Semuanya berantakan!
Kepercayaan diri Aurora beberapa hari waktu lalu semakin terkikis oleh keadaan. Ia kehabisan waktu, dan tidak ada satu pun perusahaan yang mau menerimanya. Nama Vallen seakan telah diblokir oleh banyak perusahaan karena track record dirinya yang menjadi anak dari Matthew Vallen.
“Salahku apa?” desahnya, tertunduk di pinggir kasur. “Aku tidak pernah meminta untuk dilahirkan di keluarga ini. Dad bahkan tidak sejahat itu sampai nama Vallen seakan menjadi aib bagi banyak perusahaan.”
Aurora menghela napasnya panjang. Usahanya selama ini untuk menjadi seorang yang selalu unggul di bidangnya seakan mengkhianatinya. Dengan nilai sempurna, dan kemampuan yang ia miliki, semua itu tak ada artinya karena dirinya menyandang nama Vallen.
Kartu nama milik Kael Vireaux masih berada di atas nakas. Sudah berhari-hari ia tidak memperhatikannya. Saat ini, ketika ia merasa tak ada lagi jalan yang bisa dilalui, potongan kertas yang telah kumal karena air hujan itu kembali menyita perhatian.
Tangannya terulur pelan, tampak ragu, tapi pada akhirnya ia kembali menyematkan di sela jemarinya.
“Apa aku harus kesini?”
Harus.
Suara hatinya seakan berteriak seperti itu. Sementara pikiran dan logikanya menahan tubuhnya untuk bergerak. Kini Aurora berada dalam dilema besar. Apa yang harus ia lakukan?
Namun pada akhirnya, Aurora beranjak dari tempatnya, menyambar coat dan sling bag, serta memasukkan ponsel, dompet, dan kartu nama Kael ke dalamnya.
Harga diri yang setinggi langit itu, saat ini ia pertaruhkan untuk mencari tahu tawaran apa yang telah disiapkan Kael untuknya. Terlebih dari itu, ia penasaran dengan sosok Kael Viraux. Kenapa seakan pria itu mengetahui semua hal tentangnya?
***
Gedung apartemen mewah membuat Aurora mendongak. Ia menatap lantai paling atas, tempat yang jelas terletak penthouse milik Kael Vireaux.
Saat Aurora memasuki lobi, pria berjas hitam tampak baru keluar dari lift. Ia mengenalinya. Jelas sekali pria itu adalah seseorang yang telah memberikan kartu nama Kael padanya. Tanpa berpikir panjang lagi, ia segera berlari kecil, menghampiri pria itu dengan tergesa.
“Permisi, maaf.” Aurora menyapa pria itu, sambil menampilkan senyum lebar yang dibuat-buat.
Pria itu mengerutkan kening sejenak, lalu tersenyum samar. “Nona Aurora Vallen?”
Aurora mengangguk pelan, sedikit malu karena pada akhirnya, ia memutuskan untuk menemui pria misterius yang menawarkan bantuan untuknya.
“Kau mau bertemu dengan Tuan Vireaux… pada akhirnya?”
Auror kembali mengangguk, kali ini tampak meringis. “kurasa… aku ingin tahu lebih banyak tentang tawaran apa yang akan diberikan. Dan… aku ingin tahu kenapa Kael Vireaux mengenalku.”
Pria itu tersenyum, lalu kembali menekan tombol lift. “Tuan Vireaux akan senang mendengarnya. Mari, kuantar kesana.”
Pintu lift terbuka, Aurora segera masuk setelah pria itu mempersilakan.
“Maaf… Err… aku harus memanggilmu apa?” tanya Aurora lagi, merasa tidak nyaman karena sudah beberapa berinteraksi, tapi tidak tahu siapa nama dari pria di sebelahnya.
“Namaku Luther, asisten Tuan Vireaux,” jawabnya singkat.
Aurora mengangguk kecil. “Ngomong-ngomong, Luther, apa kau tahu tawaran apa yang akan diberikan oleh Kael Viraux?”
Luther mengangguk. “Aku tahu, tapi bukan kapasitasku untuk mengatakannya padamu, Nona. Tuan Vireaux yang akan memberitahu langsung padamu.”
Aurora merapatkan bibirnya sejenak. “Ehm… apakah dia menakutkan?”
“Tuan Vireaux?” Luther mengonfirmasi ulang.
“Iya, Kael Vireaux. Apakah dia menakutkan?”
Luther menggeleng, sikapnya kembali tegas. “Tuan Vireaux tidak menakutkan, hanya… sedikit tegas. Selebihnya, kau bisa melihatnya sebentar lagi.”
