"A-a-pa, Tuan Sagara yang telah melakukakan ini pada tubuh Mbak Felicia?" tanya Arimbi lagi. Felicia masih juga bungkam. Wanita itu tengah asyik menikmati juice dalam gelasnya.
"Mbak !!" bentak Arimbi, dia terlihat tak sabar melihat wanita itu masih saja bungkam.
"Ck, berisik! Benar dia yang melakukan ini semua. Bagaimana ... indah kan? Aku sangat menyukai tanda ini!" Felice nampak menghidu lebam di lengannya sambil memejamkan mata membayangkan sesuatu yang erotik. "Ah, aku jadi merindukannya!" gumam wanita dengan mata terpejam, membayangkan wajah Sagara.
Arimbi menatap tak percaya pada wanita yang wajahnya terlihat mengerikan itu. Pelipisnya pecah, ujung bibirnya juga pecah. Dan yang paling mengerikan adalah lebam-lebam biru di seluruh lengannya.
"Apakah Tuan Sagara selalu melakukan hal itu--menyiksamu, tiap kali kalian melakukan hubungan suami isteri?" Arimbi bergidik ngeri saat melihat Felicia menjawab dengan senyum dan anggukan kepala.
"Benar sekali. Dan itu terasa nikmat, sangat luar biasa!" Felicia bangun, maniknya menatap Arimbi dengan sinis. "Sudah, jangan terlalu banyak bertanya. Kita hari ini akan keluar, cepat ganti bajumu!"
"Kemana?" tanya Arimbi, menatap penuh tanya dan khawatir, pikir gadis itu bagaimana bisa kakak madunya mengajak Arimbi keluar dalam dengan wajah sekacau itu.
Felicia memutar mata jengah, "kita akan jalan-jalan ke Mall. Membeli pakaian yang layak untukmu, jadi sekarang cepat ganti bajumu ru--sa-- ke--cil!" Setelah mengatakan hal itu Felicia meninggalkan Arimbi yang masih saja bengong menatap ke adaan kakak madunya itu. Arimbi segera naik ke kamarnya di lantak dua, tapi bukan untuk berganti baju melainkan mengambil tas, yang belum dia bongkar isinya. Di pikiran Arimbi dia telah merencanakan sesuatu. "Kabur, aku harus kabur dari sini. Bukan tidak mungkin pria itu akan melakukan hal yang sama seperti pada Mbak Felice pada ku juga!" batin Arimbi.
Arimbi berjalan mengendap-endap menuruni tangga. Tas warna hitam berada di punggungnya. Tempat ia menaruh beberapa lembar pakaian. Sebenarnya Arimbi juga bingung mesti kemana. Gadis itu bukan tak pernah kekota besar akan tetapi hanya sampai jawa dan bali. Belum pernah ke Jakarta. Kata orang-orang Jakarta itu kota yang kejam. Kejahatan ada di mana-mana. Para penjahat itu tak segan membunuh untuk mendapatkan keinginan mereka.
Berbeda sekali dengan desa asal Arimbi, Alas Wetan. Di sana orang hidup berdampingan tak ada saling sikut atau sampai saling bunuh. Kalau pun ada konflik itu biasa. Namanya saja tinggal bermasyarakat dengan berbagai macam sifat dan isi kepala.
Kini Arimbi berada di luar pagar rumah Sagara. Ia bersembunyi saat pelayan berlari keluar mencarinya.
"Nyonya kecil, Nyonya Arimbi!" teriak pelayan muda itu. Arimbi menutup mulutnya saat pelayan itu mendekat ke arah pohon tempatnya bersembunyi. Gadis itu bernapas lega saat pelayan itu berbalik arah, kembali masuk ke dalam rumah.
"Aku sebaiknya jalan kaki saja. Kalau tetap di sini akan ketahuan!" batin Arimbi. Gadis itu berjalan ke arah berlawanan dengan rumah Sagara.
Sementara itu di sebuah ruangan kantor Atmaja Group, Sagara mengatupkan rahangnya menahan geram setelah menerima telpon Felicia beberapa saat lalu.
"Rusa kecil itu kabur!" Lapor Felicia.
