Pagi ini Arimbi bangun agak kesiangan, sebabnya tadi malam ia susah memejamkan mata. Setelah melaksanakan sholat subuh, ia keluar kamar. Menuruni tangga dengan perlahan. Rumah mewah ini terlihat lengang. Arimbi berjalan ke arah taman. Menghirup segarnya udara pagi hari. Perasaan asing langsung menyapa. Ini adalah pagi pertama Arimbi berada di rumah orang lain. Biasanya kalau di rumah, pagi seperti ini menjadi tugas Arimbi memberi makan ayam dan membersihkan kandang kambing.
Harumnya bunga mawar dan juga cempaka membuat pikiran tentang kampung halaman teralihkan. Ia memetik setangkai mawar, menghirup kelopaknya, setelah itu mendudukkan bokongnya pada ayunan di samping pohon manggis.
Saat asyik menatap asrinya tanaman di kebun, tatapan Arimbi bersirobok dengan Sagara yang tengah berolahraga dengan bertelanjang dada. "Astaga kenapa dia tak memakai baju sih, mataku ternodai!" gerutu Arimbi. "Kenapa dada, dan perutnya sekencang itu?" Lagi-lagi Arimbi melayangkan tatapan ke arah Sagara. "Astaga tubuhnya indah sekali. Hais!! Arimbi apa yang kau pikirkan?" Arimbi menepuk pipinya yang tiba-tiba menghangat, dan kini mengetuk keningnya sendiri.
"Dia kenapa?" gumam Sagara ketika melihat Arimbi memegangi pipi dan juga mengetuk-ngetuk dahinya. "Apa dia sakit!" bisik batin Sagara khawatir. "Ah, apa peduliku!" rutuk Sagara, melanjutkan kembali olahraganya. Sekarang Sagara tengah melakukan gerakan sit up.
Arimbi kembali menatap Sagara. "Ck, pamer!" cibir Arimbi dengan suara pelan lebih menyerupai gumaman. Dentuman dan gelenyar halus di dada membuat Arimbi menundukkan wajah, mengais-ngais tanah. Kebiasaan yang ia lakukan tatkala gelisah atau pun bila mencemaskan sesuatu.
"Kau bisa membuat lubang di tanah itu dengan kakimu!"
Arimbi terkesiap saat satu wajah bak Arjuna tepat berada di depannya. Sagara berjongkok agar bisa mensejajari wajah Arimbi yang tengah menunduk. Untuk beberapa saat Arimbi terpana oleh pesona wajah dan tubuh indah Sagara. Hingga kemudian ...
"Astaghfirullah!! Apa yang Tuan lakuin, sih? Kenapa muncul di depanku tanpa pakai baju? Ck, ck, saya tahu tubuh Tuan itu bagus, tapi gak juga kali mesti pamer ke mana-mana!" Bibir Arimbi mencebik, memutar mata jengah. Tanpa Arimbi sadari ada seseorang yang ingin segera menerkam bibir itu. Dialah Sagara yang setengah mati menahan diri agar tak lepas kendali saat melihat cara Arimbi mencebikkan dan mengerucutkan bibir ranumnya.
"Oh, jadi kau mengakui kalau tubuhku ini indah? Ah, kau orang yang kesekian puluh juta yang bilang kalau tubuhku itu indah. Jadi aku biasa saja!" ucap Sagara dengan angkuh, pria itu menegakkan tubuh sembari melipat kedua tangan di depan dada.
Tanpa sadar kembali Arimbi menatap objek keindahan di depan mata. Tubuh berotot dengan perut rata dan kotak-kotak. Dan, eh ... sekarang fokus Arimbi pada bagian bawah tubuh Sagara yang hanya tertutup celana di atas lutut. Dan itu sangat ....
"Astaghfurullah, Imbi! Kenapa kau jadi berotak mesum begini sih, mata imbi, mata. Kondisikan matamu?!"gumam Arimbi yang dapat ditangkap indera pendengaran Sagara. Hingga pria itu tak dapat menahan senyum.
