Share

07. AMBIL KENDALI

Suasana tegang masih menyelimuti Layla. Perasaannya gundah-gulana dan merasa sangat terintimidasi oleh Ibunya Bara yang seolah seperti tidak menyukai Layla. Rasanya Layla ingin berteriak, kalau ini hanya pura-pura, tapi apa daya? Tidak mungkin pernikahan menjadi ajang permainan dimata keluarga.

Layla memandangi Bara yang masih berusaha melindungi Layla dengan segala upaya dan caranya meyakinkan sang Ibu untuk percaya dengan pilihannya kali ini.

Bahkan Layla masih belum memiliki jawaban untuk membantu Bara. Alhasil, dia hanya diam.

“Menikah itu susah, lho, kamu juga harus betul-betul yakin, Bara. Pernikahan itu terjadi sekali seumur hidup!” Suara Ibu meninggi. Bahkan dengan raut wajah menahan marah karena Bara dengan senang hati mengambil keputusan.

“Iya Bara tahu, Bu. Apa salahnya sih Bara mau menikah dengan Layla? Jangan karena Layla nggak bisa masak, Ibu jadi tiba-tiba nggak setuju gini.”

Situasi semakin menegang. Bahkan dugaan Layla salah, kalau kedua orang tua Bara akan setuju-setuju saja. Nyatanya, Layla harus dihadapkan dengan situasi perdebatan antara ibu dan anak. 

“Bukannya Ibu nggak setuju, Nak, bukan! Ibu hanya ingin kamu pikir-pikir lagi keputusan kamu. Apa kamu benar-benar udah sembuh dari luka lama kamu?”

“Bu, Bara sudah sembuh. Bara sudah ikhlas juga. Bara nggak merasa terbebani sama masa lalu Bara, justru Bara pengen bangkit lagi dari keterpurukan yang hampir bikin Bara gila, kan? Bahkan Ibu sama Ayah sempet takut kalau Bara nggak normal, kan?”

Respons Layla langsung kentara terkejut. Dia refleks menatap Bara dengan sorot mata tidak menyangka sekaligus penuh tanda tanya. Apa maksud dari perkataan Bara? Ada apa dengan masa lalu Bara? Pertanyaan itu berputar-putar di kepala Layla. Namun, dia berusaha mengembalikan konsentrasinya dan mengesampingkan rasa penasarannya terhadap privasi Bara.

“I—iya, tapi—”

“Jadi ini keputusan Bara untuk menikah dengan Layla. Bukan maksud Bara melawan Ibu atau Ayah. Maaf. Tapi kalau nggak sekarang, kapan lagi? Ibu sama Ayah mau, kalau Bara terus-terusan terpuruk dalam kesedihan?”

“Nggak dong,” sahut Ayahnya. “Ayah setuju dan senang malah, kamu punya calon sendiri tanpa harus Ibu atau Ayah carikan. Apalagi calonnya kayak Layla, baik, cantik, ramah juga,” Ayah berpaling menatap Layla, tersenyum simpul. “Ayah percaya kalau Layla istri terbaik buat Bara.”

Ibu menghela napas. Beliau menatap Bara dan berpaling pada Layla. Tatapannya dalam dan intens. “Layla, Tante berpesan sama kamu. Bara ini punya masa lalu yang kelam dengan mantan pacarnya bahkan sampai membuat Bara hampir stres dan linglung. Dulu Bara sempat mau menikah, segala sesuatu sudah disiapkan dan undangan juga sudah dicetak. Tapi perempuan itu justru menikah dengan orang lain yang dijodohkan orang tuanya dengan yang lebih mapan dari Bara.

“Saat itu Tante dan Om betul-betul kehilangan sosok Bara yang ceria. Dia seperti kehilangan jati dirinya sendiri. Tante nggak mau, kejadian ini terulang kedua kali untuk Bara.” Sorot mata Ibu berubah sendu. Ada perasaan sakit, takut, dan khawatir dari sorot matanya. Suaranya juga bahkan parau saat menceritakan kejadian yang menimpa Bara.

Layla tidak bisa menyembunyikan ekspresi wajahnya yang terkejut. Dia berpaling menatap Bara yang menampakkan senyum tipis yang dibalut duka. Bahkan semua pertanyaan yang ada di kepala Layla akhirnya terjawab sudah, mengapa Bara bisa dengan mudah menerima ajakan dari Layla. Bukan hanya ingin membalaskan dendamnya pada mantan pacar, tetapi juga ingin membuktikan pada kedua orang tuanya kalau Bara sekarang sudah sembuh dari rasa trauma masa lalu.

Tapi, kenyataannya, tidak begitu.

“Menikah itu susah, Nak. Tapi kalau kita menikah dengan orang yang tepat, hal susah bisa jadi mudah. Kita sebagai perempuan, harus menjadi rumah untuk suami.”

“L—lalu, kalau istri jadi rumah buat suami, suami seharusnya menjadi apa buat istri, Tan?” tanya Layla dengan suara pelan sekali nyaris tidak terdengar.

“Suami jadi fondasi, dengan tiang yang kokoh untuk melindungi keluarga dari segala bencana.”