"Kenapa dia kabur?" tanya Sagara, jawaban Felicia sontak membuat Sagara geram. "Kenapa kau ceroboh sekali!" bentak Sagara. Pria itu kemudian memerintahkan orang-orang suruhannya untuk ke rumah orang tua Arimbi.
"Gadis bodoh! Cari masalah saja. Lagi pula mana sudi aku menyentuhmu. Kurus kering begitu!" gumam Sagara geram.
Ting. Notifikasi masuk ke dalam ponsel Sagara. Foto Darko dan Hendi orang kepercayaannya sedang di rumah orang tua Arimbi. Sagara tersenyum sinis. Pria itu mendecih. "Cih, lihat saja bagaimana pria mata duitan itu tersenyum sudah seperti mau robek saja mulutnya!" Sagara mencemooh foto Joko.
"Sial! Dia sama sekali tak mau mengangkat telponku!" umpat Sagara. Baiklah rusa kecil. Let's play!" ujar Sagara. Bibirnya menyeringai menakutkan.
Tak lama kemudian.
Drt, drt, drt
Ponsel Sagara berbunyi. Senyum sinis terpancar di wajahnya. Nama Arimbi tertera pada layar.
"Apa yang akan Tuan lakukan pada keluarga saya?" bentak Arimbi begitu sambungan telepon diangkat oleh Sagara.
"Menurutmu?" Pria itu balik bertanya. Ia kemudian duduk, mengangkat kaki di atas meja, menyilangkan kaki kanan ke atas kaki kirinya.
"Saya tidak tahu. Makanya saya bertanya, kalau saya tahu saya tak akan bertanya!" Arimbi mendengkus kesal.
Sagara terkekeh. Terbayang wajah gadis yang dua hari ini resmi jadi isterinya. Pasti akan sangat menggemaskan saat dia marah. Dan ....!
"Shit!! Kenapa aku malah membayangkan dia tanpa pakaian!" umpat Sagara. "Halo, Tuan anda masih di sana kan?" Teriakan Arimbi membuat Sagara terperenyak.
"Tidak perlu berteriak seperti itu. Aku tidak tuli!" bentak Sagara. "Kau tinggal pilih saja, gadis kecil, pulang atau ... Ayahmu mengembalikan uang dua milyarku. Apa kira-kira ayah mu mampu? Sebab kalau tidak aku --akan-- mengirim Ayah mu ke penjara!" Sagara sengaja menekan ucapannya.
"Tapi aku tidak tahu ini di mana? Aku juga tidak tahu di mana alamat rumahmu, Tuan Saga! Lagi pula ... aduh!" Sagara refleks berdiri saat mendengar Arimbi mengaduh. "Apa yang terjadi? Kau tak apa-apa!" tanya Sagara dengan nada khawatir.
Arimbi menggeleng. Meski dia tahu Sagara tak akan melihatnya." Kaki ku sakit. Sepertinya lecet karena berjalan terlalu jauh! Hiks hiks, aku haus, di sini tak ada toko apa pun. Semua hanya terlihat seperti rumah-rumah kosong!"
Krosak.
"Aa!" Pekik Arimbi, Sagara yang masih berada di sambungan telpon berteriak gusar, "ada apa lagi?" Tak ada jawaban. Hanya isakan kecil, kemudian Arimbi berkata lebih tepatnya berbisik.
"Ada tiga orang pria. Wajah mereka terlihat mengerikan. Aku takut Tuan, tolong cepatlah datang!" pinta Arimbi penuh harap. Setelah itu sambungan telpon mati membuat Sagara terlihat kelabakan. Pria itu segera memeriksa lokasi Arimbi terakhir kali melalui perangkat gps yang sengaja dia pasang pada ponsel gadis itu.
"Wira!" teriak Sagara memanggil asisten nya. Seorang pria dengan tubuh gempal dan berkulit hitam manis. Rambut ikalnya mengingatkan kita dengan pemain film Men in Black, Will Smith.
"Ada apa, Pak?" jawab Wira. Pria itu membungkukkan badan di hadapan Sagara.
"Antar aku pulang! Huh, gadis kecil itu benar-benar merepotkan!" gerutu Sagara. Pria itu kemudian melihat di mana keberadaan Arimbi. Ini kan dua puluh kilo dari rumah, gadis itu berjalan sejauh ini!?" gumam Sagara lagi. Waira mencoba melihat wajah sang Bos dari kaca spion.
