“Malam ini??” Aurora benar-benar berteriak, membuat Luther yang dari tadi berdiri di dekat pintu penthouse menoleh cepat.
“Lebih cepat lebih baik, Rora. Kau sudah mengulur banyak waktu untuk keputusan ini. Jadi, saat ini kau hanya perlu mengikuti semua aturanku.” Suara Kael dingin, tak memiliki celah untuk dibantah.
Jemari Aurora saling meremas, menyembunyikan gemetar yang seketika ia rasakan. Ia memang menyetujui untuk menikah dengan Kael, tapi… ia tak pernah menyangka akan secepat itu.
“Maksudku, bagaimana persiapannya? Aku tidak memiliki apa-apa untuk pernikahan.” Aurora berusaha menyembunyikan ketegangannya.
Kael tertawa kecil. Ia berdiri, merapikan rambutnya sebentar, kemudian mendekat pada Aurora yang masih duduk. Tubuh Kael menunduk ketika berada di hadapan Aurora, menghilangkan jejak yang sejauh ini berhasil terjaga.
“Aku sudah menyiapkan semuanya. Luther akan mengantarmu ke kamar, dan kau bisa bersiap untuk pernikahan kita.”
Kael menoleh sejenak ke arah jam dinding, empat jam lagi sebelum tengah malam. “Kau memiliki cukup waktu untuk memakai gaun. Sebentar lagi pengacaraku akan datang membawa surat resmi, dan kita akan menikah tepat tengah malam ini.”
Aurora menarik tubuhnya mundur. Tatapan Kael membuatnya tak bisa bernapas dengan baik. “T-tapi… kenapa harus tengah malam?”
Kael menghela napas, tampaknya terganggu dengan semua pertanyaan Aurora. Meskipun begitu, ia tetap menjawabnya walaupun dengan desisan tak sabar dan sorot mata yang semakin tajam.
“Sudah kubilang kau telah membuang banyak waktuku, Rora. Aku kehabisan waktu, dan tengah malam nanti adalah waktu yang tepat untuk menikah. Anggap saja, pergantian hari yang juga sebagai simbol pergantian status kita.”
Tanpa sadar, Aurora tertawa pelan. Kael mengerutkan keningnya, tak memiliki jawaban tentang alasan Aurora menertawakan jawabannya.
“Ada yang lucu?” tanya Kael.
Aurora menggeleng. Ia mendorong pelan tubuh Kael sampai pria itu tegak lagi. “Aku tidak menyangka kau ternyata puitis juga. Pergantian hari yang diibaratkan dengan pergantian status, aku tidak tahu kau bisa mengucapkan hal itu.”
Wajah Kael memerah sesaat. Entah malu atau marah, Aurora tak bisa memutuskannya. Yang jelas, saat ini ia telah digiring oleh Luther menuju satu kamar yang secara mengejutkan, telah disiapkan Kael untuk dirinya.
“Bersiaplah, Tuan Vireaux tidak suka jika rencananya terlambat. Tidak perlu mengenakan makeup berlebihan, karena ini hanya sebagai syarat saja.” Luther mengatakannya sebelum menutup pintu.
“Aku tahu, Luther. Aku juga tidak memiliki rencana berdandan untuk Kael. Tapi… aku penasaran satu hal.” Aurora kembali menatap kamar bernuansa krem putih dan sedikit corak krem di beberapa furniture nya.
“Apa itu? Tanyakan saja sebelum pintu ini kututup.” Tangan Luther masih menggenggam gagang pintu.
“Sejak kapan kamar ini disiapkan? Dan… gaun itu,” tunjuk Aurora ke atas kasur. “Sejak kapan Kael memilikinya?”
Luther ikut menatap gaun itu sejenak, lalu tersenyum samar. “Sejak Tuan Vireaux memilihmu untuk menjadi istrinya. Sekarang, persiapkan dirimu. Aku harus menjemput Rudolf, pengacara Tuan Vireaux.”
Aurora tak menghalanginya lagi. Ia membiarkan Luther menutup pintu, sementara dirinya berjalan perlahan menuju ke gaun yang telah disiapkan di atas kasur.
