Layla Nadhira, seorang wanita yang mengikrarkan dirinya tidak mau menikah dan berkomitmen dengan laki-laki, namun ancaman orang tua membuat dirinya harus terpaksa mencari cara untuk mendapatkan pasangan pura-pura. Fernanda Bara, seorang laki-laki yang mengalami patah hati dan ingin membalaskan dendamnya kepada mantan kekasih yang tiba-tiba menikah saat mereka masih menjalin asmara. Kedua insan yang mempunyai latar belakang yang sama, dipertemukan karena sama-sama membutuhkan. Kedua insan dengan trauma dan luka yang sama, terpaksa harus mengucap janji sehidup semati dalam ikatan pernikahan dan tinggal di satu atap yang sama dengan menganut hubungan Simbiosis Mutualisme.
View MoreTidak pernah terpikir di benak Layla bahwa dia memiliki kesempatan untuk bekerja di sebuah perusahaan impiannya, Bellerica, sebuah perusahaan besar yang bergerak di bidang kosmetik terbesar di Indonesia.
Sebuah kehormatan besar untuk mendapatkan posisi sebagai Supervisor selama empat tahun dan akhirnya diangkat menjadi HRD atau Human Resource Development dan mendapat kepercayaan penuh dari Yunda, well, meskipun Yunda adalah sahabatnya sedari kecil, tetapi Yunda adalah sosok yang profesional dalam bekerja. Meski dia menjabat sebagai Manajer di perusahaan itu cukup lama, tapi dia tidak mau langsung mengangkat Layla menjadi HRD di perusahaan itu. Menurutnya, mencampuradukkan hubungan pribadi dengan pekerjaan itu adalah pantangan absolut.
Ada standar konstruksi sosial yang Layla benci selama hidup sebagai seorang perempuan di Indonesia. Pertama, pendidikan perempuan tidak boleh tinggi dari laki-laki karena risikonya akan banyak laki-laki yang minder untuk mendekati. Kedua, perempuan selalu di tempatkan sebagai pendamping laki-laki yang menyebabkan perempuan kurang dapat mengembangkan potensi diri yang dimiliki. Ketiga, perempuan identik dengan sosok yang tertindas di dalam segala hal, mau itu dari segi ekonomi, pendidikan dan juga pekerjaan.
Cih! Layla kesal sekali dengan pemikiran demikian. Apa-apa laki-laki harus derajatnya lebih tinggi dari perempuan. Jelas bagi Layla untuk mengubah mindset itu menjadi; Perempuan berhak memilih jalan hidupnya sendiri dan tidak terpaku pada adat istiadat yang tertanam di Indonesia selama ini. Apalagi dalam arus globalisasi saat ini.
Layla pernah disindir Mamanya saat mereka sedang mengobrol berdua. “Perempuan itu memang boleh punya pendidikan yang tinggi, pekerjaan yang enak dan sesuai impian. Tapi, kamu juga harus ingat, bahwa laki-laki punya ego yang tinggi dan tidak mau dikalahkan. Jadi, pastinya banyak laki-laki yang minder dekati kamu.”
Layla yang malas karena tiap kali ada waktu berdua dengan Mamanya, selalu saja membahas soal itu. “Seharusnya Mama senang dong, kalau Layla kerja enak, banyak duit dan bisa beli apa pun pakai uang Layla sendiri, bisa bahagiain Mama juga. Kok Mama kesannya malah nggak dukung Layla gini, sih?”
“Mama dukung kamu ... selalu dukung kamu. Tapi semua yang kamu lakukan ini pasti ujung-ujungnya setelah menikah, tujuan utama, ya, pasti dapur juga. Iya, kan? Perempuan pasti begitu kok. Nggak bakalan jauh dari dapur, urus anak dan urus suami.”
“Kalau perempuan yang banyak duit, nggak butuh sama yang namanya suami, Ma.”
“Tapi nggak bakalan bertahan lama. Kamu juga butuh pendamping hidup, butuh yang namanya suami. Bicara tentang suami, Mama bakalan jodohin kamu sama anaknya temen Mama, Tante Rita, anaknya kerja di salah satu perusahaan besar di Amerika. Sudah cukup jelas kalau hidup kamu akan terjamin kalau nikah sama dia.”
“Kayak aku nggak laku aja main dijodoh-jodohin. Ogah! Aku juga punya pacar!”
“Oh ya? Bagus dong. Kenalin sama Mama. Mama pengen tahu cowok kamu yang sekarang sama atau nggak kayak yang dulu-dulu. Ingat loh, Layla, umur kamu sekarang sudah dua puluh tujuh tahun. Masa kamu mau jadi perawan tua?”
