang selama beberapa bulan ini merawat dan menjaga Sashi masuk kamar. Dia terkejut karena melihat Sashi kesakitan. “Anda baik-baik saja?” tanya wanita itu langsung berlari menghampiri Sashi. “Sepertinya bayinya mau lahir,” jawab Sashi sambil menahan sakit
“Kenapa kamu ke sini lagi?” Bumi melotot ke Winnie yang kembali datang ke kafenya. Dia sepertinya sedikit tak senang dengan Winnie yang sangat cerewet. “Apa? Aku mau jajan, kenapa kamu galak sekali? Ingat, Om. Tidak boleh galak-galak, nanti cepat tua,” balas Winnie tak takut sama sekali meski Bumi memasang wajah garang. “Kalau mau beli makanan atau minuman di sini, take away jangan makan di sini,” ucap Bumi karena sebelumnya Winnie begitu cerewet bertanya soal seseorang yang menemuinya waktu itu. Padahal jika dipikir, Winnie tak ada hubungan dengan Bumi, tapi kenapa gadis itu bertanya seolah sedang menginterogasi. Selama beberapa bulan ini, Winnie memang sering datang ke kafe Bumi meski tidak tiap hari. Bukannya senang mendapat pelanggan tetap, Bumi malah kesal karena sikap Winnie cerewet dan penasaran dengan apa pun yang dilihat di kafe itu.Baru saja Winnie ingin membalas ucapan Bumi. Tiba-tiba beberapa anak berseragam masuk ke kafe dan langsung menatap Winnie. “Eh, kamu di sin
“Kamu benar-benar tidak apa-apa jika aku balik ke indo?” tanya Nanda sambil membelai rambut Sashi dengan lembut. Nanda sudah beberapa hari di sana. Dia harus kembali ke Indonesia untuk mengurus pekerjaan, tapi Nanda juga masih berat jika harus meninggalkan Sashi. “Iya, tidak apa-apa. Lagian aku juga baik-baik saja, bahkan tidak mengalami morning sickness. Jadi kamu jangan cemas,” jawab Sashi. Sebenarnya bukan masalah takut Sashi sakit atau mengalami kendala saat menjaga kesehatan. Dia hanya tak bisa jauh dari istrinya yang sedang hamil, Nanda seperti perlu terus berada di sisi istrinya itu. Saat keduanya masih berbincang, tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu dari luar. Nanda pun memilih membuka pintu, hingga melihat pelayan rumah berdiri di hadapannya. “Ada apa?” tanya Nanda. “Nyonya besar datang bersama yang lain, Tuan.” Pelayan itu menyampaikan kedatangan Rihana. “Mama datang? Baiklah, aku akan segera turun,” kata Nanda lantas kembali masuk menghampiri Sashi. “Ada apa?” t
“Kamu benar-benar tidak apa?” tanya Sashi saat melihat Nanda sedang berganti pakaian.Nanda menoleh saat mendengar pertanyaan Sashi. Dia lantas mendekat ke Sashi yang duduk di ranjang.“Apanya tidak apa, hm?” tanya balik Nanda lantas duduk di samping Sashi.Sashi sepertinya masih takut jika Nanda belum bisa menerima jika dirinya hamil, meski tadi sudah berkata tidak apa-apa.“Kamu tidak apa-apa kalai aku hamil?” tanya Sashi memastikan.Nanda memulas senyum mendengar pertanyaan Sashi. Dia lantas mengusap lembut rambut istrinya itu.“Tentu saja tidak apa-apa. Aku malah bahagia karena akhirnya kamu bisa hamil. Mungkin dulu aku belum siap karena takut kamu sakit, tapi sekarang berbeda karena yang terpenting bagiku sekarang kamu bahagia,” jawab Nanda sambil tersenyum begitu tulus dan penuh kasih sayang.Sashi menautkan jemari mereka, lantas menyandarkan kepala di pundak Nanda.“Aku janji akan selalu sehat dan menjaga bayi kita dengan baik,” ucap Sashi agar Nanda tak perlu cemas.Nanda ters