Mendengar perkataan dari Ibunya Bara, Layla hanya bisa tersenyum miris. Nyatanya, setiap dia kenal dengan laki-laki, Layla tidak pernah merasa dirinya rumah. Tidak pernah merasa dirinya diperlakukan dengan baik, bahkan hal kecil saja, seperti menjaga perasaan, itu tidak ada sama sekali. Apalagi untuk menjadi fondasi yang kokoh untuk istri?

Meskipun Layla tidak tahu, bagaimana dengan Bara. Tapi hakikatnya, tidak ada satu pun laki-laki yang bisa Layla percaya untuk meratukan dirinya.

***

Akhirnya Layla bisa bernapas lega saat sudah berpamitan dengan keluarga Bara. Untuk sejauh ini, bisa dipastikan respons kedua orang tua Bara tidak ada yang curiga, meski Layla harus merasakan intimidasi dan terpojok, seolah-olah Layla bukan perempuan baik untuk Bara. Tapi dia sama sekali tidak peduli, dia hanya ingin rencananya berjalan dengan lancar. 

Layla sudah kembali berada di boncengan motor Bara, kembali berpegangan erat karena takut jatuh. Dia melihat-lihat sekeliling. Jalanan kota Jakarta yang penuh lampu gemerlap dari gedung-gedung pencakar langit, melihat dengan jelas aktivitas di jalanan, di trotoar, yang tidak pernah Layla lihat sebelumnya. Dia mendongak, menatap langit sehitam jelaga seolah sebagai lautan luas dengan bulan sebagai pulau dan bintang-bintang sebagai perahu-perahu kecil mengelilingi pulau.

Layla menarik senyumnya semringah melihat pemandangan itu. Nyatanya, naik motor seperti ini tidak seburuk yang dia pikirkan. Justru sangat menyenangkan, daripada di dalam mobil yang hanya ditemani suara alunan musik dari audio.

Bara melirik Layla dari spion kiri. Cowok itu menarik ujung bibirnya. "Suka?"

"Hm?" Layla mengernyit heran saat mendengar perkataan Bara. "Apa, Bar?"

"Kamu suka?"

"Suka?" Layla semakin dibuat kebingungan, dia menatap Bara dikaca spion kiri. "Suka apa? Kamu? Nggak kok."

Bara terkekeh geli. "Bukan. Maksud saya, kamu suka sama pemandangan langit malam?"

Layla ber-oh ria. Dia mengangguk dan tersenyum semringah. Bara melirik Layla lagi di kaca spion itu, mereka saling bertatapan. 

"Ya udah, kapan-kapan nanti saya ajak keliling deh pakai motor," kata Bara dan kembali membagi pandangan dengan jalanan di depan. 

Layla mengangguk histeris. Bahkan dia tidak menolak karena memang ini yang Layla inginkan. Mengelilingi kota Metropolitan menggunakan sepeda motor, melihat keindahan suasana malam dengan segala hiruk-pikuk. 

Tepat pukul delapan malam, Layla sampai di rumah. Gadis itu membuka helm saat sudah turun dari motor di depan gerbang.

Thanks, ya, La, buat hari ini.” Bara tersenyum, mengambil helm dari tangan Layla.

“Oke. Eh ada satu agenda lagi," katanya sambil merapikan rambut. 

Bara mengernyit heran. “Apa?”

“Ketemu sama keluarga besar saya.”

“Bukannya udah?”

Layla memutar bola matanya malas. “Itukan Papa sama Mama doang. Minggu depan, keluarga besar saya bakalan datang ke sini semuanya. Sekalian ada acara keluarga. So, nggak ada salahnya, kan, saya kenalin kamu ke mereka?”

Bara mengangguk-angguk paham. Dia berpaling ke arah lain. “Iya juga sih. Lambat-laun juga harus, ya?” Bara berpaling menatap Layla. “Tapi kok saya grogi, ya?”

Layla terkekeh geli. “Kok grogi sih? Belum apa-apa juga. Pokoknya kita jalanin sesuai alur aja. Kayak tadi di rumah kamu dan kayak di rumah saya juga. Nggak usah dianggap serius, kan?”

Bara mengangguk-angguk. “Ya udah kalau gitu, nanti kabarin lagi, ya?”

“Oke!” Layla tersenyum. “Nanti saya atur secepatnya supaya kita bisa segera menikah.”

Bara mengangguk, menyalakan mesin motornya. “Ya udah, saya pamit pulang, ya?”

“Oke, bye!”

Tidak ada kecupan mesra, pelukan hangat atau berjabat tangan seperti pasangan pada umumnya. Layla sudah masuk lebih dulu ke dalam rumahnya, tanpa menunggu Bara pergi terlebih dulu.

Layla pikir, misinya untuk kali ini berhasil dan complete. Hatinya sedang berbunga-bunga karena dengan demikian, Layla bisa terlolos dari acara perjodohan yang kelewat kuno itu. Tidak ada yang bisa mengendalikan dirinya, sekalipun itu kedua orang tuanya. 

Layla masuk kamar, mandi dan berganti baju menjadi piama. Setelah meyakinkan dirinya sudah bersih, barulah dia berbaring di ranjang singgasananya. Ponsel di atas nakas itu bergetar, ada pesan masuk di sana. Layla menyambar ponsel itu dan terdapat pesan masuk dari Yunda. 

Yunda :

[Gimana kesan pertama ketemu calon mertua?]

Bersambung... 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status