Hujan mengaburkan air mata Aurora Vallen. Sorot matanya masih menatap makam baru milik sang Ayah, Matthew Vallen. Seakan semua hal baik telah ditarik dari kehidupannya, Aurora hanya mampu terdiam, menyadari bahwa saat ini ia tidak memiliki siapa pun di dunia ini.
Ibunya—Isabelle, telah meninggal. Kini ia harus merelakan ayahnya juga, dan menerima kenyataan bahwa ia harus menanggung semua hutang peninggalan ayahnya, dan juga harus segera angkat kaki dari mansion mewahnya yang telah menjadi disita sebagai jaminan.
Bahkan itu pun tak lantas membebaskan Aurora dari warisan hutang. Entah apa yang harus ia lakukan setelah ini. Ia tak lagi memiliki sandaran dan pijakan untuk bertahan.
Lonceng gereja berdentang beberapa kali, menandakan bahwa ia telah terlalu lama berada di sini. Tubuhnya basah, terlihat sedikit menggigil, tapi ia tahan sebisa mungkin karena tak lagi memiliki tempat untuk kembali.
“Dad, aku harus kemana sekarang?” gumamnya pelan.
“Nona, sudah waktunya untuk pergi. Saya tidak bisa menunggu terlalu lama lagi.” Petugas gereja mendekat, memberikan peringatan terakhir pada Aurora untuk segera pergi dari pemakaman.
Aurora mendongak, menatap petugas itu dengan air mata yang tertutup guyuran hujan. “Maaf… aku akan segera pergi setelah ini. Anda boleh kembali, tak perlu menungguku lagi.”
“Tapi saya harus memastikan Anda untuk pergi dari sini sekarang juga, Nona. Gerbang utama pemakaman akan segera ditutup oleh penjaga.”
Ya, ini adalah pemakaman tertutup milik gereja tempat ayahnya biasa beribadah. Mereka memberikan bantuan pemakaman yang layak, dan saat ini Aurora harus mengikuti aturan dari mereka. Ia memang terlalu lama menunda waktu perginya sejak beberapa jam yang lalu.
“Baik, saya akan pergi sekarang juga. Terima kasih atas bantuannya, Tuan. Saya akan berkunjung lagi setelah semua urusan saya selesai.” Aurora mencoba tersenyum, berlagak tegar di tengah kekacauan yang bahkan ia sendiri belum bisa menemukan jalan keluarnya.
Aurora berjalan menuju pelataran gereja untuk mengambil koper besar miliknya—satu-satunya harta yang tersisa. Untuk kali ini, ia tak ada pilihan lain untuk menginap di penginapan kecil yang tak memerlukan banyak biaya sambil menyusun kembali rencana hidupnya.
Ah, sial.
Seharusnya Aurora saat ini sedang merayakan kelulusannya sebelum menjalankan perusahaan milik ayahnya. Namun siapa sangka, hanya dalam satu malam, takdir telah mempermainkannya.
Di ujung jalan sebelum jalan raya, ia melihat ada penginapan kecil. Sambil menyeret kopernya, langkahnya terlihat enggan menuju ke sana.
Petugas gereja tadi tidak berbohong. Penjaga telah menutup gerbang makam saat ia menoleh untuk terakhir kalinya. Aurora menghela napasnya panjang, kembali mencoba tersenyum sambil melambaikan tangan.
“Bye, Dad. Aku akan kembali lagi lain waktu.”
Langkah kaki Aurora kembali menjejak di pinggiran aspal yang kotor terkena cipratan tanah basah. Bekas tapaknya terlihat jelas, meski sedetik kemudian telah menghilang karena guyuran hujan.
Sampai akhirnya, sebuah mobil hitam mendadak berhenti di hadapannya, memaksa Aurora untuk berhenti sejenak. Ia memicingkan mata, mencari tahu siapa yang berada di dalam sana, tapi semua jendela dipasang kaca film hitam yang membuatnya tak mampu menembus ke dalam.
Pintu kemudi terbuka perlahan, satu payung besar berwarna hitam menggantung di bawah pria berperawakan tinggi besar, mengenakan setelan jas hitam.