Jawaban Luther membuat Aurora menjadi berspekulasi. Kata ‘sedikit tegas’, biasanya memiliki arti mendalam yang sengaja dihaluskan. Ia mulai membayangkan seorang Kael Vireaux adalah pria menyeramkan yang mungkin saja… sedang menjebaknya untuk segera melunasi hutang ayahnya.
Oh, God!
Apakah Aurora benar-benar terjebak?
Di tengah kepanikannya, pintu lift terbuka. Luther menyuruh Aurora keluar lebih dulu, sementara pria itu mengikuti dari belakang.
Aurora menghela napas panjang ketika Luther memimpin jalan menuju ke pintu penthouse. Sepanjang lorong yang pendek, Aurora semakin terlihat cemas.
“Santai saja, Tuan Vireaux tidak akan memakanmu.” Luther bercanda, sambil membuka pintu penthouse. “Masuklah, Tuan Vireaux telah menunggumu.”
Aurora ragu sejenak. Kakinya terasa berat untuk melangkah, tapi ia telah berada di sini. Tidak mungkin ia berlari kembali ke lift, karena Luther pasti akan menangkapnya. Akhirnya, dengan perlahan ia masuk ke dalam penthouse sambil menahan napas.
Aroma bergamot yang halus menyeruak lembut, ia merasa sedikit tenang karena itu.
“Akhirnya kau datang, Aurora Vallen.”
Suara berat yang tajam, terdengar datar tapi memiliki banyak penekanan pada tiap tarikannya. Aurora menoleh cepat, menatap ke sebuah pintu yang baru saja tertutup. Seorang pria tinggi, dengan kulit seputih salju, rambut berwarna tembaga dan mata cokelat hangat tampak kontras dengan tatapan tajamnya.
Pria itu hanya mengenakan jubah tidur, tapi jelas auranya tidak bisa disamarkan. Aurora meneguk ludahnya, merasa terintimidasi dengan kehadiran pria itu.
Jika Luther membuatnya ngeri di awal pertemuan, maka Kael jauh lebih menakutkan dibanding itu.
“Kael Vireaux?” Aurora memberanikan diri untuk menyebut nama itu.
Pria itu menyeringai tipis, berjalan melewati Aurora menuju ke mini bar di dekat dapur terbuka. Tangan kekarnya meraih satu botol whisky, lalu menuangnya sedikit di gelas, dan menyesapnya perlahan. Aurora menunggu dengan sangat sabar.
“Aku penasaran, apa yang membuatmu sangat terlambat untuk datang kesini.” Kael berjalan ke arah sofa, lalu duduk di sana dan meletakkan gelasnya di atas meja. “Duduklah, kita perlu bicara serius di sini, Rora.”
Aurora menegang. Tidak ada yang pernah memanggil namanya dengan panggilan Rora selain orang tuanya.
Aurora duduk di sofa yang berhadapan langsung dengan Kael. Ia menghela napasnya pelan sebelum berbicara. “Kenapa kau bisa mengenalku, Kael Vireaux?”
Kael tersenyum samar, tatapannya lurus tertuju pada Aurora, seakan sedang menilai wanita itu dari atas ke bawah.
“Just call me Kael, Rora.”
Aurora menghela napas. “Ok, Kael. Bisa kau jelaskan padaku sekarang?”
Kael meraih gelas whisky-nya dan memutarnya perlahan. “Aku tahu semua tentang latar belakangmu, Rora. Kau yatim piatu, tidak punya warisan, tapi memiliki beban hutang peninggalan ayahmu. Selain itu, kau tidak memiliki celah sedikit pun. Kau adalah tipe yang ideal untuk menerima tawaran dariku.”
Aurora menautkan kedua alisnya. ”Apa maksudmu?”
“Kau memerlukan jalan keluar untuk hutang-hutang itu, dan aku membutuhkan istri kontrak dalam waktu satu bulan ini. Dan kau, Aurora Vallen… kau adalah kandidat paling stabil secara hukum dan sosial. Aku bisa meringankan bebanmu saat ini juga, dan kau bisa membantuku dalam urusan status pernikahan.”
Aurora nyaris berteriak, kalau saja ia tidak ingat bahwa dirinya adalah tamu di sini. “Istri kontrak? Apa maksudmu? Kau mengajakku menikah, padahal kita baru pertama kali bertemu di sini? Saat ini? Kau gila??”
“Aku tidak gila sama sekali, dan aku serius dengan ucapanku. Aku membutuhkanmu untuk status pernikahan yang harus kudapatkan dalam waktu satu minggu ini. Kalau kau menyetujuinya, maka aku akan membayar lunas semua hutang peninggalan ayahmu.”
Kael terlihat bersungguh-sungguh dengan ucapannya. Namun Aurora masih meragukan motif dari pria itu.
“Tapi… kenapa harus aku?” tanya Aurora.
Kael menyilangkan kaki, dan meletakkan kedua tangannya di sandaran sofa. Tatapannya masih tertuju pada Aurora.
“Karena nama belakangmu bukan nama yang asing bagiku. Aku hanya ingin memastikan sesuatu, dan ya… tentu saja karena kita memiliki kebutuhan satu sama lain yang harus dipecahkan. Kebetulan aku bisa membantumu, dan kau juga bisa membantuku. Wajar, kan?”
Jelas itu hal yang tidak wajar. Tiba-tiba saja memberikan tawaran pernikahan, lalu berencana membayar hutangnya, dan… ada masalah apa dengan nama belakangnya? Aurora tidak mengerti, kenapa semua orang seakan terobsesi dengan nama belakang keluarganya?
“Tidak semudah itu, Kael Vireaux.” Aurora berdiri, harga dirinya tidak bisa lagi menahan rasa malu karena merasa diintimidasi oleh Kael. “Aku tidak bisa menikah denganmu.”
Kael hanya tertawa kecil. Sorot matanya masih tajam menatap Aurora. “Pikirkan saja dulu. Aku memberimu waktu sampai minggu depan.”
“Sudah kubilang aku tidak akan melakukannya, kan?” Suara Aurora meninggi.
“Mungkin saat ini kau memang tidak mau melakukannya. Tapi hutangmu adalah bentuk nyata bahwa kau memerlukan bantuan dariku, Rora. Aku tunggu kabarmu, lebih cepat lebih baik.” Kael kembali menyesap alkoholnya.
Aurora mendengus kasar, membuang muka dan menjejakkan kakinya kasar saat pergi dari hadapan Kael. Percakapan yang baru saja terjadi dengan pria itu, sungguh tidak bisa diterima oleh akal sehatnya.
Namun, kepergian Aurora seakan tak berpengaruh bagi Kael. Pria itu tetap tenang, menertawakan tingkah Aurora yang baru saja membanting pintu penthouse, dan kembali menikmati whisky-nya.
“Kau akan kembali, Rora. Cepat atau lambat,” gumamnya.
“Baru pulang?” Sedikit berjingkat, Ezra tetap menarik pintu utama sampai menutup. Aurora sedikit memiringkan kepala, dengan sebelah tangan memegang cangkir keramik hitam. Aroma earl grey menguar pekat, tampaknya baru saja diseduh.“Seperti yang kau lihat. Kenapa kau belum tidur?” Tak langsung pulang setelah menemui Celeste, Ezra berkeliaran sampai malam di sekitar mansion milik Bastien untuk mencari tahu tentang Elias.Pria tua itu tidak mengizinkannya mendekat selama misi belum selesai. Sementara ia harus memastikan apakah adiknya itu telah mengonsumsi obatnya dengan baik atau tidak. Ucapan Bastien tidak bisa dipegang. “Menunggu Kael pulang.” Aurora menjawab dengan nada gelisah.Alis Ezra bertaut. “Bukankah dia bilang akan segera pulang?”Aurora berbalik, melangkah menuju ruang makan. Gerakannya gugup, wajahnya berkali-kali mengernyit samar. “Itulah yang sedang kupertanyakan. Kenapa dia belum pulang?”“Kau sudah mencoba untuk menghubunginya?” tanya Ezra.“Setiap satu jam sekali.” S
“Ezra Roux?”Ezra mendongak, matanya menyipit lalu berdiri. Satu tangannya memberikan gerakan elegan untuk mempersilakan seorang wanita mengenakan dress A-line maroon ketat dengan lipstik warna serupa.“Silakan duduk, Celeste Belmont.” Suara Ezra terdengar ramah. “Terima kasih sudah meluangkan waktu.”Celeste, mantan tunangan Kael Vireaux yang berhasil dihubungi oleh Ezra—tentu saja dengan campur tangan Bastien di dalamnya—memandang penuh rasa penasaran. Tepat ketika wanita itu duduk, pelayan kafe mendatangi dengan notes kecil di tangan.“Sudah siap pesan, Nona?&rdq