"Iya. Jaga matamu bocah. Jangan sampai matamu bintitan karena terlalu lama memandangku!" ejek Sagara. Membuat Arimbi mengerutkan kening.
"Tuan dengar apa yang aku katakan?" tanya Arimbi dengan polosnya.
"Ha,ha,ha!" Bukannya menjawab Sagara malah tertawa terbahak-bahak. Hal itu makin membuat Arimbi heran dan kesal. Kesalnya kenapa pria di depannya, yang sudah menipunya itu sangat tampan saat tertawa.
Ngomong-ngomong soal menipu, Arimbi jadi ingat sesuatu.
"Tuan kenapa menipu saya dan orang tua saya?" tanya Arimbi, sontak membuat Sagara menghentikan tawa.
"Menipu? Aku? Tentang apa?" tanyanya dengan tatapan tajam bak elang mengincar mangsa. Hal itu tak pelak membuat nyali Arimbi sedikit ciut. Tapi dia harus bicara. Arimbi tak mau membuat Sagara bebas berbuat sesuka hati hanya karena telah membelinya. Lagi pula dia bukan barang yang bisa dimainkan sesuka hati.
"Tentang, em, ini tentang-
"Ck. Cepatlah katakan! Aku sudah tak punya waktu banyak. Sebentar lagi aku harus bekerja!" potong Sagara gemas. Karena Arimbi terlihat gugup saat berbicara.
"Itu, tentang Tuan yang sudah punya istri. Kenapa tak jujur? Tuan telah menipu saya dan juga Bapak saya. Seandainya Tuan mengatakan bahwa Tuan telah menikah saya tak akan mau menikah dengan Tuan. Saya tak sudi jadi wanita yang menyakiti perasaan wanita lain!" Arimbi merasa lega, setelah mengatakan segala beban di hatinya.
"Bapakmu itu sudah tahu, bahwa aku sudah punya istri. Tapi karena uang dua milyar itu sepertinya apa yang kau rasakan sama sekali tak berarti buat dia. Ck, manusia mata duitan seperti bapakmu itu bahkan kalau aku menyuruhnya memakan kotoran pasti akan dia lakukan!"
Wajah Arimbi memerah. Manik bening dengan sorot lembut itu kini berubah tajam dan bengis. "Anda itu mulutnya benar-benar tak bisa dijaga ya? Walau bagaimana pun dia adalah Bapakku, dan berarti adalah bapak Anda juga. Karena saya adalah istri Anda. So, hargai dan hormatilah orang tua saya!" desis Arimbi. Terlalu kesal membuat mata Arimbi memanas, kabut membayangi di selaput kornea bening itu.
"Istri? Siapa? Kamu! Ha, ha, ha. Please. Wake up litle girl, kamu itu hanya alat pembayar hutang. Jadi jangan ngarep lebih deh" ejek Sagara tepat di depan wajah Arimbi. Amarah Arimbi makin menggunung. Ingin ia tendang ke ujung khatulistiwa pria tampan menyebalkan di depan matanya ini.
"Astaga, tampan? Ish. Bisa-bisanya aku masih memuji dia. Amit-amit jabang bayi!" gerutu Arimbi panjang pendek.
Rasa gemas sagara kembali hadir saat melihat Arimbi komat kamit. Bibirnya miring ke kiri dan ke kanan.
"Kau sengaja membuat bibirmu bergerak-gerak seperti itu agar aku menciummu?" bisik Sagara. Pria itu menundukkan tubuh agar bisa kembali melihat wajah Arimbi.
Arimbi yang terkejut, sontak berdiri. Dengan cepat pula Sagara menarik tubuhnya kalau tidak saat ini mungkin kepalanya dan Arimbi pasti terbentur.
Tak berlangsung lama, tiba-tiba ...
"Aw, apa yang kau lakukan, bocah!?" teriak Sagara. Pria itu melompat-lompat dengan satu kaki, dengan ke dua tangan memegangi kaki. Sagara merasakan sakit luar biasa di tulang kering kaki yanh diinjak oleh Arimbi. Sebelum Sagara menyadari Arimbi sudah berlari menjauh, sambil menjulurkan lidah.
