Aurora kembali ke penginapan yang telah menampungnya selama beberapa hari. Ia masih merasakan kesal dengan sikap dan tawaran dari Kael yang seakan begitu menjatuhkan harga dirinya.
Sling bag yang masih menggantung di badannya, kini ia raih dan dilempar kuat ke atas kasur. Umpatan kecil lolos dari mulutnya.
“Dia kira siapa dirinya? Seenaknya saja memutuskan jalan hidup orang lain. Aku memang butuh uang, tapi aku tidak serendah itu!”
Ketukan halus menghentikan omelannya. Ia menghela napas, merapikan anak rambutnya yang berantakan, lalu berjalan mendekati pintu. Saat pintu terbuka, pemilik penginapan telah berdiri di hadapannya.
“Selamat sore, Nona Vallen. Maaf, aku mendapat laporan jika pembayaran kamar untuk dua hari kemarin belum kami terima. Jika sampai malam ini kau tidak membayarnya, maka kau harus pergi dari penginapan ini.”
Aurora terdiam. Ia memang hanya membayar untuk dua hari awal ia menginap. Selebihnya, ia belum membayarnya karena beranggapan bahwa sebentar lagi ia pasti akan mendapatkan pekerjaan, lalu melunasi semuanya. Namun…
Kenyataan sial itu membuatnya kembali marah.
“Maaf, Nyonya. Aku akan melunasinya segera. Aku hanya harus mendapatkan pekerjaan, lalu aku janji akan melunasi semuanya.” Aurora mengatakannya dengan nada lirih, terdengar takut-takut.
“Jadi maksudnya,” ucap pemilik penginapan itu dengan kedua mata menyipit. “Kau akan berhutang di penginapan ini sampai kau mendapatkan pekerjaan? Kapan hari itu akan datang?”
Aurora tidak bisa menjawabnya. Ia bahkan masih berjuang untuk mendapatkannya. “Tolong izinkan aku tinggal sampai saya mendapatkan pekerjaan itu, Nyonya.”
“Kapan tepatnya? Kau sudah mendapatkannya?”
Aurora menggeleng pelan. “Aku masih berusaha, tapi aku berjanji akan melunasi semuanya nanti.”
Pemilik penginapan itu tersenyum—sangat dibuat-buat, jelas itu bukan senyum yang ramah. “Aku tidak menerima pembayaran dengan janji. Kalau kau memang tidak bisa membayarnya, sekarang juga kau harus angkat kaki dari sini. Penginapan kecil ini harus jalan dengan pembayaran uang, Nona, bukan janji.”
Aurora ingin menego ulang keputusan itu, tapi sang pemilik penginapan telah berlalu dari hadapannya. Ia menghempaskan punggungnya pada pintu, merasa tak ada lagi hal baik yang akan datang dalam hidupnya.
Perlahan, ia kembali menutup pintu, lalu duduk di tepi ranjang. Kepalanya menunduk, memikirkan cara dan di mana lagi tempat yang bisa ia tuju untuk saat ini.
Sisa tabungan yang ia miliki saat ini hanya bisa untuk membayar penginapan sampai hari ini. Setelah itu, tak ada lagi yang tersisa kecuali untuk membeli satu roti yang mungkin bisa ia gunakan sebagai makan malam—atau justru disimpan untuk sarapan keesokan harinya saja.
Aurora kembali mengingat ucapan Kael tadi. Ah, rasanya memalukan sekali jika ia kembali datang hanya selang beberapa jam untuk menerima tawaran itu.
“Apa yang terjadi padamu, Rora?? Harusnya kau menurunkan harga dirimu di situasi seperti ini!” erangnya, sambil merebahkan kasar tubuhnya di atas kasur.
“Kalau aku kembali lagi ke sana, apakah dia akan menertawakanku?”
Dilema itu kini menyiksanya. Namun ia merasa tak memiliki jalan keluar lagi selain menerima tawaran itu. Jika itu hanya pernikahan kontrak, pasti akan ada syarat yang menguntungkan selain hutang-hutangnya lunas, bukan? Ia bisa membicarakannya dengan Kael, setidaknya… hal itu harus menguntungkannya.