“Amit-amit deh! Ya bedalah, Ma. Oke Minggu depan aku bawa ke Mama!”
Alhasil, tiap kali ada waktu luang atau tiap kali Layla libur kerja, dia sangat malas sekali kalau harus berhadapan dengan Mama apalagi hanya berdua. Kecuali ada Papa atau adik Layla, Kevin. Kalau tanpa mereka, Layla selalu memilih mengunci diri di dalam kamar.
Sebetulnya ada kualifikasi khusus untuk menjadi pendamping hidup Layla, syaratnya yaitu; Tidak mendominasi, Layla tidak suka diatur-atur dan tidak suka disuruh-suruh, bahkan oleh pasangan sendiri meski saling memiliki kuasa sepertinya bukan pilihan yang tepat. Bahkan Layla pernah berikrar—dia tidak mau menikah. Dia trauma dengan laki-laki, selalu saja di khianati atau ditinggal nikah, ada juga yang memperlakukan Layla sesuka hati mereka.
Sekarang Layla sedang berjibaku dengan pekerjaannya, di hadapan layar komputer yang menampilkan data-data karyawan operasional. Setiap akhir bulan seperti ini, dia harus merekap data absensi karyawan untuk penggajian. Bahkan harus banyak ketelitian dan jangan sampai salah dalam menggaji karyawan yang totalnya beribu-ribu orang.
“Gimana? Udah nemu cowok yang cocok?” Seperti hari ini, tiap kali Layla sibuk, Yunda selalu mengganggu. Sebelumnya memang Layla bercerita pada Yunda soal dia diberi tantangan oleh Mamanya untuk membawa laki-laki ke hadapan sang Mama. Tapi sepertinya ini bukan waktu yang tepat untuk membahas itu.
Bertahun-tahun menjadi sahabat Layla, tentu saja Yunda tahu betul segala permasalahan yang bercokol di kepala sahabatnya itu. Dari mulai masalah keluarga, sampai kisah percintaan. Dari Layla yang mudah jatuh cinta, sampai merasakan mati rasa.
“Yun, bukan waktu yang pas deh bahas itu. Gue lagi sibuk banget. Bisa nggak sih lo keluar dari sini?” Layla sedikit nyolot. Padahal posisi dia di sana sebagai bawahan Yunda, tapi kalau sudah berdua seperti ini, tidak ada pembatas seperti itu.
“Gue cuma mau mastiin doang,” Yunda menghempaskan punggungnya ke sandaran kursi. Dia duduk di depan meja Layla.
Layla menghela napas kasar. Perhatiannya yang sedari tadi direnggut habis oleh layar monitor, kini berpaling pada Yunda. “Lo tahu, kan, gue ogah nikah? Banyak trauma. Dan sekarang gue malah disuruh nikah cepet-cepet. Alasannya malah terpatok umur lagi. Gue nggak suka sama budaya Indonesia ya begini, Yun, umur dijadiin acuan buat seseorang berumah tangga.”
“Tapi emang begitu budaya di sini, La. Lagian nyokap lo khawatir kali gara-gara lo sering di sakitin sama cowok, dia curiga kalau lo nggak mau married.”
“Emang nggak mau. Ngeri gue.”
Yunda menghela napas, dia mencondongkan tubuhnya lebih dekat dengan Layla. “Terus, rencana lo apaan? Mau cari cowok di mana yang rela lo ajak pura-pura?”
“Em ...,” bola mata Layla bergerak-gerak, berusaha berpikir. “Kayaknya gue bakalan nyari di daerah puncak deh. Banyak tuh cowok-cowok di sana yang bisa gue ajak kerja sama. Semacam nikah kontrak. Soalnya gue ogah dijodohin.”
“Idih! Ngaco lo! Kayak kekurangan populasi cowok di Jakarta aja,” Yunda segera membantah.
“Ya terus? Gue bingung juga. Bantuin gue cari cara dong! Percuma lo ke sini kalau cuma mau ganggu gue doang. Berguna dikit napa!”
Yunda memutar bola matanya malas, menyandarkan kembali punggungnya di sandaran kursi. “Justru itu, gue ke sini mau menawarkan solusi.”
“Apa-apa?” Layla segera mendekat, mencondongkan tubuhnya dan kedua tangannya bersidakep di atas meja. Atensinya sekarang terpusat penuh pada Yunda.