Gaun putih dengan pola sederhana, tapi terlihat sangat elegan. Ada seni di tiap lekukan kainnya, dan Aurora yakin gaun itu pasti berharga sangat mahal.
Jantungnya berdebar kencang saat tangannya menyentuh gaun itu. Ia tak pernah memikirkan menikah di umurnya saat ini. Lebih tepatnya, ia belum pernah sekalipun memikirkan pernikahan dalam hidupnya.
Kain satin terasa lembut, putih ivory yang tak terlihat kaku, seakan sedang menggoda Aurora untuk segera mengenakannya.
“Sejak kapan gaun pernikahan menjadi secantik ini?” bisik Aurora, masih menatap lekat-lekat pada gaun itu.
***
Cincin sederhana—terlihat seperti cincin pernikahan pada umumnya—baru saja tersemat di jari manis Aurora. Cincin yang serupa pun telah berada di jari manis Kael, membuat Aurora menahan napasnya sejenak.
‘Demi apa pun di dunia ini, aku benar-benar telah menikah,’ Aurora membisikkan kalimat itu dalam hati, tepat ketika pendeta mengesahkan pernikahan mereka.
“Bahkan kau bisa memanggil pendeta selarut ini,” gumam Aurora pada Kael yang berdiri di sebelahnya.
Kael terdengar sinis dalam dengusannya. “Apa pun bisa kulakukan, Rora. Bahkan untuk menikahimu pada malam ini.”
“Kenapa aku merasa seperti dijebak olehmu,” bisik Rora, mulai menatap tajam pada Kael.
Kael tersenyum, menoleh dan membalas tatapan Rora dengan gayanya yang selalu mengintimidasi. “Bahkan jika kau merasa seperti itu, tak ada jalan keluar lagi untukmu, Mrs. Vireaux.”
“Ya… ya… aku tahu itu. Tinggal tepati saja semua yang kau janjikan untukku.” Rora dengan tak punya rasa takut menantang sosok di hadapannya, yang bahkan belum ia kenal sama sekali.
Kael menunduk, sangat dekat melewati pipinya. Embus napasnya terasa hangat, meremangkan tubuhnya tanpa ada aba-aba. “Kau selalu bisa memegang ucapanku. Selebihnya, kau hanya perlu untuk menuruti semua ucapanku.”
***
Ketika Aurora merasakan hidupnya terombang-ambing, ia tak pernah mengira akan terdampar di sebuah penthouse mewah dengan pernikahan kontrak yang baru saja ia sepakati.
Sejak beberapa waktu yang lalu, ia masih berusaha untuk mencerna takdir yang tengah ia jalani. Jika ternyata ini adalah jalannya menuju neraka, well… maka Aurora rasa, neraka tak seburuk itu. Ia hanya perlu untuk memegang teguh perjanjian kontraknya dengan Kael agar bisa selamat di dalam siksaannya.
Malam ini, Kael telah membiarkannya untuk tinggal di penthouse miliknya. Pria itu bahkan memberikan kunci utama. Tak ada aturan spesifik, kecuali aturan untuk tidak pernah membuka ruangan terkunci di ujung lorong.
Tak menjadi masalah menurut Aurora. Karena memang ia tak berencana masuk ke dalam ruangan yang ia pun bahkan tak mengetahui password dari smart lock yang terpasang di sana. Ia hanya perlu mondar-mandir dari kamarnya ke dapur untuk bertahan hidup. Selebihnya, ia tak peduli.
Namun, Aurora tak pernah mempertimbangkan tentang hal-hal lain yang bisa saja terjadi tanpa ia inginkan. Tepat ketika ia akan kembali dari dapur untuk tidur, tiba-tiba saja terjadi pemadaman listrik yang sebelumnya tak pernah terjadi di gedung itu.
Aurora membeku, dari semua hal yang tidak ia sukai di dunia ini, gelap adalah salah satunya. Namun ia menahan diri untuk tidak berteriak. Baru malam pertama di tempat ini, ia tak boleh bertingkah jika tak ingin ditendang Kael ke jalanan.