"Weee. Syukurin. Makanya jadi orang jangan songong!" teriak Arimbi sambil berlari masuk ke dalam rumah. Diiringi tatap mata elang Sagara dan ... senyuman samar Sagara.
Senyuman samar itu kini berubah lebar. Tanpa dia sadari ada sepasang mata yang sedari tadi menatap tajam ke arah mereka dari balik jendela. Dialah Felicia. Wanita itu terlihat mengepalkan tangan dengan wajah memerah menahan amarah.
Sementara itu di dalam kamarnya. Arimbi tengah berbaring di atas tempat tidur terempuk yang pernah dia rasa. Asyik berbalas chat dengan teman-temannya. Setelah itu beralih ke aplikasi berwarna biru. Tenggelam berselancar ke dunia maya.
Kruuk, kruuk.
Perut Arimbi berbunyi. Matanya melirik jam di atas nakas. Sudah pukul 9. Pantas saja, cacing dalam perut sudah protes, minta di isi.
Arimbi menyambar jilbab instan di atas meja, mengenakannya. Kemudian turun ke lantai satu. Berjalan dengan perlahan ke arah meja makan. Manik bening itu membulat sempurna ketika melihat hidangan yang tersedia di atas meja.
"Makanan sebanyak ini siapa yang akan menghabiskan?" gumam Arimbi ia kemudian duduk di kursi. Menyendokkan nasi dalam piring, ayam goreng dan juga sambal. Ia kemudian mulai mengunyah makannanya.
"Silviaa!!!" teriak Felicia memanggil artnya.
"Huk, huk,huk!" Arimbi tersedak dengan suara teriakan Felicia. Direguknya air dalam gelas hingga tandas.
"Saya, Nya!" Silvia datang tergopoh-gopoh mendekati Felicia.
"Mana juice saya?" tanya Felicia dengan ketus. Silvia segera berlalu ke arah dapur dan kembali dengan segelas Juice sirsak.
Dengan ekor matanya Arimbi melirik Felicia yang duduk di seberang mejanya. Beberapa detik kemudian mata Arimbi terlihat menatap ngeri dengan kondisi tubuh Felicia.
"A-a-ap-apa yang terjadi dengan wajah Mbak Felicia?"tanya Arimbi dengan suara bergetar dan wajah ketakutan. Wajah Felicia terlihat sangat mengerikan. Bibur pecah dengan darah yang masih terlihat bekasnya. Tatap Arimbi beralih fokus ke lengannya yang terlihat sepertu sentuhab besi atau benda sejenisnya.
"A-a-pa, Tuan Sagara yang telah melakukakan ini pada tubuh Mbak Felicia?" tanya Arimbi lagi. Felicia masih juga bungkam. Wanita itu tengah asyik menikmati juice dalam gelasnya."Mbak !!" bentak Arimbi, dia terlihat tak sabar melihat wanita itu masih saja bungkam."Ck, berisik! Benar dia yang melakukan ini semua. Bagaimana ... indah kan? Aku sangat menyukai tanda ini!" Felice nampak menghidu lebam di lengannya sambil memejamkan mata membayangkan sesuatu yang erotik. "Ah, aku jadi merindukannya!" gumam wanita dengan mata terpejam, membayangkan wajah Sagara.Arimbi menatap tak percaya pada wanita yang wajahnya terlihat mengerikan itu. Pelipisnya pecah, ujung bibirnya juga pecah. Dan yang paling mengerikan adalah lebam-lebam biru di seluruh lengannya."Apakah Tuan Sagara selalu melakukan hal itu--menyiksamu, tiap kali kalian melakukan hubungan suami isteri?" Arimbi bergidik ngeri saat melihat Felicia menjawab dengan senyum dan anggukan kepala.