"Dari sini ke rumah, makan berapa lama waktunya, Wir?" tanya Sagara tanpa mengalihkan fokusnya pada ponsel.
"Sekitar satu jam kalau tidak macet. Biasanya jam segini macet Pak, bisa sampa dua atau tiga jam!" jawab Wira. Sagara terlihat menghela napas terlihat cemas. "Terlalu lama. Ah, sial kenapa aku sampai tak memikirkan ke sana!?" Sagara menekan nomer telpon penjaga rumahnya.
"Yudi, kamu pergi ke blok F, jemput Nyonya kecil. Bawa dua orang untuk menemanimu. Sepertinya aku mendengar ada sesuatu yang tak beres!" titah Sagara begitu sambungan telpon di angkat.
Berulang kali netra cokelat Sagara menatap ponsel, berharap tak terjadi apa pun pada Arimbi. Hal itu tak luput dari perhatian Wira. Pria itu terlihat tersenyum. Senyumnya makin melebar ketika Sagara menggoyangkan badan ciri khasnya kalau sedang cemas.
Sagara mengerutkan kening kala melihat Wira sedang terkekeh geli, Sagara menatap tajam. "Apa ada hal lucu, Wir, sampai kau tersenyum lebar, sekaan bibirmu mau robek?" tanya Sagara dengan nada sarkas.
"Hm!!" Wira berdehem. "Anda terlihat sangat mencemaskan Nyonya kecil, Pak!" ujar Wira membuat Sagara terperenyak. Benarkah dia khawatir pada istri kecilnya itu. Sagara melengos. Kini fokusnya berpindah ke jalan.
Sementara itu di lain tempat. Arimbi nampak cemas ketika ada tiga orang pria berpenampilan sangar mendekatinya. Salah satu di antara mereka bertiga ada satu orang yang paling menyeramkan penampilannya. Lengan sampai pipi penuh dengan tatto. Kepalanya plontos, kulit hitam legam, dengan kumis melintang di atas bibir yang menghitam karena nikotin.
Arimbi mundur selangkah, saat ketiga pria itu melangkah maju, kini tubuh Arimbi mentok di tembok pagar rumah warga.
"Kamu ngapain di sini?" bentak pria bertatto itu, membuat Arimbi melongo dan tak dapat menahan tawa. Suara pria sangar itu terdengar seperti anak-anak.
"Eh, bocil!! Yee, mau nyolong ya?" tuduh pria dengan gaya gemulai. Ia bahkan mengibaskan kepala meski rambutnya model cepak. Lagi-lagi Arimbi tersenyum, kali ini lebih lebar karena rasa lega yang dia rasakan.
"Tapi tunggu dulu, jangan tertipu pada penampilan. Bisa saja mereka berpura-pura saja, kan!" batin Arimbi.
"Eh, dia malah cengengesan! Ditanya itu jawab bukan diem terus cengengesan, Cil!?" ucap pria yang terlihat lemah gemulai. Di antara ke tiga orang itu, pria ini terlihat paling kecil, dan gemulai.
"Ss-sa-ya.- sedang menunggu teman!" jawab Arimbi dengan takut-takut.
"Tampang kamu nyeremin Ton, makanya doi gagap, ketakutan kaya gitu!" ledek pria dengan rambut sedikit gondrong dan penampilan berantakan. Jeans yang di kenakan pria itu telihat sudah pudar, kedua bagian lutut celana terlihat robek. Entah di sengaja atau tidak.
"Tunggu di situ saja!' kata pria bernama Toni itu sambil menunjuk kursi panjang di bawah pohon mangga yang tengah berbuah lebat di halaman rumah.
"Ini rumah saya. Dan, saya bukan orang jahat, jadi kamu tak usah takut. Lagi pula kamu kelihatan haus dan lelah! Kamu bisa gabung sama kita!" tawar Toni. Netra Arimbi menatap manik tajam ketiga pria itu. Mereka terlihat jujur. Tak ada kebohongan pada mata mereka. Ini insting Arimbi, bahwa ke tiga orang itu adalah orang baik.