Langkahnya pelan, tangannya meraba apa pun yang ada di hadapan dan sekitarnya. Ia mencoba mengingat jalan menuju kamarnya menggunakan insting, tanpa ragu dan sangat yakin sekali dengan arah yang sedang ia tuju.
“Ah, ketemu,” ujarnya, ketika berhasil menggenggam gagang pintu.
Tanpa bicara lagi, ia mendorong pintu, dan masuk tanpa ada pikiran lain. Kakinya terus melangkah, sampai ujung kaki menendang pelan kaki ranjang. Dan tanpa memikirkan apa-apa lagi, ia segera mengempaskan badannya di kasur, sampai detik selanjutnya… ia kembali menegang.
Bukan karena gelap atau hening yang mencekam, melainkan karena ia menindih tubuh seseorang yang tengah mengerang kesal.
“Jadi, Rora… kau yakin mau tidur denganku malam ini?”
Kesadaran Kael berangsur kembali. Nyeri di tengkuk masih terasa, sementara Ezra menindih tangannya yang terikat ke belakang. Punggung mereka saling berhimpitan, sementara Kira masih mendebat sikap Nick yang sudah keluar dari rencana.“Taruhannya nyawa kita!” sentak Kira, sambil menyibak kasar rambutnya ke belakang.“Tidak jika kita habisi dulu nyawa mereka semua.” Nick terdengar santai, kontras dengan Kira yang meledak-ledak.“Semua? Pria berambut hitam itu bagian dari kita juga, kan?” Kira melirik sekilas ke arah Ezra. “Kau juga mau membunuhnya?”“Bos bilang bunuh semua yang ada di rumah ini. Dia ada di sini, berarti dia juga termasuk target.” Nick kembali mengikat tali di pergelangan tangan Aurora.Kira menghela napas, lalu berjongkok di hadapan Aurora yang kehilangan kesadarannya. “Harusnya kau menurut sejak ancaman pertama dikirim. Sekarang kau harus menanggung risikonya, Princess.”Rahang Kael mengetat saat mendengar ucapan Kira. Dadanya bergemuruh, tak tahan dengan ocehan sampah
Membutuhkan beberapa saat bagi Aurora untuk memutuskan keluar kamar. Meskipun sebenarnya ada perasaan enggan untuk melihat wajah Kael, tapi pria itu pasti butuh masuk kamar untuk menyiapkan diri sebelum berangkat kerja.Bunyi klek pelan terdengar ketika Aurora memutar kunci. Hening. Tak ada suara sama sekali ketika ia melangkah. Sofa yang seharusnya menjadi tempat tidur Kael pun kosong. Kemana pria itu? Apa mungkin pria itu berada di ruang kerjanya?Penasaran, langkah Aurora mendekat pada ruangan yang selalu tertutup itu. Namun pagi ini pintunya terbuka sedikit—tidak biasanya. Tangan wanita itu meraih gagang pintu tanpa banyak berpikir, namun napasnya tertahan saat menatap hal yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.“Kael?” Suara Aurora bergetar, berhasil membuat Kael menoleh cepat, wajahnya terlihat panik. Sementara Celeste yang menindih pria itu menyeringai puas ketika Aurora membelalak di ambang pintu. “Apa yang kalian lakukan?” Suara Aurora pecah, terdengar penuh luka.Lengan K
Hanya karena pria memiliki insting berburu, bukan berarti ia bebas memburu siapa pun dan menerkamnya, kan? Ada aturan dan norma dalam sebuah hubungan—setidaknya bagi Aurora. Bercinta tanpa cinta, bagaimana bisa Kael melakukannya?Pria itu tak mengejarnya. Cukup mengecewakan, tapi juga melegakan. Saat ini Aurora tak ingin menatap wajahnya. Bayangan Kael dan Celeste sedang bergelut di atas kasur, membuatnya murka. Bagaimana pria itu mengecup, mengecap, dan menghentak. Oh, shit! Aurora tak sanggup membayangkannya.“Rora?”Aurora buru-buru menghapus air matanya. “Kau kah itu?” Ezra mendekat, menyusuri dermaga kayu menuju tepi danau—tempat Aurora dan Kael menikmati sunset waktu itu.Tak ada jawaban, hanya dehaman pelan untuk menyamarkan suara yang serak setelah terisak.“Benar kau,” ucap Ezra, lalu duduk di sebelah Aurora. “Sedang apa di sini? Ada masalah dengan Kael? Aku mendengar kalian saling teriak.”Desah frustrasi menjadi jawaban pertama yang lolos dari bibir Aurora. Tangannya salin