Arimbi hanya bisa menatap lurus kedepan. Otak wanita itu terus saja memikirkan apa yang akan terjadi dalam hidupnya. Rumah tangga seperti apa yang tengah ia jalani? Berapa lama dia akan bertahan dengan pernikahan ini? Istri ke dua, suami sadomasis. Ah, lengkap sudah penderitaan Arimbi.Membicarakan kelainan seks ini, Arimbi sudah mencari tahu tentang apa itu sadomasokis, dan itu membuat Arimbi ketakutan hingga kini."Kita sudah sampai, Nyonya kecil!" ujar seorang pengawal. Arimbi menarik napas, memenuhi seluruh rongga dadanya, untuk menekan rasa tegang dalam hati.Arimbi turun dari mobil itu. Berdiri menatap rumah megah yang dua hari lalu sempat membuat gadis itu kagum akan tetapi kini malah membuatnya di landa rasa cemas, ngeri dan takut. Membayangkan bagaiman penghuni rumah ini bertingkah laku. Melebihi kelakuan bintang."Hm,hm!" deheman keras seseorang membuat Arimbi berjengit."Apa yang sedang kau rencakan dengan menat
Mereka telah sampai di sebuah butik di kawasan Kemang. Sebuah bangunan lima lantai berdiri menjulang kokoh. Bangunan berdinding pastel itu terlihat sangat aseri. Bunga-bunga dengan aneka macam dan warna.Saat akan memasuki butik tadi Arimbi terlihat berdecak kagum dengan keindahan bunga morning glori yang menjalar pada pagar tembok butik. Warna ungu dan pink membuat mulut gadis itu tak berhenti berdecak."Ck, ck, ck. Cantik bener!!" Kini mobil memasuki halaman butik, sebelum masuk mereka di sambut bunga-bunga yang sangat indah. Bunga mandevilla nampak ditanam dengan cara bergerombol pada tiang, di atasnya dipasangi lampu yang akan menyala pada malam hari, dan keindahan bunga ini akan semakin terpancar.Saat akan memasuki butik di samping kiri kanan pintu, bunga anggrek, mawar dan juga sedap malam tumbuh subur,dan sedang berbunga. Wangi bunga mawar dan sedap malam menghentikan langkah Arimbi. Gadis itu berjalan mendekat ke arah bebungaan
Makan malam berjalan hening. Makanan aneka rupa sudah terhidang di meja. Sejak masuk ke rumah Sagara dua hari yang lalu. Arimbi selalu dihantui rasa bersalah. Menghidangkan makanan sebanyak ini, yang makan hanya bertiga dan Arimbi yakin mereka hanya akan memakannya sedikit setelah itu akan meninggalkan sisanya. Kalau di rumah ada pelayan yang akan menghabisikan lauk pauknya tidak tahu kalau di restoran ini. "Kau kenapa? Apa tidak suka dengan makanannya?"tanya Sagara, entah kenapa di telinga Felicia menangkap ada hal berbeda dari cara Sagara memperlakukan Arimbi. Suara pria itu boleh saja datar dan dingin seperti biasa, tapi Felicia mengenal dengan cukup baik bagaimana seorang Sagara. Dan bisa Felicia pastikan bahwa Sagara menyimpan ketertarikan pada Arimbi. "Tentu saja ini bukan seleranya. Biasanya dia makannya tahu tempe, sayur asem dan-- "Jengkol goreng, dan ikan asin. Terus nasinya yang anget-anget. Aduh, Mbak Felicia kamu so sweet banget si
