Sesuai rencana Layla siang ini, dia akan menyambut pertemuannya dengan seorang laki-laki yang dikenalkan Yunda. Tentu saja Layla harus tampil cantik dan menarik, karena prinsipnya dari dulu adalah; selalu ingin terlihat menarik di hadapan seseorang yang pertama kali bertemu. Memberikan kesan terbaik adalah hal yang wajib.
Gadis itu mengenakan kaus lengan pendek warna putih yang dipadu dengan blazer model setengah lengan warna mocca, dia juga mengenakan celana jins dan high-heels senada dengan warna blazer. Tak lupa menyapukan sentuhan make up seperti foundation, eyeliner, blush-on, dan lipstik merah. Tidak lupa juga menyemprotkan parfume ke beberapa bagian inti tubuhnya.
Sebetulnya perasaan Layla deg-degan juga menyambut pertemuannya dengan laki-laki itu. Kalau bukan karena masalah ancaman perjodohan dari Mama, mana mungkin Layla mau berurusan dengan hal seperti ini. Apalagi konteksnya berpura-pura. Buang-buang waktu!
“Mau ke mana nih udah cantik? Tumben. Biasanya kalau libur sukanya maraton drakor.” Papa yang sedang menonton televisi pun menyapanya saat melihat Layla turun dari tangga lantai dua.
Layla menghela napas, manik matanya berputar malas. “Mau pacaran dong.”
“Ceileeehhh ... sejak kapan lu punya pacar setelah dua tahun yang lalu ditinggal nikah?” Lagi-lagi Kevin ikut berkomentar dan mengungkit masa lalu Layla yang kelam dan menyakitkan. Selalu saja begitu, padahal Layla berusaha melupakan rasa sakitnya tapi dengan mudah Kevin selalu mengungkitnya.
Bagaimana Layla lupa kalau selalu begini?
“Diem lu bocah! Lu pikir gue nggak bisa move on apa! Udah ah, bye!”
Layla melengos pergi meninggalkan Papa dan Kevin yang sedang asyik menonton televisi, dia malas juga kalau harus lama-lama menanggapi perkataan Papa apalagi Kevin. Bikin naik angin.
Layla masuk ke dalam mobilnya, memanaskan mesin beberapa menit kemudian melaju pergi meninggalkan rumah.
Hari Minggu, jalanan siang ini lumayan lengang, tidak separah hari-hari kerja sebelumnya. Barangkali orang-orang sedang beristirahat dari segala macam kerumitan duniawi yang berhasil menyita pikiran dan tenaga.
Ponsel Layla berdering, ada chat masuk dari nomor tak dikenal.
08123465×××× :
Hai. Ini Layla, kan? Saya Bara, kebetulan dapat nomor kamu dari Yunda. Saya sudah sampai di kafe The Whistle ya, di meja nomor 12.
Satu poin plus; cowok itu menghargai waktu bahkan tiba lebih awal dari waktu yang ditentukan.
Layla mengangguk-angguk, jari-jemari lentiknya mengetik sesuatu...
Layla :
Oke, sepuluh menit saya sampai.
Layla memacu gas kendaraannya, dia tidak mau membuat Bara lama menunggu. Karena sejujurnya, salah satu kelemahan tinggal di kota Metropolitan adalah harus bersiap-siap berhadapan dengan kemacetan yang tak tahu prediksi kapan akan berakhir. Sebagai warga Metropolitan harus pintar-pintar me-manage waktu dan harus penuh perkiraan dengan cara berangkat lebih awal.
***
Sesuai dugaan, kendaraan Layla berhenti di pelataran kafe dengan waktu yang tepat. Layla membuka seatbelt, merapikan anakan poni serta make-upnya di kaca spion tengah, memastikan kalau dirinya masih cantik dan make-up yang melekat di wajahnya tidak berubah. Dia turun dari mobil dan berjalan masuk ke dalam kafe dengan dagu yang terangkat. Satpam yang berdiri di pintu masuk seakan terkesima beberapa saat, ketika melihat sosok Layla berjalan melewatinya. Dia mengibaskan rambut yang justru semakin menonjolkan pesonanya. Ketukan high-heelsnya menggema bagai menghipnotis atensi pengunjung di sana untuk memusatkan perhatian pada Layla.
Layla mengitari pandangan, menatap sepenjuru kafe dan mencari nomor meja 12. Tatapannya berhenti tepat di sebuah meja paling pojok dekat jendela, dengan seorang laki-laki bertubuh tegap yang duduk membelakangi.
Gadis itu segera melangkah mendekat dan berhenti tepat di belakang laki-laki itu. “Permisi, dengan Bara?”
Seseorang itu berbalik hingga Layla bisa leluasa menatap penuh wajahnya. Seorang cowok dengan penampilan kasual, mengenakan kaus berwarna putih polos dengan celana panjang chino berwarna mocca dan sneakers berwarna hitam. Kulitnya putih bersih, rambutnya disisir klimis dan tertata rapi, aroma parfume maskulin yang cowok itu pakai juga terasa menyegarkan.
Satu poin penting lagi untuk Layla; sejauh ini cowok itu bersih dan rapi. Karena Layla paling tidak suka dengan laki-laki terlihat lusuh dengan penampilan urakan.
Cowok itu berdiri begitu melihat kemunculan Layla, menyambut kedatangannya.
“Eh ... hai! Iya saya Bara. Fernanda Bara. Kamu Layla, ya? Layla Nadhira?” Suaranya terdengar berat dan itu adalah salah satu suara laki-laki yang Layla sukai.
“Yap, saya Layla Nadhira.”
“Oke, Layla. Silakan duduk.” Bara menarik kursi di hadapannya untuk Layla. “Gimana di jalan? Kejebak macet?” Bara ikut duduk dan tersenyum saat Layla duduk. Senyuman Bara terlihat rupawan sampai berhasil menarik senyum Layla tercetak.
“Ya—lumayan, masih bisa lolos.”
***
Proses penilaian dimulai. Berpengalaman menduduki jabatan sebagai HRD membuat Layla mampu menyaring dan menilai karakter dari seseorang. Seperti laki-laki yang duduk di hadapannya ini. Layla suka saat Bara mengucapkan kata Terima kasih dihiasi dengan senyuman ramah pada waiters yang mengantar makanan, atau saat dia menanggapi perkataan Layla dengan menatap kedua matanya. Poin plus lagi; cowok itu bisa menghargai lawan bicara.
“Jadi, kamu sahabat Yunda? Dari kecil?”
“Ya—bisa dibilang begitu. Kalau kamu?”
Bara terdiam sejenak, sebelum dia akhirnya menjawab. “Kalau saya sebetulnya saudara jauh Yunda. Jadi nenek kita ada ikatan keluarga. Gitu deh pokoknya.”
Layla mengangguk-angguk. “Terus, kamu udah lama kerja jadi Manajer Pemasaran?”
“Lumayan, jalan lima tahun. Btw, saya salut deh sama kamu. Kamu mulai merintis jadi HRD di perusahaan Bellerica dari nol. Kalau nggak salah, dari Supervisor, ya? Itu cita-cita?”
Layla menyunggingkan senyumnya. Dia mengangguk. “Iya, itu cita-cita saya. Bahkan bisa kerja di perusahaan Bellerica aja udah syukur alhamdulillah. Kebetulan Yunda Manajer saya. Tapi saya salut juga sih sama dia, dia nggak pernah mau mencampuradukkan hubungan personal sebagai sahabat sama perusahaan tempat kerja.”
“Iya, dia profesional,” Bara menyesap cangkir kopinya.
“Kalau kamu ... cita-cita dari dulu pengen jadi Manajer Pemasaran?”
“Sebetulnya nggak ada cita-cita sih. Pekerjaan apa pun bakalan saya ambil, yang penting itu halal.”
“Sekalipun pengamen?”
“Apa salahnya sama pengamen? Justru saya salut sama para pengamen di jalan, mereka bertahan hidup dengan cara jual suara. Iya, nggak? Daripada minta belas kasihan orang, itu lebih memalukan menurut saya.”
“Iya nggak ada salahnya sih. Tapi emangnya kamu hidup nggak punya ambisi, ya?”
“Ambisi ada, tapi saya lebih menikmati jalan yang udah diberikan Tuhan sih. Let it flow aja. Karena bukannya nggak mau merealisasikan rencana atau sebuah cita-cita karena ambisi saya, tapi saya nggak mau kalau sampai saya terlalu fokus sama ambisi lalu keinginan itu jadi mendominasi tanpa terkendali, itu bisa bikin saya jadi terobsesi dan bisa saja jadi lupa diri. Karena ambisi sama obsesi beda, ya?”
Layla terkejut dengan pernyataan Bara. Biasanya seseorang yang punya ambisi kuat untuk mencapai segala tujuan, pasti akan mengorbankan segala sesuatu demi keinginannya tercapai. Dan Layla baru kali ini bertemu dengan orang yang punya pemikiran seperti Bara.
“Kamu berapa bersaudara?” Layla mengalihkan pertanyaan.
“Dua bersaudara, saya anak pertama.”
“Waw! Sama dong! Saya juga anak pertama dan punya adik laki-laki umur 17 tahun. Tapi nyebelin banget, sering berantem. Tapi kayaknya beda kalau punya adik cewek. Bisa diajak curhat dan sharing.” Layla mengulas senyumnya tipis. “Kalau kamu? Adik kamu gimana? Berapa tahun? Cewek cowok?”
“Adik saya cewek. Kalau masih ada mungkin umurnya sepuluh tahun. Dia meninggal waktu umurnya tujuh tahun, korban tabrak lari.”
“I'm sorry to hear that.” Layla merasa bersalah dan tidak enak.
Bara tersenyum sumir. “Santai aja, Layla. Oh iya ... jadi, gimana sama tujuan kita ketemu sekarang?”
BERSAMBUNG...
Sepertinya sudah cukup basa-basi dan memulai pendekatan. Layla tidak mau mengulur banyak waktu terbuang, begitu juga dengan Bara sepertinya. Dari sikap, cara Bara bicara dan gerak-geriknya sepertinya sudah memenuhi persyaratan. Toh, ini semua hanya pura-pura. Tidak usah berlama-lama ke inti permasalahan. “Oke, Bara, kamu bener juga. Gimana kalau kita langsung ke kesimpulan aja?” Layla yang tidak suka banyak basa-basi dan tidak sabaran. Dia selalu langsung ke poin inti permasalahan, supaya lebih cepat ke tujuan utama. Bara mengangguk. “Oke.” Tangan cowok itu bersidakep di atas meja, seluruh atensinya terpusat pada Layla. Ditatapnya netra coklat yang dilapisi soflens hitam itu dengan sorot mata teduh. Perhatian Layla berkelana, melirik tangan Bara. Oh so sexy! Oke, tunggu-tunggu! Mungkin ini terkesan ‘Gila’ untuk seorang perempuan mengagumi tangan laki-laki. Masalahnya di sini, Layla sangat menyukai tangan cowok dengan urat yang menonjol kebiruan. Layla menyebutnya dengan tangan sek
Sesuai janji. Pertemuan Bara dan Layla berlanjut ke pertemuan kedua. Dan untuk kali ini Layla membebaskan Bara untuk memilih tempat, karena awal mereka bertemu yang menentukan tempat Layla dan sekarang gantian. Alhasil, Bara mengajak Layla melipir ke warung tendaan di pinggir jalan. Tenda pecel lele menjadi pilihan Bara karena Layla bilang, dia belum pernah makan langsung pecel lele di tempat. Jadi, Bara membawa Layla ke sana. Awalnya Layla fine-fine saja, tapi setelah melihat ramainya orang di sana dan juga banyak pengamen, Layla sedikit ragu. Pasalnya, ada hal penting yang akan dibahas dan tentunya butuh keheningan untuk saling memahami dan berkonsentrasi. Namun, Bara meyakinkan Layla mau di tempat mana pun itu, kalau kita memusatkan atensi kita pada sebuah permasalahan yang di bahas, pasti bisa memahami dan menemukan titik terang. Alhasil, Layla mengalah. Di tengah-tengah percakapan, tahu-tahu ada seorang pengamen datang menginterupsi mereka dengan genjrengan gitarnya tepat d
Setelah berhasil meyakinkan Ibu, akhirnya Bara menghubungi Layla untuk mengatur jadwal pertemuan dengan kedua belah pihak keluarga.Bahkan mereka berdua bersekongkol merancang sebuah kebohongan soal pertemuan pertama hingga lamanya berpacaran sembunyi-sembunyi. Supaya tidak menimbulkan curiga dari keluarga masing-masing.Akhirnya, sore ini, selepas Layla pulang bekerja, Bara mengunjungi kantor Bellerica untuk menjemput Layla. Meski, Layla bawa mobil dan Bara pakai motor. Tapi Bara memilih menyimpan motornya di kantor Layla dan dia sudah izin ke Yunda. Alhasil, mereka berdua menggunakan mobil milik Layla untuk ke rumah gadis itu dan bertemu keluarganya sesuai agenda.Ayah Layla keturunan konglomerat pengusaha kelapa sawit terbesar di Kalimantan dan pengusaha Batubara, itu pun yang menyebabkan harta Ayahnya sepertinya tidak akan habis tujuh-turunan. Dari luar, orang-orang melihat rumah Layla bagai istana mewah dengan orang-orang yang riang gembira di dalamnya dan penuh keberuntungan. Ba
Agenda selanjutnya adalah mempertemukan Layla dengan keluarga Bara. Setelah sebelumnya Bara sudah berhasil meyakinkan kedua orang tua Layla, sekarang giliran Layla yang akan meyakinkan kedua orang tua Bara. Bara berasal dari keluarga sederhana, Ayahnya bekerja serabutan dan Ibunya ibu rumah tangga. Tapi Bara bersyukur punya orang tua seperti Ayah dan Ibunya, karena berhasil membiayai Bara sekolah sampai di jenjang bangku perkuliahan dan sukses menjadi Manajer seperti sekarang. Hari ini Bara memilih menjemput Layla di rumahnya, tanpa janjian seperti sebelumnya. Supaya lebih meyakinkan. “Hei, Bar, gimana penampilan saya hari ini?” Bara terkesima sesaat setelah melihat penampilan Layla yang begitu terlihat cantik. Rambutnya dibuat bergelombang, tubuh langsingnya dibalut dress berwarna peach terlihat begitu sempurna. Lelaki itu sejenak terpaku memandangi Layla. “Hellowww!!” Layla melambaikan tangannya di depan wajah Bara, membuat Bara mengembalikan konsentrasi. “Malah ngelamun. Giman
Suasana tegang masih menyelimuti Layla. Perasaannya gundah-gulana dan merasa sangat terintimidasi oleh Ibunya Bara yang seolah seperti tidak menyukai Layla. Rasanya Layla ingin berteriak, kalau ini hanya pura-pura, tapi apa daya? Tidak mungkin pernikahan menjadi ajang permainan dimata keluarga.Layla memandangi Bara yang masih berusaha melindungi Layla dengan segala upaya dan caranya meyakinkan sang Ibu untuk percaya dengan pilihannya kali ini.Bahkan Layla masih belum memiliki jawaban untuk membantu Bara. Alhasil, dia hanya diam.“Menikah itu susah, lho, kamu juga harus betul-betul yakin, Bara. Pernikahan itu terjadi sekali seumur hidup!” Suara Ibu meninggi. Bahkan dengan raut wajah menahan marah karena Bara dengan senang hati mengambil keputusan.“Iya Bara tahu, Bu. Apa salahnya sih Bara mau menikah dengan Layla? Jangan karena Layla nggak bisa masak, Ibu jadi tiba-tiba nggak setuju gini.”Situasi semakin menegang. Bahkan dugaan Layla salah, kalau kedua orang tua Bara akan setuju-set
Secangkir kopi espresso panas menemani cuaca sore yang cerah hari ini, di tengah-tengah hiruk-pikuk dunia yang bikin pusing kepala. Layla menyeruput cangkir itu perlahan, menikmati setiap komponen kopi melebur di dalam mulutnya. Suasana kafe coffee Almost sore ini tidak begitu ramai pengunjung, Yunda mengajak Layla untuk ke sana karena sudah lama juga mereka berdua tidak menghabiskan waktu bersama. Sibuknya bekerja membuat mereka hanya bertemu di kantor saja. “Ciut juga nyali lo ketemu Camer,” Yunda terkikik geli. Biasanya, Layla selalu open joy dan tidak pernah merasa dirinya berada di sebuah keadaan yang mengintimidasi, Layla selalu bisa mengendalikan suasana.Tapi ketika bertemu dengan orang tua Bara, semua kemampuannya mendadak lenyap ditelan udara. Layla menghela napas, menyimpan cangkir kopinya dia atas meja. Tatapannya terpusat pada Yunda yang duduk di hadapannya. “Nggak tahu deh, gue nggak bisa bantah. Lagian gue lihat-lihat, nyokapnya nggak percaya gitu sama gue.”“Mungkin
Bara sedang berada di depan halte dekat kantornya, berdiri di sana dengan pandangan menengadah sekitar melihat hilir-mudik kendaraan yang berlalu lalang di depan halte. Laki-laki itu menggerakkan jemarinya, menerima panggilan telepon masuk di ponselnya.“Halo, La. Di mana?”[Sebentar lagi sampai, tungguin. Kamu itu di halte, kan?]“Iya.”[Oke.]Panggilan terputus. Bara menghela napas. Sesuai permintaan Layla kemarin malam, bahwa hari ini Bara harus menemaninya ke butik untuk melihat-lihat gaun yang akan dipakai untuk acara pernikahan mereka nanti. Meski sebetulnya Bara sudah menolak dan memberi pengertian pada Layla kalau masalah ini bisa dibicarakan lagi nanti.Namun, Layla yang keras kepala, justru dia tak peduli dan teguh pendirian. Alhasil, mau tidak mau Bara menurut.Mobil mewah milik Layla berhenti tepat di depan halte dengan Bara berdiri di sana. Gadis itu turun dari mobil. Aneh, seharusnya Layla tidak usah turun dan menunggu Bara naik saja ke kursi penumpang.“Kamu yang bawa,”
Jalanan kota Jakarta di malam hari adalah musuh terbesar bagi para pekerja yang baru pulang dari kantor dan harus dihadapkan dengan rentetan kendaraan dengan suara klakson tiada henti silih berganti, memekakkan telinga dan menguji kesabaran.Bara sudah berkali-kali berdecak kesal, di saat dirinya mau menyalip kendaraan, ada saja halangan dan membuatnya harus bersabar demi segera sampai di tempat tujuan.Lima belas menit Bara menunggu kemacetan itu, akhirnya ada peluang untuk masuk ke sisi kendaraan dan menyalip. Beginilah enaknya pakai kendaraan roda dua di tengah-tengah kemacetan, bisa mencuri jalan orang lain untuk mendahului. Memang tidak dianjurkan karena bisa berakibat fatal. Tapi, sepertinya hampir semua pengendara motor melakukan itu, bukan?Motor Bara berhenti tepat di sebuah pelataran kafe. Cowok itu membuka helm dan turun dari motor. Masih mengenakan pakaian kerja, Bara sengaja mampir ke kafe itu karena sudah ada janji dengan Yunda. Dia ingin membahas terkait Layla.“Lama nu