Nanda masuk ke ruang USG, hingga melihat Sashi yang berbaring dan kini sedang diperiksa.“Bagaimana kondisi istri saya?” tanya Nanda saat sudah masuk ke ruangan itu.Sashi terkejut hingga tatapannya tertuju ke Nanda yang baru saja datang.“Kamu datang.” Sashi terlihat senang melihat Nanda di sana.Nanda mendekat dengan ekspresi wajah cemas, lantas memandang ke monitor yang baru saja diperhatikan oleh dokter.“Sebenarnya istri saya kenapa, Dok?” tanya Nanda.Dokter itu tersenyum sambil meletakkan alat USG, hingga kemudian menjawab, “Selamat, istri Anda hamil.”Nanda tertegun tak percaya mendengar ucapan selamat dari dokter itu. Dia sampai memandang Sashi dengan rasa tak percaya.Sashi sendiri hanya tersenyum karena tadi sudah memberitahu kalau dirinya hamil, kini usia kandungan Sashi pun baru enam minggu.“Hamil? Serius hamil? Bukan penyakit?” tanya Nanda memastikan dengan sedikit rasa tidak percaya.Sashi meraih tangan Nanda yang dekat dengannya, lantas menautkan jemari mereka.“Iya,
Satu tahun berlalu. Sashi masih setia menemani Aruna di luar negeri, Nanda sendiri datang setiap seminggu sekali, lantas tinggal beberapa hari sebelum kembali ke Indonesia.Sashi sendiri mulai lega karena akhirnya Aruna bisa menyesuaikan diri dan kini sudah memiliki beberapa teman di kampus barunya.“Bagaimana kuliahmu hari ini?” tanya Sashi saat melihat Aruna baru saja pulang.“Menyenangkan,” jawab Aruna sambil melebarkan senyum.“Mommy tadi telepon, tanya apa kamu masih suka murung-murungan, kujawab tidak karena kamu sudah baik-baik saja,” ucap Sashi.Aruna tersenyum tipis mendengar ucapan Sashi. Meski dia terlihat baik-baik saja, tapi tetap saja sudah satu tahun belum bisa melupakan Ansel.“Jika nanti sudah lulus, aku ingin kerja di sini saja. Di sini lebih enak, meski pergaulan di sini berbeda dengan di Indonesia, tapi aku sudah berusaha menjaga batasan,” ujar Aruna.Sashi sangat terkejut mendengar ucapan Aruna. Dia lantas membalas, “Apa kamu tidak ingin meneruskan perusahaan Dadd
“Bagaimana dengan Runa?” tanya Nanda saat menemui Sashi di kamar. Mereka sudah ada di sana sebulan. Aruna sendiri belum keluar dari rumah sama sekali sejak sebulan ini. “Masih sama. Hanya di kamar, duduk di teras, atau jalan-jalan,” jawab Sashi yang sedih mengetahui Aruna tak seperti dulu dan lebih banyak murungnya. Nanda menghela napas, mereka sudah berusaha membuat Aruna bersemangat, soal Aruna mau bangkit atau tidak, semua harus dari diri sendirinya. “Kalian tidak apa-apa jika aku tinggal? Aku tidak tega melihatmu sedih melihat Aruna seperti itu,” ucap Nanda sambil mengusap rambut Sashi. Nanda masih harus bolak-balik mengurus pekerjaan, sehingga dia pun tidak bisa setiap saat ada di sana. “Kamu tenang saja, aku baik-baik saja di sini. Soal Runa, aku akan berusaha mengajaknya jalan-jalan mencari suasana baru. Dia juga seharusnya sudah mulai mengurus perpindahan kuliahnya, tapi dia belum bersemangat,” balas Sashi. Sashi mencoba memahami posisi suaminya yang tak bisa terus berad
Aruna memandangi kamar yang akan ditinggalkannya. Dia sudah memantapkan hati untuk pergi karena benar-benar tak bisa melupakan Ansel begitu saja jika masih di kota itu. Baginya Ansel adalah cinta pertama yang tak bisa dilupakan. Meski dulu awalnya dia menyukai Bumi, tapi kenyataannya Ansellah yang menduduki hatinya pertama kali. “Kamu sudah siap?” tanya Sashi yang menghampiri Aruna di kamar. Aruna menatap Sashi, lantas menganggukkan kepala. Dia mengambil tas dan jaketnya, lantas menarik koper yang ada di dekat ranjang. Setelah mengurus visa tinggal terbatas dan pasport, akhirnya Aruna akan pergi ke Amerika untuk belajar sekalian menenangkan diri. Namun, tentunya Aruna akan pergi bersama keluarga, lalu nantinya akan tinggal bersama Sashi dan Nanda sesuai kesepakatan, meski Nanda akan bolak-balik karena urusan pekerjaan. Bintang menatap Aruna yang baru saja menuruni anak tangga bersama Sashi. Bintang tak kuasa melihat kedua putrinya akan pergi dan tinggal jauh darinya. Sopir yang