“Nona Aurora Vallen?”
Aurora memperhatikan pria itu sejenak. Garis wajahnya tegas, membuatnya sedikit bergidik ngeri. “Ya, itu namaku. Ada masalah apa?”
Pria berjas hitam itu mengambil sebuah kartu nama dari saku jasnya, lalu menyodorkan pada Aurora. “Tuan Vireaux ingin bertemu. Ada tawaran yang bisa mengubah hidupmu”
Aurora menerima kartu nama itu, membaca sekilas satu nama yang tertera di sana—Kael Vireaux.
“Apa maksudnya ini? Siapa Kael Vireaux?”
Sekeras apa pun Aurora mencoba mengingat satu nama itu, tapi ia tak pernah mendengarnya. Tawaran apa yang dimaksud? Seolah-olah pria misterius itu telah mengetahui masalah yang sedang ia hadapi saat ini.
“Kalau kau ingin tahu siapa Tuan Vireaux, silakan hubungi nomor yang ada di sana, atau langsung datang ke alamat yang ada di belakang kartu nama. Itu adalah alamat penthouse milik Tuan Vireaux. Kau bisa menemuinya di sana.”
Pria itu tak menunggu jawaban dari Aurora. Ia segera berbalik, bersama dengan payung hitamnya yang tak sedetik pun dibagi dengan Aurora.
“Tunggu!” seru Aurora.
Hujan mulai mereda, menyisakan rintik halus. Namun ia tetap tak bisa melihat siapa yang ada di dalam mobil itu.
Pria berjas tadi berbalik, menunggu Aurora berkata.
“Darimana kau tahu namaku? Apa aku pernah mengenalmu sebelumnya? Atau… Kael Vireaux?”
“Kalau kau ingin mengetahui hal-hal itu, silakan bertanya pada Tuan Vireaux. Aku yakin beliau akan menjawabnya dengan baik. Datanglah secepatnya. Tuan Vireaux tahu bahwa kau tak memiliki waktu banyak untuk berpikir. Selamat sore.”
Tak ada percakapan lagi. Pria berjas itu kembali masuk ke dalam mobil, meninggalkan Aurora yang masih berdiri di bawah gerimis halus. Setelah mobil itu berlalu, Aurora kembali melihat kartu nama yang telah basah.
“Kael Vireaux? Aku tidak pernah mendengar nama ini sebelumnya. Siapa dia? Kenapa tiba-tiba memberi penawaran? Aneh sekali.”
Meskipun begitu, Aurora tetap menjejalkan kartu nama itu di saku celananya. Tubuhnya semakin menggigil. Ia mempercepat langkahnya ke penginapan sambil terus menyeret koper besarnya, berharap tidak ada basah yang menyelinap kesana.
***
Ruangan yang disewa Aurora tidak begitu buruk. Semuanya layak, meski sangat berbeda jauh dengan kamarnya sendiri. Kasurnya tetap empuk, hanya sprei nya saja yang terlihat usang, dan sedikit bau pengap.
Namun Aurora tidak sedang dalam keadaan bisa menawar semua itu. Hanya ruangan ini yang mampu ia sewa untuk beberapa hari.
Setelah mandi dan mengganti pakaian, ia membenamkan tubuhnya di bawah selimut. Kartu nama yang diberikan oleh pria berjas hitam tadi kembali dia ambil. Ia kembali mengulang nama yang tertera di sana.
“Kael Vireaux… Kael… apa temannya daddy? Kenapa dia tahu namaku?”
Ucapan pria berjas tadi kembali terngiang, membuat Aurora merasa kesal.
“Hah! Tawaran yang bisa mengubah hidupku? Tahu apa dia soal hidupku??”
Harga dirinya seakan tercoreng karena ucapan itu. Meskipun pada faktanya ia memang sedang berada di dasar dan tak ada tangga keluar yang bisa menyelamatkannya, tapi entah kenapa harga dirinya masih terlalu tinggi untuk menggapai pertolongan misterius itu.
“Apa dia tahu kalau aku terlilit utang?” bisiknya lagi, setelah berguling beberapa kali ke kiri dan kanan, mencari posisi nyaman untuk tidur.