Mata Felicia menatap lekat wajah Arimbi. Sedangkan Sagara mempertajam pendengarannya. Ia ingin tahu jawaban apa yang akan diberikan oleh Arimbi."Aku tak akan menjawab. Karena itu adalah masalah pribadiku. Meski aku ini adalah alat pembayar hutang tapi aku juga masih punya hak untuk memiliki privacy, kan?" Suara Arimbi terdengar pelan. Ada rasa kecewa dalam hati Sagara saat Arimbi tak menjawab pertanyaan Felicia.Suasana mobil kembali sunyi. Arimbi fokus menatap ke arah lampu kerlap kerlipnya membuat Arimbi teringat kampung halaman.Mobil kini memasuki halaman rumah Sagara. Begitu berhenti, Arimbi gegas keluar berjalan mendahului mereka. Menyisakan kerutan pada wajah Sagara. Melihat Arimbi diam seperti itu tentu saja membuatnya heran. Hampir seminggu tinggal bersama Arimbi, baru kali ini mulutnya diam. Biasanya ia berkicau laksana burung murai.Felicia sedari tadi mengamati gerak gerik Sagara. Berkali-kali ia melihat sorot mata Sagara
Huek, huek, huek!!!Berulang kali Arimbi memuntahkan isi perutnya. Masih terbayang dengan jelas gambaran bagaimana Sagara memukuli Felicia tanpa ampun. Sebelum kemudian melakukan penyatuan mereka. Felicia, wanita itu bagaimana dia bisa berteriak ke sakitan tapi juga mengiringinya dengan desahan menikmati?"Kau kenapa?""Astaghfirullah!" teriak Arimbi, matanya membeliak sàat melihat Sagara duduk di atas tempat tidur dengan menatap tajam ke arahnya."Anda ... sedang apa di sini?" tanya Arimbi dengan wajah pucat pasi seperti habis melihat hantu."Kenapa? Ini rumahku jadi aku bebas ada di mana saja selagi masih di wilayah rumah ini!" balas Sagara. Netra bak elang itu masih saja menyorot tajam ke arah Arimbi membuat wanita itu ketar ketir."Kamu belum menjawab pertanyaanku. Kamu kenapa?" Sagara mengulangi pertanyaannya"Tidak apa-apa! Mungkin masuk angin!" jawab Arimbi asal. Wanita itu kemudian berj
Arimbi menahan napasnya, manik bening itu berkedip-kedip manatap Sagara."Aku sangat membencimu, Arimbi! Bagaimana bisa gadis cilik sepertimu mengganggu pikiranku?" Sagara meracau, membuat Arimbi sontak menutup hidungnya. Bau alkohol itu membuat perut Arimbi mual.Pria itu tiba-tiba mengeratkan pelukannya. Dengan sekuat tenaga Arimbi berusaha melepaskan diri tapi tak juga bisa. Tenaga Sagara terlampau kuat. Meski sekarang dia dalam keadaan mabuk. Sebenarnya rasa mabuk Sagara sudah sedikit menghilang. Tapi, pria itu memang sengaja tak mau melepaskan Arimbi dari pelukannya."Tu-tu-an! Aku tidak bisa bernapas!" bisik Arimbi. Dadanya memang terasa sesak karena kuatnya pelukan Sagara."Diamlah!" bentak Sagara. "Jangan banyak bergerak! Jangan sampai kau menyesali tindakanmu. Jadi kalau kau ingin tetap aman. Diamlah! Jangan membuat gerakan apa pun!" ucap Sagara dengan suara serak. Nyali Arimbi ciut mendengar ancaman Sagara
"Apa yang kau lakukan, Fel? Apa kau sudah gila?" teriak Sagara ketika vas bunga hampir saja mengenai kepalanya."Kau yang gila. Bagaimana kau bisa tak mengabariku sekali pun! Kau pasti bersama pelacur kecil itu kan?" teriak Felicia, tak kalah kencang. Wajah wanita itu terlihat merah padam."Apa--kau-- sudah mulai mencintainya? Apa kau sudah menyentuhnya?" Felicia menatap tajam ke arah Sagara. Wanita itu berjalan mendekat tak perduli dengan pecahan vas bunga yang melukai telapak kakinya. Warna keramik yang tadinya putih, kini berwarna merah karena darah dari luka di telapak kaki Felicia.Sagara hanya memejamkan mata melihat apa yang dilakukan Felicia. Wanita ini dua kali lebih beringas dari saat bercinta ketika dilanda cemburu seperti ini.Wanita itu kini berada tepat di hadapannya. Menyentuh wajah Sagara, awalnya lembut, tapi kemudian kuku panjang itu seperti menancap di kulit Sagara."Kau belum menjawab pertanyaanku! Apak