Share

06. SUASANA ASING

Agenda selanjutnya adalah mempertemukan Layla dengan keluarga Bara. Setelah sebelumnya Bara sudah berhasil meyakinkan kedua orang tua Layla, sekarang giliran Layla yang akan meyakinkan kedua orang tua Bara.

Bara berasal dari keluarga sederhana, Ayahnya bekerja serabutan dan Ibunya ibu rumah tangga. Tapi Bara bersyukur punya orang tua seperti Ayah dan Ibunya, karena berhasil membiayai Bara sekolah sampai di jenjang bangku perkuliahan dan sukses menjadi Manajer seperti sekarang.

Hari ini Bara memilih menjemput Layla di rumahnya, tanpa janjian seperti sebelumnya. Supaya lebih meyakinkan.

“Hei, Bar, gimana penampilan saya hari ini?”

Bara terkesima sesaat setelah melihat penampilan Layla yang begitu terlihat cantik. Rambutnya dibuat bergelombang, tubuh langsingnya dibalut dress berwarna peach terlihat begitu sempurna. Lelaki itu sejenak terpaku memandangi Layla.

“Hellowww!!” Layla melambaikan tangannya di depan wajah Bara, membuat Bara mengembalikan konsentrasi. “Malah ngelamun. Gimana penampilan saya kali ini? Cantik nggak?”

“Bagus, kok.”

“Bagus doang? Cantik, nggak?”

Bara menarik ujung bibirnya. “Cantik.”

Layla tersipu malu, namun dia segera mengembalikan Kesadarannya. Dia tidak boleh terlihat aneh di depan Bara. Menjadi wanita elegan dan dingin adalah prinsip hidup Layla.

Semenjak perkenalan Layla dan Bara, Yunda tidak ikut campur soal permasalahan yang sudah mereka rancang. Tugas Yunda hanya mengenalkan, selebihnya dia tidak mau ikut campur. Kecuali, dalam konteks Layla minta pendapat soal dirinya dengan Bara. Atau mencari tahu tentang kehidupan Bara lebih dalam.

“Ya udah, kita berangkat sekarang, ya? Ibu saya sudah nunggu.”

“Oke, saya yakin sih kalau keluarga kamu pasti langsung terima saya jadi menantu. Pandangan pertama pasti udah bikin terkesima,” Layla lagi dan lagi memuji dirinya sendiri. Bahkan dia tidak segan untuk berkata demikian di depan Bara. Bara hanya senyum dan geleng-geleng kepala.

Layla berjalan ke depan rumahnya dan berbalik menatap Bara yang jalan mengekor di belakangnya. “Helm buat saya mana, Bar?”

“Ini,” Bara menenteng helm yang sengaja dia bawa dari rumah untuk Layla.

Layla mengambilnya, sempat menciumnya sekilas, takut ada aroma tidak sedap menempel dan menodai rambutnya. Tapi akhirnya dia memakai helm itu, setelah tidak mencium aroma apa-apa.

“Bisa, nggak?” tanya Bara saat dia sudah memakai helm dan duduk di atas motornya, ketika melihat Layla seperti kesusahan memakai helm itu. “Di klik, La,” Bara menunjuk bagian bawah helm, Layla mengernyit tidak paham. “Sorry,” Bara membantu Layla memasangkan pengait helm. Jari-jemari hangat milik Bara sempat bersentuhan dengan dagu Layla.

“Thanks!”

Layla hendak naik ke boncengan motor Bara, namun dia kebingungan cara naiknya bagaimana. Bara yang menyadari itu, akhirnya menyerongkan motornya untuk lebih mudah Layla naik ke atas sana. “Gimana saya duduknya?”

“Nyerong aja, La.”

What? Are you serious?” Layla menatap ragu Bara.

I will take care of you. Trust me.” Bara tersenyum sembari menggerakkan kedua bola matanya terarah pada jok boncengan motornya.

 Layla terlihat ragu-ragu, tapi akhirnya dia duduk juga di boncengan dengan posisi menyerong. Bukannya sombong, tapi Layla memang jarang sekali naik motor. Terakhir kali dia naik motor itu sewaktu SD, itu pun hanya beberapa bulan saja karena insiden dia terjatuh bersama dengan tukang ojek, yang mengakibatkan kaki dan tangannya luka-luka. Dari situ Layla trauma untuk menunggangi kendaraan roda dua.

“Pelan-pelan, ya, Bar. Saya ada trauma jatuh dari motor.”

“Santai aja, La. Percaya sama saya. Kalau kamu takut, pegangan aja.”

“Nggak apa emang?” tanya Layla.

“Ya nggak apa. Biar meyakinkan lagi, kan?”

Layla akhirnya mengulurkan tangan untuk memeluk Bara dari belakang. Aroma parfume maskulin itu menyeruak masuk ke dalam indra penciuman Layla. Iya ... aroma yang sangat menenangkan untuk Layla.

***

Motor Bara masuk ke dalam gang. Bangunan di sana tampak saling berdiri rapat dengan dinding para tetangga, anomali dengan kompleks perumahan Layla yang dominan rumahnya berjarak dan besar-besar mengintimidasi dan berdiri kokoh bak istana.

