Tidak pernah terpikir di benak Layla bahwa dia memiliki kesempatan untuk bekerja di sebuah perusahaan impiannya, Bellerica, sebuah perusahaan besar yang bergerak di bidang kosmetik terbesar di Indonesia.
Sebuah kehormatan besar untuk mendapatkan posisi sebagai Supervisor selama empat tahun dan akhirnya diangkat menjadi HRD atau Human Resource Development dan mendapat kepercayaan penuh dari Yunda, well, meskipun Yunda adalah sahabatnya sedari kecil, tetapi Yunda adalah sosok yang profesional dalam bekerja. Meski dia menjabat sebagai Manajer di perusahaan itu cukup lama, tapi dia tidak mau langsung mengangkat Layla menjadi HRD di perusahaan itu. Menurutnya, mencampuradukkan hubungan pribadi dengan pekerjaan itu adalah pantangan absolut.
Ada standar konstruksi sosial yang Layla benci selama hidup sebagai seorang perempuan di Indonesia. Pertama, pendidikan perempuan tidak boleh tinggi dari laki-laki karena risikonya akan banyak laki-laki yang minder untuk mendekati. Kedua, perempuan selalu di tempatkan sebagai pendamping laki-laki yang menyebabkan perempuan kurang dapat mengembangkan potensi diri yang dimiliki. Ketiga, perempuan identik dengan sosok yang tertindas di dalam segala hal, mau itu dari segi ekonomi, pendidikan dan juga pekerjaan.
Cih! Layla kesal sekali dengan pemikiran demikian. Apa-apa laki-laki harus derajatnya lebih tinggi dari perempuan. Jelas bagi Layla untuk mengubah mindset itu menjadi; Perempuan berhak memilih jalan hidupnya sendiri dan tidak terpaku pada adat istiadat yang tertanam di Indonesia selama ini. Apalagi dalam arus globalisasi saat ini.
Layla pernah disindir Mamanya saat mereka sedang mengobrol berdua. “Perempuan itu memang boleh punya pendidikan yang tinggi, pekerjaan yang enak dan sesuai impian. Tapi, kamu juga harus ingat, bahwa laki-laki punya ego yang tinggi dan tidak mau dikalahkan. Jadi, pastinya banyak laki-laki yang minder dekati kamu.”
Layla yang malas karena tiap kali ada waktu berdua dengan Mamanya, selalu saja membahas soal itu. “Seharusnya Mama senang dong, kalau Layla kerja enak, banyak duit dan bisa beli apa pun pakai uang Layla sendiri, bisa bahagiain Mama juga. Kok Mama kesannya malah nggak dukung Layla gini, sih?”
“Mama dukung kamu ... selalu dukung kamu. Tapi semua yang kamu lakukan ini pasti ujung-ujungnya setelah menikah, tujuan utama, ya, pasti dapur juga. Iya, kan? Perempuan pasti begitu kok. Nggak bakalan jauh dari dapur, urus anak dan urus suami.”
“Kalau perempuan yang banyak duit, nggak butuh sama yang namanya suami, Ma.”
“Tapi nggak bakalan bertahan lama. Kamu juga butuh pendamping hidup, butuh yang namanya suami. Bicara tentang suami, Mama bakalan jodohin kamu sama anaknya temen Mama, Tante Rita, anaknya kerja di salah satu perusahaan besar di Amerika. Sudah cukup jelas kalau hidup kamu akan terjamin kalau nikah sama dia.”
“Kayak aku nggak laku aja main dijodoh-jodohin. Ogah! Aku juga punya pacar!”
“Oh ya? Bagus dong. Kenalin sama Mama. Mama pengen tahu cowok kamu yang sekarang sama atau nggak kayak yang dulu-dulu. Ingat loh, Layla, umur kamu sekarang sudah dua puluh tujuh tahun. Masa kamu mau jadi perawan tua?”
“Amit-amit deh! Ya bedalah, Ma. Oke Minggu depan aku bawa ke Mama!”