Namun…
Harga dirinya yang terlampau tinggi lagi-lagi menjadi penghalang baginya.
“Sadarlah, Rora! Tidak ada pilihan lagi!” serunya lagi ke dirinya sendiri.
Ketukan kencang dari pintu kembali terdengar, diakhiri dengan teriakan pemilik penginapan yang menyuruhnya untuk segera keluar dari tempat itu.
Aurora menegakkan tubuhnya, lalu menghela napas panjang. Ya, memang tidak ada pilihan lagi. Aurora dengan enggan merapikan barang-barangnya, lalu keluar dari ruangan itu dan pergi ke resepsionis untuk membayar.
Aurora menyodorkan lembaran terakhir dari dompetnya, tangannya bergetar, seakan tak rela untuk menyerahkan harta terakhirnya pada resepsionis. Tapi, ia harus menyelamatkan martabatnya sebelum pergi.
Resepsionis menerima lembaran itu, sambil terus menunjukkan sorot meremehkan pada Aurora. Sementara Aurora berusaha untuk tidak terpancing dengan semua itu.
Setelah melakukan semuanya, ia benar-benar hanya memiliki sisa uang yang cukup hanya untuk sepotong roti, dan dunia yang seakan tak menyediakan tempat lagi untuknya.
“Apa aku benar-benar harus kesana lagi?”
Ponsel yang berada di saku, ia rogoh dan segera mencari nama Luther di antara daftar nama kontak yang tidak berguna sama sekali.
Tangannya sedikit gemetar, pikirannya sedang berdebat lagi dengan perasaannya. Ia ragu apakah harus menghubungi nomor Luther yang tadi ia dapatkan sebelum pulang dari gedung penthouse milik Kael.
Pada akhirnya, nada sambung itu terdengar.
[Nona Vallen? Ada yang bisa aku bantu?]
“Luther… ehmm… jadi begini… apakah… well… kau ada di mana?”
[Di tempat Tuan Vireaux. Apakah Nona mau kesini lagi? Aku akan sampaikan padanya.]
Jantung Aurora berdebar kencang. Ia tidak tahu harus menjawab seperti apa. Ia ingin kesana—tampaknya harus kesana—tapi ia terlalu gengsi untuk mengatakannya.
“Aku—”
[Kata Tuan Vireaux, kau ditunggu di penthouse sekarang juga. Hari sudah mulai malam, kau pasti butuh untuk makan malam, kan?]
“Hah?”
[Tuan Vireaux menunggumu. Datanglah segera.]
Panggilan berakhir.
***
Beberapa lembar dokumen berserakan di atas meja. Aurora mengernyitkan wajahnya, heran dengan apa saja yang telah ditulis oleh Kael di sana.
Ya, pada akhirnya… Aurora kembali ke penthouse setelah membunuh harga dirinya. Tak ada lagi jalan yang bisa ia lalui kecuali hal ini.
“Apa saja itu?” tanya Aurora, tidak bisa menahan rasa penasarannya lagi.
Kael mendongak setelah meletakkan satu lembar terakhir di atas meja. Ia menyeringai tipis saat menatap wajah Aurora yang kebingungan.
“Kontrak pernikahan, rekening tabungan yang akan kau gunakan selama menjadi istriku, sertifikat apartemen baru sebagai kompensasi tambahan dalam pernikahan ini selain hutang-hutangmu yang akan kubayar lunas, dan mungkin beberapa klausul tambahan yang mau kau tambahkan.”
Kael menjawabnya dengan tenang. Ia kembali bersandar di sofa—tempat yang sama, saat Aurora meninggalkan penthouse tadi.
“Tunggu, jadi… kau akan memberiku apartemen baru?” Aurora masih berusaha mencerna semuanya.
Sebelah alis Kael berkedut cepat. Seringai itu kembali tertarik di sebelah sudut bibirnya, membuat Aurora merasa kesal.
“Apartemen baru, lengkap dengan isinya, dan akan kuberikan setelah kontrak kita berakhir.”
Aurora mulai menimbang semua benefit yang ia terima. Hutang lunas, dan mendapatkan apartemen baru, tampaknya itu sudah cukup baginya. Ia hanya perlu mendapat pekerjaan setelah itu. Itu artinya, ia tak membutuhkan klausul tambahan lagi.
Aurora kemudian membaca dokumen pernikahan kontrak, membaca semua klausulnya, lalu kembali menatap Kael.
“Apa syarat teranehnya? Well… aku harus tahu semua hal yang mendalam, kan? Mungkin saja ada syarat aneh yang tidak kau cantumkan di sini.” Aurora menggoyang pelan dokumen yang ia pegang.
Kael menatap datar, sikapnya masih angkuh, sama seperti pertama kali Aurora melihatnya. “Kita tidur terpisah. Dan satu lagi, kau tidak boleh jatuh cinta padaku.”
Aurora nyaris tertawa mendengarnya. Ia hanya mengeluarkan suara aneh saat berusaha menahan tawanya. “Tenang saja. Kau bukan tipeku.”
“Kalau begitu, tanda tangani kontrak itu segera. Aku tidak ingin membuang waktu lagi.” Kael melempar pena ke atas meja, sambil memberikan kode dengan gerakan matanya agar Aurora segera mengambilnya.
Sambil mendengus kecil, Aurora meraih pena itu, dan segera memberikan tanda tangannya di tempat yang telah disediakan. Dengan goresan terakhirnya, ia resmi menyetujui kontrak yang beberapa jam lalu ia tolak.
Ironis sekali.
Seringai puas tertarik di sudut bibir Kael. Ia berdiri, memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana dan menatap Aurora dengan senyuman.
“Selamat Mrs. Vireaux. Kita akan menikah tengah malam ini juga.”
“Baru pulang?” Sedikit berjingkat, Ezra tetap menarik pintu utama sampai menutup. Aurora sedikit memiringkan kepala, dengan sebelah tangan memegang cangkir keramik hitam. Aroma earl grey menguar pekat, tampaknya baru saja diseduh.“Seperti yang kau lihat. Kenapa kau belum tidur?” Tak langsung pulang setelah menemui Celeste, Ezra berkeliaran sampai malam di sekitar mansion milik Bastien untuk mencari tahu tentang Elias.Pria tua itu tidak mengizinkannya mendekat selama misi belum selesai. Sementara ia harus memastikan apakah adiknya itu telah mengonsumsi obatnya dengan baik atau tidak. Ucapan Bastien tidak bisa dipegang. “Menunggu Kael pulang.” Aurora menjawab dengan nada gelisah.Alis Ezra bertaut. “Bukankah dia bilang akan segera pulang?”Aurora berbalik, melangkah menuju ruang makan. Gerakannya gugup, wajahnya berkali-kali mengernyit samar. “Itulah yang sedang kupertanyakan. Kenapa dia belum pulang?”“Kau sudah mencoba untuk menghubunginya?” tanya Ezra.“Setiap satu jam sekali.” S
“Ezra Roux?”Ezra mendongak, matanya menyipit lalu berdiri. Satu tangannya memberikan gerakan elegan untuk mempersilakan seorang wanita mengenakan dress A-line maroon ketat dengan lipstik warna serupa.“Silakan duduk, Celeste Belmont.” Suara Ezra terdengar ramah. “Terima kasih sudah meluangkan waktu.”Celeste, mantan tunangan Kael Vireaux yang berhasil dihubungi oleh Ezra—tentu saja dengan campur tangan Bastien di dalamnya—memandang penuh rasa penasaran. Tepat ketika wanita itu duduk, pelayan kafe mendatangi dengan notes kecil di tangan.“Sudah siap pesan, Nona?&rdq
Bangsat!Hanya itu satu kata yang bisa diucapkan Ezra setelah sambungan teleponnya dengan Bastien Vireaux berakhir. Ponsel yang ada di genggaman nyaris dibanting, namun ia mampu menahannya meski harus menahan gemuruh dalam dada. Pikirannya saat ini hanya tertuju pada Elias. Apakah adiknya baik-baik saja di tangan psikopat berdarah dingin itu?Keputusan untuk masuk ke dalam rencana Bastien bukanlah hal yang ia rencanakan. Semuanya berawal dari utang yang tidak bisa dibayarkan. Perusahaan tempatnya bekerja dengan sepihak memecatnya hanya karena terlambat dua kali. Memang salah Ezra, tapi tetap tidak adil karena ia hanya terlambat tidak lebih dari lima belas menit.Jika dipikir lagi, Ezra yakin semua itu ada sangkut pautnya dengan Bastien. Pria tua itu, seseorang yang telah meminjamkan sejumlah uang untuk pengobatan adiknya yang terkena kanker leukimia begitu orang tuanya meninggal karena kecelakaan. Ia tak pernah menyangka Bastien akan mematok harga mahal selain bunga yang harus dibaya
Sedikit canggung selama perjalanan kembali ke Vallmont. Dan menjadi lebih canggung lagi ketika mereka sampai di sebuah rumah dengan lantai satu di kawasan elite Vallmont yang memiliki penjagaan berlapis. Yang artinya, akan sulit bagi selain penghuni perumahan untuk mengakses kawasan ini.Kael terus menunjukkan sikap over protektifnya terhadap Aurora. Ezra tampaknya tidak begitu peduli dengan itu. Ia hanya terlihat sedang mengagumi semua hal yang ada di dalam rumah baru mereka. Sementara Aurora, berusaha dengan keras untuk tetap menjaga suasana di antara Kael dan Ezra menjadi sedikit… normal.Sang kakak yang setiap detik ingin memenggal kepala sang adik. Dan sang adik yang tidak memiliki takut untuk melewati batas teritorial yang telah ditetapkan sang kakak, terutama mengenai interaksi dengan Aurora.“Aku tidak mengerti kenapa kau sampai harus mengamankan situasi.” Ezra memperhatikan sekeliling rumah. “Apakah ada hal mengerikan yang pernah terjadi?”Satu pertanyaan itu berhasil membua
Semua yang diceritakan oleh Ezra, semua yang digambarkan mengenai sosok Isabelle Lambert, itu semua sangatlah… Isabelle Lambert. Aurora seakan sedang melihat tayangan ulang bagaimana kehidupan ibunya yang tak pernah bisa ia jangkau dari kalimat demi kalimat yang Ezra lontarkan.Mungkin, Aurora mulai bisa menerima jika ternyata ia memiliki seorang adik.Sedikit.Belum sepenuhnya, namun ada setitik rasa percaya pada alur kehidupan yang dipresentasikan oleh laki-laki itu.Sementara Kael, jelas ia masih berada pada titik dinginnya. Ucapan dan bukti yang disodorkan padanya dimentahkan begitu saja. “Dia memiliki hasil tes DNA itu, Luther,” desis Kael, ketika ia tersambung dengan Luther.[Dan Anda percaya dengan hasil selembar kertas itu?]“Jelas tidak. Tapi aku tidak bisa membuat Rora membuka matanya. Sepertinya dia mulai percaya dengan bocah tengik itu.”[Aku harus menyelidikinya dulu untuk memastikan apakah Ezra benar-benar putra dari Tuan Lucien dan Isabelle. Jika dia datang tidak memil
Ezra tak hanya bicara omong kosong saat mengatakan menyimpan bukti bahwa dirinya juga merupakan seorang Vireaux. Karena Kael menolak untuk pergi ke rumah Ezra yang berada di kawasan yang tidak jauh dengan villa milik orang tua Luther, pria yang mengaku sebagai adik dari Aurora dan Kael itu membawa sertifikat kelahirannya ke villa.Selembar kertas tebal itu masih terselip di tangan Kael. Keasliannya, sangat sulit untuk diragukan. Hasil tes DNA pun disertakan dengan hasil 99.9% memiliki kesamaan dengan Lucien Vireaux. “Tidak mungkin.” Kael bergumam pelan.Alis Ezra mengedik cepat, seolah ia sudah bisa memprediksi reaksi dari Kael. “Aku tidak pernah berniat untuk mengklaim diriku sebagai bagian dari Vireuax, Brother. Tapi aku juga butuh bukti yang kuat kalau-kalau… aku harus membuktikan siapa diriku sebenarnya.” Ezra menghela napasnya berat. “Hidup sebagai anak haram, bukan kah itu hal yang paling berat? Terlebih hasil dari skandal besar Lucien Vireaux dan Isabelle Vallen.”Di sebelah