Bangsat!Hanya itu satu kata yang bisa diucapkan Ezra setelah sambungan teleponnya dengan Bastien Vireaux berakhir. Ponsel yang ada di genggaman nyaris dibanting, namun ia mampu menahannya meski harus menahan gemuruh dalam dada. Pikirannya saat ini hanya tertuju pada Elias. Apakah adiknya baik-baik saja di tangan psikopat berdarah dingin itu?Keputusan untuk masuk ke dalam rencana Bastien bukanlah hal yang ia rencanakan. Semuanya berawal dari utang yang tidak bisa dibayarkan. Perusahaan tempatnya bekerja dengan sepihak memecatnya hanya karena terlambat dua kali. Memang salah Ezra, tapi tetap tidak adil karena ia hanya terlambat tidak lebih dari lima belas menit.Jika dipikir lagi, Ezra yakin semua itu ada sangkut pautnya dengan Bastien. Pria tua itu, seseorang yang telah meminjamkan sejumlah uang untuk pengobatan adiknya yang terkena kanker leukimia begitu orang tuanya meninggal karena kecelakaan. Ia tak pernah menyangka Bastien akan mematok harga mahal selain bunga yang harus dibaya
Sedikit canggung selama perjalanan kembali ke Vallmont. Dan menjadi lebih canggung lagi ketika mereka sampai di sebuah rumah dengan lantai satu di kawasan elite Vallmont yang memiliki penjagaan berlapis. Yang artinya, akan sulit bagi selain penghuni perumahan untuk mengakses kawasan ini.Kael terus menunjukkan sikap over protektifnya terhadap Aurora. Ezra tampaknya tidak begitu peduli dengan itu. Ia hanya terlihat sedang mengagumi semua hal yang ada di dalam rumah baru mereka. Sementara Aurora, berusaha dengan keras untuk tetap menjaga suasana di antara Kael dan Ezra menjadi sedikit… normal.Sang kakak yang setiap detik ingin memenggal kepala sang adik. Dan sang adik yang tidak memiliki takut untuk melewati batas teritorial yang telah ditetapkan sang kakak, terutama mengenai interaksi dengan Aurora.“Aku tidak mengerti kenapa kau sampai harus mengamankan situasi.” Ezra memperhatikan sekeliling rumah. “Apakah ada hal mengerikan yang pernah terjadi?”Satu pertanyaan itu berhasil membua
Semua yang diceritakan oleh Ezra, semua yang digambarkan mengenai sosok Isabelle Lambert, itu semua sangatlah… Isabelle Lambert. Aurora seakan sedang melihat tayangan ulang bagaimana kehidupan ibunya yang tak pernah bisa ia jangkau dari kalimat demi kalimat yang Ezra lontarkan.Mungkin, Aurora mulai bisa menerima jika ternyata ia memiliki seorang adik.Sedikit.Belum sepenuhnya, namun ada setitik rasa percaya pada alur kehidupan yang dipresentasikan oleh laki-laki itu.Sementara Kael, jelas ia masih berada pada titik dinginnya. Ucapan dan bukti yang disodorkan padanya dimentahkan begitu saja. “Dia memiliki hasil tes DNA itu, Luther,” desis Kael, ketika ia tersambung dengan Luther.[Dan Anda percaya dengan hasil selembar kertas itu?]“Jelas tidak. Tapi aku tidak bisa membuat Rora membuka matanya. Sepertinya dia mulai percaya dengan bocah tengik itu.”[Aku harus menyelidikinya dulu untuk memastikan apakah Ezra benar-benar putra dari Tuan Lucien dan Isabelle. Jika dia datang tidak memil
Ezra tak hanya bicara omong kosong saat mengatakan menyimpan bukti bahwa dirinya juga merupakan seorang Vireaux. Karena Kael menolak untuk pergi ke rumah Ezra yang berada di kawasan yang tidak jauh dengan villa milik orang tua Luther, pria yang mengaku sebagai adik dari Aurora dan Kael itu membawa sertifikat kelahirannya ke villa.Selembar kertas tebal itu masih terselip di tangan Kael. Keasliannya, sangat sulit untuk diragukan. Hasil tes DNA pun disertakan dengan hasil 99.9% memiliki kesamaan dengan Lucien Vireaux. “Tidak mungkin.” Kael bergumam pelan.Alis Ezra mengedik cepat, seolah ia sudah bisa memprediksi reaksi dari Kael. “Aku tidak pernah berniat untuk mengklaim diriku sebagai bagian dari Vireuax, Brother. Tapi aku juga butuh bukti yang kuat kalau-kalau… aku harus membuktikan siapa diriku sebenarnya.” Ezra menghela napasnya berat. “Hidup sebagai anak haram, bukan kah itu hal yang paling berat? Terlebih hasil dari skandal besar Lucien Vireaux dan Isabelle Vallen.”Di sebelah