Alhasil, tiap kali ada waktu luang atau tiap kali Layla libur kerja, dia sangat malas sekali kalau harus berhadapan dengan Mama apalagi hanya berdua. Kecuali ada Papa atau adik Layla, Kevin. Kalau tanpa mereka, Layla selalu memilih mengunci diri di dalam kamar.
Sebetulnya ada kualifikasi khusus untuk menjadi pendamping hidup Layla, syaratnya yaitu; Tidak mendominasi, Layla tidak suka diatur-atur dan tidak suka disuruh-suruh, bahkan oleh pasangan sendiri meski saling memiliki kuasa sepertinya bukan pilihan yang tepat. Bahkan Layla pernah berikrar—dia tidak mau menikah. Dia trauma dengan laki-laki, selalu saja di khianati atau ditinggal nikah, ada juga yang memperlakukan Layla sesuka hati mereka.
Sekarang Layla sedang berjibaku dengan pekerjaannya, di hadapan layar komputer yang menampilkan data-data karyawan operasional. Setiap akhir bulan seperti ini, dia harus merekap data absensi karyawan untuk penggajian. Bahkan harus banyak ketelitian dan jangan sampai salah dalam menggaji karyawan yang totalnya beribu-ribu orang.
“Gimana? Udah nemu cowok yang cocok?” Seperti hari ini, tiap kali Layla sibuk, Yunda selalu mengganggu. Sebelumnya memang Layla bercerita pada Yunda soal dia diberi tantangan oleh Mamanya untuk membawa laki-laki ke hadapan sang Mama. Tapi sepertinya ini bukan waktu yang tepat untuk membahas itu.
Bertahun-tahun menjadi sahabat Layla, tentu saja Yunda tahu betul segala permasalahan yang bercokol di kepala sahabatnya itu. Dari mulai masalah keluarga, sampai kisah percintaan. Dari Layla yang mudah jatuh cinta, sampai merasakan mati rasa.
“Yun, bukan waktu yang pas deh bahas itu. Gue lagi sibuk banget. Bisa nggak sih lo keluar dari sini?” Layla sedikit nyolot. Padahal posisi dia di sana sebagai bawahan Yunda, tapi kalau sudah berdua seperti ini, tidak ada pembatas seperti itu.
“Gue cuma mau mastiin doang,” Yunda menghempaskan punggungnya ke sandaran kursi. Dia duduk di depan meja Layla.
Layla menghela napas kasar. Perhatiannya yang sedari tadi direnggut habis oleh layar monitor, kini berpaling pada Yunda. “Lo tahu, kan, gue ogah nikah? Banyak trauma. Dan sekarang gue malah disuruh nikah cepet-cepet. Alasannya malah terpatok umur lagi. Gue nggak suka sama budaya Indonesia ya begini, Yun, umur dijadiin acuan buat seseorang berumah tangga.”
“Tapi emang begitu budaya di sini, La. Lagian nyokap lo khawatir kali gara-gara lo sering di sakitin sama cowok, dia curiga kalau lo nggak mau married.”
“Emang nggak mau. Ngeri gue.”
Yunda menghela napas, dia mencondongkan tubuhnya lebih dekat dengan Layla. “Terus, rencana lo apaan? Mau cari cowok di mana yang rela lo ajak pura-pura?”
“Em ...,” bola mata Layla bergerak-gerak, berusaha berpikir. “Kayaknya gue bakalan nyari di daerah puncak deh. Banyak tuh cowok-cowok di sana yang bisa gue ajak kerja sama. Semacam nikah kontrak. Soalnya gue ogah dijodohin.”
“Idih! Ngaco lo! Kayak kekurangan populasi cowok di Jakarta aja,” Yunda segera membantah.
“Ya terus? Gue bingung juga. Bantuin gue cari cara dong! Percuma lo ke sini kalau cuma mau ganggu gue doang. Berguna dikit napa!”
Yunda memutar bola matanya malas, menyandarkan kembali punggungnya di sandaran kursi. “Justru itu, gue ke sini mau menawarkan solusi.”