“Tapi… kenapa dia tidak datang sendiri? Malah menyuruh orang untuk memberikan kartu nama ini.”
Aurora kembali membaca jabatan yang tertera di bawah nama Kael Vireaux.
“CEO… wajar saja,” gumamnya lagi. “Tapi... sorry, Tuan CEO, aku akan berusaha sendiri. Lagipula… tidak seharusnya aku percaya dengan orang asing.”
Aurora meletakkan kartu nama itu di nakas samping ranjang, lalu memejamkan mata. Hari ini terlalu berat untuknya, sampai ia tak tahu harus bereaksi apa selain mencerna semuanya secara perlahan.
Urusan utang dan lainnya, akan ia pikirkan setelah bangun nanti. Setidaknya… malam ini… ia hanya ingin tidur dengan tenang.
Kesadaran Kael berangsur kembali. Nyeri di tengkuk masih terasa, sementara Ezra menindih tangannya yang terikat ke belakang. Punggung mereka saling berhimpitan, sementara Kira masih mendebat sikap Nick yang sudah keluar dari rencana.“Taruhannya nyawa kita!” sentak Kira, sambil menyibak kasar rambutnya ke belakang.“Tidak jika kita habisi dulu nyawa mereka semua.” Nick terdengar santai, kontras dengan Kira yang meledak-ledak.“Semua? Pria berambut hitam itu bagian dari kita juga, kan?” Kira melirik sekilas ke arah Ezra. “Kau juga mau membunuhnya?”“Bos bilang bunuh semua yang ada di rumah ini. Dia ada di sini, berarti dia juga termasuk target.” Nick kembali mengikat tali di pergelangan tangan Aurora.Kira menghela napas, lalu berjongkok di hadapan Aurora yang kehilangan kesadarannya. “Harusnya kau menurut sejak ancaman pertama dikirim. Sekarang kau harus menanggung risikonya, Princess.”Rahang Kael mengetat saat mendengar ucapan Kira. Dadanya bergemuruh, tak tahan dengan ocehan sampah
Membutuhkan beberapa saat bagi Aurora untuk memutuskan keluar kamar. Meskipun sebenarnya ada perasaan enggan untuk melihat wajah Kael, tapi pria itu pasti butuh masuk kamar untuk menyiapkan diri sebelum berangkat kerja.Bunyi klek pelan terdengar ketika Aurora memutar kunci. Hening. Tak ada suara sama sekali ketika ia melangkah. Sofa yang seharusnya menjadi tempat tidur Kael pun kosong. Kemana pria itu? Apa mungkin pria itu berada di ruang kerjanya?Penasaran, langkah Aurora mendekat pada ruangan yang selalu tertutup itu. Namun pagi ini pintunya terbuka sedikit—tidak biasanya. Tangan wanita itu meraih gagang pintu tanpa banyak berpikir, namun napasnya tertahan saat menatap hal yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.“Kael?” Suara Aurora bergetar, berhasil membuat Kael menoleh cepat, wajahnya terlihat panik. Sementara Celeste yang menindih pria itu menyeringai puas ketika Aurora membelalak di ambang pintu. “Apa yang kalian lakukan?” Suara Aurora pecah, terdengar penuh luka.Lengan K
Hanya karena pria memiliki insting berburu, bukan berarti ia bebas memburu siapa pun dan menerkamnya, kan? Ada aturan dan norma dalam sebuah hubungan—setidaknya bagi Aurora. Bercinta tanpa cinta, bagaimana bisa Kael melakukannya?Pria itu tak mengejarnya. Cukup mengecewakan, tapi juga melegakan. Saat ini Aurora tak ingin menatap wajahnya. Bayangan Kael dan Celeste sedang bergelut di atas kasur, membuatnya murka. Bagaimana pria itu mengecup, mengecap, dan menghentak. Oh, shit! Aurora tak sanggup membayangkannya.“Rora?”Aurora buru-buru menghapus air matanya. “Kau kah itu?” Ezra mendekat, menyusuri dermaga kayu menuju tepi danau—tempat Aurora dan Kael menikmati sunset waktu itu.Tak ada jawaban, hanya dehaman pelan untuk menyamarkan suara yang serak setelah terisak.“Benar kau,” ucap Ezra, lalu duduk di sebelah Aurora. “Sedang apa di sini? Ada masalah dengan Kael? Aku mendengar kalian saling teriak.”Desah frustrasi menjadi jawaban pertama yang lolos dari bibir Aurora. Tangannya salin