Tak ada sentuhan malam ini. Aurora meringkuk di balik selimut dengan pikiran liarnya tentang hubungan Kael dan Celeste waktu itu. Tak mungkin mereka hanya saling duduk berhadapan. Mantan tunangan seperti Celeste, jelas Kael pun akan tergoda meskipun tanpa cinta.Ia kembali mengingat bagaimana Kael berbicara dengan Celeste saat mereka menghadiri acara gala di Mirador Heights. Lembut, dengan tatapan yang sejauh itu tak pernah ia dapatkan. Bahkan Kael tak menepis tangan Celeste. “Jelas bohong kalau mereka tidak pernah melakukannya,” dengusnya.Hening.Kael belum keluar dari ruang kerjanya. Entah apa yang dilakukan di sana, mungkin benar sedang menghindarinya. Sial. Baru sehari Celeste masuk ke kehidupan mereka, bahkan tak saling bertatap tapi telah berhasil mengubah situasi. Tak pernah sedetik pun Kael meninggalkan malamnya sejak mereka saling mengungkap perasaan. Namun sekarang?Semakin memikirkannya, semakin rasanya ingin berteriak. Aurora sampai mencengkeram erat ujung selimut yang
Cukup sulit untuk menjaga emosi—terutama ekspresi wajah—ketika Kael menatap Ezra. Semua detail yang ada di dalam dokumen tadi masih tercetak jelas dalam pikirannya. Ezeriah Roux, mungkinkah betul Ezra?Dari foto memang sama. Namun Kael tak menutup mata dengan wajah beberapa orang yang terkadang mirip. Lebih dari itu, sebenarnya ia merasa takut membuat Aurora kecewa. Hal itu membuatnya menjadi lebih berhati-hati dalam mengambil langkah.“Jangan bilang kau mulai menyukaiku.” Ezra menyeringai, sadar dengan sorot tajam Kael yang tak lepas darinya sejak duduk di meja makan, lima menit yang lalu.Jika bukan karena Aurora yang saat ini tengah menatapnya—memastikan tidak ada pertengkaran—pasti pisau steak di genggaman kanannya telah dilempar ke arah kening pria itu.Namun detik berikutnya, ucapan Luther tadi siang kembali terngiang. Ada hal lebih penting yang harus ia lakukan saat ini selain menargetkan lubang kecil di kening pria itu. Dengan terpaksa, sudut-sudut bibirnya tertarik kaku. “Sek
“Bekas luka apa ini?” Celeste menyentuh kulit punggung Ezra—satu garis miring—seperti bekas koyakan.Ezra menoleh, sampai mampu menatap ujung pundaknya. “Kau mulai tertarik padaku?”Satu dorongan kuat dari tangan Celeste pada pundak Ezra membuat pria itu mengaduh kesakitan. “Perasaanmu digadaikan, ya?!” protes Ezra sinis, masih sedikit membungkuk karena nyeri pada tangannya yang masih dibungkus gips.Celeste meraih kaus yang telah diambil dari lemari Ezra. “Jangan menggodaku, atau itu yang akan kau dapatkan dariku.” Ezra mendengus, tak ada niatan untuk memperpanjang perdebatan. Tangannya terangkat pelan, memberikan ruang untuk Celesta yang berhati-hati agar tak menyentuh area sensitif tangan Ezra yang patah.“Ok, selesai.” Celeste menghela napasnya. “Maaf karena aku bertanya tentang bekas lukamu. Aku hanya tidak bisa menahan rasa penasaranku.”Celeste memahami jika luka seseorang pasti memiliki sejarah. Setelah Ezra hanya membalas ucapannya dengan dengusan, ia kembali merasa bersalah