"Iya, cyin. Kita mau rujakan, nih ... !" Pria gemulai itu menunjukkan plastik putih berlogo sebuah minimarket terkenal. Indo April.
Arimbi kemudian mengekor di belakang pria kemayu itu, yang mengajaknya duduk di sebuah balai-balai bambu di bawah mangga. Suasana di sana terasa sejuk dan damai.
"Nih!" Toni menyodorkan sebotol air mineral, pada gadis itu. Arimbi mereguknya hingga tinggal setengah. Pria kemayu keluar dari rumah membawa buah-buahan yang telah di cuci. Sedangkan pria dengan dandanan urakan membawa cobek berisi sambal.
Arimbi terkikik geli melihat penampakan di depannya. Para pria yang bertingkah tak sesuai dengan penampilan mereka.
"Hmm, endes bo!" ucap pria kemayu itu saat mencicipi rujak buatannya. "Ayo, di cicipi Cyin!" tawar pria kemayu itu pada Arimbi. Arimbi terlihat sangat menikmati mengobrol dengan ketiga pria itu.
"Nyonya kecil!" Arimbi menoleh ke arah suara itu berasal. Di depan pagar berdiri tiga orang pria memakai baju serba hitam. Arimbi tersenyum samar. Gadis itu tahu siapa tiga orang pria itu.
"Gabung sini, bro. Cicipin rujak siang terik menumya es teh, endes banget bro!"pria kemayu itu mendesis-desis kepedasan. Wajah dan cuping hidupnya nampak memerah.
"Nyonya, Tuan Sagara menyuruh kami membawa anda pulang, mari, Nyonya!" ajak salah satu pria itu bergerak maju, mengambil ransel. Kemudian berjalan mendahului Arimbi.
Arimbi mendengkus. Dengan enggan, gadis itu bangun. Berpamitan pada ketiga pria yang tengah mendesis-desis menahan rasa pedas di bibir mereka.
"Om, Kak, saya pamit dulu ya? Makasih atas rujak dan juga sudah ngasi aku tempat berteduh. Maaf tadi sempat soudzon!" Arimbi tersenyum sangat manis "Oh iya, kita belum kenalan, nama ku Arimbi. Nama om-om, sama kakak ini siapa?" Netra Arimbi menatap satu-satu pria di depannya.
Aku Toni, ini Salman, dan yang ini--
"Baby alias Boy!" Tawa Arimbi langsung meledak mendengar suara Baby alia Boy. Terdengar sangat lucu saat dia mengubah intonasi suaranya dari suara mendayu-dayu ke suara bariton.
"Lain waktu main ke sini lagi ya, Rimbi. Kita makan rujak lagi!"tawar Baby. Arimbi mengganggukkan kepala. Gadis itu kemudian mengikuti ketiga pengawal Sagara, masuk ke dalam mobil Alvahrd berwarna hitam.
Bersamaan denga itu, sebuah sedan lexus warna hitam berhenti di belakanng mobil alfarhd itu. Netra kelamnya menatap tajam ke arah Arimbi, akan tetapi ia pun terlihat mengebuskan napas lega.