“Gue punya temen cowok. Dia baiiikk banget, cakep, tinggi, pokoknya sesuai sama tipe lo dulu deh. Ngomongnya lemah-lembut. Terus dia kemarin itu lagi patah hati baru ditinggal nikah sama ceweknya karena dijodohin. Terus dia bilang sama gue, pengen banget balas dendam ke ceweknya itu, pengen buktiin kalau dia juga bisa bahagia tanpa ceweknya.”
Ketika Yunda menjabarkan itu, Layla paham jalan percintaan cowok itu tidak jauh beda dengannya.
“Nah, cocok kan sama kisah percintaan lo? Terus dia kemarin bilang sama gue, minta dikenalin ke temen gue, minta dicomblangin. Nah, sekarang pas nih sama niatan lo buat cari cowok yang bakal dijadiin suami pura-pura. Gimana? Mau nggak lo?”
“Cakep nggak orangnya?” tanya Layla to-the-point karena dia memang tipikal perempuan selektif dalam memilih pasangan. Meskipun konteksnya sekarang pasangan pura-pura. “Sorry ya gue ini selektif orangnya. Gue pasti mandang cowok dari fisik karena gue cantik. Seenggaknya nggak malu-maluin kalau di bawa ke acara penting.”
Kalau bukan Layla yang ngomong gitu, mungkin Yunda sudah melempar monitor itu ke muka Layla. Yunda kenal Layla itu gimana, kalau dibilang sombong, Yunda tidak memungkiri itu. Seolah sombong sudah mendarah daging dan hal yang biasa untuk seorang Layla.
“Baby, gue tahu betul tipe cowok lo kayak gimana. Pokoknya ini bakalan sesuai sama yang lo cari deh. Percaya sama gue.”
Layla menghela napas, mengangguk-angguk. “Oke. Kapan gue bisa ketemu sama dia?”
“Secepatnya, untuk Taun Putri Layla.”
BERSAMBUNG...
Semalaman Layla tidak bisa tidur. Insomnianya kambuh, dengan berbagai masalah yang beruntun dalam hidupnya membuat dia bertanya-tanya, dosa apa yang telah dia lakukan dalam kehidupan sebelumnya? Kenapa dia bereinkarnasi menjadi sosok Layla yang tak henti-hentinya mendapat masalah. Alhasil, yang Layla lakukan hanya mengurung diri di dalam kamar. Pagi ini dia memutuskan untuk tidak masuk kerja dan izin pada Yunda dengan alasan sakit tak enak badan. Yunda sempat cemas, namun Layla meyakinkan sahabatnya itu kalau dia baik-baik saja. Ketika semua orang tidak ada di rumah. Mama pergi bertemu dengan teman-teman arisannya, Papa bekerja dan Kevin sekolah. Alhasil, yang Layla lakukan adalah dia ingin menemui Bara. Layla berencana pergi ke kantor Bara. Dia betul-betul nekat untuk pergi ke sana, karena dirasa tidak ada cara lain lagi selain menemui laki-laki itu tanpa ke rumahnya. Gadis itu mengenakan dress di bawah lutut berwarna krim yang memperlihatkan tubuh rampingnya dan sepasang kaki jen
Layla merasa tubuhnya lelah luar biasa. Selama seharian dia bahkan nyaris belum istirahat. Dia harus menyelesaikan banyak kerjaan di kantor, apalagi banyak berkas-berkas yang harus dia tanda tangan. Belum lagi beberapa karyawan ada yang mengajukan cuti.Layla baru tiba di rumahnya di pukul enam sore tepat. Lapar dan harus berjibaku dengan kemacetan kota Jakarta adalah perpaduan yang harus dihindari. Kepala Layla kini terasa kunang-kunang, bahkan dia sangat lemas saat turun dari mobil.Layla melihat ada beberapa mobil mewah terparkir di pelataran rumahnya. Dia mengernyit heran dan bertanya-tanya, tamu siapa yang datang?Layla berusaha tidak peduli, dia melangkah masuk ke dalam rumah. Pikirannya hanya terpusat pada ranjang kamarnya yang melambai-lambai menunggu sang pemilik datang. Hingga langkah kakinya berhenti tepat di depan pintu utama yang terbuka. Kedua manik matanya menangkap ada tamu yang datang. Keluarga. Terlihat betul-betul asing dan tak Layla kenali.Gadis itu secepat kilat