Lingkungan rumah Bara terkesan hangat, para tetangga terlihat saling akrab dan jauh dari kata mewah dan elite. Masih ada pedagang sayur gerobak dengan ibu-ibu yang sedang bergosip, tetangga saling berkumpul di depan rumah, anak-anak kecil silih kejar-mengejar, teriakan dan tangisan silih beradu sahut.

“Permisi, Bu,” Bara melambatkan motornya ketika melewati Ibu-ibu yang sedang berkumpul.

“Silakan Mas Bara ganteng.”

“Siapa tuh? Calon istri?”

“Doain aja, Bu,” sahut Bara tersenyum.

Layla bisa mengira kalau Bara termasuk idola para ibu-ibu di dalam gang. Terlihat dari betapa mereka memuji Bara dengan sebutan ganteng dan antusiasnya ketika melihat Bara membonceng perempuan.

Bara mengarahkan motornya masuk ke dalam pagar besi yang tidak terlalu tinggi, hanya sebatas perut. Kendaraan akhirnya berhenti, Layla melepaskan helm dan membenarkan rambutnya. Dia memutar spion tanpa permisi, padahal Bara belum turun dari motor itu.

“Rambut saya berantakan nggak? Make-up saya?”

Bara menggeleng. “Masih cantik kok. Yuk masuk.” Bara ikut turun dari motor dan menarik tangan Layla tanpa permisi untuk melangkah masuk ke dalam rumah sederhana bercat biru langit, dengan pilar besar di sisi kanan dan kiri.

Tidak ada suara apa pun dari dalam. Sepi. Bara mengetuk pintu dan mengucapkan salam. “Assalam’alaikum, Bu, Yah?”

“Waalaikumsalam.” Ada sahutan dari dalam. Pintu terbuka dan memperlihatkan sepasang suami istri paruh baya menyambut kedatangan mereka. “Eh, sudah datang. Ayo masuk-masuk.”

“Ini Layla, ya?” Seorang wanita paruh baya berparas ramah dan teduh itu tersenyum semringah menyambut kedatangan Layla. Itu Ibunya Bara. Tentu saja Bara sudah bercerita pada kedua orang tuanya bahwa akan membawa Layla ke hadapan mereka.

“La, kenalin ini Ibu sama Ayahku,” Bara memperkenalkan kedua orang tuanya pada Layla.

“Layla,” jawabnya singkat. Berusaha menarik ujung bibirnya yang terasa kaku. Namun dia harus betul-betul bersandiwara penuh di depan kedua orang tua Bara. Dia tidak mau dicap sebagai calon mantu yang tidak ramah. Meski demikian memang begitu faktanya.

Layla mencium tangan Ibu dan Ayah Bara, sama seperti yang Bara lakukan pada kedua orang tuanya.

Melihat ekspresi Layla yang kurang nyaman, Bara mengelus lembut punggung Layla. “Duduk yuk?” ajaknya dan mereka duduk berdampingan di kursi panjang, sedangkan Ayahnya duduk di kursi tunggal di hadapan Bara dan Ibunya duduk di kursi tunggal di sebelah Layla. Bara berbisik lembut di telinga Layla, “Relax, La.

Suasana terasa canggung, terlebih ketika Ibunya Bara seolah meneliti Layla dari bawah ke atas, mengulangi siklus itu beberapa kali. Seolah sedang memindai calon istri untuk anaknya.

“Orang mana, Nak?” pertanyaan itu yang keluar dari bibir Ibunya.

“Aslinya orang Bengkulu, Tante, lahir di sana juga. Tapi semenjak aku umur lima tahun, pindah ke Jakarta.”

“Ada keturunan bule, ya, Nak?” tanya Ibu yang masih meneliti wajah Layla.

“Bukan bule, Tan, tapi Korea,” sahut Layla dan tersenyum lebar. “Papa Korea, Mama Bengkulu.”

“Pantesan, cantik banget,” Ayah tersenyum.

“Kerja di mana, Nak? Kata Bara, kamu sahabat Yunda dari kecil?” tanya Ibu.

“Di Bellerica, Tan, sebagai HRD. Iya saya sahabatan sama Yunda dari kecil.”

“Kamu bisa masak?”

Pertanyaan Ibu terdengar defensif.

“Ng—nggak bisa, Tan,” Layla tersenyum kikuk, melirik Bara yang tiba-tiba menggenggam jari-jemari tangannya. Terkesan memberi semangat dan perlindungan.

“Kalau masak bisa belajar nanti, Bu,” sahut Bara, berusaha melindungi Layla dari pertanyaan intimidasi Ibunya. 

“Tapi kamu lebih suka masakan rumahan, kan? Daripada di luar. Nanti kalau kamu sudah nikah, kamu bakalan jarang makan masakan Ibu lagi.”

“Iya, Bu, tapi kalau soal itu nggak masalah buat Bara,” cowok itu melirik Layla yang terlihat tidak nyaman. “Bara cari pendamping hidup. Nggak ada masalah buat Bara kalau Layla nggak bisa masak.”

Layla tersenyum tipis, dia menundukkan kepala. Baru kali ini dia merasakan terintimidasi, bahkan biasanya dia tidak pernah merasakan hal itu bahkan oleh atasannya di tempatnya bekerja. Layla selalu menguasai suasana, dia tidak pernah merasakan apa itu terpojok. Tapi untuk kali ini berbeda, suasananya terasa sangat asing.

BERSAMBUNG... 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status