Arimbi hanya bisa menatap lurus kedepan. Otak wanita itu terus saja memikirkan apa yang akan terjadi dalam hidupnya. Rumah tangga seperti apa yang tengah ia jalani? Berapa lama dia akan bertahan dengan pernikahan ini? Istri ke dua, suami sadomasis. Ah, lengkap sudah penderitaan Arimbi.Membicarakan kelainan seks ini, Arimbi sudah mencari tahu tentang apa itu sadomasokis, dan itu membuat Arimbi ketakutan hingga kini."Kita sudah sampai, Nyonya kecil!" ujar seorang pengawal. Arimbi menarik napas, memenuhi seluruh rongga dadanya, untuk menekan rasa tegang dalam hati.Arimbi turun dari mobil itu. Berdiri menatap rumah megah yang dua hari lalu sempat membuat gadis itu kagum akan tetapi kini malah membuatnya di landa rasa cemas, ngeri dan takut. Membayangkan bagaiman penghuni rumah ini bertingkah laku. Melebihi kelakuan bintang."Hm,hm!" deheman keras seseorang membuat Arimbi berjengit."Apa yang sedang kau rencakan dengan menat
Mereka telah sampai di sebuah butik di kawasan Kemang. Sebuah bangunan lima lantai berdiri menjulang kokoh. Bangunan berdinding pastel itu terlihat sangat aseri. Bunga-bunga dengan aneka macam dan warna.Saat akan memasuki butik tadi Arimbi terlihat berdecak kagum dengan keindahan bunga morning glori yang menjalar pada pagar tembok butik. Warna ungu dan pink membuat mulut gadis itu tak berhenti berdecak."Ck, ck, ck. Cantik bener!!" Kini mobil memasuki halaman butik, sebelum masuk mereka di sambut bunga-bunga yang sangat indah. Bunga mandevilla nampak ditanam dengan cara bergerombol pada tiang, di atasnya dipasangi lampu yang akan menyala pada malam hari, dan keindahan bunga ini akan semakin terpancar.Saat akan memasuki butik di samping kiri kanan pintu, bunga anggrek, mawar dan juga sedap malam tumbuh subur,dan sedang berbunga. Wangi bunga mawar dan sedap malam menghentikan langkah Arimbi. Gadis itu berjalan mendekat ke arah bebungaan
Makan malam berjalan hening. Makanan aneka rupa sudah terhidang di meja. Sejak masuk ke rumah Sagara dua hari yang lalu. Arimbi selalu dihantui rasa bersalah. Menghidangkan makanan sebanyak ini, yang makan hanya bertiga dan Arimbi yakin mereka hanya akan memakannya sedikit setelah itu akan meninggalkan sisanya. Kalau di rumah ada pelayan yang akan menghabisikan lauk pauknya tidak tahu kalau di restoran ini. "Kau kenapa? Apa tidak suka dengan makanannya?"tanya Sagara, entah kenapa di telinga Felicia menangkap ada hal berbeda dari cara Sagara memperlakukan Arimbi. Suara pria itu boleh saja datar dan dingin seperti biasa, tapi Felicia mengenal dengan cukup baik bagaimana seorang Sagara. Dan bisa Felicia pastikan bahwa Sagara menyimpan ketertarikan pada Arimbi. "Tentu saja ini bukan seleranya. Biasanya dia makannya tahu tempe, sayur asem dan-- "Jengkol goreng, dan ikan asin. Terus nasinya yang anget-anget. Aduh, Mbak Felicia kamu so sweet banget si
Mata Felicia menatap lekat wajah Arimbi. Sedangkan Sagara mempertajam pendengarannya. Ia ingin tahu jawaban apa yang akan diberikan oleh Arimbi."Aku tak akan menjawab. Karena itu adalah masalah pribadiku. Meski aku ini adalah alat pembayar hutang tapi aku juga masih punya hak untuk memiliki privacy, kan?" Suara Arimbi terdengar pelan. Ada rasa kecewa dalam hati Sagara saat Arimbi tak menjawab pertanyaan Felicia.Suasana mobil kembali sunyi. Arimbi fokus menatap ke arah lampu kerlap kerlipnya membuat Arimbi teringat kampung halaman.Mobil kini memasuki halaman rumah Sagara. Begitu berhenti, Arimbi gegas keluar berjalan mendahului mereka. Menyisakan kerutan pada wajah Sagara. Melihat Arimbi diam seperti itu tentu saja membuatnya heran. Hampir seminggu tinggal bersama Arimbi, baru kali ini mulutnya diam. Biasanya ia berkicau laksana burung murai.Felicia sedari tadi mengamati gerak gerik Sagara. Berkali-kali ia melihat sorot mata Sagara
Huek, huek, huek!!!Berulang kali Arimbi memuntahkan isi perutnya. Masih terbayang dengan jelas gambaran bagaimana Sagara memukuli Felicia tanpa ampun. Sebelum kemudian melakukan penyatuan mereka. Felicia, wanita itu bagaimana dia bisa berteriak ke sakitan tapi juga mengiringinya dengan desahan menikmati?"Kau kenapa?""Astaghfirullah!" teriak Arimbi, matanya membeliak sàat melihat Sagara duduk di atas tempat tidur dengan menatap tajam ke arahnya."Anda ... sedang apa di sini?" tanya Arimbi dengan wajah pucat pasi seperti habis melihat hantu."Kenapa? Ini rumahku jadi aku bebas ada di mana saja selagi masih di wilayah rumah ini!" balas Sagara. Netra bak elang itu masih saja menyorot tajam ke arah Arimbi membuat wanita itu ketar ketir."Kamu belum menjawab pertanyaanku. Kamu kenapa?" Sagara mengulangi pertanyaannya"Tidak apa-apa! Mungkin masuk angin!" jawab Arimbi asal. Wanita itu kemudian berj
Arimbi menahan napasnya, manik bening itu berkedip-kedip manatap Sagara."Aku sangat membencimu, Arimbi! Bagaimana bisa gadis cilik sepertimu mengganggu pikiranku?" Sagara meracau, membuat Arimbi sontak menutup hidungnya. Bau alkohol itu membuat perut Arimbi mual.Pria itu tiba-tiba mengeratkan pelukannya. Dengan sekuat tenaga Arimbi berusaha melepaskan diri tapi tak juga bisa. Tenaga Sagara terlampau kuat. Meski sekarang dia dalam keadaan mabuk. Sebenarnya rasa mabuk Sagara sudah sedikit menghilang. Tapi, pria itu memang sengaja tak mau melepaskan Arimbi dari pelukannya."Tu-tu-an! Aku tidak bisa bernapas!" bisik Arimbi. Dadanya memang terasa sesak karena kuatnya pelukan Sagara."Diamlah!" bentak Sagara. "Jangan banyak bergerak! Jangan sampai kau menyesali tindakanmu. Jadi kalau kau ingin tetap aman. Diamlah! Jangan membuat gerakan apa pun!" ucap Sagara dengan suara serak. Nyali Arimbi ciut mendengar ancaman Sagara
"Apa yang kau lakukan, Fel? Apa kau sudah gila?" teriak Sagara ketika vas bunga hampir saja mengenai kepalanya."Kau yang gila. Bagaimana kau bisa tak mengabariku sekali pun! Kau pasti bersama pelacur kecil itu kan?" teriak Felicia, tak kalah kencang. Wajah wanita itu terlihat merah padam."Apa--kau-- sudah mulai mencintainya? Apa kau sudah menyentuhnya?" Felicia menatap tajam ke arah Sagara. Wanita itu berjalan mendekat tak perduli dengan pecahan vas bunga yang melukai telapak kakinya. Warna keramik yang tadinya putih, kini berwarna merah karena darah dari luka di telapak kaki Felicia.Sagara hanya memejamkan mata melihat apa yang dilakukan Felicia. Wanita ini dua kali lebih beringas dari saat bercinta ketika dilanda cemburu seperti ini.Wanita itu kini berada tepat di hadapannya. Menyentuh wajah Sagara, awalnya lembut, tapi kemudian kuku panjang itu seperti menancap di kulit Sagara."Kau belum menjawab pertanyaanku! Apak
Sagara melangkah dengan tergesa-gesa ke dalam resto. Wira menahan napas melihat wajah Sagara yang diliputi amarah. Ingin rasanya menelpon Arimbi untuk memghentikan tawanya di depan Hans. Terlambat. Sagara telah berada tepat di hadapan tempat Arimbi.Wajah Arimbi pucat pasi. Terkejut tak terkira, hingga membuatnya tersedak. Bagaimana bisa pria ini tiba-tiba sudah ada di sini. Dengan ekspresi wajah menakutkan."Tu-tu-an. Anda ada di sini?" tanya Arimbi dengan terbata. Sagara mendengkus menatap tajam, seakan ingin menelan tubuh Arimbi bulat-bulat."Iya. Ini aku. Sepertinya kau sangat terkejut sekali melihatku? Apa kau sudah melakukan kesalahan? Hingga wajahmu pucat begitu?" sindir Sagara. Arimbi susah payah menelan makanannya. Kemudian membasahai tenggorokan dengan air mineral."Wow, Tuan Sagara. Anda sepertinya salah paham! Saya dan Arimb-"Diam! Tak ada yang memintamu bicara di sini! Aku hanya ingin mendengar penjelasan dari is--