Ada teori yang mengemukakan bahwa pada umumnya manusia memiliki banyak wajah. Pertama, wajah yang dia tampilkan di muka umum. Kedua, wajah yang dia tampilkan di depan sahabat. Ketiga, wajah yang ditampilkan di depan keluarga.Layla di depan orang-orang di muka umum bisa saja terlihat sebagai Layla yang banyak gaya, elegan, dingin, jutek, mengerikan sekaligus punya tatapan tajam, ditakuti banyak orang dan semena-mena. Berbeda kalau di hadapan keluarga, Layla yang selalu menurut dan kalah telak kalau sudah berurusan dengan Mamanya. Dia tidak bisa membantah apalagi melawan.Makanya Layla sering kali kesal kalau tiap kali ada orang yang bilang, “Sama orang lain aja kayak gitu sikapnya, gimana sama keluarga? Ngelawan aja kayaknya.” Tapi mereka tidak tahu apa yang dirasakan Layla bila sudah ditekan harus perfeksionis di hadapan keluarga.Kali ini, Layla sedang berada di ruang meeting bersama dengan beberapa rekan kerja dan tentunya Yunda. Beberapa karyawan menatapnya bingung, karena Layla s
Yunda memarkirkan mobilnya di pelataran toko kelontong persis sebelah sebuah gang kecil yang hanya muat satu motor. Sesuai permintaan Layla, Yunda memilih untuk ke rumah Bara sekaligus ingin bertanya persoalan yang menimpa mereka. Karena Yunda tidak ingin mendengar hanya sebelah pihak, dia butuh penjelasan dari Layla dan juga Bara.Gadis itu berjalan menelusuri gang yang mengantarnya menuju rumah Bara. Masih ramai orang di sana, ada sekelompok Ibu-ibu yang sedang mengobrol di warung. Ada anak-anak kecil yang berlarian ke sana kemari sembari teriak-teriak. Ada gerobak penjual nasi goreng keliling yang dikerumuni pembeli. Ada sekumpulan laki-laki sedang duduk di pos kamling.Suasana perkampungan di tengah kota Jakarta, jauh dari hiruk-pikuk kendaraan dan gedung-gedung pencakar langit. Suasana menyenangkan dan jiwa bersosialisasi yang sangat tinggi. Yunda tersenyum dan mengucapkan kata ‘Permisi' tiap kali melewati orang-orang di sana dan mereka menyambut serta menjawab dengan sopan dan r
Layla mengendap-endap keluar dari kamarnya. Bahkan dia seperti seekor cucak yang menempel di dinding untuk memastikan bahwa tidak ada orang yang melihat dirinya keluar dari kamar sana.Sesuai janjinya pada Yunda kalau malam ini mereka akan bertemu dan Layla akan menjelaskan secara detail masalah yang sedang dia hadapi bersama Bara. Karena mau bagaimanapun juga, Yunda lah yang sudah memperkenalkan mereka berdua dan Layla tidak mau kalau sampai di cap sebagai teman yang tidak punya akhlak. Sudah diwanti-wanti jangan menyakiti Bara, justru malah membuatnya kembali merasakan trauma. Padahal nyatanya bukan kesalahan Layla.Gadis itu menuruni anak tangga satu per satu dengan sangat hati-hati dan sebisa mungkin tidak menimbulkan suara yang dapat mengganggu. Meski, kemungkinan besar di jam delapan malam, kedua orang tua Layla belum tertidur dan bisa jadi mereka masih menonton televisi.Hingga langkah Layla berhenti tepat di anak tangga paling dasar. Kedua bola matanya menjelajah sekitar. Aman
Bara mengendarai motornya dengan gila-gilaan, bahkan dia tidak peduli dengan suara rentetan klakson kendaraan serta teriakan orang-orang bahwa kecepatan motor Bara bisa membahayakan sekitar. Perasaan cowok itu campur aduk tak karuan, bahkan dia tidak bisa berpikir jernih untuk saat ini. Bara merasa gagal. Gagal membahagiakan orang tuanya. Gagal menjadi anak yang baik dan membanggakan. Perkataan keluarga Layla sungguh berhasil masuk ke dalam kepala Bara, hingga dia tidak bisa berkonsentrasi sampai hampir saja menabrakkan diri. Untung saja dia segera sadar, ketika jarak antara motor Bara dan bak sampah hanya lima meter. Napasnya seolah tercekat, detak jantungnya berdegup kencang dan keringat dingin mulai bercucuran. Bara bingung, dia bingung dengan dirinya sendiri, dia bingung mengapa harus begini. Mengapa kejadian pahit selalu dia rasakan berulang-ulang kali. Bahkan di saat harapannya ada di Layla untuk bisa mengubah seluruh hidupnya, justru semakin menanam luka itu bertubi-tubi tan
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments