“Apakah aku harus memelukmu?” bisik Kael, tepat di sebelah telinga Aurora. Helaan napasnya yang sedikit berat terasa menyapu tengkuk Aurora.
“Tidak!”
Aurora menarik dirinya cepat, sampai hampir terjengkang. Kael dengan cepat menarik lengan wanita itu dan menahannya. Detak jantung Aurora semakin cepat, nyaris melompat dari dadanya.
“A-aku… aku tidak tahu kalau ini kamarmu. Aku yakin masuk ke kamarku!” Suara Aurora naik satu oktaf karena panik. Ia berusaha menjelaskannya dengan cepat, tak ingin Kael salah paham.
“Rupanya kau pandai beralasan.” Kael melepaskan genggamannya, suaranya berat dan serak—sisa dari tidur yang baru saja terbangun.
“Bukan begitu! Sudah kubilang aku tidak tahu kalau ternyata aku masuk ke kamarmu. Lampunya padam, aku tidak bisa melihat dengan benar ketika gelap, dan… aku belum hafal dengan lorong di tempat ini dan—”
“Kau berakhir menindihku,” ujar Kael lagi, dengan nada menggoda.
Aurora tak bisa mendebatnya. Pada kenyataannya, ia memang telah menindih Kael tanpa aba-aba. Sepertinya, ia tadi sempat menyikut tulang Kael, entah di bagian yang mana.
“Kau terluka?” tanyanya tiba-tiba.
“Terluka?” Kael mengulang, tampak bingung dengan topik pembicaraan yang tiba-tiba berganti.
“Well… sepertinya aku tadi sempat menyikutmu. Apa kau merasa sakit?” tanya Aurora, kini berubah cemas daripada panik karena salah masuk kamar.
Kael tak langsung menjawab. Ia memperhatikan siluet wajah Rora yang bisa ia tangkap dalam gelap kamarnya. Raut gelisah yang tak dibuat-buat, dan sorot mata cemas yang tetap terlihat berkilau di tengah gelap.
Melihat itu, ekspresi angkuhnya mulai goyah. Ia mulai melihat Aurora bukan hanya sebagai bagian dari rencananya. Ada sesuatu yang tak bisa ia abaikan hanya karena sikap wanita itu saat ini. jantungnya mulai sedikit berdebar, tapi dengan cepat ia netralkan dengan helaan napas kasar.
“Kau mau apa kalau aku merasa sakit?” tanya Kael, kali ini dengan nada bicara yang lebih normal.
Aurora membetulkan posisi duduknya, masih berhadapan dengan Kael, dan mencoba untuk menangkap wajah pria itu sambil menyipitkan kedua matanya. “Aku akan membuatmu merasa lebih nyaman.”
Kael tertawa pelan. Semua sikap dan jawaban Aurora sungguh berada di luar perkiraannya. Ia mendekat, menatap lebih dekat wajah Aurora di kegelapan, membuat wanita itu memundurkan sedikit kepalanya.
“Jadi, apa kau merasa sakit? Apa yang harus kulakukan?” Aurora mengulangi pertanyaannya.
Helaan napas terdengar lagi dari Kael. Helaannya berat, seakan tak memahami dengan apa yang ia pikirkan sendiri. “Kau hanya harus turun dari kasurku dan kembali ke kamarmu.”
Aurora terhenyak, masih menatap Kael dengan bingung, lalu segera melompat dari kasur, terhuyung ke belakang. “Ah, ya… kau benar….”
Kael menunggu pergerakan, tapi tak ada perubahan pada detik-detik selanjutnya. Aurora tetap di tempatnya, menatap sekeliling dengan resah.
“Apa yang kau tunggu?” Kael kembali bertanya.
Aurora terkesiap. Ia mundur selangkah, dua langkah, lalu berhenti lagi.
Kael memperhatikannya dengan alis tertaut. “Atau… kau mau tidur bersamaku di sini? Kasurku masih cukup lebar kalau kau memang ingin.”
Aurora mendengus, lalu menyibak rambutnya dan berkata, “Kau harus patuh dengan kontrak yang telah kau buat sendiri, Kael. Aku hanya… yah, gelap tidak terlalu menyeramkan. Aku akan pergi, selamat malam atas keramahanmu malam ini, Tuan Vireaux!”
Tanpa menunggu jawaban Kael, ia berbalik, meraba gelap dan perlahan keluar dari kamar Kael.
Ah, sial.
Aurora malu setengah mati, bagaimana bisa dia lompat ke kasurnya Kael? Namun, itu bukan sepenuhnya salahnya. Kenapa juga lampu di penthouse mewah bisa padam?
Dan ketika Aurora berhasil masuk ke dalam kamarnya sendiri, lampu kembali menyala.
“Apa-apaan itu?” erangnya kesal, lalu menghempaskan tubuhnya ke kasur—kali ini benar-benar kasurnya sendiri.
***
Beberapa hari setelah pernikahan mereka, Aurora menemukan berita tentang media yang mulai menebak soal istri rahasia dari Kael Vireaux. Foto kabur Aurora tersebar di tabloid gosip, dengan judul ‘Istri Rahasia Sang Raja Bisnis Vireaux’.
Ketika Kael pulang dari kantor, Aurora bergegas keluar dari kamar, mengejar Kael yang hampir masuk ke dalam kamar pria itu.
“Tunggu, Kael!” seru Aurora, nyaris berlari.
Kael dengan santai, dan tetap dengan tatapan tajam, memandang Aurora dari atas ke bawah. Ia seakan sedang menilai, masalah apa yang mungkin telah ditimbulkan oleh wanita itu.
“Kau tidak hampir membakar penthouse, kan?” Suara Kael terdengar sinis.
“Hei!” seru Aurora, tidak terima dengan tuduhan itu. “Ini bukan saatnya bertengkar. Ada hal penting yang harus kau lihat. Atau… mungkin kau sudah melihatnya?”
Aurora telah mendapatkan perhatian penuh dari Kael. Pria itu telah berbalik, menghadap lurus ke arah Aurora. “Katakan, apa yang kau maksud?”
“Berita itu!” seru Aurora panik. “Kau sudah melihatnya? Ada fotoku di sana, mereka menyebutku sebagai istri rahasia sang raja bisnis Vireaux!”
Hening.
Aurora mengerutkan keningnya. Ia cukup heran kenapa tidak respon sama sekali dari Kael. Ia bahkan mengulang ucapannya, lalu berdehem satu kali.
“Relax, Rora.”
Hanya itu yang diucapkan Kael. Selebihnya, ia hanya menyeringai tipis, mengejek kepanikan Aurora yang menurutnya berlebihan.
“Relax??” Aurora jelas tak bisa panik dalam situasi ini. “Bagaimana aku bisa relax dengan berita-berita itu?? Fotoku tersebar di banyak tabloid gosip, bagaimana kalau kontrak pernikahan kita sampai bocor??”
Kael masih santai, menatap Aurora datar. Ia sama sekali tidak terganggu dengan berita besar yang dibalut dengan kepanikan Aurora tersebut.
“Kael!” seru Aurora.
“Aku sudah menyuruhmu tenang, tapi kau masih berteriak dan membuang tenaga. Santai, itu adalah bagian dari permainan,” ucap Kael, tetap tenang.
“Permainan?” Aurora jelas tidak mengerti dengan maksud dari pria itu. “Apa yang kau maksud?”
“Apakah harus kujelaskan semuanya, Rora? Tidak.” Suara Kael tetap rendah, tapi terdengar tegas dengan sorot mata tajam menatap langsung ke kedua mata Aurora.
Alih-alih merasa terintimidasi, Aurora malah kesal dengan sikap Kael yang dianggap terlalu mendominasi. Yang diketahui oleh Rora, pernikahan mereka didasari latar belakang saling membutuhkan. Namun, kenapa Kael bersikap seolah hanya pria itu yang telah menyelamatkan Aurora? Bukankah ia juga menyelamatkan Kael dari tuntutan menikah?
“Bagian dari permainan? Permainan apalagi yang sedang kau mainkan?” Aurora tidak menyembunyikan kekesalannya saat melontarkan pertanyaan itu.
“Otak kecilmu itu rupanya tak bisa membaca situasi dengan benar.” Kael berdecak, mulai kesal dengan sikap Aurora yang dianggapnya terlalu lancang.
“Otak kecil?!” teriak Aurora. “Ok! Coba jelaskan dengan detail agar otak kecilku ini bisa mengerti bagian dari permainan yang kau maksud itu!”
Kael menghela napas panjang, lalu berjalan melewati Aurora. Pria itu berjalan santai menuju ke mini bar. Aurora menoleh, mengikuti pria itu dengan tatapannya.
Kael meraih sebotol whisky yang tinggal separuh, lalu menuangnya pelan di gelas. Gerakannya tak tergesa, seolah mengejek Aurora yang telah berapi-api sejak awal.
“Alasanku menikah denganmu, kau tentu sudah tahu, kan?” Kael memulai pembahasan ini.
Aurora mengangguk pelan, tapi masih belum mengerti kaitannya dengan rumor itu.
“Aku membutuhkan status untuk mengamankan posisiku sebagai CEO Vireaux Group, dan rumor itu adalah caraku untuk menunjukkan pada semua orang kalau aku sudah menikah. Aku sengaja memburamkan fotomu, jadi… kau tenang saja.”
Aurora membuka mulutnya, terkejut dengan penjelasan itu. “Kenapa kau tidak memberitahuku sebelumnya?”
“Aku sudah membayar hutangmu lunas, dan kau tidak perlu ikut campur dengan urusanku.” Kael menyesap whisky-nya, lalu menatap datar pada Aurora.
“Apakah kau tidak berpikir kalau kau terlalu mengendalikan situasi?” Aurora menatap tajam pada Kael.
Kael menghela napas kasar. Gelas yang dari tadi ada di tangannya, kini diletakkan di atas meja bar dan ditinggalkan begitu saja. Pria itu melewati Aurora lagi tanpa menatapnya.
“Berhenti mendebat hal itu, dan bersihkan saja lemari di buku itu agar pikiranmu jadi lebih tenang. Kudengar bersih-bersih bisa meredamkan emosi.” Kael menunjuk lemari buku yang ada di ruang santai.
“Hei!” teriak Aurora.
“Lakukan, atau aku akan menyuruhmu tidur di jalanan!” Kael mengatakannya sebelum menutup pintunya keras-keras.
Aurora tertegun sejenak, menatap penuh amarah pada pintu kamar Kael. Tangannya mengepal erat, sebelum kemudian ia menghela napas panjang dan mulai berjalan menuju ke lemari buku.
“Sekarang dia memperlakukanku seperti pembantunya, sialan!”
Meski begitu, Aurora tetap melakukannya. Ucapan Kael memang benar, bersih-bersih bisa membuat pikirannya menjadi sedikit lupa dengan perdebatan mereka.
Buku-buku yang ada di lemari itu adalah koleksi buku lama yang masih terlihat bagus. Aurora tidak yakin jika Kael pernah membaca semuanya, tidak mungkin.
“Tidak ada debu, lalu apa yang harus kubersihkan?” gumamnya.
Tentu saja tidak ada debu, karena setiap hari ada pembantu yang datang untuk membersihkan rumah—hanya membersihkan rumah, karena Kael terlalu rewel untuk urusan makanan—jadi, Aurora hanya merapikan letak buku itu saja, dan memeriksa laci untuk melihat apakah ada sampah yang harus disingkirkan dari sana.
Ketika ia membuka satu laci di urutan paling bawah, ia menemukan satu pigura lawas yang kacanya retak, menjalar dari ujung atas, merambat sampai ke tengah.
Namun, bukan itu yang membuat Aurora membelalakkan mata dan menahan napas. Melainkan apa yang ada di balik kaca pigura itu.
Itu adalah foto Kael waktu kecil, Aurora yakin karena pernah melihat wajah yang sama di meja kerja milik Kael. Dan seorang pria dewasa di belakang Kael, itu pasti ayahnya. Namun, seorang wanita yang berdiri di sebelah ayahnya Kael, wanita dengan lesung pipi ketika tersenyum itu, ia mengenalnya dengan jelas.
“Mom?” gumam Aurora.
Wanita itu, Aurora mengenalinya sebagai ibu kandungnya yang telah lama meninggal. Namun, kenapa bisa sampai ibunya berfoto dengan Kael dan ayahnya? Mungkinkah, ayahnya Kael adalah pria itu?
Diam-diam, Aurora mengambil foto itu dan menyimpannya. Ia membawanya ke dalam kamarnya, meletakkannya di dalam lemari, lalu ia duduk di tepi ranjang dengan pikiran yang berputar.
Apakah Kael mengetahui bahwa wanita di dalam foto itu adalah ibu kandungnya Aurora? Jika Kael tahu tentang siapa dirinya sebenarnya, apakah pernikahan kontrak ini akan diteruskan?
“Baru pulang?” Sedikit berjingkat, Ezra tetap menarik pintu utama sampai menutup. Aurora sedikit memiringkan kepala, dengan sebelah tangan memegang cangkir keramik hitam. Aroma earl grey menguar pekat, tampaknya baru saja diseduh.“Seperti yang kau lihat. Kenapa kau belum tidur?” Tak langsung pulang setelah menemui Celeste, Ezra berkeliaran sampai malam di sekitar mansion milik Bastien untuk mencari tahu tentang Elias.Pria tua itu tidak mengizinkannya mendekat selama misi belum selesai. Sementara ia harus memastikan apakah adiknya itu telah mengonsumsi obatnya dengan baik atau tidak. Ucapan Bastien tidak bisa dipegang. “Menunggu Kael pulang.” Aurora menjawab dengan nada gelisah.Alis Ezra bertaut. “Bukankah dia bilang akan segera pulang?”Aurora berbalik, melangkah menuju ruang makan. Gerakannya gugup, wajahnya berkali-kali mengernyit samar. “Itulah yang sedang kupertanyakan. Kenapa dia belum pulang?”“Kau sudah mencoba untuk menghubunginya?” tanya Ezra.“Setiap satu jam sekali.” S
“Ezra Roux?”Ezra mendongak, matanya menyipit lalu berdiri. Satu tangannya memberikan gerakan elegan untuk mempersilakan seorang wanita mengenakan dress A-line maroon ketat dengan lipstik warna serupa.“Silakan duduk, Celeste Belmont.” Suara Ezra terdengar ramah. “Terima kasih sudah meluangkan waktu.”Celeste, mantan tunangan Kael Vireaux yang berhasil dihubungi oleh Ezra—tentu saja dengan campur tangan Bastien di dalamnya—memandang penuh rasa penasaran. Tepat ketika wanita itu duduk, pelayan kafe mendatangi dengan notes kecil di tangan.“Sudah siap pesan, Nona?&rdq
Bangsat!Hanya itu satu kata yang bisa diucapkan Ezra setelah sambungan teleponnya dengan Bastien Vireaux berakhir. Ponsel yang ada di genggaman nyaris dibanting, namun ia mampu menahannya meski harus menahan gemuruh dalam dada. Pikirannya saat ini hanya tertuju pada Elias. Apakah adiknya baik-baik saja di tangan psikopat berdarah dingin itu?Keputusan untuk masuk ke dalam rencana Bastien bukanlah hal yang ia rencanakan. Semuanya berawal dari utang yang tidak bisa dibayarkan. Perusahaan tempatnya bekerja dengan sepihak memecatnya hanya karena terlambat dua kali. Memang salah Ezra, tapi tetap tidak adil karena ia hanya terlambat tidak lebih dari lima belas menit.Jika dipikir lagi, Ezra yakin semua itu ada sangkut pautnya dengan Bastien. Pria tua itu, seseorang yang telah meminjamkan sejumlah uang untuk pengobatan adiknya yang terkena kanker leukimia begitu orang tuanya meninggal karena kecelakaan. Ia tak pernah menyangka Bastien akan mematok harga mahal selain bunga yang harus dibaya
Sedikit canggung selama perjalanan kembali ke Vallmont. Dan menjadi lebih canggung lagi ketika mereka sampai di sebuah rumah dengan lantai satu di kawasan elite Vallmont yang memiliki penjagaan berlapis. Yang artinya, akan sulit bagi selain penghuni perumahan untuk mengakses kawasan ini.Kael terus menunjukkan sikap over protektifnya terhadap Aurora. Ezra tampaknya tidak begitu peduli dengan itu. Ia hanya terlihat sedang mengagumi semua hal yang ada di dalam rumah baru mereka. Sementara Aurora, berusaha dengan keras untuk tetap menjaga suasana di antara Kael dan Ezra menjadi sedikit… normal.Sang kakak yang setiap detik ingin memenggal kepala sang adik. Dan sang adik yang tidak memiliki takut untuk melewati batas teritorial yang telah ditetapkan sang kakak, terutama mengenai interaksi dengan Aurora.“Aku tidak mengerti kenapa kau sampai harus mengamankan situasi.” Ezra memperhatikan sekeliling rumah. “Apakah ada hal mengerikan yang pernah terjadi?”Satu pertanyaan itu berhasil membua
Semua yang diceritakan oleh Ezra, semua yang digambarkan mengenai sosok Isabelle Lambert, itu semua sangatlah… Isabelle Lambert. Aurora seakan sedang melihat tayangan ulang bagaimana kehidupan ibunya yang tak pernah bisa ia jangkau dari kalimat demi kalimat yang Ezra lontarkan.Mungkin, Aurora mulai bisa menerima jika ternyata ia memiliki seorang adik.Sedikit.Belum sepenuhnya, namun ada setitik rasa percaya pada alur kehidupan yang dipresentasikan oleh laki-laki itu.Sementara Kael, jelas ia masih berada pada titik dinginnya. Ucapan dan bukti yang disodorkan padanya dimentahkan begitu saja. “Dia memiliki hasil tes DNA itu, Luther,” desis Kael, ketika ia tersambung dengan Luther.[Dan Anda percaya dengan hasil selembar kertas itu?]“Jelas tidak. Tapi aku tidak bisa membuat Rora membuka matanya. Sepertinya dia mulai percaya dengan bocah tengik itu.”[Aku harus menyelidikinya dulu untuk memastikan apakah Ezra benar-benar putra dari Tuan Lucien dan Isabelle. Jika dia datang tidak memil
Ezra tak hanya bicara omong kosong saat mengatakan menyimpan bukti bahwa dirinya juga merupakan seorang Vireaux. Karena Kael menolak untuk pergi ke rumah Ezra yang berada di kawasan yang tidak jauh dengan villa milik orang tua Luther, pria yang mengaku sebagai adik dari Aurora dan Kael itu membawa sertifikat kelahirannya ke villa.Selembar kertas tebal itu masih terselip di tangan Kael. Keasliannya, sangat sulit untuk diragukan. Hasil tes DNA pun disertakan dengan hasil 99.9% memiliki kesamaan dengan Lucien Vireaux. “Tidak mungkin.” Kael bergumam pelan.Alis Ezra mengedik cepat, seolah ia sudah bisa memprediksi reaksi dari Kael. “Aku tidak pernah berniat untuk mengklaim diriku sebagai bagian dari Vireuax, Brother. Tapi aku juga butuh bukti yang kuat kalau-kalau… aku harus membuktikan siapa diriku sebenarnya.” Ezra menghela napasnya berat. “Hidup sebagai anak haram, bukan kah itu hal yang paling berat? Terlebih hasil dari skandal besar Lucien Vireaux dan Isabelle Vallen.”Di sebelah