Menjalani kehidupan sebagai seorang istri dalam pernikahan kontrak ini, nyatanya tidak terlalu sulit seperti yang dibayangkan sebelumnya. Aurora hanya perlu mencoba untuk menjaga jarak dengan Kael—karena masih memikirkan tentang foto ibunya yang ia temukan di laci bawah lemari buku.
Sebenarnya itu bukan hal yang besar bagi Aurora. Sejujurnya ia tak memiliki emosi untuk itu. Keberadaan ibunya hanya sebatas mengetahui bahwa ia lahir dari rahim wanita bernama Isabelle Lambert, dan setelah itu… ia bahkan tak pernah mendapatkan kasih sayangnya.
Isabelle Lambert menikah dengan Matthew Vallen karena sebuah kesalahan. One night stand, dan harus menikah karena mengandung dirinya. Selebihnya, Isabelle tak pernah mencintai Matthew.
Benci?
Well, Aurora bohong jika mengatakan tidak pernah membenci ibunya. Apalagi ketika di masa remaja, ia mengetahui bahwa Isabelle meninggalkan dirinya dan suaminya karena seorang pria yang datang tiba-tiba di kehidupannya, lalu mereka menjalin cinta terlarang yang sangat kuat dan berbahaya.
Semenjak itu, Aurora tak pernah memikirkan tentang ibunya. Kenapa dan bagaimana Isabelle mampu melakukan semua itu padanya, telah diganti dengan kalimat penutup yang membuatnya berhasil tidak pernah mempertanyakan hal itu lagi.
‘Aurora ditakdirkan lahir melalui rahimnya, tapi tidak untuk perhatian dan kasih sayangnya. Aurora hanyalah hadiah dari semesta untuk Matthew Vallen, bukan untuk Isabelle Lambert.’
Setelah melakukan afirmasi itu hampir satu tahun, ia berhasil melepaskan semua ikatan emosional pada Isabelle yang tak pernah terbalas.
Dan sekarang, ia hanya takut Kael mengetahui siapa dirinya sebenarnya—putri dari perusak rumah tangga orang tuanya—lalu membatalkan pernikahan ini, dan akhirnya ia kehilangan hak untuk apartemen yang telah dijanjikan oleh pria itu. Jika sampai itu terjadi, berarti ia harus siap-siap ditendang dari penthouse ini, dan saat itu juga… ia akan resmi menjadi gelandangan muda yang mengenaskan.
Yah, setidaknya ia tak lagi memiliki beban utang. Namun tetap saja, Aurora tak ingin mau menjadi gelandangan.
Ketika memikirkan hal itu untuk pertama kalinya, ia sadar bahwa harga dirinya telah mati karena tuntutan hidup. Ia mulai bersiap realistis, persetan dengan harga diri. Nyatanya, ia bahkan menandatangani kontrak itu dan menikah dengan Kael.
Setelah malam itu—ketika menemukan foto ibunya—dan malam sebelumnya ketika ia menindih Kael dalam insiden mati lampu itu, Aurora memutuskan untuk menjaga jarak. Selain takut Kael menendangnya keluar, ia juga merasa canggung tiap mengingat napas lembut pria itu yang menerpa tengkuknya.
Namun masalahnya, rencana briliannya itu tampaknya tidak berjalan dengan sempurna. Semakin ia menjaga jarak dengan Kael, semakin pula ia terlibat dengan pria itu secara tak sengaja. Well, sepenuhnya itu bukanlah sebuah kebetulan, karena bagaimanapun juga, mereka tinggal satu atap. Rencana Aurora itu sudah jelas gagal dari awal.
Wanita itu, dengan naifnya berusaha untuk mengamankan posisinya, tanpa tahu bahwa keberadaannya di sisi Kael adalah satu rencana pria itu untuk membalas dendam atas perbuatan Isabella Lambert di masa lalu.
“Kau yakin dia menemukan foto itu?” Kael mendongak, memperhatikan Luther setelah membaca satu dokumen pekerjaannya.
Luther mengangguk, membuat Kael meletakkan dokumen itu di meja kerjanya, lalu bangkit dari kursi kerajaannya. Langkahnya pelan, tapi tegas. Membawanya bersandar di ujung meja dengan kedua tangan terlipat di dada. Seringai tipis menarik salah satu sudut bibirnya.
“Jadi itu yang membuatnya menghindariku beberapa hari ini?” Kael menyipitkan kedua matanya. “Menarik. Dia pikir aku tidak tahu siapa dirinya.”
“Nona Aurora sangat berhati-hati akhir-akhir ini. Aku curiga ada hal yang tidak seharusnya terjadi, sampai aku mendengarnya bergumam tentang foto ibunya dan ketakutannya akan pernikahannya dengan Anda.” Luther kembali menjelaskan.
“Aku tak mengira dia lebih takut kutendang ke jalanan daripada mencari tahu kenapa ibunya bisa berfoto bersamaku dan pria tua itu.” Suara Kael berat, sarat emosi yang ia coba samarkan.
“Aku yakin ada alasannya. Dari latar belakangnya yang telah aku pelajari, dia memang tidak pernah bersama dengan ibunya. Bahkan saat ibunya meninggal, dia tidak terlihat di pemakaman.”
Kael mengangguk kecil. Ia sedang menimbang hal apa yang harus dilakukannya setelah ini. Tentu saja ia tak akan menendang Aurora. Namun, ia mulai ragu dengan rencana awalnya untuk menyiksa wanita itu secara mental untuk membalas rasa sakit, kecewa, dan marahnya pada sosok Isabella.
Jika Aurora saja tak pernah mendapatkan kasih sayang ibunya, bukankah artinya semesta telah memberikan hukuman pada wanita itu?
“Apa yang akan Anda lakukan, Tuan?” tanya Luther, setelah lama menanti kalimat Kael yang tak kunjung diucap.
“Akan kupikirkan lagi. Aku akan memperhatikannya untuk sementara waktu ini. Tetap laporkan apa saja yang dilakukan olehnya selama tidak ada di sisiku.” Kael mengakhiri percakapan itu dengan perintah yang membuat Luther mengedikkan sebelah alis.
“Baik Tuan. Akan aku lakukan.”
Luther berbalik, keluar dari ruang CEO Vireaux Group. Sementara Kael, masih tetap di posisi awal. Ia tak pernah menyangka jika rencana besarnya justru membawanya ke sebuah situasi canggung. Dan yang lebih parah, membuatnya merasa sedikit bersalah.
Sial, sejak kapan Kael Vireaux bisa merasakan rasa bersalah?
***
Aurora segera berlari ke kamarnya ketika mendengar pintu utama penthouse dibuka. Jantungnya berdebar kencang saat ia menutup pintu.
“Kenapa dia sudah pulang? Aku bahkan belum mengambil makan malamku!” geramnya, sambil menghentak pelan sebelah kakinya ke lantai kamar.
Aurora melihat jam digital di atas nakas dekat ranjang. Masih jam 18.56. Biasanya, Kael akan pulang di atas jam delapan malam.
Derap langkah pelan mendekat, Aurora menahan napas. Tanpa sadar, ia menggenggam erat gagang pintunya, bersiap untuk menahan jika saja Kael menarik pintu dan memaksanya untuk keluar.
Semenjak menyadari siapa Kael, hidupnya menjadi tidak tenang. ketakutannya hanya satu: Diusir.
“Rora, kau sudah tidur?” Untuk pertama kalinya, pria itu menyapanya lebih dulu semenjak mereka resmi menjadi suami istri.
Aurora menatap gelisah ke arah pintu. Ritme jantungnya semakin kencang, nyaris lompat dari dadanya.
“Aku tahu kau belum tidur, buka pintunya.” Suara Kael pelan, tapi berhasil membuat Aurora terlonjak dan mendesah resah.
Setelah menghela napasnya panjang beberapa kali—dengan sangat terpaksa—Aurora membuka pintu, dan memasang senyum palsu yang terlihat sangat dipaksakan.
Kael masih berdiri di depan pintu, dengan kedua tangan dijejalkan ke saku celana kerjanya. Gurat otot yang menonjol terlihat di lengan pria itu, terlihat jelas karena ia melipat lengan kemeja hitamnya sampai siku. Dengan tidak tahu malu, Aurora masih sempat memperhatikan itu di tengah keresahan dirinya.
“A-aku hampir tidur, dan kau memanggilku,” ujar Aurora, terbata dan berusaha mengalihkan perhatiannya dari lengan itu.
Kael mengangkat sedikit dagunya, menambah kesan angkuh tak tersentuh, seakan memberi batas pada wanita itu secara tak langsung, tapi dengan kesan tegas.
“Bagus, ganti bajumu sekarang, kita makan di luar.”
Tanpa menunggu jawaban, Kael telah berlalu, berjalan cepat menuju kamarnya. Sementara Aurora, masih terdiam di tempatnya, bingung dengan situasi yang sangat asing di antara mereka berdua. Apa yang sedang direncanakan pria itu? Aurora menggigit bibirnya. 'Apakah dia akan menendangku setelah makan di luar?'
Kesadaran Kael berangsur kembali. Nyeri di tengkuk masih terasa, sementara Ezra menindih tangannya yang terikat ke belakang. Punggung mereka saling berhimpitan, sementara Kira masih mendebat sikap Nick yang sudah keluar dari rencana.“Taruhannya nyawa kita!” sentak Kira, sambil menyibak kasar rambutnya ke belakang.“Tidak jika kita habisi dulu nyawa mereka semua.” Nick terdengar santai, kontras dengan Kira yang meledak-ledak.“Semua? Pria berambut hitam itu bagian dari kita juga, kan?” Kira melirik sekilas ke arah Ezra. “Kau juga mau membunuhnya?”“Bos bilang bunuh semua yang ada di rumah ini. Dia ada di sini, berarti dia juga termasuk target.” Nick kembali mengikat tali di pergelangan tangan Aurora.Kira menghela napas, lalu berjongkok di hadapan Aurora yang kehilangan kesadarannya. “Harusnya kau menurut sejak ancaman pertama dikirim. Sekarang kau harus menanggung risikonya, Princess.”Rahang Kael mengetat saat mendengar ucapan Kira. Dadanya bergemuruh, tak tahan dengan ocehan sampah
Membutuhkan beberapa saat bagi Aurora untuk memutuskan keluar kamar. Meskipun sebenarnya ada perasaan enggan untuk melihat wajah Kael, tapi pria itu pasti butuh masuk kamar untuk menyiapkan diri sebelum berangkat kerja.Bunyi klek pelan terdengar ketika Aurora memutar kunci. Hening. Tak ada suara sama sekali ketika ia melangkah. Sofa yang seharusnya menjadi tempat tidur Kael pun kosong. Kemana pria itu? Apa mungkin pria itu berada di ruang kerjanya?Penasaran, langkah Aurora mendekat pada ruangan yang selalu tertutup itu. Namun pagi ini pintunya terbuka sedikit—tidak biasanya. Tangan wanita itu meraih gagang pintu tanpa banyak berpikir, namun napasnya tertahan saat menatap hal yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.“Kael?” Suara Aurora bergetar, berhasil membuat Kael menoleh cepat, wajahnya terlihat panik. Sementara Celeste yang menindih pria itu menyeringai puas ketika Aurora membelalak di ambang pintu. “Apa yang kalian lakukan?” Suara Aurora pecah, terdengar penuh luka.Lengan K
Hanya karena pria memiliki insting berburu, bukan berarti ia bebas memburu siapa pun dan menerkamnya, kan? Ada aturan dan norma dalam sebuah hubungan—setidaknya bagi Aurora. Bercinta tanpa cinta, bagaimana bisa Kael melakukannya?Pria itu tak mengejarnya. Cukup mengecewakan, tapi juga melegakan. Saat ini Aurora tak ingin menatap wajahnya. Bayangan Kael dan Celeste sedang bergelut di atas kasur, membuatnya murka. Bagaimana pria itu mengecup, mengecap, dan menghentak. Oh, shit! Aurora tak sanggup membayangkannya.“Rora?”Aurora buru-buru menghapus air matanya. “Kau kah itu?” Ezra mendekat, menyusuri dermaga kayu menuju tepi danau—tempat Aurora dan Kael menikmati sunset waktu itu.Tak ada jawaban, hanya dehaman pelan untuk menyamarkan suara yang serak setelah terisak.“Benar kau,” ucap Ezra, lalu duduk di sebelah Aurora. “Sedang apa di sini? Ada masalah dengan Kael? Aku mendengar kalian saling teriak.”Desah frustrasi menjadi jawaban pertama yang lolos dari bibir Aurora. Tangannya salin
Tak ada sentuhan malam ini. Aurora meringkuk di balik selimut dengan pikiran liarnya tentang hubungan Kael dan Celeste waktu itu. Tak mungkin mereka hanya saling duduk berhadapan. Mantan tunangan seperti Celeste, jelas Kael pun akan tergoda meskipun tanpa cinta.Ia kembali mengingat bagaimana Kael berbicara dengan Celeste saat mereka menghadiri acara gala di Mirador Heights. Lembut, dengan tatapan yang sejauh itu tak pernah ia dapatkan. Bahkan Kael tak menepis tangan Celeste. “Jelas bohong kalau mereka tidak pernah melakukannya,” dengusnya.Hening.Kael belum keluar dari ruang kerjanya. Entah apa yang dilakukan di sana, mungkin benar sedang menghindarinya. Sial. Baru sehari Celeste masuk ke kehidupan mereka, bahkan tak saling bertatap tapi telah berhasil mengubah situasi. Tak pernah sedetik pun Kael meninggalkan malamnya sejak mereka saling mengungkap perasaan. Namun sekarang?Semakin memikirkannya, semakin rasanya ingin berteriak. Aurora sampai mencengkeram erat ujung selimut yang
Cukup sulit untuk menjaga emosi—terutama ekspresi wajah—ketika Kael menatap Ezra. Semua detail yang ada di dalam dokumen tadi masih tercetak jelas dalam pikirannya. Ezeriah Roux, mungkinkah betul Ezra?Dari foto memang sama. Namun Kael tak menutup mata dengan wajah beberapa orang yang terkadang mirip. Lebih dari itu, sebenarnya ia merasa takut membuat Aurora kecewa. Hal itu membuatnya menjadi lebih berhati-hati dalam mengambil langkah.“Jangan bilang kau mulai menyukaiku.” Ezra menyeringai, sadar dengan sorot tajam Kael yang tak lepas darinya sejak duduk di meja makan, lima menit yang lalu.Jika bukan karena Aurora yang saat ini tengah menatapnya—memastikan tidak ada pertengkaran—pasti pisau steak di genggaman kanannya telah dilempar ke arah kening pria itu.Namun detik berikutnya, ucapan Luther tadi siang kembali terngiang. Ada hal lebih penting yang harus ia lakukan saat ini selain menargetkan lubang kecil di kening pria itu. Dengan terpaksa, sudut-sudut bibirnya tertarik kaku. “Sek
“Bekas luka apa ini?” Celeste menyentuh kulit punggung Ezra—satu garis miring—seperti bekas koyakan.Ezra menoleh, sampai mampu menatap ujung pundaknya. “Kau mulai tertarik padaku?”Satu dorongan kuat dari tangan Celeste pada pundak Ezra membuat pria itu mengaduh kesakitan. “Perasaanmu digadaikan, ya?!” protes Ezra sinis, masih sedikit membungkuk karena nyeri pada tangannya yang masih dibungkus gips.Celeste meraih kaus yang telah diambil dari lemari Ezra. “Jangan menggodaku, atau itu yang akan kau dapatkan dariku.” Ezra mendengus, tak ada niatan untuk memperpanjang perdebatan. Tangannya terangkat pelan, memberikan ruang untuk Celesta yang berhati-hati agar tak menyentuh area sensitif tangan Ezra yang patah.“Ok, selesai.” Celeste menghela napasnya. “Maaf karena aku bertanya tentang bekas lukamu. Aku hanya tidak bisa menahan rasa penasaranku.”Celeste memahami jika luka seseorang pasti memiliki sejarah. Setelah Ezra hanya membalas ucapannya dengan dengusan, ia kembali merasa bersalah