“Apa-apa?” Layla segera mendekat, mencondongkan tubuhnya dan kedua tangannya bersidakep di atas meja. Atensinya sekarang terpusat penuh pada Yunda.
“Gue punya temen cowok. Dia baiiikk banget, cakep, tinggi, pokoknya sesuai sama tipe lo dulu deh. Ngomongnya lemah-lembut. Terus dia kemarin itu lagi patah hati baru ditinggal nikah sama ceweknya karena dijodohin. Terus dia bilang sama gue, pengen banget balas dendam ke ceweknya itu, pengen buktiin kalau dia juga bisa bahagia tanpa ceweknya.”
Ketika Yunda menjabarkan itu, Layla paham jalan percintaan cowok itu tidak jauh beda dengannya.
“Nah, cocok kan sama kisah percintaan lo? Terus dia kemarin bilang sama gue, minta dikenalin ke temen gue, minta dicomblangin. Nah, sekarang pas nih sama niatan lo buat cari cowok yang bakal dijadiin suami pura-pura. Gimana? Mau nggak lo?”
“Cakep nggak orangnya?” tanya Layla to-the-point karena dia memang tipikal perempuan selektif dalam memilih pasangan. Meskipun konteksnya sekarang pasangan pura-pura. “Sorry ya gue ini selektif orangnya. Gue pasti mandang cowok dari fisik karena gue cantik. Seenggaknya nggak malu-maluin kalau di bawa ke acara penting.”
Kalau bukan Layla yang ngomong gitu, mungkin Yunda sudah melempar monitor itu ke muka Layla. Yunda kenal Layla itu gimana, kalau dibilang sombong, Yunda tidak memungkiri itu. Seolah sombong sudah mendarah daging dan hal yang biasa untuk seorang Layla.
“Baby, gue tahu betul tipe cowok lo kayak gimana. Pokoknya ini bakalan sesuai sama yang lo cari deh. Percaya sama gue.”
Layla menghela napas, mengangguk-angguk. “Oke. Kapan gue bisa ketemu sama dia?”
“Secepatnya, untuk Taun Putri Layla.”
BERSAMBUNG...
Sesuai rencana Layla siang ini, dia akan menyambut pertemuannya dengan seorang laki-laki yang dikenalkan Yunda. Tentu saja Layla harus tampil cantik dan menarik, karena prinsipnya dari dulu adalah; selalu ingin terlihat menarik di hadapan seseorang yang pertama kali bertemu. Memberikan kesan terbaik adalah hal yang wajib. Gadis itu mengenakan kaus lengan pendek warna putih yang dipadu dengan blazer model setengah lengan warna mocca, dia juga mengenakan celana jins dan high-heels senada dengan warna blazer. Tak lupa menyapukan sentuhan make up seperti foundation, eyeliner, blush-on, dan lipstik merah. Tidak lupa juga menyemprotkan parfume ke beberapa bagian inti tubuhnya. Sebetulnya perasaan Layla deg-degan juga menyambut pertemuannya dengan laki-laki itu. Kalau bukan karena masalah ancaman perjodohan dari Mama, mana mungkin Layla mau berurusan dengan hal seperti ini. Apalagi konteksnya berpura-pura. Buang-buang waktu! “Mau ke mana nih udah cantik? Tumben. Biasanya kalau libur suka
Sepertinya sudah cukup basa-basi dan memulai pendekatan. Layla tidak mau mengulur banyak waktu terbuang, begitu juga dengan Bara sepertinya. Dari sikap, cara Bara bicara dan gerak-geriknya sepertinya sudah memenuhi persyaratan. Toh, ini semua hanya pura-pura. Tidak usah berlama-lama ke inti permasalahan. “Oke, Bara, kamu bener juga. Gimana kalau kita langsung ke kesimpulan aja?” Layla yang tidak suka banyak basa-basi dan tidak sabaran. Dia selalu langsung ke poin inti permasalahan, supaya lebih cepat ke tujuan utama. Bara mengangguk. “Oke.” Tangan cowok itu bersidakep di atas meja, seluruh atensinya terpusat pada Layla. Ditatapnya netra coklat yang dilapisi soflens hitam itu dengan sorot mata teduh. Perhatian Layla berkelana, melirik tangan Bara. Oh so sexy! Oke, tunggu-tunggu! Mungkin ini terkesan ‘Gila’ untuk seorang perempuan mengagumi tangan laki-laki. Masalahnya di sini, Layla sangat menyukai tangan cowok dengan urat yang menonjol kebiruan. Layla menyebutnya dengan tangan sek
Sesuai janji. Pertemuan Bara dan Layla berlanjut ke pertemuan kedua. Dan untuk kali ini Layla membebaskan Bara untuk memilih tempat, karena awal mereka bertemu yang menentukan tempat Layla dan sekarang gantian. Alhasil, Bara mengajak Layla melipir ke warung tendaan di pinggir jalan. Tenda pecel lele menjadi pilihan Bara karena Layla bilang, dia belum pernah makan langsung pecel lele di tempat. Jadi, Bara membawa Layla ke sana. Awalnya Layla fine-fine saja, tapi setelah melihat ramainya orang di sana dan juga banyak pengamen, Layla sedikit ragu. Pasalnya, ada hal penting yang akan dibahas dan tentunya butuh keheningan untuk saling memahami dan berkonsentrasi. Namun, Bara meyakinkan Layla mau di tempat mana pun itu, kalau kita memusatkan atensi kita pada sebuah permasalahan yang di bahas, pasti bisa memahami dan menemukan titik terang. Alhasil, Layla mengalah. Di tengah-tengah percakapan, tahu-tahu ada seorang pengamen datang menginterupsi mereka dengan genjrengan gitarnya tepat d
Setelah berhasil meyakinkan Ibu, akhirnya Bara menghubungi Layla untuk mengatur jadwal pertemuan dengan kedua belah pihak keluarga.Bahkan mereka berdua bersekongkol merancang sebuah kebohongan soal pertemuan pertama hingga lamanya berpacaran sembunyi-sembunyi. Supaya tidak menimbulkan curiga dari keluarga masing-masing.Akhirnya, sore ini, selepas Layla pulang bekerja, Bara mengunjungi kantor Bellerica untuk menjemput Layla. Meski, Layla bawa mobil dan Bara pakai motor. Tapi Bara memilih menyimpan motornya di kantor Layla dan dia sudah izin ke Yunda. Alhasil, mereka berdua menggunakan mobil milik Layla untuk ke rumah gadis itu dan bertemu keluarganya sesuai agenda.Ayah Layla keturunan konglomerat pengusaha kelapa sawit terbesar di Kalimantan dan pengusaha Batubara, itu pun yang menyebabkan harta Ayahnya sepertinya tidak akan habis tujuh-turunan. Dari luar, orang-orang melihat rumah Layla bagai istana mewah dengan orang-orang yang riang gembira di dalamnya dan penuh keberuntungan. Ba
Agenda selanjutnya adalah mempertemukan Layla dengan keluarga Bara. Setelah sebelumnya Bara sudah berhasil meyakinkan kedua orang tua Layla, sekarang giliran Layla yang akan meyakinkan kedua orang tua Bara. Bara berasal dari keluarga sederhana, Ayahnya bekerja serabutan dan Ibunya ibu rumah tangga. Tapi Bara bersyukur punya orang tua seperti Ayah dan Ibunya, karena berhasil membiayai Bara sekolah sampai di jenjang bangku perkuliahan dan sukses menjadi Manajer seperti sekarang. Hari ini Bara memilih menjemput Layla di rumahnya, tanpa janjian seperti sebelumnya. Supaya lebih meyakinkan. “Hei, Bar, gimana penampilan saya hari ini?” Bara terkesima sesaat setelah melihat penampilan Layla yang begitu terlihat cantik. Rambutnya dibuat bergelombang, tubuh langsingnya dibalut dress berwarna peach terlihat begitu sempurna. Lelaki itu sejenak terpaku memandangi Layla. “Hellowww!!” Layla melambaikan tangannya di depan wajah Bara, membuat Bara mengembalikan konsentrasi. “Malah ngelamun. Giman
Suasana tegang masih menyelimuti Layla. Perasaannya gundah-gulana dan merasa sangat terintimidasi oleh Ibunya Bara yang seolah seperti tidak menyukai Layla. Rasanya Layla ingin berteriak, kalau ini hanya pura-pura, tapi apa daya? Tidak mungkin pernikahan menjadi ajang permainan dimata keluarga.Layla memandangi Bara yang masih berusaha melindungi Layla dengan segala upaya dan caranya meyakinkan sang Ibu untuk percaya dengan pilihannya kali ini.Bahkan Layla masih belum memiliki jawaban untuk membantu Bara. Alhasil, dia hanya diam.“Menikah itu susah, lho, kamu juga harus betul-betul yakin, Bara. Pernikahan itu terjadi sekali seumur hidup!” Suara Ibu meninggi. Bahkan dengan raut wajah menahan marah karena Bara dengan senang hati mengambil keputusan.“Iya Bara tahu, Bu. Apa salahnya sih Bara mau menikah dengan Layla? Jangan karena Layla nggak bisa masak, Ibu jadi tiba-tiba nggak setuju gini.”Situasi semakin menegang. Bahkan dugaan Layla salah, kalau kedua orang tua Bara akan setuju-set
Secangkir kopi espresso panas menemani cuaca sore yang cerah hari ini, di tengah-tengah hiruk-pikuk dunia yang bikin pusing kepala. Layla menyeruput cangkir itu perlahan, menikmati setiap komponen kopi melebur di dalam mulutnya. Suasana kafe coffee Almost sore ini tidak begitu ramai pengunjung, Yunda mengajak Layla untuk ke sana karena sudah lama juga mereka berdua tidak menghabiskan waktu bersama. Sibuknya bekerja membuat mereka hanya bertemu di kantor saja. “Ciut juga nyali lo ketemu Camer,” Yunda terkikik geli. Biasanya, Layla selalu open joy dan tidak pernah merasa dirinya berada di sebuah keadaan yang mengintimidasi, Layla selalu bisa mengendalikan suasana.Tapi ketika bertemu dengan orang tua Bara, semua kemampuannya mendadak lenyap ditelan udara. Layla menghela napas, menyimpan cangkir kopinya dia atas meja. Tatapannya terpusat pada Yunda yang duduk di hadapannya. “Nggak tahu deh, gue nggak bisa bantah. Lagian gue lihat-lihat, nyokapnya nggak percaya gitu sama gue.”“Mungkin
Bara sedang berada di depan halte dekat kantornya, berdiri di sana dengan pandangan menengadah sekitar melihat hilir-mudik kendaraan yang berlalu lalang di depan halte. Laki-laki itu menggerakkan jemarinya, menerima panggilan telepon masuk di ponselnya.“Halo, La. Di mana?”[Sebentar lagi sampai, tungguin. Kamu itu di halte, kan?]“Iya.”[Oke.]Panggilan terputus. Bara menghela napas. Sesuai permintaan Layla kemarin malam, bahwa hari ini Bara harus menemaninya ke butik untuk melihat-lihat gaun yang akan dipakai untuk acara pernikahan mereka nanti. Meski sebetulnya Bara sudah menolak dan memberi pengertian pada Layla kalau masalah ini bisa dibicarakan lagi nanti.Namun, Layla yang keras kepala, justru dia tak peduli dan teguh pendirian. Alhasil, mau tidak mau Bara menurut.Mobil mewah milik Layla berhenti tepat di depan halte dengan Bara berdiri di sana. Gadis itu turun dari mobil. Aneh, seharusnya Layla tidak usah turun dan menunggu Bara naik saja ke kursi penumpang.“Kamu yang bawa,”