Tak ada sentuhan malam ini. Aurora meringkuk di balik selimut dengan pikiran liarnya tentang hubungan Kael dan Celeste waktu itu. Tak mungkin mereka hanya saling duduk berhadapan. Mantan tunangan seperti Celeste, jelas Kael pun akan tergoda meskipun tanpa cinta.Ia kembali mengingat bagaimana Kael berbicara dengan Celeste saat mereka menghadiri acara gala di Mirador Heights. Lembut, dengan tatapan yang sejauh itu tak pernah ia dapatkan. Bahkan Kael tak menepis tangan Celeste. “Jelas bohong kalau mereka tidak pernah melakukannya,” dengusnya.Hening.Kael belum keluar dari ruang kerjanya. Entah apa yang dilakukan di sana, mungkin benar sedang menghindarinya. Sial. Baru sehari Celeste masuk ke kehidupan mereka, bahkan tak saling bertatap tapi telah berhasil mengubah situasi. Tak pernah sedetik pun Kael meninggalkan malamnya sejak mereka saling mengungkap perasaan. Namun sekarang?Semakin memikirkannya, semakin rasanya ingin berteriak. Aurora sampai mencengkeram erat ujung selimut yang
Cukup sulit untuk menjaga emosi—terutama ekspresi wajah—ketika Kael menatap Ezra. Semua detail yang ada di dalam dokumen tadi masih tercetak jelas dalam pikirannya. Ezeriah Roux, mungkinkah betul Ezra?Dari foto memang sama. Namun Kael tak menutup mata dengan wajah beberapa orang yang terkadang mirip. Lebih dari itu, sebenarnya ia merasa takut membuat Aurora kecewa. Hal itu membuatnya menjadi lebih berhati-hati dalam mengambil langkah.“Jangan bilang kau mulai menyukaiku.” Ezra menyeringai, sadar dengan sorot tajam Kael yang tak lepas darinya sejak duduk di meja makan, lima menit yang lalu.Jika bukan karena Aurora yang saat ini tengah menatapnya—memastikan tidak ada pertengkaran—pasti pisau steak di genggaman kanannya telah dilempar ke arah kening pria itu.Namun detik berikutnya, ucapan Luther tadi siang kembali terngiang. Ada hal lebih penting yang harus ia lakukan saat ini selain menargetkan lubang kecil di kening pria itu. Dengan terpaksa, sudut-sudut bibirnya tertarik kaku. “Sek
“Bekas luka apa ini?” Celeste menyentuh kulit punggung Ezra—satu garis miring—seperti bekas koyakan.Ezra menoleh, sampai mampu menatap ujung pundaknya. “Kau mulai tertarik padaku?”Satu dorongan kuat dari tangan Celeste pada pundak Ezra membuat pria itu mengaduh kesakitan. “Perasaanmu digadaikan, ya?!” protes Ezra sinis, masih sedikit membungkuk karena nyeri pada tangannya yang masih dibungkus gips.Celeste meraih kaus yang telah diambil dari lemari Ezra. “Jangan menggodaku, atau itu yang akan kau dapatkan dariku.” Ezra mendengus, tak ada niatan untuk memperpanjang perdebatan. Tangannya terangkat pelan, memberikan ruang untuk Celesta yang berhati-hati agar tak menyentuh area sensitif tangan Ezra yang patah.“Ok, selesai.” Celeste menghela napasnya. “Maaf karena aku bertanya tentang bekas lukamu. Aku hanya tidak bisa menahan rasa penasaranku.”Celeste memahami jika luka seseorang pasti memiliki sejarah. Setelah Ezra hanya membalas ucapannya dengan dengusan, ia kembali merasa bersalah